Penjara untuk Siapa?

Oleh: Topo Santoso

Tekad pemerintah untuk memerhatikan aspek keadilan menyangkut proses hukum bagi kalangan tertentu patut diapresiasi. Meski demikian, tetap perlu diberi catatan.

Seperti diberitakan Kompas (19/3/2011), dalam sebuah acara di Pontianak, Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar memaparkan prioritas untuk mewujudkan penyelesaian di luar pengadilan bagi tindak pidana ringan dengan batasan-batasan tertentu, mendapat maaf dari korban serta umumnya menyangkut tindak pidana oleh anak-anak (juvenile), manula, dan rakyat miskin. Hal itu ia kaitkan dengan konsep restorative justice. Konsep itu memang unggul dalam hal kurangnya stigmatisasi.

Mengapa perlu diapresiasi? Kenyataannya, praktik penegakan hukum kadang memosisikan rakyat miskin, anak-anak, dan manula sebagai korban di depan hukum. Terhadap mereka, simbol dewi keadilan yang ditutup matanya -sehingga tidak bisa membedakan siapa yang diadili- tampaknya kukuh dijalankan. Sebaliknya, saat menghadapi lawan-lawan hukum kelas berat, mata dewi keadilan yang tertutup itu sedikit dibuka sehingga ia bisa memicingkan mata.

Saya tidak bermaksud membahas diskriminasi semacam itu, tetapi lebih pada bagaimana konsepsi yang tepat untuk menghindari korban-korban dari pisau tajam penegakan hukum yang tak pandang bulu meski melawan akal sehat masyarakat luas.

Dalam kajian sistem peradilan pidana, yang namanya diskresi sebenarnya dimiliki oleh para penegak hukum; apakah akan menangkap, menahan, menggunakan pasal tertentu, menuntut hukuman tertentu, dan menjatuhkan hukuman tertentu. Meski penggunaan diskresi itu mesti dibatasi, faktor manusia sangat menentukan. Di tangan penegak hukum yang tepat, diskresi menyemaikan keadilan dan ketertiban. Di tangan yang salah, diskresi hanya akan menjelma menjadi diskriminasi yang melukai mereka yang lemah.

Penyelesaian perkara di sidang dalam perkara pidana dan konsep restorative justice barangkali memicu perdebatan. Bagi kalangan yang berpikir sempit, hal ini tidak bisa dilakukan dengan argumen kepastian hukum atau karena hukum pidana adalah hukum publik. Maka, peranan korban atau masyarakat tak ada.

Argumentasi semacam ini agak mengherankan. Bukankah dalam hukum kita, contoh dari penyelesaian di luar pengadilan sudah lama diatur. Dalam KUHP, misalnya, dikenal istilah afdoening buiten process, yang berlaku untuk pelanggaran tertentu yang hanya diancam denda. Penyelesaian semacam ini juga diatur sejak tahun 1955 dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Ekonomi, khususnya terhadap pelanggaran kepabeanan. Kalau menengok kenyataan, di beberapa masyarakat adat masih ada penyelesaian pelanggaran pidana adat di luar pengadilan.

Dua Konsep

Sejalan dengan hal-hal di atas, saya pikir dua konsep mendesak untuk dipikirkan serius. Pertama, menerapkan konsep pertanggungjawaban pidana ketiga, yakni subsosialitas. Kedua, menerapkan bentuk community-based correction. Dua konsep ini diterapkan pada dua urutan berbeda. Konsep pertama digunakan sebelum adanya pemidanaan (conviction), sedangkan konsep kedua diterapkan sebagai bentuk hukuman (punishment).

Dalam studi hukum pidana, selama ini yang banyak digunakan sebagai basis pertanggungjawaban pidana ialah konsep schuld (kesalahan) dengan adagium terkenal geen straf zonder schuld (tiada pidana tanpa kesalahan). Tanpa ada schuld, pelaku tidak bisa dihukum. Begitu juga bila perbuatan yang dilakukan melanggar UU, tetapi ternyata masyarakat tidak memandangnya sebagai sesuatu yang melawan hukum (tidak melawan hukum dalam arti materiil), pelaku tidak dihukum.

Sebenarnya jika kita mengacu pada kasus-kasus heboh penuntutan terhadap rakyat, seperti kasus mengambil kakao atau sandal, atau men-charge telepon seluler, nyatalah penegak hukum kita belum benar-benar menggunakan konsep pertanggungjawaban pidana dengan baik dan berpihak kepada rakyat kecil.

Dalam konteks ini, kita perlu memikirkan konsep lain yang penting untuk menghindari penghukuman terkait kasus-kasus sepele yang tidak perlu dan malah membebani sistem peradilan pidana. Konsep ini diajukan oleh Vrij, mantan guru besar Universitas Groningen.

Dalam pidatonya berjudul “Ter Effening”, Vrij mengusulkan penambahan syarat ketiga untuk menentukan layak tidaknya pertanggungjawaban pidana, yaitu subsosialitas. Penuntutan tidak layak dilakukan untuk perbuatan tertentu yang tak mengandung risiko bahaya yang dimunculkan pelanggar hukum terhadap masyarakat. Dengan konsep ini, saringan penuntutan dan penjatuhan pidana untuk tindak pidana yang ringan jadi lebih ketat.

Menurut hemat saya, kita tidak boleh terlambat untuk mengurangi beban sistem peradilan pidana kita dengan jumlah perkara yang terlalu besar dan jumlah narapidana yang terus naik. Oleh sebab itu, kita mesti menghindarkan kalangan yang rentan menjadi korban dari sistem peradilan pidana yang semestinya melindungi rakyat.

Topo Santoso, Direktur Djokosoetono Research Center Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Sumber: kompas, Jumat, 25 Maret 2011
-

Arsip Blog

Recent Posts