Menyusuri Jasa Lendir Esek-esek di Aceh

Aparat pemerintah daerah Aceh terus gencar memberantas aksi prostitusi. Namun, prostitusi di Aceh ibarat jamur yang akan terus tumbuh meski berkali-kali dipangkas. Prostitusi berkembang seiring dengan zaman yang terus berubah.

Sistem prostitusi sekarang mulai berkembang. Tak hanya berkumpul di suatu tempat atau mangkal namun mulai merambah dunia online yang bisa diakses dengan canggihnya perkembangan teknologi.

Terbongkarnya jaringan prostitusi online di Kota Banda Aceh dan Aceh Besar beberapa waktu lalu menjadi salah satu buktinya. Meski marak di online, tak lantas menghilangkan praktik esek-esek itu hilang di Provinsi paling ujung Sumatera ini. Bahkan, masih ada yang yang terang-terangan menawarkan jasa pada pria hidung belang.

Penelusuran VIVA pasca hebohnya pemberitakan penangkapan mucikari dan tujuh PSK di Aceh Besar, beberapa hari lalu tak menyurutkan ‘kupu-kupu malam’ untuk kembali menggeliat mencari targetnya.

Dari berbagai platform pesan instan seperti WhatsApp, masih banyak wanita penghibur yang menawarkan jasa kencan. Sebut saja Bunga (nama samaran), ia sudah setahun lebih melakoni pekerjaan itu, tanpa merasa takut terciduk oleh Polisi Syariat.

Ditemui VIVA di sebuah warung kopi di kawasan Lampineung, Banda Aceh, sekali kencan ia bisa memasang tarif berkisar Rp700 Ribu. Kemudian, lokasi eksekusinya di salah satu wisma dikawasan Neusu, Banda Aceh.

Menurutnya, sejauh ini wisma tersebut masih aman dari bidikan aparat keamanan dan polisi syariat. “Biasanya ditempat itu. Saya biasanya sering di situ dan belum pernah ada penggrebekan,” katanya, pada Jumat malam, 23 Maret 2018.

Selain itu, di media sosial lainnya, juga terdapat beberapa wanita yang berani menawarkan dirinya, seperti FI (24) pada akunnya menulis dengan kata ‘ópen order booking’ di status akun medsos miliknya.

Dijumpai VIVA di kawasan Seutui, wanita berparas ayu itu mengaku, awalnya ia datang dari Langsa tujuan Banda Aceh ingin mencari pekerjaan. Namun, pekerjaan yang didapati hanya penjaga toko pakaian di daerah Peunayong Banda Aceh dengan gaji yang pas-pasan.

Sehingga, FI mengambil jalan pintas untuk menjadi pekerja seks komersial. Memasuki dunia hitam tersebut, FI awalnya berkenalan dengan mucikari berinisial AI yang sudah terlebih dulu ditangkap pihak kepolisian pada Oktober 2017 lalu.

“Dari dia (AI) dulu, tapi ada yang enggak pas. Makanya saya tidak mau lagi masuk jaringan dia, mending bermain sendri,” ujarnya.

Sekali kencan, FI hanya mau melayani jika praktiknya di Pulau Sabang atau di salah satu hotel berbintang di kawasan Lampineung untuk sekali kencan. Ia memasang tarif Rp1,5 juta. “Saya buka order tidak tiap hari, kalau lagi butuh duit saja. Karena kita juga was-was jika ada Wilayatul Hisbah (WH),” sebutnya.

Maraknya jasa esek-esek yang beroperasi di Banda Aceh dibenarkan Kapolresta Banda Aceh Ajun Komisaris Besar Polisi Trisno Riyanto. Ia tak menampik tingginya angka pekerja seks komersial di Aceh yang berkeliaran. Meski daerah berlabel Syariat Islam, Aceh masih belum bebas dari praktik prostitusi.

Trisno mengatakan sudah memetakan lokasi dan wilayah yang sering dijadikan tempat untuk transaksi PSK. “Ini kita masih selidiki,” sebutnya saat menggelar jumpa pers terkait penangkapan germo dan tujuh PSK di salah satu hotel di Aceh Besar, Jumat 23 Maret 2018.

Razia Rutin

Dari data yang dihimpun VIVA, sejak lima bulan terakhir, tiga kasus prostitusi cukup menyita perhatian warga Aceh. Pertama, bulan Oktober 2017 lalu, ketika penangkap satu germo dan enam PSK di Hotel kawasan Lueng Bata Banda Aceh.

Kemudian, di Aceh Barat, rumah kontrakan yang dijadikan tempat lokasi prostitusi, juga melibatkan anak di bawah umur. Sedangkan yang terakhir, polisi membongkar ‘bisnis lendir’ yang dijalankan oleh RS (28) di salah satu hotel berbintang di Aceh Besar. Rata-rata kasus yang terbongkar itu, sudah menajalankan praktik esek-esek selama dua Tahun.

Kepala Seksi Penyilidikan dan Penindakan Satuan Polisi Pamong Praja dan Wilayatul Hisbah (Satpol PP dan WH) Aceh, Marzuki mengaku, pihaknya selama ini sudah rutin melakukan razia, dengan cara mendatangi hotel-hotel dan memantau lokasi yang diduga banyak pelanggaran syariat.

Terkait hotel, kata dia, hampir setiap malam melakukan razia. Selain itu, ada pemantauan terhadap pelanggan hotel. Hal itu mengacu pada Perda Aceh Nomor 5 Tahun 2000 pasal 11 ayat 3, disebutkan setiap orang atau badan hukum yang berdomisili di Aceh berkewajiban menjaga dan mentaati nilai-nilai kesopanan, kelayakan dan kepatutan dalam pergaulan.

Pihaknya juga sudah berulang kali mengingatkan kepada pemilik hotel agar mentaati dan menghargai kearifan lokal, yaitu penegakan syariat Islam yang harus dipatuhi. Seperti tidak menerima pasangan tamu yang belum menikah.

“Rutinitas kita selalu melakukan razia di setiap hotel. Imbauan juga tentang larangan juga turut kita sampaikan saat razia,” ujar Marzuki pada VIVA, pada Sabtu, 24 Maret 2018.

Ancam Tutup

Dugaan masih adanya hotel yang menyediakan jasa esek-esek di sekitar Banda Aceh dan Aceh Besar yang tidak mematuhi syariat Islam membuat geram Walikota Banda Aceh, Aminullah Usman. Ia mengancam akan mencabut izin operasional hotel tersebut jika terbukti melanggar aturan syariat islam.

Pihaknya akan melakukan langkah-langkah tegas dalam melakukan penindakan jika mendapati hotel yang melakukan pelanggaran. “Jika tetap melanggar akan kita cabut izin usaha dan menhentikan operasional,” kata dia.

Ia mengatakan, berbicara soal operasional hotel, maka akan identik dengan hiburan, wanita nakal, pria hidung belang hingga miras. Namun, untuk Aceh dan Banda Aceh, kesan itu harus dihapuskan dalam pemikiran para tamu karena Aceh memiliki kewenangan sebagai daerah yang menerapkan syariat Islam.

“Wajah kita sebagai daerah syariat Islam harus tersosialisasi dengan baik kepada para tamu dari luar,” ujarnya.

Bupati Aceh Besar, Mawardi Ali juga geram dengan sikap pengelola hotel yang tidak konsisten, masih memberikan pelayanan terhadap tamu yang bukan non-muhrim.

Pihak hotel yang kedapatan, dinilai telah menodai pelaksanaan dan penegakan syariat islam di Aceh, khususnya di wilayah Kabupaten Aceh Besar. Pihaknya akan mengingatkan pihak hotel agar mentaati peraturan dan ketentuan seperti yang ditetapkan.

“Tidak ada tempat untuk maksiat di Aceh Besar, kalau tidak patuh dengan aturan yang ada, silahkan angkat kaki dari wilayah Aceh Besar,” tutur Mawardi kepada VIVA.

Hukuman Cambuk

Mucikari yang menjajakan para wanita seks komersial selain dikenai hukum pidana, juga akan di cambuk. Tak terkecuali, para wanita PSK yang kedapatan, di kenai sanksi hukuman tersebut.

Seperti yang dialami seorang germo berinisial AI, yang ditangkap bulan Oktober 2017 lalu. Ia mendapat hukuman 37 kali cambuk di depan Masjid Ulee Kareng, Banda Aceh pada 19 Januari 2018 lalu. Sementara PSK yang kedapatan, kini masih dalam proses.

Untuk Germo inisial RS, yang ditangkap pada Kamis dini hari, 22 Maret 2018 juga akan dikenai hukuman cambuk. Sementara tujuh PSK masih dilakukan pemeriksaan.

“Ada (cambuk). Kita sudah kordinasi dan gelar perkara dan akan kita serahkan ke wilayatul hisbah,” ujar Kapolresta Banda Aceh, AKBP Trisno Riyanto.

Muncikari tersebut akan dijerat dengan pasal 25 ayat (2) Jo pasal 23 ayat (2) Jo pasl 6 Qanun Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat. Ancaman hukuman 45 kali cambuk, denda 459 gram emas murni atau penjara paling lama 45 bulan.

Sedangkan ketujuh diduga PSK akan berkoordinasi dengan Pemerintah Kota Banda Aceh dan juga akan memanggil kedua orang tuanya. Kepiawaian polisi menggrebek ini menjadi sebuah harapan untuk membersihkan prostitusi dari Aceh.

“Persoalan yang selama ini kita dengar secara bisik-bisik, terbukti ada dan bisa diungkap oleh pihak kepolisian. Kita mendukung Polresta Banda Aceh untuk terus mengungkap tuntas kasus ini, karena ini menjelekkan citra kota kita," ujar Ketua DPRK Banda Aceh, Arief Fadhilah.

Sumber: https://www.viva.co.id
-

Arsip Blog

Recent Posts