Dirjen Pajak Mochammad Tjiptardjo: Saya Punya Wewenang Menyandera

KASUS dugaan penggelapan pajak Asian Agri membuat Mochammad Tjiptardjo tak pernah tenang. Sejak ia menjabat Direktur Intelijen dan Penyidikan Direktorat Jenderal Pajak hingga kini menjadi orang nomor satu di kantor pajak, kasus itu terus membuntuti.

Sejak 2007, kasus pajak Asian Agri tak kunjung masuk pengadilan, hanya bolak-balik kejaksaan-penyidik pajak. Ada banyak perbedaan persepsi antara penyidik pajak dan jaksa. Dokumen yang diteliti juga sampai segudang. ”Berkas buktinya saja 860 boks,” kata Tjiptardjo.

Sebagai pejabat karier pajak, Tjiptardjo juga mesti menghadapi kawan-kawannya yang bersamanya memulai karier di institusi tersebut. ”Sebagai orang dalam, tugas saya lebih berat dibanding Pak Darmin Nasution yang dari luar.”

Maka, sejak mengepalai penyidikan dan intelijen, pria yang selalu terkesan serius ini meninggalkan hobinya melukis. ”Kan, perlu suasana yang menyentuh?” katanya. Selasa pekan lalu, seusai main bola voli melawan tim wartawan, dia menerima Yophiandi, Sapto Pradityo, Rini Kustiani, Grace Gandhi, dan Rieka Rahadiana dari Tempo untuk sebuah wawancara khusus.

Pada saat pelantikan, ada beberapa pesan Menteri Keuangan. Mana yang jadi prioritas?

Prioritas tahun ini mengamankan penerimaan pajak. Menteri Keuangan juga mewanti-wanti, tugas saya lebih berat daripada Pak Darmin Nasution. Sebab, sebagai orang dalam, yang sepanjang karier di pajak, saya kan hidup bersama mereka, susah dan senang, bergaul, tumbuh bersama mereka. Pak Darmin, sebagai orang luar, tidak mengalami seperti itu. Saya diminta tegas, tak membeda-bedakan teman. Insya Allah, saya bisa tetap tegas dan obyektif walaupun terhadap teman sendiri.

Sebagai ”orang dalam”, apakah kepercayaan ini terasa berat?

Ya, berat sekali. Sebab, sekali dipercaya dan tak bisa menjaganya, akan susah sekali memulihkannya. Saya dan teman-teman harus menjaga kepercayaan ini mati-matian.

Dari aspek tekanan, apa yang Anda rasakan?

Rasanya tak terlalu beda, karena saya dulu pembantu Pak Darmin. Semua sudah ada sistemnya, baik soal remunerasi, promosi, mutasi, maupun sanksi. Sistem itu yang jadi pegangan saya. Kalau bagus, ya dipromosikan, tapi kalau jelek, ya enggak, sekalipun itu kawan. Kami harus menjaga sistem yang sudah dikembangkan ini. Kami harus mengikis citra yang kelam di masa lalu. Jangan malah mundur, karena kami sudah banyak berkorban.

Ada lagi pesan Menteri Keuangan?

Ada enam pesan lagi untuk melengkapi reformasi pajak jilid kedua. Di antaranya mengevaluasi aturan serta prosedur yang sudah ketinggalan zaman dan harus diperbaiki. Juga memperluas basis data pajak. Artinya, upaya ekstensifikasi wajib pajak tidak boleh mandek. Upaya ekstensifikasi sudah memberikan hasil yang signifikan. Ada tambahan sembilan juta wajib pajak dan obyek pajak dari sebelumnya hanya empat juta. Total sekarang ada 13 juta wajib pajak. Tapi jumlah penduduk kita hampir 240 juta. Masak, wajib pajak hanya 13 juta?

Bagaimana strategi ekstensifikasi ini?

Sebelumnya, pendekatan kami lebih ke karyawan dan perusahaan di gedung-gedung tinggi. Selanjutnya akan diteruskan ke pasar dan pertokoan.

Seberapa besar hasil ekstensifikasi terhadap penerimaan pajak?

Orang-orang sering berpendapat, dengan penambahan wajib pajak, kami sudah bisa panen pada 2010. Padahal tidak bisa secepat itu. Sekitar delapan juta wajib pajak baru itu karyawan, dan 800 ribu lagi usaha kecil-menengah. Sampai saat ini, komposisi pajak penghasilan kita juga tak sehat, karena 70 persen dari pajak badan, hanya 30 persen dari perorangan. Di negara maju, yang besar itu penerimaan dari pajak perorangan. Kami juga sudah membangun kantor pajak khusus untuk orang-orang yang sangat kaya, dengan aset lebih dari Rp 100 miliar.

Sampai semester pertama 2009, penerimaan pajak baru 43 persen. Bagaimana memenuhi target tahun ini?

Angka 43 persen sebenarnya tak parah-parah amat, karena target semester pertama memang hanya 44 persen. Sisanya menumpuk di semester kedua. Target penerimaan pajak tahun ini Rp 528 triliun. Sebagai pilot, saya optimistis ”pesawat terbang” ini punya cukup waktu untuk konsolidasi dan mengejar penerimaan pajak. Sebagai orang pajak, saya tahu kantong-kantong mana yang bisa dikejar. Setelah dua-tiga minggu evaluasi, saya turunkan direktur-direktur pajak mengunjungi kantong-kantong itu untuk mengejar penerimaan. Juga masih ada tunggakan-tunggakan.

Berapa jumlah tunggakan pajak sekarang?

Saya kurang hafal, kurang-lebih Rp 50 triliun. Tapi mesti dilihat lagi mana tunggakan yang sudah kedaluwarsa, mana yang masih berproses. Tim saya sedang bekerja memilah-milah ini. Kalau sudah berkekuatan hukum tetap, saya bisa menindak tegas. Saya punya wewenang menyandera dan membekukan rekening mereka. Untuk rekening di luar negeri, kami bekerja sama dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan.

Bagaimana dengan kasus-kasus pelanggaran pajak?

Direktorat Intelijen dan Penyidikan Pajak baru berdiri akhir 2006. Pada 2007, kami membawa 21 kasus pajak ke pengadilan, dan sudah divonis. Pada 2008, 30 kasus kami bawa ke pengadilan. Pada 2009, rencana kami 40 kasus, tapi baru satu semester sudah melewati target. Penyidikan pajak sebenarnya bukan target kami, tapi penyidikan akan memberikan efek jera supaya taat membayar pajak.

Apakah sudah ada kemajuan penanganan kasus Asian Agri?

Jaksa Agung Hendarman Supandji kan sudah bicara, ada unsur pidana pajak di kasus itu. Semua permintaan jaksa penuntut kami upayakan dipenuhi. Menteri Keuangan juga sudah bertemu dengan Jaksa Agung, dan sepaham dalam penyelesaian kasus Asian Agri.

Apakah Asian Agri menolak membayar pajak karena merasa tak bersalah?

Pendekatannya memang beda. Penyelesaian pelanggaran pajak ada dua, yakni secara administratif dan pidana. Nah, kalau administratif, dengan menerbitkan surat ketetapan pajak sebagai alat penagihan. Kalau mereka tak setuju, bisa mengajukan permohonan banding lewat pengadilan. Selama ini kan kita tahu, jalan itu gampang ”lewat” begitu saja. Kalau penyidikan pidana, mereka tak bisa menghindar. Kalau mereka mau membayar, ya sudah, bayar sekarang sebelum masuk pengadilan. Kalau tak mau bayar, ya sudah, diam saja, nanti bertemu di pengadilan, membuktikan siapa yang benar.

Berapa posisi tagihan pajak Asian Agri sekarang?

Masih tetap, sekitar Rp 1,3 triliun. Kalau mau bayar, plus denda 400 persen. Kalau enggak, ya tergantung hakim. Hakim bisa memutuskan, silakan bayar 200 persen.

Selama menangani kasus pajak, sepertinya ini yang paling ruwet?

Ya, jumlahnya kan memang paling besar. Kasus ini melibatkan 14 perusahaan dalam satu grup usaha. Jumlah tersangkanya 12 orang, dengan 21 berkas. Satu berkas gedenya segini (merenggangkan dua tangan membuat jarak sekitar 50 sentimeter). Alat buktinya saja ada 860 kotak. Membaca alat buktinya saja butuh waktu lama, sehingga jadi terkesan mengulur-ulur waktu.

Bukankah ada komitmen mengajukan dulu dua tersangka ke pengadilan?

Komitmen saat gelar perkara memang memprioritaskan dua tersangka dulu yang dianggap paling gampang. Setelah satu bulan, diharapkan berkasnya lengkap, tapi kenyataannya kan belum? Tapi saya juga tak bisa memaksa penuntut. Ada yang kurang menurut penuntut, kami lengkapi.

Para tersangkanya masih dicekal?

Masih. Kalau tak kami cekal, ya bablas, tak akan pernah balik.

Ada yang menilai, yang bakal terkena kasus ini hanya perorangan, bukan badan usahanya. Betulkah?

Dalam pasal yang kami gunakan tertulis ”barang siapa”. Siapa yang dimaksud? Berarti wajib pajak perorangan, dan juga badan usaha. Kasus Asian Agri menyangkut wajib pajak badan, yang diwakili pengurusnya. Siapa pengurusnya? Salah satunya direktur utama yang meneken surat pemberitahuan pajak tahunan. Undang-Undang Pajak ini kan sifatnya lex specialis. Memang relatif masih baru. Jadi kami juga pelan-pelan.

Jaksa minta Vincentius Amin Sutanto, pelapor kasus ini, dijadikan tersangka. Bagaimana menurut Anda?

Dia kan saksi kunci saya, masak mau saya korbankan? Dia sudah babak-belur, dihantam sana-sini. Dituduh melakukan pencucian uang dan sudah ditahan pula. Kok, tega amat? Benar-benar tidak masuk akal. Yang masih di luar (tahanan) selesaikan dulu.

Selain Asian Agri, apakah ada lagi kasus pajak yang melibatkan perusahaan besar?

Ada beberapa. Yang melakukan penyidikan kan bukan cuma direktorat intelijen dan penyidikan, tapi tersebar di kantor wilayah. Masih diselidiki, karena baru bukti permulaan. Kalau kuat indikasi pelanggarannya, langsung ditindak. Tapi saya belum bisa ngomong banyak karena bisa mempengaruhi proses penyelidikan.

Ada yang berupaya melobi atau mengancam?

Upaya mereka gencar. Saya sampai dipraperadilankan. Kalah lagi. Saya yakin Tuhan tidak tidur. Ya, sudah, saya sita ulang. Kalau berkas kasus ini sudah lengkap, maju persidangan, dan masyarakat rame-rame akan memelototi kasus Asian Agri. Silakan masyarakat yang menilai.

Selain kasus Asian Agri, ada lagi kasus yang nilainya triliunan?

Belum ada. Kebanyakan melibatkan orang dalam pajak juga. Biasanya maling-maling yang levelnya ratusan miliarlah. Kalau menyangkut orang dalam, kita seret orangnya. Konsultan pajaknya terlibat, ya, kita seret juga.

Dalam Rancangan APBN 2010, target penerimaan pajak Rp 729 triliun. Anda yakin bisa memenuhinya?

Angka Rp 729 triliun itu digabung dengan penerimaan bea-cukai. Kalau dari pajak saja, Rp 605 triliun. Berarti naik 21 persen dari 2008, yang Rp 528 triliun. Dengan asumsi pertumbuhan ekonomi 5 persen, sebetulnya potensi pertumbuhan penerimaan alamiahnya sekitar 10,25 persen. Jadi kami hanya mengejar 11 persen lagi.

Seberapa besar pengaruh krisis global terhadap penerimaan pajak?

Tahun ini ekonomi sampai melambat, perlu sampai tiga kali revisi penerimaan pajak. Dari Rp 600 triliun menjadi Rp 528 triliun.

Tapi bukankah basis pajak meningkat?

Orang-orang di Dewan Perwakilan Rakyat bilang begitu. Peningkatan basis pajak ini kan sebagian besar dari karyawan. Masak sih saya mau memeras karyawan bayar pajak? Hasilnya tidak signifikan. Orang-orang berpikir, ekstensifikasi basis pajak akan meningkatkan penerimaan pajak dalam jumlah besar. Padahal tidak benar. Yang perlu kami lakukan justru intensifikasi karena hasilnya lebih kelihatan. Pengusaha dengan aset sedemikian besar kok bayar pajaknya cuma segini?



MOCHAMMAD TJIPTARDJO

Lahir: Tegal, Jawa Tengah, 28 April 1951

Pendidikan: D-IV Institut Ilmu Keuangan Jakarta (1977) dan Master of arts di bidang ekonomi, Williams College Massachusetts, Amerika Serikat (1981)

Pekerjaan: 1) Petugas Seksi Pusat Tata Usaha Kantor Inspeksi Pajak (1975), 2) Kepala Kantor Wilayah Pajak Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Timor Timur (1997), 3) Kepala Kantor Wilayah Pajak Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah (2001), 4) Kepala Kantor Wilayah Pajak Sumatera Selatan (2002), 5) Direktur Intelijen dan Penyidikan Ditjen Pajak (2006), 6) Direktur Jenderal Pajak (2009)

Sumber : Majalah Tempo, Senin, 24 Agustus 2009
-

Arsip Blog

Recent Posts