Tampilkan postingan dengan label Banyuwangi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Banyuwangi. Tampilkan semua postingan

Festival Gandrung Sewu Pukau Ribuan Wisatawan

Banyuwangi, Jatim - Festival Gandrung Sewu yang digelar di Pantai Boom, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur memukau ribuan wisatawan yang hadir dari berbagai daerah di Indonesia, bahkan luar negeri.

Pelaksana Tugas Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Pemkab Banyuwangi Yanuar Bramuda menjelaskan, sebanyak 1.300 penari gandrung beraksi memainkan koreografi yang apik di bibir pantai dengan latar belakang Selat Bali dan semburat cahaya matahari tenggelam. Festival Gandrung Sewu ini telah memasuki tahun kelima.

Ajang ini telah menjelma menjadi pariwisata kegiatan (event tourism) berkelas nasional. Terbukti dari berjubel wisatawan dan selalu meningkat okupansi hotel di Banyuwangi saat acara kolosal tersebut berlangsung.

"Setiap tahun kami memang selalu menyajikan atraksi yang fantastis dan selalu baru, menjadi bukti sahih akan kemegahan Festival Gandrung Sewu ini," ujarnya di Banyuwangi, Minggu (18/9).

Tahun ini, Festival Gandrung Sewu menyajikan diorama "Gandrung Lukita". Tema yang sengaja dipilih untuk pergelaran tahun ini merupakan sekuel lanjutan dari Gandrung Sewu tahun sebelumnya yang bercerita tentang perjuangan Kerajaan Blambangan (cikal-bakal Banyuwangi) melawan penjajah.

Pada Sabtu (17/9) sore itu, para penari dengan instrumen kipasnya melingkari arena pertunjukan, membentuk formasi berjajar, sebagian lagi melingkar, dan terus bergerak dalam derap tari yang rancak, namun tetap berasa kelembutannya.

Kipas putih dan merah beralih seiring tabuh gamelan dan angklung. Suara sinden yang menyanyikan lagu-lagu khas gandrung menjadi narasi cerita, mengantarkan setiap adegan demi adegan berpaut menjadi pertunjukan yang tiada duanya.

Seluruh atraksi itu akhirnya mampu mengundang decak kagum penonton. Tak ketinggalan Marleen, wisatawan asal Jerman. "Ini festival yang sangat bagus. Aku belum pernah melihat seperti ini sebelumnya. Sangat bagus ketika ribuan orang menari bersama-sama. mengagumkan," kata Marleen yang sedang berlibur ke Banyuwangi itu memuji.

Rosyid, wisatawan dari Malang yang datang bersama sepuluh rekannya, juga mengaku puas dengan aksi di Festival Gandrung Sewu. "Rasanya merinding melihat ribuan penari di bibir pantai pas menjelang matahari tenggelam," kata dia.

Pertunjukan yang menjadi bagian dari Banyuwangi Festival itu, bagi Bupati Banyuwangi Abdulah Azwar Anas, tak sebatas pergelaran.

"Ini adalah konsolidasi budaya," ujar Anas yang menyempatkan diri menyapa para penari dan ribuan penonton Gandrung Sewu dari layanan face time, karena baru saja mendarat di Jakarta seusai menunaikan ibadah haji.

Konsolidasi budaya, lanjut Anas, adalah bagaimana mendorong pelestarian seni budaya yang sempat terkesampingkan menjadi seni budaya yang membanggakan semuanya.

"Saya yakin Banyuwangi tidak kesulitan meregenerasi para pelaku seni. Festival Gandrung Sewu membuktikan itu. Ribuan anak dari seluruh Banyuwangi giat berlatih didukung orang tua dan para warga desanya. Ini partisipasi publik dalam mengembangkan seni budaya dalam balutan pariwisata. Aspek seni budayanya diraih, aspek ekonominya juga didapat melalui pariwisata," kata Anas lagi.

Salah seorang penari festival itu Yuniar Trianingsih tak bisa menyembunyikan kebanggaannya. "Rasanya luar biasa ketika ribuan orang melihat saya menari. Ini pengalaman tak terlupakan dan menyemangati saya untuk selalu cinta seni budaya Indonesia, khususnya Banyuwangi," ujarnya.

Yunita yang mengaku ingin menjadi penari profesional, sehingga aktif di sanggar tari untuk melatih kepiawaiannya menari. "Seminggu dua kali latihan di Sanggar Tawang Alun," ujar pelajar Kelas XI SMA Darus Sholah Singojuruh itu.

Menurut Bramuda, berbagai festival seni budaya dalam Banyuwangi Festival memang sukses membangkitkan gairah masyarakat membangun wadah kreativitas seni generasi muda.

Berdasarkan data, katanya, pada tahun 2010 jumlah sanggar tari baru 13. Namun pada 2014 jumlahnya berlipat menjadi 59. "Itu yang tercatat resmi dalam data kami, ditambah sanggar-sanggar kecil lain mungkin bisa mencapai 66 buah," ujar Bramuda.

Uniknya Tradisi Selamatan Bergilir Warga Banyuwangi

Banyuwangi, Jatim - Warga Banyuwangi punya berbagai cara unik saat menyambut hari raya Idul Adha. Salah satunya di Lingkungan Papring, Kecamatan Kalipuro, masing-masing warga telah menyiapkan aneka macam masakan di rumahnya sebagai hidangan selamatan secara bergilir.

Mulai sekitar pukul 15.00 WIB, warga sudah mulai berdatangan di rumah yang memiliki acara selamatan. Setelah aneka hidangan seperti ketupat, sayur, lauk-pauk dihidangkan, tuan rumah akan membakar kemenyan sebagai simbol adat istiadat leluhur.

Kemenyan dibakar, menandakan doa selamatan dimulai. Usai berdoa dilanjutkan makan hidangan ketupat bersama. Sebagai makanan penutup, warga seringkali menyajikan jajanan pisang goreng, minum air putih, teh dan kopi.

Selamatan lebaran ini, merupakan doa syukur bersama sekaligus mendoakan para leluhurnya. Ada sajian wajib seperti teh dan kopi sebagai simbol sajian para leluhur yang sudah meninggal.

"Teh dan kopi, itu istilahnya sebagai sandingane Kakek saya yang sudah meninggal. Harus ada itu," ujar Munahju (61), warga lingkungan Papring yang menggelar selamatan, Minggu (11/9).

Selain kopi dan teh, selamatan lebaran ini juga menyajikan hidangan makanan takir (mangkuk dari daun) yang berisi nasi dan lauk pauk, sebagai simbol rasa syukur hasil bumi.

"Kalau takir ini sebagai simbol kebun. Hasilnya panenan sini," jelasnya.

Menariknya, selamatan lebaran di Lingkungan Papring dilakukan secara bergilir. Bila diundang untuk hadir, ada tips yang menjadi rahasia umum warga Papring. Meski tuan rumah berulangkali menawarkan agar menambah porsi makan, cukup dihargai misalkan dengan menjawab "iya" atau "sudah".

Sebab, bila makan sampai kenyang, tradisi selamatan ini akan terus berlanjut di rumah-rumah warga lain. Antara lima sampai sepuluh rumah. Artinya, masing-masing tamu undangan selamatan yang hadir, bisa makan sampai sepuluh porsi.

"Ayo dimakan, habis ini lanjut selamatan ke rumah saya," ujar Jumhari kepada Merdeka Banyuwangi.

Jumhari mengatakan, tradisi turun temurun ini biasanya akan lebih ramai bila di hari raya Idul Fitri. Sehabis buka bersama, selamatan bergilir ini akan berlangsung hingga habis isya.

"Yang penting itu dari selamatan ini, selain menjaga tradisi leluhur itu silaturahminya. Jadi bisa datang ke rumah-rumah warga, selamatan sambil berbincang," jelas Jumhari.

Soal tradisi nyekar ke makam sehari jelang hari raya, warga Papring biasanya baru melakukannya usai solat Idul Adha pada pagi hari.

Festival Jaranan Buto di Pesanggaran dan Siliragung Sebagai Pelestarian Budaya

Banyuwangi, Jatim - Berbagai usaha dilakukan PT. Bumi Suksesindo (BSI) merangkul masyarakat sekitar untuk memaknai peringatan HUT ke 71 Republik Indonesia. Salah satunya adalah kegiatan Festival Seni Jaranan Buto 2016. Selama 4 hari, kegiatan ini digelar. Hasilnya, dari 15 kelompok seni jaranan di Banyuwangi, dipilih 3 penampil terbaik.

Mereka adalah Kelompok jaranan 'Setia Kawan', Kelompok 'Karang Yakso' dan Kelompok 'Uwer Budoyo'. Pengumuman tersebut disampaikan panitia Festival Seni Jaranan Buto 2016 di lokasi penyelenggaraan, di halaman rumah Gito, warga Desa Pesanggaran, Kecamatan Pesanggaran. Sorak sorai warga mengiringi penyerahan hadiah oleh perwakilan PT Bumi Suksesindo (PT BSI). Selain piala bergilir dan sertifikat, panitia memberikan dana pembinaan pada para juara.

Vice President Director PT Merdeka Cooper Gold (Induk Perusahaan PT BSI), Colin Francis Moorhead menjelaskan, sesuai dengan komitmen, kehadiran perusahaan diharapkan mampu memberi manfaat sebesar-besarnya kepada masyarakat setempat. Terutama bagi warga di dua Kecamatan, Pesanggaran dan Siliragung, Kabupaten Banyuwangi. Salah satunya adalah kegiatan Festival Jaranan Buto 2016 yang merupakan bentuk pelestarian seni dan budaya masyarakat sekitar.

"Keinginan kami tulus untuk memberikan manfaat kepada masyarakat, ibarat tiap satu dolar yang kami keluarkan, kami ingin menghasilkan tiga dolar untuk diberikan kepada masyarakat," tegas Colin, ditemui seusai meninjau pelaksanaan parade seni Jaranan di lapangan Dusun Rejoagung Desa Sumberagung, Rabu (24/8/2016) kemarin.

Menurutnya, PT BSI tak hanya peduli dengan seni dan budaya. PT BSI akan membantu mengurangi angka pengangguran dengan memberikan kesempatan kerja kepada warga setempat. Termasuk kesempatan menempuh pendidikan juga akan dilakukan melalui program CSR.

"Dalam pelaksanaanya, PT BSI akan selalu melakukan koordinasi dengan Pemerintah Daerah Banyuwangi. Tujuannya agar tak terjadi tumpang tindih dan seluruh program bisa berjalan maksimal," bebernya.

Dalam tinjauan pelaksanaan Parade seni Jaranan, CEO PT Merdeka Cooper Gold ini memang terlihat cukup antusias. Bahkan, dia sempat masuk ke arena pertunjukan untuk melenggak lenggok bersama para penari Jaranan. Termasuk Senior External Relations Manager PT BSI, Bambang Wijonarko, yang turut mendampingi juga tak mau kalah.

Layaknya pemain seni Jaranan profesional, dia langsung ikut ngigel mengikuti irama gamelan."Saya menikmati sekali pertunjukan ini, terutama kostum dan gerakan tariannya. Ini kebudayaan yang umurnya jauh lebih tua dari usia negara kami," pungkasnya.

Festival Seni Jaranan Buto 2016 ini digeber di Kecamatan Pesanggaran dan Siliragung, selama empat hari didua tempat berbeda. 20-21 Agustus 2016 dilapangan Rejoagung, Desa Sumberagung dan 23-24 Agustus 2016 di Desa Pesanggaran, Kecamatan Pesanggaran.

Selama perhelatan, acara yang digawangi PT BSI sebagai wujud pelestarian budaya lokal ini, selalu dibanjiri pengunjung. Pantas saja, seni Jaranan memang menjadi favorit warga didua kecamatan tersebut. "Kami berharap tahun depan acara ini bisa berlangsung dengan lebih meriah," cetus Sudarmin, warga setempat.

Tradisi Tumpeng Songo Bentuk Rasa Syukur kepada Leluhur

Banyuwangi, Jatim - Warga Dusun Andong, Desa Tamansuruh, Kecamatan Glagah, kembali menggelar upacara adat bersih desa Tumpeng Songo. Upacara adat turun temurun ini merupakan bentuk rasa syukur agar selalu diberi keselamatan, kesejahteraan dan dijauhkan dari mara bahaya.

Dalam ritual adat ini, ada beragam prosesi yang harus dilakukan. Mulai syarat-syarat pembuatan sembilan tumpeng, perlengkapan arak-arakan, sampai nyekar bersama di makam para leluhur untuk saling mendoakan.

Arak-arakan tradisi Tumpeng Songo ini dilanjutkan dengan makan bersama warga Dusun Andong. Sekaligus ada proses berebut daging tumpeng sebagai simbol kerja keras dan harapan rejeki yang didapat. Tidak berhenti di situ, acara arak-arakan yang dimulai pukul 15.00 WIB sampai 17.00 WIB ini juga masih dilanjutkan dengan gelar tumpeng di sepanjang jalan rumah warga masing-masing. Baru kemudian dilanjutkan acar hiburan seni pertunjukan sampai larut malam.

Sumantri (52), pemangku adat tradisi Tumpeng Songo menjelaskan, ritual bersih desa ini sudah berlangsung turun temurun. Hal ini tidak lepas dari penghormatan kepada para leluhur atau nenek moyang yang sudah berjasa membuka hutan, cikal-bakal Dusun Andong sendiri. "Ini yang disebut slametan. Sejarahnya, sebelum ada rumah, dulu di sini alas curah andong. Banyak bunga, maka disebut Dusun Andong," tuturnya kepada Merdeka Banyuwangi di sela persiapan arak-arakan, Minggu (21/8).

Sumantri sendiri, mengaku sebagai generasi ke-sembilan dari nenek moyang yang sudah babat hutan bernama Buyut Unem dan Buyut Minut. "Tradisi ini disebut bersih desa untuk memperingati kerja keras, desanya supaya aman, biar tentram. Tumbuhan bisa lancar tumbuhnya dan dijauhkan dari balak (petaka)," jelasnya.

Selama proses ritual adat, ada beberapa hal menarik yang menjadi simbol saling menjaga kerukunan dan persatuan. Salah satunya saat memasak tumpeng.

Selama memasak tumpeng, ada pembagian khusus untuk mengolah masakan. Ada yang kebagian membuat kue, menanak nasi, mengolah daging, rempah lauknya, serta kelengkapan tumpeng lain.

Menariknya, selama memasak hingga selesai membuat tumpeng, para juru masak ini tidak boleh saling bicara dan mencicipi masakan. Semua harus diam, dan saling menjaga kepercayaan bahwa hasil masakannya pasti enak. "Ini sebagai simbol kita tidak boleh menghina orang. Meski tidak dirasakan, sudah percaya kalau nanti rasanya akan enak," ujar Sumantri.

Saat Merdeka Banyuwangi menengok ke dapur, para perempuan yang memasak memang hanya sibuk menata tumpeng. Mereka puasa bicara untuk sementara. Selain itu, lauk yang dimasak dalam tradisi Tumpeng Songo ini harusada satu ekor sapi. Setelah disembelih dan diolah, menariknya semua bagian dari organ sapi ini harus dimasak.

"Sapi ini kan satu, ini simbolnya penyatuan masyarakat. Semua bagiannya harus dimasak, meskipun itu bagian telinganya, lidahnya. Semua harus dimasak meski sedikit," jelasnya.

Hal menarik lainnya, para perempuan yang kebagian mengarak sembilan tumpeng dengan cara disunggi, harus dalam keadaan tidak menstruasi. Masing-masing dari mereka mengenakan baju putih.

Setelah merapalkan beberapa doa, dan mengecek semua perlengkapan ritual adat, Tumpeng Songo kemudian diarak bersama seluruh masyarakat. Diiringi alunan musik hadrah dan jidor.

Hanya berjarak kurang lebih 400 meter dari ruang pemberangkatan, rombongan arak-arakan sudah sampai di makam para leluhur. Satu per satu tumpeng diturunkan, kemudian mulai anak-anak, remaja sampai yang tua menggelar doa bersama. "Semoga dijauhkan dari balak, dan diberi kesehatan, panjang umur. Semoga almarhumah ini diampuni dosa-dosanya. Dan terima amal ibadahnya," tutur salah satu tokoh adat yang memimpin doa.

Sementara itu, Nursamsi, Kepala Desa Tamansuruh mengatakan sangat mendukung adanya tradisi Tumpeng Songo. Menurutnya tradisi kebudayaan di desanya ini harus tetap lestari. Warga Dusun Andong sendiri, saat ini sudah mencapai 250 kepala keluarga, semua masih kompak melakukan tradisi tersebut.

"Kami selalu mendukung agar tetap lestari. Selain Tumpeng Songo, di sini masih ada lagi tradisi yang khas yaitu Pencak Sumping di dusun Mondoluko. Biasanya diadakan setelah Idul Adha dan sorenya ada ritual Ider Bumi, itu juga khasnya sini," tuturnya.

Banyuwangi Gelar Festival Patrol

Banyuwangi, Jatim - Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, menggelar Festival Patrol 2016 yang diikuti oleh kelompok-kelompok patrol yang ada di Banyuwangi. Acara tersebut digelar selama dua hari pada 26-27 Juni 2016 sebagai puncak Festival Ramadhan 2016.

Patrol adalah musik khas Banyuwangi yang alat musiknya terbuat dari bambu dan biasanya dimainkan oleh sekelompok orang guna membangunkan warga untuk sahur di bulan Ramadhan.

Biasanya mereka menyanyikan lagu daerah Banyuwangi ataupun pujian-pujian yang diambil dari kitab Barzanji serta sejumlah lagu-lagu bernafaskan Islami.

Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas kepada KompasTravel, Minggu (26/6/2016), menjelaskan Festival Patrol sengaja digelar untuk menghidupkan kembali tradisi lama yang saat ini sudah mulai tergeser akibat perkembangan teknologi.

“Patrol adalah tradisi kebersamaan yang harus kita lestarikan. Tradisi ini tidak hanya membangunkan orang untuk makan sahur, tapi juga menjaga keamanan lingkungan. Unik karena hanya ada saat bulan Ramadhan. Tapi saat ini sudah mulai jarang dan ditinggalkan," jelasnya.

Sementara itu, Plt. Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Banyuwangi MY. Bramuda kepada KompasTravel menjelaskan masing-masing grup terdiri dari 12 orang yang memiliki keahlian berbeda-beda. Ada yang pegang seruling, therotok, gong, tempal, kentongan atau pethit.

"Mereka keliling jalan-jalan di daerah kota Banyuwangi selama dua malam berturut-turut dan akan diplih lima penyaji terbaik. Ini dinilai dari teknik penabuhan patrol, atraksi penampilan, harmonisasi antara irama musik dan gending yang dibawakan. Selain juga kekompakan, semangat dan ketertiban saat berpatrol," kata Bramuda.

Tak Lama Lagi Banyuwangi Miliki Kampung Batik

Banyuwangi, Jatim - Kesuksesan Kampoeng Batik Laweyan hingga Kampoeng Batik Kauman di Kota Solo menginspirasi Universitas Ciputra (UC) Surabaya untuk mengembangkan kampung wisata batik di Banyuwangi.

Studi kelayakan akan dilakukan mulai tahun ini. Tahapannya, dalam lima bulan ke depan, UC Surabaya akan membuat konsep kampung wisata batik di Banyuwangi, setelah itu, persiapan lahan selama tujuh bulan.

Inilah yang oleh Menteri Pariwisata Arief Yahya sering disebut sebagai Pentahelix, yakni gabungan lima unsur yang harus bersatu dan bergerak bersama-sama, yakni: akademisi, bisnis, komunitas, pemerintah, dan media.

“Ketika lima unsur ini bersatu dan memiliki visi pariwisata, maka saya jamin sektor ini akan semakin kuat mengakar dan bisa diandalkan,” ujar Arief Yahya sebagaimana dikutip Kompas Travel, dalam siaran pers Biro Hukum dan Komunikasi Publik Kemenpar, Senin (13/6/2016).

Ide dan inisiatif Universitas Ciputra membuat kampung batik di Banyuwangi itu contoh konkret. “Pemerintah hanyalah regulator, tidak boleh merangkap menjadi operator. Biarkan bisnis yang menjalankan. Dan komunitas bisa mendapatkan manfaat yang konkret,” ujar Arief Yahya.

Dosen Universitas Ciputra, Juliuska Sahertian dan Kepala Laboratorium Fashion Department, Fabio Ricardo Toreh mengaku telah bertemu dengan Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas. Ide ini langsung mendapat respons positif.

"Ini murni inisiatif Universitas Ciputra. Batik kan warisan leluhur yang sudah mendunia. Itu fakta. Ada UNESCO yang sudah mengakuinya sejak 2 Oktober 2009. Di sisi lain, pariwisata Banyuwangi naik sangat pesat. Pendapatan per kapita Banyuwangi naik dari Rp 21 juta pada 2010 menjadi Rp 39 juta pada tahun 2015 karena pariwisata. Kalau dua kekuatan ini digabungkan menjadi sebuah kampung wisata batik, hasilnya bisa dahsyat,” kata Juliuska Sahertian, Senin (13/6/2016).

Kampung wisata batik ini nantinya akan menjadi pusat pembelajaran, pengembangan, dan pemasaran batik. “Kampung wisata batik di Banyuwangi akan menjadi etalase semua jenis batik ramah lingkungan yang ada di Indonesia. Lengkap dengan ceritanya,” paparnya.

Juliuska memaparkan, Banyuwangi dipilih lantaran mempunyai perkembangan batik yang signifikan. Industri kreatif berbasis fashion di Banyuwangi dinilai sangat pas untuk dipadukan dengan pengembangan pariwisata.

Apalagi Banyuwangi juga mempunyai infrastruktur transportasi yang lengkap. Dari darat, laut, maupun udara, semua ada di sana. Belum lagi, keuntungan letak geografis yang dekat dengan Bali sebagai jantung utama pariwisata Indonesia.

Kawasan kampung wisata batik Banyuwangi itu, lanjut Juliuska, nantinya mengambil lansekap salah satu motif batik setempat. Di dalamnya akan dilengkapi 13 rumah tradisional dari berbagai provinsi di Indonesia yang merupakan penghasil batik.

Selain itu, ada fasilitas penunjang seperti cottages, food and beverage stalls, taman bunga, kolam ikan, wahana permainan alam, jalur berkuda, dan infrastruktur penunjang pariwisata lainnya.

"Kampung wisata batik ini bagian dari Program Wisata Inti Rakyat (PIR) yang kami desain untuk menghidupkan pariwisata pedesaan. Tahun pertama akan kami buat studi kelayakan. Selama lima bulan ke depan kami cari gambaran untuk kampung wisata batik, lalu persiapan lahan selama tujuh bulan," katanya.

Tahapan berikutnya, sambung Juliuska, perencanaan bisnis pembangunan kampung wisata batik. Ciputra akan menurunkan tim, baik yang mengajarkan pembuatan batik ramah lingkungan maupun mengedukasi bagaimana mendesain skema fashion batiknya ke perajin lokal. "Setelah siap, lalu dimulai pembangunan kampung wisata tersebut,” katanya.

Bupati Banyuwangi Azwar Anas langsung merespons positif gagasan tadi. Hadirnya kampung wisata batik Banyuwangi, dinilai bisa mendorong tumbuhnya industri batik dan pariwisata di kabupaten berjuluk "Sunrise of Java" itu.

“Dengan dukungan Pemprov Jatim, tahun ini mulai dirintis Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) jurusan batik di Banyuwangi. Lalu Oktober mendatang, Kementerian Perindustrian mengumpulkan pewarna alam se-Indonesia untuk ditampilkan di Banyuwangi. Kalau ditambah kampung wisata batik, kreativitas pembatik lokal, mulai dari pengembangan motif hingga desain fashion, pasti akan tumbuh. Sekarang para perajin batik giat berproduksi karena laris seiring banyaknya wisatawan,” kata Anas.

Pengembangan industri batik di Banyuwangi, menurut Anas, akan tetap menempatkan UMKM lokal sebagai pilar utama. “Jadi siapa pun yang ingin mengembangkan batik Banyuwangi harus melalui pendekatan pembukaan lapangan pekerjaan dan transfer knowledge ke UMKM lokal,” tambah Anas.

Ribuan Pengunjung Terpukau Banyuwangi Ethno Carnival di TMII

Banyuwangi, Jatim - Budaya Banyuwangi terus mendapatkan panggung nasional. Banyuwangi Ethno Carnival (BEC), parade busana kebanggaan Tanah Using menjadi ikon HUT Taman Mini Indonesia Indah (TMII) ke 41.

Menjadi penampil utama, para talent BEC Gandrung dan Seblang langsung menyedot perhatian ribuan orang di Tugu Api TMII pada Minggu (17/4). Ribuan pengunjung kagum melihat para penampil BEC berlenggak-lenggok memamerkan kostum mereka yang unik dan artistik.

HUT TMII ini dibuka oleh Direktur Utama TMII AJ Bambang Soetanto dan Dirjen Politik Pemerintahan umum Kemendagri, Mayjen (Purn) Soedarmo. Turut membuka acara tersebut Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas.

Bambang Soetanto mengatakan perayaan HUT TMII kali ini dikemas dalam pekan HUT TMII dengan menampilkan beragam kebudayaan.

Seperti Banyuwangi Ethno Carnival dan tari kolosal Ratoh Jaroe dari Aceh, dan sejumlah penampilan tari tradisional dari berbagai provinsi di Indonesia.

"Kali ini sengaja kami tampilkan kesenian kontemporer Banyuwangi, BEC sebagai icon karena untuk mengenalkan lebih luas betapa kayanya budaya Banyuwangi," ujar Bambang.

Sementara itu, Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas menyatakan kebanggannya BEC diundang sebagai icon pembukaan HUT TMII. Menurutnya, ini merupakan apresiasi bagi Banyuwangi yang saat ini getol mengembangkan pariwisatanya.

"TMII ini adalah representasi budaya tradisional di seluruh wilayah Indonesia. Ini suatu kehormatan bagi kita menjadi penampil utama di acara ulang tahunnya. Kita pun akan memanfaatkan moment ini untuk mempromosikan ajang wisata Banyuwangi Festival yang terdiri dari 53 rangkaian event," ujar Anas.

Sore itu, penampilan BEC benar-benar memikat para pengunjung. Menampilkan beragam lakon, fragmen BEC diawali dari kemanten Using yang menampilkan tiga tema besar yakni Mupus Braen, Sembur Kemuning dan Sekar Kedaton Wetan. Berturut-turut berikutnya tema BEC Gandrung, Seblang, Barong hingga Kebo-keboan.

Para penonton puas dengan penampilan megah para talent BEC tersebut. Meski hujan mengguyur, ribuan pengunjung tetap antusias dan tidak beranjak dari tempatnya untuk menikmati suguhan budaya Banyuwangi itu.

Rangkaian perayaan HUT TMII ini digelar selama sepekan, mulai 17 – 24 April 2016. Selain acara seni budaya, TMII juga menggelar pameran bersama Museum se-Indonesia, yang diikuti 41 museum.

Wisata Budaya Berbalut Nuansa Alam Banyuwangi, Desa Kemiren Tempatnya!

Banyuwangi, Jatim - Potensi wisata Banyuwangi memang besar. Tak hanya pantai, kini ada pula paket wisata ke Desa Kemiren yang asri dan masih memegang teguh adat dan budaya lokal.

Menikmati suguhan kesenian dengan latar pemandangan sawah di Banyuwangi pasti seru. Bahkan tak ada panggung, halaman rumah yang rindang penuh pepohonan disulap menjadi panggung mewah, meski banyak akar-akar pohon yang menonjol di permukaan tanah.

Tak ada kursi di sana, hanya bangku-bangku terbuat dari kayu dan bambu, melingkar mengitari panggung pertunjukkan yang menyatu dengan alam.

Suguhan ini hanya ada di Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Banyuwangi. Desa penuh dengan seni dan budaya khas Banyuwangi ini, memang memiliki daya tarik tersendiri bagi wisatawan domestik maupun mancanegara.

Arak-arakan Barong Kemiren mengawal wisatawan mulai dari jalan, menuju lokasi yang hanya berjarak 300 meter dari tempat pertunjukan. Selanjutnya, tarian Gandrung dan Barong Kemiren dimainkan untuk menghibur pengunjung di pentas terbuka ini. Tak hanya itu, tari Jaran Goyang pun disuguhkan sebagai tari magis percintaan muda-mudi Banyuwangi yang penuh misteri.

Peket wisata berbasis masyarakat ini, memang dijual untuk wisatawan yang datang ke Desa Kemiren. Wisatawan akan dimanjakan dengan suguhan seni tari dan kuliner khas Banyuwangi, seperti tumpeng Pecel Pitik dan jajanan khas Kemiren, seperti tape buntut dan lepet kacang.

"Kita menjual paket wisata menyatu dengan alam. Seni dan budaya Kemiren kita tonjolkan di sini. Memang tak ada panggung di sini. Ini agar interaksi antara penari dan wisatawan tak ada sekat. Ada akar-akar pohon menjadi daya tarik beda dengan panggung biasanya," ujar Aekanu Haryono, warga Kemiren, saat berbincang dengan detikTravel, Minggu (17/4/2016).

Paket wisata ini sengaja dibuka warga Desa Kemiren, sebagai destinasi wisata adat dan budaya khas Banyuwangi. Sebab saat ini, Desa Kemiren masih memegang teguh keaslian adat istiadat dan nilai tradisi suku Using.

Para pengunjung diharapkan bisa merasakan menjadi warga Kemiren. Salah satunya adalah makan Tumpeng Pecel Pitik, tanpa menggunakan sendok dan garpu serta minum langsung dari kendi.

"Tak hanya tarian dan kesenian, kita juga akan bercerita tentang sejarah Kemiren dan adat serta tradisi di sini. Selain itu pengunjung harus bisa merasakan menjadi warga Kemiren," pungkas Aekanu.

Salah satu pengunjung, Yoyong Burhanudin, mengaku takjub dengan paket wisata di Desa Kemiren ini. Suguhan tarian dan makanan di sini sangat mencerminkan Banyuwangi.

"Sangat menarik, jarang bisa makan dan menikmati hiburan di pinggir sawah. Suasana desa sangat kental dan penarinya cantik-cantik. Apalagi yang bawa selendang merah," ujarnya saat berbincang dengan detikTravel.

Munculnya paket destinasi wisata adat dan budaya khas Kemiren ini, merupakan campur tangan dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Banyuwangi. Untuk menciptakan destinasi ini, Disbudpar merangkul masyarakat untuk membuat paket wisata yang bisa dijual ke wisatawan yang berkunjung di Banyuwangi.

"Paket ini memang sengaja kita buat untuk menjadi destinasi wisata pilihan lainnya. Banyuwangi dikenal dengan wisata alamnya. Tak ada salahnya kita menyuguhkan wisata budaya dan seni yang menyatu dengan alam. Kita ajak masyarakat mengenalkan budaya asli Banyuwangi," ujar MY Bramuda, Plt Kadisbudpar Banyuwangi.

Saat ini, kata pria yang biasa dipanggil Bram ini, banyak destinasi wisata yang dikelola oleh masyarakat. Semuanya didampingi oleh Disbudpar dalam pengembangan dan mempromosikan destinasi wisata yang dikelola.

"Kami yakin, pariwisata akan mensejahterakan masyarakat Banyuwangi," pungkasnya.

Bupati Anas: Di Banyuwangi Wajib Suguhkan Buah Lokal

Banyuwangi, Jatim - Pemerintah Kabupaten Banyuwangi menggelar Agro Expo 2016 dan memamerkan produk-produk pertanian asli Banyuwangi mulai dari tanaman pangan sampai holtikultura di Taman Blambangan.

"Event ini adalah bentuk perhatian pemerintah kepada petani dan menjadi panggung dari para petani untuk menampilkan produk unggulannya," kata Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas kepada KompasTravel, Senin (11/4/2016).

Menurut Anas, selama lima tahun terakhir Pemerintah Kabupaten Banyuwangi telah menetapkan kebijakan proteksi buah lokal dengan mewajibkan suguhan buah lokal untuk acara yang melibatkan pemerintah kabupaten termasuk PNS yang akan memberi oleh-oleh buah.

"Kebijakan ini diambil agar petani buah dalam negeri terus berkembang. Rakyat ini kan paternalistik. Apa yang dikerjakan pemimpinnya akan ditiru rakyatnya. Jadi pemkab sudah tidak pernah menyuguhkan buah impor di setiap acara. Semuanya menggunakan buah lokal," jelasnya.

Sementara itu Ikhrori Hudanto, Kepala Dinas Pertanian, Kehutanan dan Perkebunan kepada KompasTravel menjelaskan dari buah lokal yang ada di Banyuwangi, buah naga yang mengalami peningkatan produksi yang cukup tinggi.

Pada tahun 2013, produksi buah naga sekitar 16.000 ton sedangkan pada tahun 2014 meningkat 75 persen menjadi 28.800 ton. Sementara untuk jeruk produksinya mencapai 333.767 ton. Berturut-turut semangka 63.342 ton dan manggis 49.632 ton.

Pada Banyuwangi Agro Expo juga digelar kontes durian eksotis Banyuwangi diikuti beberapa petani durian berbagai varian baik durian berwarna merah, oranye atau putih kekuningan.

"Di kontes durian kami sengaja mencari plasma nutfah dari durian asli Banyuwangi agar potensi durian di Banyuwangi bisa di kembangkan," kata Ikhrori.

Sabtu, Festival Kuliner Sego Cawuk Digelar di Banyuwangi

Banyuwangi, Jatim - Pemerintah Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, menggelar festival kuliner, Sabtu (9/4/2016), dengan mengusung kuliner khas Banyuwangi, yaitu sego cawuk. Makanan ini sering dikonsumsi sebagai sarapan oleh masyarakat Banyuwangi.

Festival Sego Cawuk mulai digelar pukul 08.00 WIB di sekitar Taman Blambangan dan diikuti oleh ratusan peserta.

Kuliner sego cawuk terdiri atas nasi yang biasanya disajikan dengan alas daun pisang lalu ditambahkan kuah ikan pindang, parutan kelapa, dan dicampur serutan jagung muda yang dibakar. Lauk pendampingnya adalah pepes ikan, telur pindang, atau semanggi dengan sambal serai.

Dari cara penyajian langsung menggunakan tangan itulah nama sego cawuk didapatkan. "Cawuk" berarti diambil langsung pakai tangan atau makan langsung menggunakan tangan.

Menurut Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas kepada KompasTravel, Festival Sego Cawuk akan melibatkan seluruh lapisan masyarakat Banyuwangi, termasuk penjual sego cawuk, instansi pemerintahan, serta hotel dan restoran yang ada di Banyuwangi.

"Setiap tahun, kami selalu mengusung festival kuliner, seperti rujak soto, dan tahun kemarin sego tempong. Tahun ini sengaja sego cawuk agar cita rasa dan penampilan sego cawuk akan meningkat, termasuk dari segi penampilan," ujar Bupati Anas.

Rencananya, Festival Sego Cawuk juga akan dihadiri oleh Chef Aiko yang akan mempresentasikan bagaimana menyajikan sego cawuk dengan lebih menarik.

Selain Festival Kuliner Sego Cawuk, di tempat yang sama juga digelar Banyuwangi Agro Expo serta Art Week yang berlangsung pada 9 April sampai 16 April 2016 di sepanjang Jalan Pangeran Diponegoro, depan Gesibu Blambangan, pukul 09.00–21.00 WIB.

Padang Ulan, Menikmati Kesenian Banyuwangi di Pesisir Pantai Boom

Banyuwangi, Jatim - Jika berkunjung ke Banyuwangi, Jawa Timur, dan bertepatan dengan malam bulan purnama, anda harus mampir di Pantai Boom karena ada pergelaran Padang Ulan yang menampilkan kesenian tradisi masyarakat Banyuwangi.

Seperti pada Kamis (24/3/2016), para penari dari Sanggar Rama Lestari, Kecamatan Srono, Kabupaten Banyuwangi tampil membawakan beberapa tarian daerah Banyuwangi.

Para penari membawakan tari Gandrung, tari Nyiru, tari Jaranan Buto, dan tari Mijil Seblang di amphitheater yang menghadap langsung ke Pantai Boom.

"Padang ulan ini sebenarnya tradisi dari nelayan. Saat bulan purnama sepi ikan sehingga mereka menggelar hiburan di tepi pantai dan tradisi ini sekarang kami hidupkan kembali," kata Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Banyuwangi MY Bramuda kepada KompasTravel, Jumat (25/3/2016).

Menurutnya pemerintah Kabupaten Banyuwangi memfasilitasi siapa pun untuk tampil saat pergelaran Padang Ulan, mulai dari kelompok tari, musik tradisional hingga teater.

Untuk penonton pun tidak dipungut tiket dan mereka bisa menonton secara lesehan di sekitar pementasan.

"Karena berbentuk amphitheater sehingga penonton bisa duduk di tempat yang disediakan. Bebas siapa saja bisa datang dan nonton," kata Bramuda.

Banyuwangi Festival 2016 Dijamin Lebih Semarak

Banyuwangi, Jatim - Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas mengatakan Banyuwangi Festival 2016 akan lebih semarak dibandingkan dengan pelaksanaan pada tahun-tahun sebelumnya.

Ia menjelaskan ajang tahunan yang digelar sejak 2012 itu menampilkan berbagai potensi Banyuwangi, mulai dari kekayaan seni dan budaya, olahraga dan pariwisata, sampai kearifan lokal melalui sebuah festival yang unik dan kreatif.

Puluhan kegiatan yang dihelat sepanjang 2016, termasuk yang berskala besar, seperti "International Tour de Banyuwangi Ijen" (11-14 Mei), Jazz Pantai (27 Agustus), Festival Gandrung Sewu (17 September), Banyuwangi Batik Festival (9 Oktober), dan Banyuwangi Ethno Carnival (12 November), akan dilengkapi sejumlah kegiatan baru.

Bupati mengatakan Banyuwangi Festival digelar untuk mempromosikan pariwisata sekaligus memaksimalkan potensi daerah. Tahun ini, penyelenggaranya makin lengkap karena ada kegiatan yang dihelat langsung oleh dunia usaha, pemerintah provinsi, dan pemerintah pusat.

"Bertambahnya jadwal ini karena kami memasukkan tradisi dan budaya yang sudah mengakar. Kami berdiskusi dengan Dewan Kesenian Blambangan, sepakat memasukkan tradisi masyarakat yang tahun-tahun lalu belum dimasukkan ke agenda Banyuwangi Festival," katanya.

Tradisi yang merupakan agenda baru itu adalah, Arung Kanal di kawasan Bangorejo, Puter Kayun di kawasan Boyolangu, dan Gredoan. Bahkan juga digelar Festival Lagu Using yang semuanya diikhtiarkan untuk mengenalkan budaya Banyuwangi ke khalayak luas.

Sejumlah tradisi asli Banyuwangi yang akan difestivalkan tahun ini antara lain Barong Ider Bumi, Tari Seblang, Tumpeng Sewu, Kebo-keboan, hingga tradisi lomba tahunan perahu layar.

"Kami juga menggelar Festival Padi dan Banyuwangi Fish Market Festival untuk menguatkan dan mempromosikan produk pertanian serta perikanan. Misalnya, bakal ditampilkan beras organik dan beras merah organik. Juga ada Agro Expo yang kami gelar saat durian merah ramai dipanen April nanti," ujar Anas.

Wakil Bupati Banyuwangi Yusuf Widyatmoko menambahkan tahun ini juga digelar banyak kegiatan musik, mulai dari jazz hingga musik khas Banyuwangi dalam Festival Lagu Using. Ada pula Ijen Summer Jazz yang digelar tiga kali dalam setahun.

"Acara ini sepenuhnya dihelat Java Banana, dunia usaha yang bergerak di bidang resor. Kini mulai muncul inisiatif dunia usaha untuk ikut berpartisipasi mempromosikan daerah. Ini tren dan iklim yang bagus," katanya.

Dari sisi sport tourism, selain International Tour de Banyuwangi Ijen, ada juga Festival Arung Jeram, Kite and Wind Surfing Competition, International Run, dan Banyuwangi International BMX.

Selain itu juga akan ada kembali Festival Toilet Bersih, Festival Sedekah Oksigen, Festival Sungai Bersih, dan Festival Kuliner.

"Untuk kuliner, tahun ini mengangkat sego cawuk setelah tahun sebelumnya ada rujak soto dan nasi tempong. Kuliner kami angkat agar makin dikenal dan depot-depot laris dikunjungi saat wisatawan datang ke Banyuwangi," kata Yusuf.

Dusun Patoman Tengah, "Bali" Kecil di Kabupaten Banyuwangi

Banyuwangi, Jatim - Tiga pemuda terlihat sibuk memotong bambu, sedangkan dua orang lain menghias ogoh-ogoh di sebuah dusun yang dilengkapi dengan tempat persembayangan umat Hindu.

Mereka bercakap-cakap dengan bahasa Bali. Aksen mereka pun sangat kental seperti penduduk Pulau Dewata.

Mereka adalah warga Dusun Patoman Tengah, Desa Patoman, Kecamatan Rogojampi, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Saat ini, sebagian warga di sana tengah disibukkan dengan membuat ogoh-ogoh untuk perayaan hari raya Nyepi pada Rabu (9/3/2016) pekan depan.

"Di sini bahasa ibunya adalah bahasa Bali, tapi kami semua bisa menggunakan bahasa Jawa, bahasa Madura, bahkan bahasa Using yang asli Banyuwangi," kata tetua dusun I Gusti Putu Sudana kepada Kompas.com, Rabu (2/3/2016).

Bukan hanya bahasa, semua tatanan rumah, adat, budaya yang digunakan di desa tersebut menyerupai yang ada di Bali.

Lelaki kelahiran 20 Februari 1963 tersebut menuturkan bahwa warga dusun Patoman berasal dari delapan kota atau kabupaten di Pulau Bali.

Pada tahun 1950-an, banyak warga Bali yang pindah ke Banyuwangi karena tradisi keselong atau pengasingan karena menikah dengan kasta berbeda.

"Ini dulu ya saya dapat cerita dari orang-orang tua. Kita mengenal empat kasta, yaitu Brahmana, Ksatria, Waisya, dan Sudra. Karena menikah tidak satu kasta, maka mereka diasingkan dan berpindah ke Banyuwangi," ujarnya.

Mereka kemudian membentuk kampung Bali di tengah Kota Banyuwangi. Karena jumlah mereka semakin banyak, sebagian di antaranya mencari tanah yang lebih luas di sekitar kota. Salah satunya adalah Dusun Patoman Tengah, Desa Patoman.

Mereka kemudian menata kampung persis dengan tatanan leluhur mereka di Pulau Dewata, termasuk penataan tempat persembayangan. Kampung itu juga memiliki kayangan tigo yang terdiri dari Pura Puseh, Pura Desa, dan Pura Dalam seperti di Bali.

"Kami juga mengadakan Ngaben setiap 4 tahun sekali termasuk juga upacara upacara adat lain. Termasuk juga susunan pemerintahan mulai dari parisada, klian adat serta pemangku," kata Sudana.

Festival Tertua Kuwung Banyuwangi akan Digelar 5 Desember 2015

Banyuwangi, Jatim - Festival Kuwung, kegiatan tahunan tertua yang biasa digelar dalam rangka Hari Jadi Banyuwangi akan dihelat Sabtu 5 Desember 2015 mendatang. Kuwung yang berarti pelangi, akan digelar malam hari dan menjadi night carnival ke dua di Banyuwangi.

Festival yang masuk dalam agenda Banyuwangi Festival 2015 ini mengangkat tema folklore yang menghadirkan beragam seni budaya asli Banyuwangi.

"Festival Kuwung merupakan etalase kesenian dan tradisi masyarakat Banyuwangi yang beragam. Inilah yang membedakannya dengan festival lainnya. Bila festival lain menampilkan satu tematik budaya Banyuwangi, di Kuwung ini beragam tradisi khas Banyuwangi akan ditontonkan," ujar Plt Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata MY Bramuda, Kamis (3/12/2015).

Sejumlah legenda rakyat Banyuwangi seperti Minak Jinggo dan Sritanjung dikemas dalam sebuah parade fragmen. Seluruh pelaku seni di Banyuwangi akan terlibat dan membawakan lakon cerita yang berbeda-beda. Di antaranya folklore Bambang Menak diwisuda.

Legenda ini mengkisahkan perjuangan Bambang Menak yang berhasil mengalahkan ayahandanya sendiri, Kebo Marcuet dan diwisuda menjadi pemimpin Bumi Blambangan. Ada pula cerita Jajang Sebarong, Adage Kedaton, Macan Putih, Gemulung Ombak Sembulung, dan Bersih Desa Alas Malang.

Selain folklore, sederet seni budaya Banyuwangi juga ditampilkan dalam Festival Kuwung ini. Mulai tari jaran-jaranan yang dibawakan oleh anak-anak, prosesi sunatan, Barong Ider Bumi, tari Jaran Goyang, seni hadrah Kuntulan, sampai Barongsai mengisi masing-masing fragmen di even budaya ini. Tradisi Kawin Colong dan upacara Kemanten Using juga akan ditampilkan.

Parade ini akan mengambil start dari halaman depan Kantor Pemkab Banyuwangi dan berakhir di Taman Blambangan. Festival ini juga dipastikan semakin meriah dengan kehadiran enam kabupaten sahabat yakni Probolinggo, Jembrana, Kediri, Lumajang, Kota Denpasar dan Pasuruan.

Banyuwangi Ethno Carnival jadi jembatan budaya

Banyuwangi, Jatim - Karnaval Orang-orang Banyuwangi (Banyuwangi Ethno Carnival/BEC) telah menjadi jembatan budaya antara tradisi dengan modernitas, kata Bupati Banyuwangi, Jawa Timur, Abdullah Azwar Anas.

"Awal ide bergulirnya BEC ini ditentang sejumlah budayawan karena dianggap akan memberangus budaya lokal," ujarnya di ajang BEC, Sabtu

Ia pun menimpali, "Setelah diskusi panjang dengan para budayawan dan seniman, akhirnya disepakati ide ini jalan. BEC akhirnya menjadi jembatan yang menghubungkan budaya lokal dengan modernitas."

BEC berlangsung meriah dengan kegiatan parade busana yang diikuti ratusan peragawan dan peragawati membawakan busana pengantin khas Banyuwangi, yakni Suku Using dalam balutan kostum moderen.

BEC tahun ini mengangkat tema "The Usingnese Royal Wedding", yang mengetengahkan aneka busana khas pengantin di kabupaten paling timur Pulau Jawa itu.

"Kami terus konsisten mengeksplorasi budaya kami. Banyuwangi Ethno Carnival pun kami gelar dengan tema khusus tiap tahunnya karena budaya lokal kami memang sangat kaya," ujarnya.

Ia mengemukakan, "Setelah tahun-tahun sebelumnya sempat mengangkat gandrung dan barong using, tahun ini yang kami persembahkan adalah tradisi pengantin Suku Using."

Untuk itu, menurut dia, pemilihan tema yang akan diangkat dalam setiap kegiatan akbar budaya Banyuwangi merupakan hasil diskusi dengan sejumlah budayawan dan seniman Banyuwangi.

Hal itu, dikemukakannya, karena masyarakat setempat dinilai memiliki pengetahuan dan pengalaman yang lebih tentang tradisi serta budaya yang berkembang di Banyuwangi.

"Dalam penyusunan temanya kami selalu melibatkan budayawan serta seniman. Selain mereka memiliki pengetahuan lebih, pelibatan mereka ini untuk menjaga norma serta pakem-pakem tradisi setiap atraksi budaya yang akan kami tampilkan," ujarnya.

Selain itu, dikatakannya, "Saat daerah lain getol membawa tema global dalam event budaya lokal, kami justru memperkenalkan budaya lokal ke publik global."

Karnaval yang memadukan modernitas dengan seni tradisional ini dibagi tiga subtema, yaitu Sembur Kemuning, Mupus Braen Blambangan, dan Sekar Kedaton Wetan.

Sembur Kemuning merupakan upacara adat pengantin masyarakat pesisiran di Banyuwangi. Peraga yang berperan menjadi pengantin mengenakan kostum dominasi warna kuning, orange dan ungu.

Adapun Mupus Braen Blambangan yang didominasi warna merah, hitam dan emas merupakan upacara adat pengantin masyarakat kelas menengah.

Kemudian, Sekar Kedaton Wetan merupakan upacara adat untuk pengantin kaum bangsawan yang nantinya akan diperagakan penampil dengan kostum dominasi warna hijau dan perak.

Pergelaran karnaval ini diawali tari gandrung kolosal. Setelahnya, disambung prosesi ritual adat kemanten Using, yakni perang bangkat. Sebuah ritus adat yang dilakukan dalam acara pernikahan apabila kedua mempelainya adalah anak terakhir atau anak "munjilan".

Banyuwangi Gelar Festival Barongan Nusantara

Banyuwangi, Jatim - Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, menggelar Festival Barongan di sepanjang jalan protokol Banyuwangi, Minggu (11/10/2015) yang diramaikan dengan ratusan Barong dari masing-masing daerah.

Untuk tahun ini, Barongan Nusantara yang baru pertama kali masuk agenda Banyuwangi Festival diikuti oleh sekitar 500 penampil.

Sebelum barong tampil, acara diawali dengan Ruwatan Barong Dandang Wiring. Sebuah barong yang ditutupi kain putih ditandu oleh 4 orang lalu dimandikan, disandingi peras (uba rampe yang biasanya digunakan untuk orang yang punya hajat besar), diasapi dan dibacakan mantra.

Di belakangnya terdapat barisan 40 Gandrung beserta 20 lelaki pembawa umbul-umbul yang mengiringi Barong Dandang Wiring yang diruwat.

Penampilan di awali dengan munculnya representasi singa putih bernama Barong Rontek Singo Ulung dari Kabupaten Bondowoso lalu dilanjutkan dengan barong dari Banyuwangi yaitu Barong Kumbo yang dilanjutkan dengan Kucingan yang beratraksi seperti kucing yang bermain-main. Lalu di belakangnya ada Barong Bali yang beratraksi diiringi dengan musik khas Bali dan diikuti sejumlah leak.

Selanjutnya giliran Barong Using yang tampil. Barong asli Banyuwangi yang dikenal dengan nama Barong Prejeng ini muncuk bersamaan dengan pitik pitikkan yang menyerupai ayam dan juga sekawanan burung. Di bagian akhir tampil Reog Ponorogo yang tampil bersama Ganongan di fragmen peperangan Geger Bumi Lodaya.

Barong sendiri dalam mitologi masyarakat Using Banyuwangi diyakini sebagai makhluk yang menjaga masyarakat dan penolak bala Suku Using. Barong berkembang hingga saat ini dan dimaknai sebagai simbol kebersamaan. Hingga saat ini dalam setiap ritual, Barong selalu terlibat di dalamnya.

Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas kepada KompasTravel mengatakan festival tersebut memberikan ruang bagi seniman dan budayawan Banyuwangi untuk beraktualisasi.

"Dengan adanya Festival Barongan diharapkan masyarakat mengetahui tentang sejarah dan filosofi dari barong termasuk juga untuk mengingatkan kita akan jati diri bangsa. Apalagi Barong adalah simbol penjaga," katanya.

Sebelumnya pada Agustus 2015, Banyuwangi menjadi tamu kehormatan dalam Frankfurt Book Fair 2015 dan Festival Tepi Sungai atau Museums Uferfest di Frankfurt, Jerman. Barong Banyuwangi tampil selama 3 hari berturut-turut bersama dengan penampilan beberapa musisi kenamaan tanah air, seperti Djaduk Ferianto dan Kua Etnika dan Dwiki Dharmawan.

Gelar Tradisi Seblang Bakungan, Perempuan Tua Menari Semalaman

Banyuwangi, Jatim - Masyarakat Suku Using, Desa Bakungan, Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, menggelar tradisi Upacara Adat Seblang, Minggu (4/10/2015). Tradisi tersebut ditarikan semalam suntuk oleh perempuan tua dalam keadaan kesurupan.

Tradisi ini merupakan upacara penyucian desa yang dilaksanakan satu minggu setelah Hari Raya Idul Adha. Seblang adalah singkatan dari "sebele ilang" atau sialnya hilang. Di Banyuwangi, Seblang dapat ditemui di dua desa, yaitu Desa Olehsari dan Desa Bakungan. Pada tahun 2015, Seblang ditarikan Supinah dan dia merupakan Seblang Bakungan ke-11 sejak dimulai pertama pada tahun 1693.

"Penari adalah keturunan dari Seblang pertama," kata Ruslan, pawang penari Seblang kepada KompasTravel.

Sebelum upacara dimulai, terlebih dahulu warga Bakungan berziarah ke makam leluhur desa, Buyut Witri. Usai ziarah, mereka menyiapkan prosesi seblang dengan cara menyuguhkan bermacam syarat. Ada ketan sabrang, ketan wingko, tumpeng, kinangan, bunga 500 biji, tumpeng takir, boneka, pecut dan kelapa yang menjadi perlambang kejujuran.

Ritual dimulai selepas magrib dengan mematikan listrik dan sholat bersama di masjid desa. Lalu dilanjutkan parade oncor (obor) yang dibawa berkeliling desa (ider bumi). Penerangan hanya berasal dari obor yang dinyalakan di depan rumah masing-masing warga dan obor yang dibawa berkeliling desa. Setelah itu warga menggelar selamatan sambil melafadzkan doa.

Ketika ada bunyi kentongan yang dipukul bersamaan, serentak warga makan bersama. Hidangan yang menjadi menu pun khas Using yakni nasi tumpeng dan pecel pithik. Selamatan itu sebagai bentuk rasa syukur atas limpahan rahmat yang diberikan Allah kepada warga Desa Bakungan.

Usai makan bersama, penari masuk pentas yang ditempatkan di depan balai desa dengan membawa keris. Setelah dibacakan mantra dan doa, wanita tua itu langsung tidak sadarkan diri dan menari dalam keadaan kesurupan, selama gending dinyanyikan. Gending-gending yang dikumandangkan untuk mengiringi penari seblang itu ada 13 gending, di antaranya Seblang Lukinto, Podo Nonton, Ugo-ugo dan Kembang Gading.

Memasuki tengah malam, acara dilanjutkan dengan adol kembang (jual bunga). Di saat yang sama, para penonton berebut berbagai bibit tanaman yang dipajang di panggung dan mengambil kiling (baling-baling) serta hasil bumi yang dipasang di sanggar.

Masyarakat Bakungan percaya barang-barang itu dapat digunakan sebagai media penolak bala. "Acara ini gelar setiap tahun dengan harapan masyarakat aman dan hasil panen melimpah," kata Ruslan.

Tumpeng Sewu Sambut Idul Adha di Banyuwangi

Banyuwangi, Jatim - Masayarakat Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, mempunyai tradisi Tumpeng Sewu yang dilaksanakan seminggu menjelang Idul Adha. Setiap keluarga yang tinggal di desa wisata tersebut membuat tumpeng pecel pitik lalu disajikan di tepi jalan dan dinikmati bersama dengan para pengunjung Kamis (17/9/2015) malam.

Menurut Juhadi Timbul, tokoh adat Desa Kemiren, tradisi Tumpeng Sewu berasal dari Mbah Ramisin, warga desa setempat yang kesurupan dan mengaku sebagai Buyut Cili, sesepuh masyarakat setempat. Melalui perantara Mbah Ramisin, Buyut Cili meminta warga Desa Kemiren melakukan selamatan tolak bala menggunakan pecel pitik.

"Pada saat selamatan itu warga berdoa bersama agar dijauhkan dari bencana dan penyakit. Tradisi itu dilakukan secara turun temurun sampai sekarang," jelas Juhadi.

Acara yang digelar setelah sholat magrib tersebut diawali dengan arak-arakan barong sepanjang jalan di Desa Kemiren. Di depan arak-arakan barong ada beberapa pemuda yang bertugas menyalakan obor yang diletakkan berjajar sepanjang jalan. Obor bambu berkaki empat tersebut dikenal dengan sebutan oncor ajug ajug.

Setelah obor menyala, doa bersama dimulai dipimpin oleh pemuka agama dengan menggunakan pengeras suara dari masjid yang berada di tengah desa. Tidak lama kemudian acara makan bersama pun berlangsung.

Semua warga dan pengunjung memenuhi sepanjang jalan Desa Kemiren untuk menikmati menu tumpeng pecel pitik yang telah disediakan di atas tikar yang digelar di pinggir jalan "Makan sini saja bareng-bareng lesehan. Nggak usah sungkan," kata Siti Mutiah, warga Kemiren kepada rombongan anak muda yang melintas di halaman rumahnya.

Ia mengaku menyiapkan 3 tumpeng yang dimasak bersama dengan keluarganya. "Satu tumpeng untuk keluarga sendiri yang dua untuk pengunjung sini," katanya.

Dimainkan Ratusan Bocah, Banyuwangi Festival Berlangsung Meriah

Banyuwangi, Jatim - Festival perkusi yang dimainkan ratusan lare Banyuwangi di Gesibu Blambangan, berlangsung meriah. Mereka tampil rancak dan menawan membawakan lagu-lagu tradisional Banyuwangi di Gedung Seni Budaya.

Ratusan penonton yang didominasi anak-anak memadati tribun Gesibu. Mereka tampak antusias untuk menyaksikan atraksi baru ini.

"Teman saya ikut main dalam Lalare Orkestra, saya pengen lihat penampilannya. Saya pengen bisa main acara ini tahun depan," ujar Daffa Khanza (9), Sabtu (1/8/2015) malam.

Festival Perkusi dan Lalare Orkestra merupakan even baru yang masuk dalam rangkaian Banyuwangi Festival. Festival ini merupakan atraksi yang menampilkan 100 anak usia SD hingga SMP dengan memainkan alat musik perkusi tradisional. Seperti gendang, rebana, saron, dan angklung.

Festival ini diawali dengan lagu Using "Layangan" yang dinyanyikan pesinden cilik Banyuwangi, Diah Safira. Pelajar kelas 1 SMP itu membawakannya dengan cantik, lengkap dengan cengkok Usingnya sembari diiringi orkestra lalare (bocah-red). Sontak suasana di Gesibu pun langsung terasa hangat. Berikutnya Diah bersama 5 sinden cilik lainnya berturut tutut membawakan 14 lagu lainnya.

Sementara Wakil bupati Banyuwangi Yusuf Widyatmoko menyatakan kekagumannya terhadap atraksi ini. Meski saat ini banyak sekali budaya moderen yang menyerbu anak muda, tapi anak anak Banyuwangi tetap bersemangat menggelar acara ini.

"Ini akan terus kita berdayakan. Saya bangga kalian tetap mencintai budaya daerah kalian sendiri," kata Wabup Yusuf.

Berburu Dukun Agar PSK Laris Manis

Banyuwangi--Perempuan seks komersial tak cukup mengandalkan kecantikan dan kemolekan tubuh. Para mucikari di Lokalisasi Sumber Loh, Banyuwangi, Jawa Timur, mewajibkan para PSK untuk meminta "penglaris" ke dukun supaya pelanggannya banyak.

Sariman, seorang mucikari bercerita, seluruh PSK dan muncikari di lokalisasinya datang ke dukun untuk meminta penglaris. "Biasanya dua kali sebulan datang ke dukun," kata dia kepada Tempo, Jumat 11 Oktober 2013 lalu.

Dukun memberikan jimat alias penglaris itu berupa bedak yang harus dipakai PSK setiap hari. Bedak itu akan membuat PSK tampil lebih menarik. Selain itu, setiap wisma juga diharuskan membakar kemenyan di hari-hari tertentu.

Para PSK yang usianya di atas 30 tahun, malah diharuskan mendatangi dukun lebih sering. Bila tidak, mucikari khawatir PSK tua itu akan kalah dengan PSK yang usianya masih 20an tahun.

Selain pergi ke dukun, ada kebiasaan lain yang dilakukan mucikari. Bila ada tamu yang tiba-tiba batal berkencan dengan PSK, maka tamu tersebut akan dilempari garam. "Untuk buang sial," kata Sariman yang memiliki tiga anak buah alias PSK ini.

Kebiasaan melempar garam memang sudah jamak terjadi. Oleh karena itu, kata dia, seorang tamu tidak akan marah bila tiba-tiba dilempari garam oleh pemilik wisma.

Lokalisasi Sumber Loh adalah lokalisasi terbesar di Banyuwangi. Bahkan disebut-sebut nomor dua terbesar setelah Lokalisasi Dolly Surabaya. Ada 49 wisma di Sumber Loh dengan jumlah PSK antara 70-150 orang.

-

Arsip Blog

Recent Posts