Jaksa Agung Hendarman Supandji: Program Itu Supaya Kejaksaan Punya Gereget

Menjelang ulang tahun ke-49 kejaksaan Rabu pekan ini, Jaksa Agung Hendarman Supandji mendapat ”kado” dari almamaternya, Universitas Diponegoro, Semarang. Hendarman dianugerahi gelar doktor honoris causa karena dinilai berjasa dalam penegakan hukum.

Dikenal lingkungannya sebagai pribadi yang sederhana, sebelum duduk di kursi Jaksa Agung, pria 62 tahun kelahiran Klaten, Jawa Tengah, ini pernah menjadi Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus. Posisinya inilah, antara lain, yang membuat ia ditunjuk sebagai Ketua Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Beberapa saat setelah dilantik sebagai Jaksa Agung pada 2007, Hendarman meluncurkan program reformasi kejaksaan yang sebelumnya sudah dirintis Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh. Kendati program itu bagus, banyak yang menilai reformasi tersebut belum sepenuhnya mencapai sasaran. Senin pekan lalu, Hendarman juga menjadi inspektur upacara sekitar seribu jaksa yang bertekad menjalankan tugas mereka secara profesional.

Apa kata Hendarman terhadap tudingan yang menyebutkan program pembaruan kejaksaan yang ia lakukan belum berhasil? Sabtu pekan lalu, seusai pidato pengukuhannya sebagai doktor—ia membacakan pidato berjudul ”Membangun Budaya Antikorupsi Sebagai Bagian dari Kebijakan Integral Penanggulangan Korupsi di Indonesia”—Hendarman menerima wartawan Tempo Sohirin.

Apa maksud ikrar yang dilakukan para jaksa pada 13 Juli lalu?

Itu untuk pembangunan moral jaksa supaya memiliki komitmen moral, pola pikir, dan kinerja yang baik.

Anda sudah puas dengan kinerja kejaksaan yang Anda pimpin ini?

Belum. Sejak saya mulai menjabat Jaksa Agung, ada enam pembaruan yang dirancang: rekrutmen, pendidikan jaksa, kode etik perilaku, standar minimum jaksa, jenjang karier, dan hukuman disiplin. Itu belum cukup. Sekarang saya akan melakukan reformasi birokrasi.

Ada yang menyatakan program reformasi Kejaksaan Agung yang Anda canangkan pada 2007 gagal….

Reformasi Kejaksaan Agung masih terus kami lakukan. Itu memang belum jalan karena masih dikaji. September nanti akan saya sosialisasikan. Namun evaluasi birokrasi sudah kami lakukan sejak September tahun lalu. Sampai hari ini masih terjadi diskusi yang luar biasa. Jadi memang tidak bisa dilakukan secara radikal revolusioner. Kalau secara radikal, organisasi bisa berhenti. Proses evaluasi itu juga melibatkan orang luar kejaksaan.

Reformasi birokrasi seperti apa yang akan Anda sosialisasikan?

Ada yang jangka pendek, menengah, dan panjang. Jangka pendek adalah reformasi pada tataran eselon 1 dan 2, dan jangka menengah pada eselon 3. Itu dilakukan untuk mengubah moral, budaya kerja, pola pikir. Akan saya bangun moral internal. Jadi tidak bisa hanya dalam satu-dua tahun. Organisasi Kejaksaan Agung juga harus kurus, supaya bisa lari. Strukturnya miskin personel, tapi kaya fungsi. Bentuknya masih dibahas.

Seperti apa perampingannya?

Dimulai dari tingkat bawah. Eselon 4 akan dihapus, eselon 3 akan dikurangi.

Ada yang mengkritik, program penanganan kasus korupsi di kejaksaan negeri dan kejaksaan tinggi hanya mengejar target, bukan kualitas. Komentar Anda?

Program itu supaya kejaksaan punya gereget memberantas korupsi. Dulu melempem, tho? Tapi, setelah berjalan, terjadi rekayasa. Misalnya, ada satu kasus yang penanganannya dipecah menjadi lima. Ada juga korupsi yang kerugiannya hanya Rp 15 juta dan Rp 20 juta diusut. Padahal program itu targetnya big fish, bukan koruptor yang kelas teri. Makanya dievaluasi. Kita ubah dengan program optimalisasi.

Apa perbedaannya?

Target optimalisasi tidak tertulis, tapi ada patokannya, yakni Kejaksaan Agung itu 25 kasus, kejaksaan tinggi delapan kasus, dan kejaksaan negeri lima kasus. Standarnya kualitas korupsi yang menyentuh masyarakat dan pengembalian keuangan negara yang sebesar-besarnya.

Lembaga antikorupsi mencatat setidaknya ada 40 kasus korupsi besar yang sejak 1998 belum selesai. Pendapat Anda?

Nanti saya cek. Sekarang yang kami kejar adalah kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia, yang berjumlah delapan kasus.

Bagaimana dengan Tim Pemburu Koruptor?

Tim ini akan terus kami optimalkan. Saat ini belum optimal karena koruptornya belum terkejar.

Ada anggapan masyarakat lebih percaya kepada Komisi Pemberantasan Korupsi dibanding Kejaksaan Agung. Komentar Anda?

Masyarakat mana yang percaya seperti itu? Pemberantasan korupsi tidak bisa dilakukan secara radikal karena belum tentu habis. Di Cina, ada hukuman mati bagi koruptor, tapi korupsi masih terjadi. Korupsi tidak bisa diberantas hingga zero. Maka langkah yang paling bagus adalah pemberantasan korupsi dengan memperbaiki budaya. Masalah korupsi itu sama tuanya dengan perjudian dan pelacuran, sejak zaman Yunani kuno sudah ada.

Sumber : Majalah Tempo, Senin, 20 Juli 2009
-

Arsip Blog

Recent Posts