Negara “Sarang Mafia”?

Oleh: Tjahjo Kumolo

Orang bilang, mafia pajak bisa menghela napas setelah hak angket pajak gugur di parlemen 22 Februari lalu dengan komposisi 266:264 antara yang menolak dan mendukung.

Kita memang kecewa. Publik tahu sendiri bagaimana konsekuensi buruk dari kegagalan parlemen merumuskan keputusan politik mengenai persoalan mafia pajak ini. Yang jelas, kalau dibilang negara kita ibarat sarang mafia, tak ada salahnya juga. Toh, faktanya kita kini bergejolak karena kasus Gayus Tambunan ternyata—sampai saat ini!—tidak cukup untuk menjadi pemicu bagi penegakan hukum. Orang-orang kuat di belakang Gayus masih berkeliaran. Perusahaan-perusahaan besar yang mengemplang pajak juga belum tersentuh hukum. Bagaimana kita bisa berbicara soal reformasi birokrasi dalam konteks seperti ini?

Kesulitan terbesar kita untuk memberikan perhatian khusus pada masalah sosial seperti buta huruf,pengangguran, dan kemiskinan adalah karena negara kekurangan uang untuk mengatasi semua itu. Tapi benarkah kita kekurangan uang? Semua orang tahu,kalau penerimaan pajak berjalan normal, tanpa jalur mafia, negara memiliki cukup uang untuk menaikkan subsidi dan mencicil utang luar negeri. Kalau kita lihat UU 41/2008 APBN 2009 dan UU No 26/2009 APBN-P 2009,target penerimaan pajak tidak tercapai Rp 725,8 triliun menjadi Rp 651,9 triliun dan realisasi hanya Rp 619,9 triliun.

Kalau kita lihat UU 47/2009 APBN 2010 dan UU No 2/2010 APBN 2010,target penerimaan pajak tidak tercapai Rp 742,7 triliun menjadi Rp 743,3 triliun dan realisasi pajak pada 2010 menurut siaran pers Kahumas Dirjen Pajak 4 Januari 2011 hanya Rp 649,04 triliun.

Sumber Utama

Pajak adalah sumber anggaran pembangunan, pada saat ini tax ratio kita adalah yang terendah di kawasan ASEAN, bahkan di antara negaranegara G-20 di mana Indonesia menjadi anggotanya. Sebagai perbandingan, tax ratio Indonesia 14,1%, Brasil 38,8%, dan Australia 30,5%. Tidak maksimalnya penerimaan negara dari perpajakan diikuti dengan meningkatnya jumlah utang Indonesia dari waktu ke waktu. Pada 2005 sebesar Rp 1.313 triliun, 2009 Rp 1.590 triliun, dan 2010 Rp 1.676,15 triliun. Besarnya kenaikan belanja pegawai yang dikaitkan dengan agenda reformasi birokrasi tidak menunjukkan perbaikan kinerja yang ditandai dengan tersendatnya penerimaan pajak dan munculnya kasus-kasus perpajakan yang melibatkan aparatus perpajakan.

Belanja pegawai tahun 2007 sebesar Rp 90,425 triliun, 2008 Rp 112,83 triliun, 2009 Rp 127,67 triliun, 2010 Rp 162,659 triliun, dan 2011 Rp 180,825 triliun (dalam 5 tahun belanja pegawai meningkat dua kali lipat). Dengan tidak maksimalnya penerimaan ini, dari sisi penganggaran negara tidak memiliki cukup banyak uang untukmeningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Titik Rawan

Dalam hal pengelolaan perpajakan di lingkungan pemerintah, Komite Pengawas Perpajakan menemukan 12 titik rawan penyalahgunaan kewenangan yang terjadi di bidang perpajakan. Di antaranya dalam bentuk intervensi dalam pembentukan peraturan untuk kepentingan tertentu melalui pasal pesanan. Hal ini disampaikan Komite kepada DPR RI pada 15 April 2010. Reformasi perpajakan sudah dilakukan sejak lama, bahkan saat ini sudah masuk tahap kedua yang dimulai pada 2009.

Reformasi perpajakan kedua yang sebagian dananya menggunakan pinjaman luar negeri sebesar USD110 juta melalui Bank Dunia adalah bentuk ketidakmampuan negara mengagregasi penambahan peningkatan keuangan negara. Laporan keuangan pemerintah LKPP tahun 2008 menunjukkan ada piutang pajak sebesar Rp 55,545 triliun. Pada 28 Januari 2010, Dirjen Pajak menyampaikan ada tunggakan pajak sebesar Rp 17.518 triliun dari 100 penunggak pajak terbesar.

Hal ini menunjukkan masih ada persoalan terkait dengan kewenangan yang dimiliki oleh aparatus atas dasar UU maupun penafsiran masyarakat terhadap UU sehingga piutang ini kemudian timbul. Berdasarkan laporan dirjen pajak 31 Desember 2009, terdapat 62.884 kasus sengketa pajak yang sebagian besar adalah masalah data dan menyangkut penafsiran terhadap ketentuan perundang-undangan perpajakan yang digunakan sebagai dasar perhitungan pajak. Hal ini disampaikan Ditjen Pajak kepada DPR pada tanggal 2 Februari 2010.

Kekecewaan Mendalam

Atas dasar pertimbangan masalah-masalah tersebut, kepatuhan untuk menjalankan amanat UU maupun atas dasar dampak yang ditimbulkan sangat luas, hak angket diajukan. Terutama yang terkait dengan utang, minimnya pembangunan, bertambahnya beban negara untuk membayar bunga dan pokok utang dari waktu ke waktu, peningkatan belanja pegawai yang tidak diikuti peningkatan kinerja sehingga hak angket ini konstitusional untuk disahkan. Inilah dasar kenapa Fraksi PDI Perjuangan menyatakan kekecewaan mendalam, begitu juga fraksi lain yang sehaluan tentu, dengan gugurnya hak angket pajak akhir bulan lalu itu. Topik utama kita adalah bagaimana membangun negara yang kuat dan bersih.

Institusi politik dan hukum saat ini harus bersinergi mendorong dan memberikan tekanan agar pemerintahan yang berjalan tampil bersih dan akuntabel. Gejolak berantai di kawasan Timur Tengah pascarontoknya rezim Mubarak di Mesir dan mundurnya Zine el-Abidine ben Ali di Tunisia adalah contoh perlawanan kolektif rakyat terhadap kepemimpinan politik yang kotor dan rakus. Indonesia tentu konteksnya berbeda. Tapi bahwa persepsi buruk terhadap pemerintahan melahirkan perlawanan radikal merupakan logika universal yang kekal dan berlaku di mana-mana.

Oleh karena itu, agar demokrasi bisa menjamin negara, yang mesti mengatur bukan oleh mafia, melainkan pemimpin yang sesungguhnya. Untuk itulah kita mendukung dan sekaligus menekan pemerintahan saat ini untuk memiliki political will memberantas mafia pajak.

Tjahjo Kumolo, Sekjen PDI Perjuangan, Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPR RI

Sumber: seputar-indonesia, Rabu, 09 Maret 2011
-

Arsip Blog

Recent Posts