Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan

Bintang-bintang di Ranjang

Cerpen Dede Syachroni

Mawar keluar dari kamar mandi dengan hanya berbalut handuk. Lalu duduk di depan cermin. Mendekatkan dan mengamati wajah yang cantiknya dalam cermin. Edo sedang menyandarkan tubuhnya di ranjang, dengan rokok di tangan yang terselip di antara jarinya.

“Kau suka jadi Pelacur?” tanya Edo sambil memandang punggung Mawar. Sejenak Mawar berhenti dari geraknya di depan cermin, seolah merasa aneh mendengar pertanyaan yang tiba-tiba dan seperti itu dari Edo.

“Ya, harus suka.” jawab Mawar sambil menoleh kearah Edo. Dan kemudian membalik arah tubuhnya menghadap Edo,” Memang apa lagi yang bisa aku lakukan?” Edo mengangkat bahunya, ”Aku tidak tahu. Sepertinya masih banyak yang bisa kamu lakukan? Memang tidak ada keinginan di hati kamu keluar dari pekerjaan ini?” Mawar tertawa,”Siapa yang mau sama aku? Pelacur gitu loh!” “Kamu kan tidak tahu akan hal itu.” “Justru karena aku sangat tahu. Makanya aku tertawa mendengar ucapanmu.” “o-oh..” “Kenapa?! Kamu mau jadi suamiku?” tanya Mawar sambil tersenyum menggoda.

Edo sendiri jadi kebingungan menerima pertanyaan seperti itu. Geraknya jadi sedikit salah tingkah, dengan wajah berubah memerah “Hmm..bukan begitu. Aku sudah tunangan.” Mawar kembali tertawa “Dasar laki-laki! Sudah punya pasangan, masiiih.. aja jajan di luar”

“Jangan begitu, doong…. Aku sangat mencintai calon istriku itu. Tidak mungkin aku melakukan hubungan sex dengannya.” Tawa Mawar semakin keras mendengar ucapan Edo, ”Apa aku bilang?! Aku sangat tahu bagaimana laki-laki itu.”

“Tapi tidak semua laki-laki seperti yang kamu pikirkan.” bantah Edo. “Mungkin… Kemungkinannya hanya sekitar 0,99 % saja” Mawar membalikan tubuhnya kembali menghadap cermin dan melanjutkan aktivitasnya yang sempat terhenti. “Yaa..biar begitu, tetap saja ada kan?” Edo masih tetap mencoba membela diri. “Yup! Antara ada dan tiada!”

“Akh! Terserah kamu saja. Aku sebenarnya juga mau jadi suami kamu. Jika seandainya saja aku belum tunangan,” Edo mulai kesal dengan sikap acuh Mawar. Mawar tersenyum kembali, ”Tapi.. apakah kamu mencintai aku? Atau semua itu kamu lakukan karena kasihan kepadaku?”

“Hmm.. aku tidak dapat menjawab hal itu” Kembali Edo di buat tak berdaya oleh pertanyaan balik dari Mawar. Mawar kembali pada tawanya,”Apa kubilang?! Kau sendiri tidak mampu menjawab pertanyaanku. Jika aku harus hidup dengan kamu tanpa ada dasar cinta sama sekali. Itu sama saja aku melacurkan diriku sama kamu.”

“Tidak selalu begitu. Biar bagaimana pun, cinta bisa hadir atas kebersamaan yang setiap saat kita jalani.” Mendengar ucapan Edo, Mawar bangkit dari meja rias dan mendekati Edo. Lalu rebah di sisi nya. “Yaa..mungkin! Tapi berapa banyak waktu yng terbuang sebelum akhirnya cinta itu datang?”

“Aku tidak tahu…” Kembali ucapan Mawar membuat Edo melepaskan pandangan dalam ketidaktahuan untuk menjawab pertanyaan dengan pasti. “Segala kemungkinan memang bisa terjadi.” Mawar menyelipkan rokok di bibirnya. Korek dinyalakan. Tak lama kemudian bara yang tercipta beriring dengan asap yang keluar dari sela-sela bibir dan hidungnya. ”Dan kau tahu? Seberapa banyak dari mereka yang menikah atas dasar cinta pada awalnya. Lalu hubungan mereka berakhir dengan sikap saling menyakiti. Setelah itu, cinta berubah menjadi kebencian dan berakhir begitu saja tanpa ada yang berarti lagi” “Mungkin…”

“Mungkin?” Mawar kembali tersenyum penuh kemenangan mendengar ucapan Edo yang selalu singkat ketika ia terdesak.” Tapi tetap saja. Semua yang kamu katakan tadi hanya berandai-andai saja. Omongan gombal dari lelaki hidung belang seperti kamu” Mawar tertawa menggoda. Dan sepertinya Edo membenarkan ucapan Mawar kali ini. “Hahaha…kamu benar!”

“Jadi?...”

“Jadi? Aku jadi nafsu lagi, nih! Mari kita lanjutkan!” Dengan segera Edo memeluk tubuh Mawar dan mengecup pipinya. “Dasar laki-laki!” Mereka akhirnya saling melepas senyum bahagia. Pergulatan kembali terjadi diatas ranjang.

* * *

Setelah hampir satu jam mereka melampiaskan hasrat mereka. Edo kini berada di sisi ranjang tempat Mawar sebelumnya, kembali menyandarkan tubuhnya. Sedang Mawar memeluk tubuh Edo, dengan kepala rebah di dada. Rokok dihisap dalam-dalam oleh Edo. Asap kemudian menari-nari di udara. “Kau tahu kenapa aku selalu memilihmu untuk menuntaskan hasratku?” “Karena aku paling cantik! Karena ukuran dada dan bokongku besar!” Edo tertawa mendengar ucapan Mawar.

Di kecupnya kening Mawar. “Dasar pelacur!” Mawar kini yang tertawa,”Tapi suka kan?!” Edo menganggukan kepala,”Iya. Selain itu kamu berbeda. Ada sesuatu yang menarik dari kamu. Itu terbukti dari perbincangan kita tadi” Tapi aneh. Kali ini Mawar sama sekali tidak tersenyum atau tertawa senang. Wajahnya berubah seperti menahan desir kesedihan yang mulai merambat masuk kedalam hatinya. Dan sepertinya Edo menyadari itu. “Hei…” tegur Edo. Mawar mencoba tersenyum. Tapi terasa hambar kali ini.“Maaf…” “Kok tiba-tiba jadi cengeng?!” “Biasalah.. Pelacur juga kan punya hati.” Edo tertawa.

“Iya.iya.. tapi kamu kenapa?” Mawar melepaskan pelukannya. Tidur terlentang memandang langit-langit kamar hotel. Sesaat dia menatap mata Edo. “Kau tahu, Do? Kata-kata yang kamu ucapkan itu, pernah keluar dari mulut laki-laki yang begitu aku cintai.” Edo mengerutkan dahi tidak percaya. “Iya. Dia laki-laki pertama yang telah mengenalkan aku pada cinta.” Mawar mecoba menjelaskan maksud ucapannya. “Orang yang istimewa buat kamu?”

“Tidak..”

“lho?!”

“Karena dia juga yang telah menghancurkan kehidupanku hingga seperti sekarang” Edo tertegun. Rasa bersalah mulai menghinggapi hatinya, “Maafkan aku…”

Mawar malah tersenyum. Kata maaf itu begitu berarti bagi dirinya saat ini. Kata maaf yang di ucapkan tulus dari seorang laki-laki, meskipun dia hanya seorang pelanggan. ”Tidak apa-apa. Itu masa lalu!”

“Hmm.. aku tidak bermaksud membuka kenangan buruk itu.” Mawar kembali tersenyum, betapa ia bisa melihat ketulusan dari sikap dan ucapan Edo. Dikecupnya pipi Edo, ”Tidak apa-apa. Terima kasih sudah bersimpati kepadaku” “Aku suka kamu….” ucap Edo lirih.

Tapi hal itu malah di tanggapi Mawar dengan sikap menggoda, ”Suka apa Cinta?...” Edo diam tertunduk, ”Aku tidak tahu…”

Mawar selalu senang melihat Edo yang selalu kebingungan menjawab candaan dirinya. Kembali dia memeluk tubuh Edo dan merebahkan kepalanya.”Aku tahu…” ucap Mawar kemudian.

Edo sedikit terkejut dan menatap wajah Mawar. Tapi pelacur itu malah menyembunyikan wajahnya dalam pelukan yang semakin erat.

“Maksud kamu,” tanya Edo penasaran.

“Iya. Aku tahu. Jika kamu memang tidak tahu..”

“Aku tidak mengerti maksud kamu”

“Kamu tidak perlu bersusah payah untuk mengerti ucapanku.” “Tapi…” “Sudahlah, Do…”

Mereka berdua hening sesaat. Berlarian dalam pikiran mereka masing-masing. Kedekatan mereka memang hanya sekedar bisnis semata. Demi hasrat birahi yang harus dibayar pada akhirnya. Menjadi keakraban yang tersendiri atas seringnya mereka bertransaksi. Setelah sekian lama berdiam diri. “Kamu benar-benar mencintai tunanganmu, Do?” tanya Mawar kemudian.

Edo mengangguk, ”Sepertinya begitu.” Dahi Mawar berkerut mendengar ucapan Edo, ”Kok, jawabnya jadi ragu-ragu begitu?” Edo malah tertawa,”Kau tahu sendirilah.. aku selalu menjawab,’tidak tahu’ setiap kali aku bingung harus berkata apa”

“Dasar!..” Mereka kembali hening. Ucapan itu kadang datang dan pergi begitu cepat. Seolah sama-sama menunggu apa yang kemudian harus dikatakan dalam pertemuan yang sangat jarang ini.

“Bagaimana jika aku menikah nanti?” Kini Edo yang memulai percakapan itu. “Maksudnya?”

“Iya. Sepertinya aku akan berhenti menggunakan jasamu lagi.”

Mawar tersenyum getir mendengar ucapan Edo. Tapi ia bisa mengerti akan situasi dan keadaan yang ada. “Itu hak kamu. Toh, kamu memang selalu membayar aku selama ini” ucap Mawar kemudian. Edo memeluk tubuh Mawar, ”Aku sepertinya akan sangat merindukan saat-saat seperti ini nanti bersama kamu.”

“Telepon saja aku. Seperti biasanya…”

“Tidak. Aku tidak ingin mengkhianati istriku.” Percakapan itu kembali berhenti. Hening. Masing-masing berkutat dengan apa yang terlepas dari pikiran dan perasaan mereka. Tapi tiba-tiba Mawar bangkit dari rebahnya. Wajahnya berubah menjadi serius, ”Kapan kamu akan menikah?”

“Kenapa?”

“Jawab saja! Kapan?”

“Bulan depan.”

Mawar melepas senyum penuh arti. Ditatapnya wajah Edo lekat-lekat dan hal itu membuat Edo sedikit heran melihat sikap Mawar. “Ada apa? Kok senyumnya aneh begitu?” Mawar tidak menjawab. Di sibakannya selimut yang menutup bagian bawah tubuh Edo.

“Hei!...” Edo segera menahan gerak kepala Mawar. Mawar berucap, ”Sttt..! diam saja. Ini bonus dari aku. Nikmati saja!” Edo tersenyum, “Dasar pelacur!”

Semua yang mungkin akan terjadi untuk terakhir kalinya di antara mereka berdua. Semua keakraban yang tercipta hanya karena sebuah transaksi semata. Apa yang dirasa? Hanya mereka yang tahu. ….

Tangerang, 16-juni-2011

Mengenai penulis; Belum merasa menjadi penulis. Dan jika di anggap penulis, maka menganggap diri sendiri sebagai penulis abal-abal, penulis kacangan yang tidak mempunyai bakat, bekal dan kemampuan apa-apa untuk menjadi penulis. Selain keinginan untuk tetap belajar dan belajar.

N g i d a m

Cerpen Emil W.E

“Kupikir kau seharusnya sepakat, Kawan. Logika, menurutku bukanlah tolok ukur kepastian. Bagiku logika hanya salah satu dari sekian banyak metode yang digunakan untuk menimbang permasalahan manusia. Untuk hal yang sudah jelas juntrungannya, logika mungkin terasa pas sebagai senjata analisis. Tapi untuk menganalisis sesuatu yang bernama perasaan? Jangan harap. Logika dan fakta di lapangan punya identitas masing-masing untuk membuktikan mana yang menang dan mana yang kalah, atau bahkan, terkadang keduanya malah tak menemukan titik simpulnya. Ah, untuk awal perbincangan kita, tak usahlah kau pedulikan cerocosku, Kawan. Itu cuma sekedar basa-basi, cuma sekedar pengantar makan angin.

Kau tahu, Kawan. Istriku sedang hamil tiga bulan. Kehamilannya adalah kali yang pertama.

Kenapa? Bahagia ?!!

Oh ya, tentu saja kehamilan ini sangat membahagian kami, terlebih istriku. Kamu yang belum menikah harus tahu, kawan. Bagi seorang perempuan, mengetahui kehamilannya sama saja memperoleh kartupos dari surga. Begitu menggembirakan, tentu sebagai perempuan ia merasa tergenapi fungsinya.

Kuingat saat pertama kali dokter Markun menyatakan bahwa istriku positif hamil. Ya, dokter Markun adalah dokter keluarga kami. Sosoknya tinggi jangkung, bergigi rapi, berkaca mata tebal, bermata cekung seperti siput sawah. Aku ingat betul saat dokter itu memberikan ucapan selamat dengan senyum teramat lebar. Ya, sangat-sangat lebar hingga lesung pipitnya tertakik jelas.

“Selamat, Bu. Selamat,”

Cuma itu kata-kata dokter Markun sambil cengar-cengir seperti monyet kelaparan menjumpai pisang. Setelah itu kau pasti tahu, Kawan. Istriku terpancing benak kewanitaannya. Energi penasaran mengalir spontan, ia pun menyambut kalimat dokter Markun dengan tatapan teduh berbinar.

“Apa itu berarti saya positif hamil, Dok ?” Tatapan istriku saat itu tak beranjak menunggu kalimat dokter Markun

“Ya, Ibu positif hamil,” “Alhamdulillah, ya Allah .. Mas, aku akan jadi Ibu, Mas. Aku sebentar lagi jadi Ibu,”

Dipeluknya aku. Diciumnya aku. Erat sekali tangannya mendekap hingga nafasku sedikit sesak. Tak dipedulikannya dokter Markun yang tersenyum kian lebar di depan kami. Tak dipedulikannya suster magang yang membantu dokter Markun di ruang prakteknya.

Hahaha .. Kau mesti tahu, Kawan. Seperti itulah tingkah perempuan yang mendapat kabar surga. Kebahagiaannya membumbung. Telapak kakinya tak memijak bumi. Ia terbang mengangkasa dengan sayap kebahagiaannya sendiri.

Setelah peluknya melonggar, kutatap wajahnya, dan ia pun tersenyum sambil bola matanya berkaca-kaca. Senyumnya bahkan merupakan senyum tercantik yang pernah kusaksikan. Cantik. Sedemikian cantik. Kalau boleh bermetafora, senyumnya saat itu seperti eksotiknya anggrek hitam di musim penghujan. Menggairahkan, Kawan. Menggairahkan. Ahh .. tapi anehnya, aku sedemikian heran dengan perasaanku sendiri. Setelah mendengar kabar kehamilan istriku dari dokter Markun, aku malah tak tahu harus bereaksi seperti apa. Aku bingung. Tak punya energi spontan yang meledak seperti Istriku. Ah, aku tak memahami diriku sendiri, malah tak enak makan tak enak minum. Kuduga saat itu aku shock dan tak percaya membayangkan sebentar lagi ada bayi kecil yang mengompol di gendonganku. Hahaha .. mungkin aku tak siap jadi bapak, Kawan. Tak siap melarung kebebasanku untuk ngelaba kemana-mana.

Sejak saat itu Istriku bertambah manja. Gaya bicaranya, tatap matanya, ia seperti perempuan yang sedang kasmaran di saat pertama kali. Dan, Kawan. Ia mulai memanggilku “ayah”, panggilan yang di telingaku terdengar menggelikan tapi kutahu dalam maknanya. Apalagi kemudian, seringkali direngkuhnya tangan kananku dan disuruhnya aku mengelus perutnya. Ya, Tuhan .. kau pasti mulai mengerti, Kawan. Itulah yang kumaksud logika bukanlah segalanya. Logika tak mampu menjawab cinta. Kalau kuandaikan seluruh keajaiban hidup itu berbentuk hirarchys piramidal, logika pastilah berada pada kasta terbawah, ia takkan mampu menembus ranah perasaan manusia, apalagi cinta. Jauh, Kawan. Jaraknya terlampau jauh.

Aku tahu hatimu pasti tergelitik dengan hirarki keajaiban hidup yang kupaparkan padamu. Kau pasti penasaran yang selanjutnya. Hahahaha .. oke-oke, akan kulanjutkan.

Setelah logika berada pada kasta terbawah, barulah cinta berada di atasnya. Ya, cinta lah yang lebih tinggi dari logika.

Ayolah, Kawan. Mengapa menggeleng ? Janganlah tak sepakat dengaku. Kau tentu tahu istilah “kalau cinta sudah melekat, tahi kucing rasa coklat”, dimana-mana cinta mengalahkan logika. Tak perlulah kau menggugat kehidupan dan bertanya keadilan Tuhan ketika menjumpai lelaki dekil beristri secantik Dewi Drupadi. Tak usah, Kawan. Buang-buang energi. Pendapatmu laiknya hembus kentut di tengah badai. Pasti kalah kuat!!! Jadi kesimpulannya, cinta punya bilik tersendiri dalam hidup manusia, posisinya berada di atas logika.

Bagaimana penjelasanku?

Aha, aku suka anggukanmu.

Maaf kalau kata-kataku membingungkanmu, Kawan. Maafkan aku. Aku memang lelaki yang banyak bicara. Tapi sejak pertemuan kita disini, aku tahu kau adalah lelaki ramah dan suka mengamati orang. Maksudku, kau adalah person dan kawan bicara yang baik, dan pastinya, kau senang ceritaku. Sambil menunggu KRL datang, ada baiknya kita saling berbagi cerita disini. Biarkan orang-orang lalu lalang sekenanya. Kenapa ?

Hahaha .. rupa-rupanya kau juga tak suka hiruk pikuk. Benarkah ? Rupanya tepat dugaanku, anggukanmu tegas sekali.

Semoga KRL Bogor yang kita tumpangi cukup longgar. Tapi, sepertinya tak mungkin. Kenapa?! Berapa lama lagi?! Mungkin setengah jam lagi.

Hahaha .. jangan kesal, Kawan. Seperti itulah sistem transportasi kita. Tak usahlah kau bikin janji dengan kawan kencanmu kalau naik kereta. Jatuh waktunya pasti molor.

Kenapa? Lanjutkan? Oke-oke, rupanya kau senang juga ceritaku, akan kulanjutkan

***
Kehamilan pertama Istriku mulai menginduksi keluarga besar kami. Baik dari keluarga istriku, maupun keluargaku. Aku ingat di bulan pertama kehamilan Istriku. Kuajak dia pulang kampung, sekalian agar keluarga besarku turut berbahagia dengan penantian calon anggotanya yang baru. Kau tahu apa yang kemudian terjadi ? saat kami berkumpul bersama di ruang keluarga, semua anggota keluarga berkomentar. Yang pertama mereka lakukan adalah berdebat. Ya, berdebat, Kawan. Aku tahu kau mesti mengernyitkan dahi dengan penjelasanku.

“Cucuku ini pasti laki-laki, Cung,” begitu kata Kakekku. Ah, dia masih saja memanggilku dengan nama panggilan kecilku, Kuncung.

“Tak mungkin dia laki-laki, Kung. Kata ibunya yang mengandung, dia pegal di bagian perut. Kalau pegal di bagian perut itu artinya bayi yang dikandung pastilah perempuan,” Nenekku menimpali Kakung, panggilan Kakekku.

“Lah kalo laki-laki tanda-tandanya apa, Nek ?” tanya istriku yang turut geli mendengar ujaran Nenekku, baginya itu sama sekali tak masuk akal

“Kalo laki-laki biasanya pegal di punggung. Lelaki kalau nyangkul kan pegal di punggung,” ujar Nenek. “Yah, Nenek .. masa anakku didoain jadi tukang cangkul ..” protesku “Itu kata orang dulu-dulu, Cung. Nenek cuman menyampaikan.” “Itu mitos, Nek.” Istriku menimpali sambil tersenyum “Mitos?” “Iya, kepercayaan kuno, Nek. Sisa pembodohan jaman Belanda. Kepercayaan jaman jrangkong dan pocong ketika masih main lompat tali di halaman. Nenek tahu kenapa orang jaman dulu sering kalah melawan Belanda?” tanyaku menambahkan kebingungan Kakek dan Nenek. Mereka sudah hapal dengan kelakuanku yang keseringan mengacak-acak kepercayaan adat mereka.

“Orang kita keseringan kalah karena sebelum berangkat perang memakai perhitungan Weton, Nek. Mereka sudah tahu kalo hari baik pemimpinnya jatuh pada kemis legi ato jumat pahing. Disanggong Belanda, Nek. Ditunggu moncong meriam karena sudah hapal kebiasaannya,” imbuhku memperkeruh suasana.

“Ah, kamu terlalu meremehkan, Cung. Orang dulu juga bukan orang bodoh seperti dugaanmu,” Kakekku protes sambil bersungut sungut. Aku tahu, Kawan. Ia begitu menghormati kepercayaannya yang akupun tahu jika kepercayaannya sedikit banyak merupakan local wisdom.

“Iya deh, Kek. Asal jangan Kakek suruh istriku yang hamil itu mengulum pecahan genting saat gerhana matahari tiba,” ujarku kemudian “Kamu tahu dari mana, Cung ?” Nenekku nampak terkejut “Dari Ibu lah, Nek ..hahaha. Ibu pernah cerita jika dipaksa Nenek bersembunyi di kolong tempat tidur sambil mengulum pecahan genting,” aku tertawa berderai. “Kenapa, Nek ? kenapa ?” Istriku tak kuasa menahan tawa. Ia tertawa hingga hampir keluar air mata. “Orang dulu percaya jika saat gerhana matahari adalah saat kemunculan Bathara Kala. Matahari ditelannya sedikit demi-sedikit sampai ia kenyang. Tapi saat matahari sudah habis dan ia masih lapar, Bathara itu akan memakan janin yang dikandung perempuan hamil. Bathara jahat itu datang dan meniti lewat cahaya. Jadi semua lubang rumah harus ditutup, atau jalan satu-satunya menyembunyikan perempuan hamil di tempat yang tak mungkin didatangi cahaya, di kolong tidur,” Kakekku menjawab sambil mengumbar senyum. Ia tahu jika kepercayaan tempo dulunya salah.

“Lalu mengulum pecahan genting apa tujuannya, Nek?” Istriku yang tersenyum menahan tawa lanjut bertanya. Ia kemudian memandangku seraya ingin berbagi kekonyolan “Itu untuk menjaga agar perempuan tak bersuara, biar Bathara Kala tak tahu tempat persembunyiannya.” “Hahahaha ..” tawaku meledak, Istriku tak kuasa menahan geli, Kakek dan Nenekku kemudian terkekeh saling berpandangan.

Begitulah, Kawan, perdebatan awal kami.

“Sebentar lagi istrimu ini mulai merepotkan, Cung” saat itu Kakek langsung mengalihkan percakapan. “Merepotkan?! Memangnya kenapa, Kek?” “Ngidam, Cung .. ngidam .. sepertinya sudah ketetapan Gusti Allah jika perempuan merepotkan saat hamil muda.” “Ah, ngidam itu Cuma efek psikologis, Kek. Efek perasaan, penelitian ilmiah tak bisa membuktikan hubungan kehamilan dan ngidam,” sanggahku “Kowe iki ngomong opo to ..” timpal Nenekku sambil menilik Istriku yang sedikit manyun.

Rupanya saat itu aku tahu, Kawan. Ngidam adalah bagian dari cinta. Ya, cinta yang ingin dibuktikan secara kekanak-kanakan oleh perempuan terkasih kita. Kau pasti ingat penjelasanku sebelumnya, posisi cinta jenis ini berada di atas logika.

Hahahaha .. kenapa geleng-geleng kepala ?!!

Oke-oke .. kulanjutkan ceritaku ya ..

Istriku kemudian ngidamnya parah .. kau tahu manifesto cinta yang ingin dibuktikannya pada ku?

ia merengek dan memaksaku mencari tiga helai bulu ketek bencong !! menjijikkan !!

Hei, tunggu .. mengapa kau tertawa, Kawan.

Aha .. rupanya kau tak percaya. Istriku itu kesannya lebih ingin mengerjaiku daripada menuruti keinginan si jabang bayi. Aku protes, Kawan. Aku enggan. Lagi pula aku tak pernah punya kenalan bencong slebor.

Kutawar-tawar syarat ngidamnya tak turun jua. Mulai dari mencari itik berkaki tiga sampe kadal berbuntut cabang, ia masih tak mau. Akhirnya terpaksa, Kawan. Kucoba berikhtiar mencari tiga helai bulu bertuah itu daripada ngeri membayangkan bibir anakku terus-terusan melelehkan air liur sebaskom. Kucari kemana-mana, tak ada bencong yang memelihara bulu ketek. Najis tralala katanya. Sialan !

Hahahaha !!! kenapa kau tertawa, Kawan !! kau tak percaya ceritaku ?!! Oke-oke .. kau boleh percaya atau tidak, terserah. Dan sekarang, aku bersyukur kita dipertemukan Tuhan di tempat ini, di Stasiun Kalibata. Kenapa ?!! kau bisa menyediakan ?? Beneran ?!! bulu siapa?!! Apa aku tak salah dengar ?!! Kau ?!! Bukankah kau lelaki tulen ?!!

Tidak??!! kau pasti bercana, Kawan .. tubuhmu kekar seperti Rambo !! bulu ketekmu itu .. aaaaahhh .. lebat menggantung seperti tawon hutan !! mana mungkiiinn … hahahahaha ..

Oke .. oke .. kuterima .. Kenapa?!! Kau beri bonus??!!

Tak usah!! Aku cuma butuh tiga helai!!!

Mampang Prapatan, 23 Desember 2009 Emil W.E

Emil W.E, www.emilwe.wordpress.com Kontak email : emil_we@yahoo.com YM : emil_we

Anak-anak Berburu Liliput di Goa Berlumut

Cerpen Muhammad Amin
Dimuat di Suara Merdeka

BIDADARI HUTAN
Suara keciap burung meruntuhkan lamunanku. Kusibak semak, mengumpulkan kembali pikiranku yang terserak. Angin yang menyeberang pepohonan menjatuhkan daun-daun muda, daun yang belum cukup umur itu harus menerima nasibnya menyusul daun-daun dan reranting yang sudah mendiang.
Membusuk jadi makanan tanah, kemudian terlahir kembali sebagai daun muda baru.

Angin berkesiur sepintas itu mengisyaratkan sesuatu.

Seolah belum lelah jua aku mengeja tiap tanda, kicau burung, ricik air di sungai-sungai kecil yang jeram oleh bebatuan, tiap embusan angin dan gesekan dedaun. Bahkan ingin aku mengubur sisasisa kemelut di dada di tengah tanah yang di harumkan jasad para puyang. 1) Aku sering membayangkan diriku sendiri jadi macam-macam binatang di rimba ini. Jadi ulat, pacet, ular, semut rang-rang, harimau kumbang, beruang dan siamang. Ataukah jadi Merak Sumatera? 2) Bahkan aku sangat memimpikan bertemu dengan bidadari hutan itu, tapi ia telah jadi keindahan purba.

Tubuhnya yang kecil dan cantik, warna elok: hitam nyalang-kuning semburathijau muda-biru bercahayañberkilauan seperti sutera dari surga. Apalagi bila kipas raksasanya mengembang, akan tampak lebih angkuh dan anggun.

Demikianlah. Sewaktu ada rombongan pelajar, seorang mahasiswi bernama Nurmi memberitahukan kepada Pak Barlan, polisi hutan berkulit gelap itu, bahwa ia melihat burung merak di pucuk akasia hutan.
Perempuan itu sampai pucat pasi menceritakannya.

Pak Barlan tak secuil pun percaya. Dia yang sudah bekerja berpuluh tahun tak pernah menemukan sepotong pun burung merak.

“Mungkin dia berkata benar, di tengah rimba ini apa pun bisa terjadi.“ Aku meyakinkan. Saat kami kembali untuk menemukannya, ternyata kami terlambat.

Berselang sebulan setelah pulang, wanita itu kembali lagi. Kali ini wajahnya tampak riang.

“Entah mengapa akhir-akhir ini saya selalu mujur, setiap saat saya selalu ketiban rezeki. Mungkin benar kata Anda, merak yang saya lihat itu bisa mendatangkan anugerah,“ katanya membanggakan diri.

Walupun demikian, ia masih saja menggerutu karena kebodohannya sendiri.
Alasannya karena dimarahi dosen pembimbing gara-gara tak sempat mengabadikan gambar.

“Padahal waktu itu kamera bergelantung di leher saya, tapi sama sekali tak terpikirkan. Mungkin karena saking takjubnya, luar biasa!“ katanya geleng-geleng kepala. “Saya melongo saja seperti orang tolol tanpa terpikir sedikit pun untuk mengambil gambarnya,“ katanya lagi dengan penyesalan yang berlebihan.

Berminggu-minggu, berbulan-bulan ia menyusuri setiap rusuk hutan. Namun sampai ia pulang, tak pernah ia temukan lagi bidadari hutan itu

.DESAU MITOS
Kulangkahi hutan basah, lembab oleh rimbun dan geliat hujan yang memberi kelegaan bagi tanah. Bagi belantara tak tertaklukkan ini.

Aku benar-benar ingin jadi bagian dari hutan ranum nan rimbun. Jadi tanah basah yang menghangatkan akar-akar pepohonan.
Jadi daunñdaun kering berjatuhan, lalu menyusup jadi sari pati tanah, makanan tetumbuhan. Jadi air mengalir dari tebing curam, menyusuri akar-akar bergelantungan. Jadi buah gruntang, rao, kelandri, medang. Jadi bunga kokosan, bernung, kulut, daun sawa, rayoh, klampean, bunga gondang-buat makanan siamang. Seolah tak habis-habis keinginanku.

Kami turun-menurun sangat bersahabat dengan alam karena tak pernah ada yang melanggar ketetapan alam dan pantanganñpantangan dari puyang leluhur kami.
Hutan selalu terjaga oleh desau mitos, serupa dongeng yang diembuskan oleh penghuni hutan dari tanah ke tanah, pohon ke pohon, dan kelopak ke kelopak bunga yang berguguran. Tak ada yang berani menghabisi nyawa pohon-pohon dan binatang. Bahkan menebas semak pun dilarang, apalagi bersikap sembarangan.
Bila pada waktunya kini desau mitos tak lagi segarang dulu, itu karena ada yang hilang dari dalam tubuh kami. Kami kehilangan Dalom Sinar, tetua adat pemimpin kami. Dia yang selalu mengingatkan para penebang agar tak berlaku sembarangan.

“Kami tak mau mencelakakan diri sendiri, apalagi orang lain,“ kata Dalom Sinar, “Jadi turuti saja kehendak alam. Biarkan pohonpohon itu tumbuh, bertunas dan besar. Kelak akan mati dan tumbang sendiri meneri ma takdir. Sudah begitu sejak dulu.
Kami tak pernah mau menyaki ti penghuni hutan. Kami menerima apa yang ingin mereka berikan. Dan ingat, kami tak mengerti apa-apa tentang izin yang kalian bawa, di tempat ini tak berlaku.
Jadi tinggalkan tempat ini kalau ingin selamat.“

Tanpa banyak berkata-kata, orangorang itu pergi membawa alat-alat berat yang bisa mengaum keras melebihi auman harimau.

DI GOA BERLUMUT
Di tengah hutan, masih kuletakkan pikiranku. Sementara tanganku tak berhenti menyadap getah damar dan jelutung.
Damar kaca menjadi sesuatu yang menghidupi kami. Tak banyak yang berubah dari tempat ini. Kutatap Goa Berlumut dari kejauhan, sebuah goa yang kukuh dalam diam. Dinding-dinding batunya dipenuhi lumut kerak, dan di atasnya kalong-kalong bergelantungan. Celah batu berupa lubang-lubang kecil adalah rumah bagi para liliput 3) --orang-orang dulu menyebutnya anak sumi , tempat mereka berumah tangga dan beranak-pinak di sana.
Di tempat ini, pernah pada suatu kurun waktu, aku menghabiskan masa-masa kanak berburu liliput. Berburu liliput di Goa Berlumut menjadi sangat menyenangkan. Pada musim tertentu, kami harus berebutan buah-buahan di hutan.

Makhluk-makhluk kecil ini bergerak amat cepat, lesat seperti kilat. Kadang mereka menyelinap di antara daun-daun yang tak kentera oleh mata. Tubuhnya yang kecil seukuran telunjuk harus membuatnya hidup berkelompok dan mempunyai tabiat gotong-royong. Mereka bersahabat dengan orang-orang yang masih punya garis keturunan dengan Dalom Benalung, puyang leluhur kami.

Kuselesaikan pekerjaanku, lalu melangkah membawa tabung-tabung bambu. Auman harimau masih terdengar dari kejauhan. Seekor liman 4), kawan penjaga hutan, melintas di hadapanku.
Kubelai belalainya yang panjang, telinganya yang lebar dikibas-kibaskan. Di bawah pohon dan di perut jurang, banyak tulang kerangka dan mayat manusia celaka yang tak selamat dicaci penghuni hutan.

PEREMPUAN POHON
Katrin mengumpulkan ranting-ranting untuk membuat api unggun.
Malamnya ia akan tidur di atas pepohon, setiap malam bersama orang utan yang sejak kecil dipelihara. Semua peralatan selalu ia siapkan dalam tas besarnya.

Baru kali ini aku menemukan perempuan yang menghabiskan separuh usianya hanya untuk mencintai hutan dan binatang.
Katrin yang mempunyai jiwa petualang, penjelajahannya dimulai dari hutan Kalimantan. Dia selalu berpindah-pindah, namun tinggal lebih lama di suatu tempat yang pendek kecokelatan, kulitya putih pucat, matanya biru seperti warna langit. Kamera selalu bergelantung di leher. Selalu memakai pakaian pendek dan topi beludru abu-abunya.

“Kau mau tidur di atas pohon juga nanti malam?“ Katrin bertanya.

“Aku lebih suka tidur di dalam gubuk,“ jawabku.

“Bagiku pohon itu anugerah, lebih dari sekadar rumah. Seperti juga binatangbinatang itu. Lihatlah, anak mereka luculucu semua.“

“Kamu sudah seperti seorang ibu bagi mereka.“

“Ibu dari mereka?“ Katrin tersenyum pendek, “Matu, lebih dari itu, aku ingin menjadi ibu dalam arti sesungguhnya.“

Kami sama-sama terdiam, menikmati nyanyian serangga hutan dan jeritan siamang. Katrin duduk di dekatku setelah selesai mengumpulkan ranting-ranting kering.

Kemudian hari-hari berikutnya aku masih mengunjunginya. Aku mendapat banyak pengetahuan darinya.

Suatu ketika ia menyampaikan sesuatu padaku, bahwa ia menginginkan aku menjadi bagian hidupnya. Namun sayang, aku telah mencintai hutan. Juga mencintai seorang perawan yang memintal sepi di tengah hutan.

LAKI-LAKI YANG MENCINTAI HUTAN
Aku menemukanmu, wahai perawan di tengah hutan. Mungkin saja kau yang kucari selama ini. Namun kita hanya bisa bertemu sekerjapan mata. Tak kauberi kesempatan untuk sekadar meninggalkan harummu di sini. Apakah kau jelmaan bidadari hutan itu?
Kau tak punya sayap, buluñbulu halus dan indah seperti merak. Namun kau memiliki keindahan melebihi merak.

Maka kusimpulkan kaulah bidadari hutan itu.

Sinar matamu perak memendarkan sesuatu yang dalam. Kedalaman hati.
Wajahmu teduh dan rindang. Lenganmu seperti dahan-dahan yang kukuh. Dan kesuburanmu dipuja kerimbunan hutan.
Demikianlah sepagi itu, sesungguhnya aku hanya ingin bercerita tentang hikayat resah diriku pada alam melalui lagu yang kumainkan. Aku hanya ingin berbagi gundah pada pohon, bebatuan, ricik air dan angin. Sendu serulingku meningkahi seluruh perasaan. Maka kucurahkan sedalamdalamnya isi hati.

Aku, putra satu-satunya Dalom Sinar, calon pemimpin hutan ini. Ayahku telah mengembankan amanat padaku. Namun rupanya amanat itu terlalu berat untuk kupikul sendiri.

Sebelum Dalom Sinar, pemimpin hutan bijaksana itu meninggalkan dunia, telah sering kali beliau berpesan agar aku selekasnya memiliki pedamping hidup.

“Matu, anakku, dulu yang meluruskan ayahmu ini adalah ibumu. Yang menguatkanku dalam menjaga hutan ini juga ibumu. Jadi sudah selayaknya, kau sebagai penggantiku, memiliki pendamping hidup untuk menguatkanmu. Apalagi pada usiamu yang sudah matang. Kau harus segera berumah tangga. Jangan kaubiarkan ayahmu ini tersiksa terlalu lama menunggu kehadiran cucu dan menantu.“

Aku merasa bersalah setelah sampai beliau mengembuskan napas terakhir, aku belum bisa memenuhi permintaannya.

Karena itu semenjak aku menemukanmu, wahai per awan di tengah hutan, aku merasa sangat dekat dengamu. Aku merasa kita telah lama saling men genal. Aku menginginkanmu menjadi pendamping hidup yang akan menguatkanku.

Menjadi ibu yang melahirkan benih-benihku, menjadi muara bagi seluruh jiwaku dan bersama sama menjaga hutan.

Aura yang kaupancarkan sangat lekat di ingatanku.

Sebelumnya, setelah mengingat sesuatu yang samar, ronamu seolah pernah kutemukan dalam lagu. Mungkinkah kau gadis perawan kecil itu yang lari dari rumah lantaran suatu penyakit aneh? Tapi aku yakin sekali kaulah jelmaan merak sumatra bidadari hutan itu.

Aku telah mencarimu sejak dulu, hingga separuh usiaku. Dan aku akan tetap mencari sampai kau kembali ditetaskan waktu.

BADAI
Saat senja mengental dan jatuh di ujung dedaun, aku terlambat menyadari temaram yang mulai merambat. Buru-buru kuselesaikan pekerjaan, mengumpuli kayu bakar dan menyadap getah damar, lalu melangkah tergesa meninggalkan belukar.

Aku menengadah.

Langit keruh. Awan bergulung mengancam langit. Kilat berkeretap, meledakledak. Menebas-nebas gelap yang tibatiba.

Dari kejauhan terdengar suara derap panik binatang-binatang berlarian. Burungburung bertaburan berdesakan di udara.

Orang-orang kampung berlarian meninggalkan pekerjaan yang belum selesai, masuk ke rumah dan mengunci pintu rapat-rapat. Hujan mulai tumpah.

Badai tengah terjadi. Pohon-pohon besar akan bertumbangan dikalahkan badai. Biasanya kami akan naik ke tempat tidur lebih awal sembari menyimpan pertanyaan di kepala: siapa, esok, penebang atau pemburu yang akan kami temukan mati dengan dada remuk tak berbentuk atau tertimpa pohon besar? ***

Catatan :
1 Puyang : moyang, leluhur.
2 Merak Sumatra: burung langka yang tak pernah ditemukan lagi di hutan Sumatra. Konon, siapapun yang meli hat merak ini mendapat anugerah yang selalu mengalir, juga rejeki yang dating terus menerus.
3 Liliput: makhluk berukuran sangat kecil, pernah ditemukan di gunung Kerinci dan goa di hutan Sumatra.
4 Liman : gajah

Keris Empu Soma dan Prahara Renggan Banggan

Cerpen Guntur Alam
Dimuat di Jurnal Bogor

Lepas aku jatuh tertidur, berselimut tubuh Dayang Weni, Tuanku Panglima Renggan menurunkan titahnya. Titah yang berihwal tentang rasa yang bersemayam di dadanya. Tentang sebuah kelakian yang menagih kejantanannya.

“Kau pesankan aku keris berlumur getah jelatang pada Empu Soma. Tempah di bawah sinar bulan yang menggandang, basuh dengan air Danau Piabong berkuntum teratai merah. Bila telah usai, akan kumandikan ujung keris itu dengan darah kedua pengkhianat yang menikamku dari belakang.”

Itulah titahnya yang tak bisa kubantah. Tanya kukemas dalam cemas: Darah siapa yang akan mengalir kelak?

Kutinggalkan saja tubuh Dayang Weni yang tergolek, merayu dan menagih keringatku. Titah Tuanku Panglima Renggan telah mengkebiri kelakianku. Menghalauku menuju rimba Perigi, tempat bersemayam lelaki penempah maut, pewujud prahara, dan pawang banjir darah. Ia lelaki bermata cekung, bertubuh kurus, berambut coklat disulam uban. Empu Soma.

Inilah kata yang aku ucapkan kepadanya. Kata yang sesungguhnya hanyalah pengulangan dari titah Tuanku Panglima Renggan. Kembaran kalimat yang kurapal sepanjang perjalanan. Sepanjang napas, sepanjang nyawa, sepanjang detik yang hinggap di belakang bersama masa.

“Tuanku Panglima Renggan, meminta Tuan Empu menempahkannya sebilah keris yang dilumuri getah jelatang. Tempah di bawah sinar bulan yang menggandang dan basuh dengan air Danau Piabong berkuntum teratai merah. Bila telah usai, Tuanku Panglima Renggan akan memandikan ujung keris itu dengan darah kedua pengkhianat yang menikamnya dari belakang.”

Lelaki bermata cekung itu hanya berdehem. Mengamati mukaku. Aku paham siratan mata liarnya, kilatan licik, dan hembusan nafsu yang bergumul dalam udara yang ia hempaskan dari kedua lubang hidungnya. Kurogoh kantong kain yang disanguhkan Tuanku Panglima di balik pinggang, ponjen kain gemuk yang mengandung koin emas. Setengah tak rela, kulempar ponjen itu sehasta darinya.

“Suruhlah Tuan Panglima kembali ke sini dua purnama di muka. Apa yang ia inginkan, telah siap pada masa itu.”

Tak menunggu lelaki bermata cekung itu kembali berkata. Aku meninggalkannya bersama cemas yang kian kukemas dalam tanya: Darah siapa? Semakin kucari empuhnya, semakin aku tak menemukan rimbanya. Lalu, tanya itu mendirikan dinasti di kepalaku. Membentuk benteng yang kuat, melahirkan pasukan penasaran yang kokoh. Sang rajanya adalah tanya yang telah dinobatkan, mempersunting rasa sebagai permaisurinya. Aku menyerah melawan pemberontak tanya itu. Kuatur siasat. Saat itulah, tubuh telanjang Dayang Weni melintas, merayuku. Ahai, senyumku merekah seperti kejantanan lelaki yang tumbuh berkembang. Tentulah Dayang Weni mampu menuntaskan hasrat tanyaku. Sebagaimana hasrat lelakiku. Dadaku gemuruh. Antara luapan dua rasa yang bergumul. Tindih menindih. Berhimpit dalam deru napas. Kubawa arah pulang menuju keraton Kebon Undang .

“Apakah kau tahu ihwal pengkhianat itu?”

Akhirnya, kulontarkan juga tanya itu pada Dayang Weni yang meringkuk di dadaku. Menggeraikan rambut legamnya di atas tubuhku. Kepalanya terangkat, berlipat bingung lahir di keningnya. Jemari lentiknya masih saja mengusap-usap kulitku.

“Apa kau tahu?” ulangku setelah seperkian detik tak ada kata yang terluncur dari mulutnya.

“Apa ini ada hubungannya dengan Tuanku Putri Ayu?” Dayang Weni malah melontar tanya yang aku sendiri bingung harus menjawabnya apa. Kini aku yang melipat kening. Tapi, aku telah mahfum musababnya bila ini memang tentang putri semata wayang sang Paduka Raja. Tentang cinta. Itu dapatlah ditebak. Tapi, cinta apa?

Sesungguhnya, seluruh rakyat Kebon Undang telah tahu ihwal Tuanku Panglima Renggan dan Putri Ayu. Paduka Raja telah menjodohkan keduanya. Masanya pun telah ditetapkan: Saat purnama menggandang di bulan terakhir masa panen raya. Ketika utusan Paduka Raja Balaputeradewa dari Sriwijaya menarik upetinya di Kebon Undang. Dan masa itu tinggal dua purnama di muka.

“Apa kanda tak tahu desas-desus yang beredar di dalam keputren?”

Dayang Weni menarik kepalanya dari dadaku. Duduk di sisi ranjang kayu, memunggungiku, memamerkan punggungnya yang bersih dan menggoda. Ia menyisir rambut legamnya dengan jemari, membawa rambut pekat itu menutupi dadanya yang terbuka.

“Desas-desus?” kuulang kata itu. Sejatinya, aku memang tak tahu apa-apa perihal keputren. Bukankah wilayah itu hanya diisi oleh dayang-dayang? Tak satu pun lelaki yang bisa memasukinya kecuali Tuanku Paduka Raja.

“Desas-desus cinta terlarang Tuanku Putri Ayu dengan Panglima Banggan.”

Sontak, aku pias mendengar kalimat yang terluncur dari mulut Dayang Weni. Mendadak saja aku merasa menciut, seperti kejantanan yang kecut. Kutarik pundak Dayang Weni, membaliknya ke hadapanku.

“Apa kau berdusta?” tikamku di matanya. Ia menggeleng cepat dengan air muka terkejut yang maha. Mungkin, ia tak menduga reaksiku begitu dahsyat.

“Ceritakan apa yang kau tahu,” pintaku dengan intonasi suara ditekan. Dayang Weni memias. Jelas sekali air mukanya mengutuki ketololan yang baru saja ia lakukan. Muka nelangsa itu tak membuatku iba. Mataku tetap memaksanya.

“Sebenarnya, aku pun tak tahu banyak, Kanda…”

“Yang kau tahu saja,” potongku tak ingin berbelit. Dayang Weni menelan ludah.

“Awalnya, beberapa dayang Tuanku Putri Ayu yang mengetahui ihwal cinta terlarang ini. Beberapa kali mereka terpaksa menyelinapkan Panglima Banggan ke dalam keputren tempat Putri Ayu berdiam atas titah Tuan Putri.”

Aku meneguk ludah. Membasahi tenggorokan yang memang sudah kering sejak memeluk Dayang Weni beberapa saat lalu, kini bertambah kesat. Kulepaskan cengkraman tanganku di pundak Dayang Weni. Membawa mata melayang ke lantai kamar dan membiarkan pikiran kalut mengembara seketika, berlari di atas tanya, kebingungan, dan kecemasan yang lahir serentak. Aku kian terhenyak.

“Apa mereka yang Tuanku Panglima Renggan maksudkan?” desis tanya itu seolah aku lontarkan untuk diriku sendiri. Dayang Weni senyap. Ia tak bersuara. Gegas ia menjangkau kain-kainnya yang berserakan. Jemarinya terlatih begitu cepat menempelkan kain-kain itu menutup tubuhnya. Ia menyanggul kembali rambut legamnya.

“Apa Tuanku Panglima Renggan mengetahui ihwal ini?” Dayang Weni menghentikan langkahnya ketika telapak tanganku menjenggalnya, kupegang kuat pergelangan tangan halus itu.

“Mungkin saja, Kanda. Akan kucari tahu tentang itu,” jemari kanannya melepas berlahan pegangan telapak tanganku di pergelangan kirinya. Tanpa berkata atau pun menolehkan wajah, ia menyelinap keluar dari kamarku, mengendap, dan hilang di rimbun perdu belakang keraton. Tentu, langkahnya gegas menuju keputren.

Sementara, aku masih saja terhipnotis dalam diam, tanya, kebingungan, ketidakpercayaan mendengar apa yang Dayang Weni utarakan tadi. Cinta terlarang antara Putri Ayu dan Panglima Banggan. Alangkah gilanya?! Lebih gila dari hubunganku dengan Dayang Weni.

Tidakkah Panglima Banggan menyadari, kalau ia telah meleparkan tahi kuda ke muka Tuanku Panglima Renggan? Kakak kandungnya. Ataukah Putri Ayu yang menyadari murka Tuanku Paduka Raja kepadanya jika mencium bangkai ini? Mungkin kebersamaan mereka sejak kanak-kanak yang menumbuhkan rasa itu. Semua tahu, Putri Ayu dan Panglima Banggan tumbuh dan besar bersama, berguru sansekerta pada empu yang sama. Mungkinkah itu? Aku membiarkan saja darah mengalir bersama luapan tanya, memenuhi seluruh urat-uratku. Kubiarkan saja dalam kebingungan yang tak dapat kutemukan jalan keluarnya.

“Apakah kau setuju bila keris Empu Soma ini kita buatkan sarung dari kulit manusia?”

Aku tersengat. Kata-kata yang Tuanku Panglima Renggan ucapkan seperti sambaran guntur, menghantam jantung dan mengarangkan tubuhku sektika. Aku merasa telah lenyap dari mukanya beberapa saat.

“Tidakkah dari kulit yang lebih tebal, Tuanku?”

Tuanku Panglima Renggan tersenyum sinis. Tiba-tiba saja aku seperti melihat sepasang taring di mulutnya. Taring tajam yang siap mengoyak-oyak tubuh Putri Ayu dan Panglima Banggan. Taring yang menetes-neteskan darah keduanya. Aku berubah jadi leliput. Menciut.

“Apa kulit kedua pengkhianat itu pantas?”

Kali ini suara petir yang terdengar di gendang telingaku. Mengoyak, merobek, dan memporak-porandakan rumah siput yang ada di dalamnya. Di depanku, Tuan Panglima Renggan telah berubah menjadi raksasa bertaring yang haus darah dan daging manusia. Kulit legamnya terlihat berkilat-kilat bermandikan kemarahan. Mata itu berkobar seperti gejolak api yang memamah kayu cendana di atas pembakaran jenazah ayahandanya beberapa purnama silam.

“Tidakkah kita laporkan ini kepada Tuanku Paduka Raja, Tuan?”

Aku mengeluarkan kata yang terserak itu. Kukumpulkan dengan kengerian. Banjir darah. Prahara. Atau bisa jadi kehancuran Kebon Undang ada di depan mata. Aku teringang dengan kata-kata Dayang Weni semalam:

“Tuan Panglima Banggan mencium gelagat perang yang hendak ditabuh Panglima Renggan. Aku mencuri dengar ucapannya kepada Tuan Putri di taman keputren. Putri Ayu cemas dan meminta mengutarakan saja hubungan mereka kepada Paduka Raja. Memohon restu dan pengampunan. Tentu akan ada prahara di Kebon Undang, Kanda.”

“Akan aku tuntaskan saja,” desisnya dingin. Seperti desisan ular cobra yang menyekam murka. Mata itu kian memerah dan keringat di kulit legamnya tercium anyir darah.Amis dan beraroma kematian.

Purnama menggandang belumlah datang. Mungkin dua-tiga hari di muka. Utusan Raja Balaputeradewa dari Sriwijaya pun belum merapatkan kapalnya di Dermaga Pengentengan pinggir Sungai Lematang. Umbul-umbul pesta panen raya telah tersebar di seantora Kebon Undang. Rakyat masih sibuk mengetam bulir-bulir kuning padi masak dan mengumpulkan hasil bumi lainnya. Saat itulah, raungan Siamang menyentak, seperti proklamir lahirnya sebuah petaka.

“Tuan, tidakkah hal ini kita bicarakan dengan Paduka Raja?” aku masih saja melontarkan tanya itu. Tak ada sahutan. Tuanku Panglima Renggan membawa kakinya terbang di atas rerumput. Darah murka telah meledak di ubun-ubunnya. Seorang mata-matanya melaporkan: Putri Ayu dan Panglima Banggan berasik masghul di pinggir Danau Piabong belakang keputren, di balik rimbun perdu Nanggai.

“Keluar kau Banggan!”

Panggilan murka itu menyentakkan siamang-siamang di rimba. Membuat mereka meraung-raung mencium darah. Dengan wajah pasi, Panglima Banggan memenuhi panggilan Tuanku Panglima Renggan. Dua-beradik itu berdiri berhadapan, beberapa hasta. Putri Ayu berada sejengkal di balik punggung Panglima Banggan. Dayang-dayang Tuan Putri berhamburan, melindungi sang tuan dari marabahaya.

“Kanda, maafkan aku,” terdengar suara Panglima Banggan bergetar, “Aku dan Putri Ayu tak bisa membohongi hati. Bila Kanda berbesar, aku akan memohon pengampunan dan restu pada Paduka Raja…”

Tak ada sahutan. Tuanku Panglima Renggan menghunus keris Empu Soma yang belum bersarung. Mata Panglima Banggan nanar. Ia tersurut. Beberapa detik kemudian, Tuanku Panglima Renggan meloncat dan menghambur menuju Panglima Banggan. Ujung keris yang bertoreh racun jelatang tertuju lurus ke arah dada Panglima Banggan. Putri Ayu memekik. Ia menghambur. Lalu, aku mendengar suara lenguhan Tuan Putri sebelum tubuh itu ambruk mendekap bawah dadanya. Darah merah muncrat membasahi tangan dan keris Empu Soma yang ada di tangan Tuanku Panglima Renggan. Melihat Putri Ayu ambruk, Panglima Banggan meraung. Ia menghunus kerisnya. Hari itu, darah membanjir di keputren. Paduka Raja berduka, Kebon Undang berkabut ditinggal mati para tuannya.

Tanpa sepengetahuan dayang-dayang atau pun prajurit yang membersihkan tanah berdarah itu. Aku mengambil keris tak bersarung Empu Soma. Kubalut dengan kain hitam, kubiarkan saja darah Tuan Putri dan Panglima Banggan mengering di badannya. Tujuanku cuma satu saja: Membasahi keris itu dengan darah sang empunya. Ketika tujuanku itu tercapai, kubiarkan Empu Soma membusuk bersama kilatan licik matanya yang meredup. Lalu, aku akan membasahinya pula dengan darahku karena aku ikut andil dalam petaka ini. Tapi, aku tak kuasa meninggalkan Dayang Weni, aku tak ingin ada prajurit lain yang berselimut tubuhnya. Maka, kutikam ia saat terlelap di sebelahku. Malam aku mati bersama Dayang Weni, malam purnama menggandang di langit.***

C59, November 2009 – September 2010.

Pangeran dan Kereta Kuda

Cerpen oleh Hadi Prayuda

Aliran sungai itu deras. Sangat indah bila aku berada di antaranya. Sekitar 3 jam aku berada di sini. Di atas jembatan ini. Tak satu pun orang yang lalu-lalang melihatku. Seperti sebuah kematian, yang tak pernah menyapa ketika manusia dirundung rasa. Seketika itu pula ia merenggutnya. Juga terhadap binatang-binatang yang tak berumur panjang. Seperti rangkaian temali yang terputus ketika mulai rapuh dan memipih.

Matahari masih terjaga, meski saat itu hari menuju senja. Sekumpulan burung pun tampak beterbangan setelah lelah mengais kisah. Padahal umur mereka tak sepanjang aku. Sedangkan aku di sini, hampir melawan siklus mimpi.

Dua pertiga hidupku adalah masa lalu yang tak berbatas waktu. Yang dalam perjalanannya, aku tak pernah paham akan goresan-goresan tinta kecil Tuhan. Seumur hidup aku tak pernah beranjak untuk menikahi semesta kata. Bahkan terhadap ucapan-ucapan keramat yang, kata orang, dapat menenangkan nurani.

Seorang wanita tua yang saban hari duduk bersimpuh di ujung jembatan ini, kira-kira 7 meter jaraknya denganku, pernah melontarkan kata-kata lewat bisikannya di telingaku, "Sungai yang ada di bawah jembatan ini keramat, tapi juga membawa hoki, asalkan kita tak mengganggunya."
Benar saja, selama wanita itu menjadi pengemis di sini, banyak yang memberinya uang receh, bahkan sesekali lebih dari itu.

Aku berharap bisa seberuntung wanita itu, meski bukan dalam hal materi. Aku berharap dia datang. Menjemputku dengan kereta kuda. Bersama malaikat yang biasa melindungiku setiap bintang berpendar.

****
Mentari telah terbenam. Tapi mengapa aku tak seantusiastik malam-malam sebelumnya. Ketika dia datang menjemputku dengan iringan lampor. "Apa lantaran dia telat?" batinku bertanya. Andai wanita di ujung jembatan itu bisa memberi jawaban. Tapi tampaknya ia sudah lelah setelah menaruh asa pada segenggam tangannya sepanjang hari ini. Begitu pula burung-burung yang beterbangan itu, yang sudah tak kulihat lagi melayang-layang di kegelapan.

Lima jam sudah aku menunggu. Masih tak ada kabar. Wanita di ujung jembatan itu pun hanya bersandar. Tak segera pulang. Entah ia bersandar sekadar menemani malam atau memasrahkan dirinya untuk bersenggama dengan bulan. Itu pun tak terjawab.

Gaun cantik yang kukenakan ini sengaja kupakai untuk menyambut kedatangan dia. Bukan dengan alasan cinta. Ini tentang keenggananku merayu dia dengan lirik-lirik erotis yang melambungkan berahinya. Aku malas berkata-kata.

Dua hari yang lalu, dia menjemputku dengan kereta kuda itu. Tapi tanpa malaikat, seperti dua malam sebelumnya. Betapa semringah wajahku saat itu. Dia memegang tanganku, menciumi setiap lekuk tubuhku, dan kami pun hampir bercumbu. Tapi hal itu tak terjadi, lantaran aku mencegahnya sekadar menjaga keperawananku. Tapi dia tak menunjukkan amarahnya. Betapa kesabaran membatasi api-api yang tersulut itu.

Dia bahkan mencoba bersenandung--hal yang tak pernah kudengar dari mulut manisnya--dan setiap kata yang diucapkan sering membuatku bergelinjang. "Meski angin bergunjing dan rembulan bergumam, dengan melihat parasmu, semua itu seperti puisi surga yang seakan memberiku taman indah berhamparkan mawar. Izinkan aku tetirah bersamamu ke dunia yang lain yang hanya memberi senyuman, bukan cacian, agar aku bisa memberimu benih dan kita memiliki sejuta cinta tanpa nestapa."

****
Malam melarut dan awan pun bergelayut. Hari ini Dewi Malam tampaknya tak memberiku restu. Semakin lama ia semakin hilang bersembunyi di balik kumulonimbus. Malam juga tak bisa mengendus kedatangan dia. Aku mulai cemas. Udara seperti memberi tanda akan membekukan kulitku. Juga angin yang berembus semakin cepat, membuatku merapat bersandar di dinding jembatan ini. Sambil terduduk dan membiarkan gaun indah ini ternoda oleh sapuan debu.

"Mengapa dia belum datang?" aku sedikit bergumam, bertanya, juga khawatir. "Apa memang dia tidak datang?"

Seketika itu pula gerimis datang. Gaunku basah. Segera aku beranjak dan membangunkan wanita di ujung jembatan itu.

"Bu, bangun, Bu, hujan, Ibu harus pindah. Nanti Ibu basah kuyup."

Wanita itu tidak kunjung bangun setelah ku guncangkan tubuhnya. Ku bopong dia ke tempat teduh. Kilat dan petir terus bersahutan. Tak biasanya malamku seperti ini.

"Pangeran, kenapa kau tak kunjung datang. Aku kedinginan. Wanita tua ini juga tak bisa menemaniku. Entah kenapa dia tidak bangun-bangun."

Hujan semakin deras. Wanita tua itu belum juga bangun. Gaun yang kupakai pun terlihat lusuh dan lepek terkena cipratan air hujan.

****
Suara gemerincing menyentil kedua daun telingaku dari kejauhan. Semakin lama semakin kencang. Semoga firasatku tepat, bahwa sebuah kereta kuda datang membawa sang pangeran.

Ah, betapa senangnya. Dia benar-benar datang. Ternyata perkataan wanita itu benar. Sungai di bawah jembatan itu memang keramat. Tiga kali aku berdiri di situ, tiga kali pula aku dijemput oleh dia. Kereta kuda itu tepat berhenti di hadapanku. Di hadapan senyumku. Dalam keadaan hujan yang menderas.

Senyumku mulai getir dan wajahku berubah pucat tatkala sang hamba mengabarkan bahwa Pangeran urung datang. Di tengah guyuran hujan dan dengan suara tersengal-sengal, aku memutuskan untuk ikut dan melihat keadaan Pangeran. Tapi sang hamba tak mengizinkan aku.
"Ini perintah Pangeran. Tidak usah ikut. Beliau cuma menitipkan pesan agar Putri tak perlu menunggunya. Untuk seterusnya," sang hamba berucap.

"Apa alasan dia?" kataku.

"Pangeran akan menikah dengan wanita lain."

Dengan segera kereta kuda itu melesat, jauh hingga tak terlihat oleh pandanganku. Secepat itukah dia berpaling? Aku seperti tak mengenal dia ketika sang hamba mengucapkan alasan-alasan itu. Kenanganku saat bersamanya ketika berada di dalam kereta kuda lenyap begitu saja tanpa pamit, tanpa jejak, bahkan tanpa suara.

****
"Sepertinya sungai itu sudah tidak keramat lagi," wanita yang tertidur itu tiba-tiba terbangun dan membisikkan kata-kata, "Bangunlah dari mimpimu. Mungkin Pangeran tak ingin bertemu dengan kau, yang sekadar sebuah mimpi bocah miskin ingusan yang terlalu mengada-ada."

Nama : Hadi Prayuda
Pekerjaan : Korektor bahasa di salah satu media cetak di Jakarta
Pendidikan : Lulusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Jakarta 2008
E-Mail : prayuda.hadi@yahoo.com / menara.elnino@gmail.com

Manusia dalam Gelas Plastik

Cerpen oleh Fandy Hutari

Sepasang suami istri menangisi mayat perempuan tua di antara timbunan sampah. Mereka tak menyangka, setelah menyesalkan perbuatannya dan mencari ke mana-mana, akhirnya orang tua dan mertua mereka sudah tak bernyawa di tempat yang sangat tidak layak: timbunan sampah. Sungguh mereka menyesali semua perbuatannya...

***
Malam sudah sangat larut. Sore tadi hujan baru saja berhenti setelah seharian turun lebat. Menyisakan malam yang begitu lembap. Angin yang mendesis menusuk-nusuk tubuh ringkih yang dibungkus kulit keriput nenek Mardiyem. Tulang belulangnya yang telah rapuh dimakan usia, dipaksa melawan kebekuan malam ini untuk bertahan hidup. Demi sesuap nasi dan seteguk air. Di saat orang-orang sudah terlelap, dia masih terjaga. Nenek Mardiyem masih mengais botol dan gelas plastik bekas di selokan, trotoar, hingga di gang-gang kecil yang digenangi air hujan. Lumayan, sepanjang hari ini barang-barang yang dianggap kebanyakan orang tidak berguna itu telah terkumpul satu karung beras penuh. Karung beras yang digembol di punggung bungkuknya ke mana-mana. Dia memperlakukan karung beras itu ibarat menggendong anak kecil. Di mata dia, barang-barang ini adalah emas. Adalah uang. Adalah hidup...

***
Pukul 11.20 WIB, waktunya untuk pulang. Dia berjalan gontai di trotoar. Memanggul derita seorang diri. Langkahnya dipayungi lampu-lampu jalanan yang reduphidup dan mati bergantian. Sudah terasa cukup baginya sekarung penuh berisi botol dan gelas plastik di punggungnya. Malam ini, jalanan sepi belaka. Tak ada seorang pun yang melintas di trotoar yang dia jejaki. Hanya ada satudua kendaraan saja yang melintas. Memecah genangan air di jalanan. Nenek Mardiyem pun kecipratan air yang dipecah roda mobil. Tak ada umpatan dari bibirnya. Dia tak bakat mengumpat orang. Boleh dibilang, dia seorang nenek yang pandai membungkus kepedihannya sendiri di dalam senyum.

Lantai pelataran toko yang sudah tutup, menyambut kelelahannya seharian bekerja di jalanan. Tanpa perasaan jijik, dia merelakan tubuhnya tidur di ubin yang kotor. Hanya beralas kardus bekas. Karung beras yang berisi barang-barang pulungannya, dia senderkan di pintu garasi toko yang berwarna hijau lumut. Bau busuk yang menyeruak dari tempat sampah di sebelahnya, tak pernah lagi tercium oleh hidungnya. Dia sudah kebal dengan bau-bauan itu. Sekebal dia menjalani kehidupan yang terasa berat sekali bagi kebanyakan orang.

Ya, di pelataran toko inilah dia tidur dan berteduh. Pelataran toko ini sudah menjadi semacam rumah bagi dia. Ini merupakan toko beras milik Pak Sudirto. Pak Sudirto sendiri tinggal bersama keluarganya di lantai dua toko ini. Dua bulan lalu, Pak Sudirto mengizinkan nenek Mardiyem untuk berteduh dan melepas lelah di pelataran tokonya. Mungkin dalam pikiran Pak Sudirto, nenek Mardiyem juga bisa turut menjaga toko miliknya. Atau istilah kasarnya jadi anjing penjaga. Tentu saja di dalam toko ini tertimbun beras berkarung-karung, karena ini memang toko beras. Tapi, di luar ada seorang nenek yang setiap hari berjuang demi beras yang tak seberapa. Ironis. Sebelum ‘menetap’ di sini, nenek Mardiyem tidur di sembarang tempat. Dia juga pernah punya rumah gubuk berdinding kardus bekas di kolong jembatan, sebelum digusur Satpol PP.

Sebetulnya, dia tak harus berkelana menggelandang seperti ini. Karena dahulu dia tinggal serumah bersama anak perempuannya, Martini, yang menikah dengan seorang direktur di pabrik kondom bernama Sudrajat. Menantunya ini bisa dibilang orang terpandang di lingkungan tempatnya tinggal. Rumahnya pun bak istana. Namun, entah setan apa yang merasuk tubuh menantunya. Suatu hari, menantu dan anaknya merencanakan untuk memasukkan nenek Mardiyem ke panti jompo. Tapi, niat itu didengar oleh nenek Mardiyem. Dan, akhirnya dia membuat keputusan untuk minggat dari rumah menantu dan anak tunggalnya. Meninggalkan mereka kurang lebih satu tahun lalu. Hidup bagai sampan yang terombang-ambing sendirian di sini. Di jalanan! Nenek Mardiyem juga termasuk perempuan yang terus-menerus gagal membina rumah tangga. Dia tercatat kawin-cerai sebanyak lima kali. Dari pernikahan-pernikahannya itu, dia memiliki tujuh orang anak, termasuk Martini. Tapi, tak seorang pun yang peduli dengan nenek Mardiyem. Hanya Martini yang bersedia ‘menampungnya’.

***
Sinar matahari mengganggu tidur nenek Mardiyem. Silau. Matanya seketika membuka. Hari telah kembali pagi. Perlahan, dia bangun dan duduk di lantai pelataran toko ini. Pintu garasi toko pun dibuka Pak Sudirto dari dalam.

“Baru bangun, nek?” kata Pak Sudirto. Pertanyaan ini selalu dia lontarkan setiap pagi kepada nenek Mardiyem.

“Iya...” jawab nenek Mardiyem. Jawaban yang selalu berulang setiap pagi, seperti kaset yang diputar terus menerus.

Lalu, Pak Sudirto kembali masuk ke tokonya. Menyapu di dalam. Pagi ini, pukul 07.00 WIB, saat anak-anak berangkat ke sekolah dan para pekerja bergegas ke kantornya masing-masing, nenek Mardiyem pun berkemas. Bukan ke sekolah atau ke kantor, tapi ke pengepul barang-barang hasil pulungannya kemarin. Dia bersiap. Merapikan lagi tumpukan botol dan gelas di dalam karung beras.

“Siap-siap nih, nek?” ujar istri Pak Sudirto yang berjalan dari dalam toko.

“Iya...” jawab nenek Mardiyem lirih.

Hampir tak terdengar suaranya. Tersamar dengan rengekan klakson angkot di pinggir jalan yang menunggu penumpang. Dia lalu menggembol kembali karung beras yang berisi barang pulungannya, dan pamit kepada Pak Sudirto dan istrinya.

“Pak, Bu...saya ke Mbak Darmi dulu ya...” pamit nenek Mardiyem.

“Oh, iya nek. Hati-hati...” jawab Pak Sudirto yang masih memegang sapu. Serta anggukkan kecil dari istrinya.

Lalu, dengan langkahnya yang lamban, nenek Mardiyem pun menyeberang jalan. Siklus kehidupan yang setiap pagi dia jalani. Pergi ke tempat pengepul barang-barang loak. Ke rumah gubuk sang pengepul, Mbak Darmi, di pinggiran kali yang sudah kotor oleh sampah yang mengambang juga bau busuk yang menyengat. Jaraknya sekitar dua ratus lima puluh meteran dari toko Pak Sudirto. Jarak yang cukup lumayan bagi nenek renta berusia enam puluh tahun ini.
Sesampainya di rumah Mbak Darmi, isi karung beras pun dikeluarkan semuanya. Kemudian, Mbak Darmi menghitung berapa uang yang pantas diberikan kepada nenek Mardiyem untuk hasil jerih payahnya seharian kemarin. Nenek Mardiyem hanya pasrah menunggu uang dari Mbak Darmi. Pasrah. Selalu pasrah setiap hari...

“Ini, nek. Dua puluh lima ribu untuk semuanya...” ujar Mbak Darmi sambil menyerahkan uang dua puluh lima ribu pecahan lima ribu.

“Iya, makasih Mbak Darmi...” ucap nenek Mardiyem menerima uang itu ikhlas. Matanya berkaca-kaca. Seolah-olah uang ini sudah dapat menggantikan peluhnya kemarin.

Dari sini, nenek Mardiyem kembali mengambil karung berasnya yang telah kosong melompong. Dan, dia akan kembali ke rutinitasnya: keliling mengumpulkan botol dan gelas plastik bekas sampai karung beras ini penuh.

***
Di pinggir jalan, nenek Mardiyem memunguti lagi botol dan gelas plastik bekas. Siang ini cuaca sangat terik. Memang sekarang cuaca tak lagi bisa ditebak. Hujan dan panas tak menentu datangnya. Keringat yang mengucur dari pipi keriputnya tampak jelas. Sesekali dia mengusapi sendiri keringat itu dengan lengan bajunya.

Sewaktu menyusuri trotoar jalan, mata nenek Mardiyem tertumbuk pada sebuah plang imbauan di pertigaan lampu merah. “Mengemis dan memberi sedekah kepada pengemis akan didenda maksimal 20 juta atau kurungan maksimal 60 hari.” Begitulah tulisan di plang itu. Lalu, dia berhenti sejenak. Duduk di trotoar jalan. Matanya yang tak lagi setajam elang, mengamati aktivitas orang-orang di sekitarnya. Lampu lalu lintas menyala merah. Mobil dan motor di hadapannya berhenti. Kemudian, entah dari mana, anak-anak kecil berbaju compang-camping mendekati mobil dan motor yang berhenti itu. Ada juga ibu-ibu yang menggendong bayi. Tangan mereka menjulur menengadah ke setiap pengemudi. Ada yang memberi. Ada pula yang mengacuhkan. Memorinya langsung berbalik ke beberapa tahun silam. Dia ingat, waktu itu menantunya pernah meludahi anak jalanan yang meminta-minta di lampu merah. Dalam diam, di kepalanya muncul sebuah pertanyaan, mengapa di kota ini ada peraturan yang mendenda dan memenjarakan siapa saja yang memberi sedekah kepada pengemis? Aneh. Bukankah seharusnya pemerintah memerhatikan mereka? Apakah ini usaha pengalihan atas ketidakmampuan pemerintah mengentaskan kemiskinan? Pikiran kritisnya menyeruak. Pikiran seorang nenek renta, ah siapa yang peduli...

“Nek...nenek Iyem!” tiba-tiba ada seorang perempuan memanggilnya dari arah belakang.

Dia menoleh.

“Iya...” katanya, membalas panggilan perempuan itu.

Yang ada di pikirannya tadi, disangka yang memanggil adalah anak perempuannya. Ternyata dugaannya salah. Perempuan yang memanggilnya juga pemulung. Satu profesi dengan dirinya. Perempuan yang berusia empat puluh tahunan ini bernama Ibu Endang. Sudah lima tahun dia menjalani profesi memulung setelah dicerai suaminya yang kawin lagi. Ibu Endang punya dua anak yang masih kecil-kecil. Dia sedikit beruntung daripada nenek Mardiyem. Ibu Endang tinggal di rumah petak semipermanen di bantaran kali bersama dua anaknya.

“Wah, nenek ke mana aja? Saya cari ke mana-mana kemarin...” kata Ibu Endang yang terbit senyum di bibirnya.

“Ada. Saya memulung di sana...” jawab nenek Mardiyem menunjuk sebuah jalan di seberang mereka.

Nenek Mardiyem lalu berdiri dari duduknya. Berusaha sopan kepada orang yang mengajaknya ngobrol.

Duduk sama rendah, berdiri sama tinggi.

“Nenek tau nggak. Di sana, ada TPA[1] baru. Kita mulung di sana aja, gimana?” cerocos Ibu Endang masih sumringah.

Wajahnya ibarat orang yang habis mendapatkan undian rumah satu milyar. Semangat menggebu-gebu.

“Oh, gitu. Tapi, besok aja ya neng. Saya cape banget. Mau memulung dekat-dekat sini aja,” balas nenek Mardiyem sambil mengusapi lagi keringatnya yang mengucur.

“Oh, ya udah. Besok bareng aja, nek. Saya tungguin nenek di sini ya,” ujar Ibu Endang.

“Iya...Besok aja. Saya mau jalan lagi neng, mari...” pamit nenek Mardiyem dengan nada suara yang lesu.

Tenaganya seperti sangat terkuras memulung dari pagi sampai siang bolong. Guratan wajahnya tak bisa dibohongi. Nenek Mardiyem memang benar-benar butuh istirahat. Tapi, lagi-lagi demi urusan perut, dia berjalan lagi untuk memunguti botol dan gelas plastik. Meninggalkan Ibu Endang di sini sendirian. Ibu Endang pun tak lama berlalu. Menuju TPA dengan hati ceria...

***
Sewaktu menikmati makan malamnya, nasi bungkus dengan lauk satu tempe goreng,nenek Mardiyem mendengar adzan Isya yang menggema dari masjid di gang pinggir jalan. Bulu kuduknya merinding setengah mati. Tak seperti biasanya. Dia teringat, sudah lama dia meninggalkan Tuhan. Sudah lama dia tidak bersimpuh berdoa sampai berlinang air mata. Sudah lama dia tidak menjalani shalat. Nasi bungkusnya langsung dia lahap cepat-cepat. Belum habis lahapannya, seorang anak jalanan dengan ingus yang meleleh mendekatinya.

“Nek...minta nasinya, nek...” kata bocah ingusan itu dengan wajah memelas.

“Ini buat kamu. Kamu lapar ya? Ini, nenek sisakan untuk kamu makan...”ujar nenek Mardiyem seraya memberikan nasi bungkus yang tinggal setengahnya, serta tempe goreng yang juga tinggal setengah.

“Wah, makasih, nek!” sambut bocah itu gembira menerima nasi bungkus dari nenek Mardiyem.

Nenek Mardiyem hanya tersenyum. Mengusap rambut anak jalanan itu, dan segera melangkah ke sebuah masjid di gang dekat pertigaan lampu merah. Sebelum pulang, dia ingin menyampaikan keluh kesahnya kepada Tuhan. Menumpahkan seluruh unek-uneknya selama ini. Sebenarnya, tak jauh dari toko Pak Sudirto ada masjid megah yang berdiri kokoh. Konon kubahnya dari emas, dan dindingnya dari marmer pilihan. Tapi, dia hanya sekali dan terakhir berkunjung untuk shalat di sana. Ini disebabkan karena nenek Mardiyem diusir oleh penjaga masjid itu. Dia disangka tukang mencuri sandal masjid. Ah, betapa orang-orang sekarang picik. Kenapa lantaran pakaian yang kumal ini kita langsung dituduh garong. Dia juga pernah menyaksikan orang-orang berjubah putih menyerang sebuah rumah yang diduga tempat judi. Dia heran, mengapa mereka berbuat kekerasan? Mengapa tidak dibicarakn dulu baik-baik? Pikirnya waktu itu.

Di masjid ini, dia segera berwudhu, dan shalat di teras masjid. Memisahkan diri dengan jamaah lain. Bukan apa-apa, nenek Mardiyem takut mereka menjauhinya lagi, atau bahkan mengusirnya seperti yang pernah dia alami sendiri di masjid dekat toko Pak Sudirto. Selesai shalat, jamaah bubar. Mata-mata mereka memerhatikan nenek Mardiyem dengan pakaian yang lusuh masih duduk bersimpuh, tanpa mukenah. Mata-mata mereka, ya, mata-mata itu seperti menelanjanginya bulat-bulat. Tapi, nenek Mardiyem tak ambil peduli. Dia sudah terbiasa dengan tatapan-tatapan sinis orang-orang di sekitarnya. Nenek Mardiyem masih duduk bersimpuh. Kedua tangannya diangkat dan berdoa penuh hikmat. Seketika, tanpa dia sadari, butir-butir air matanya menetes jatuh ke lantai. Dia berdoa, semoga anak dan menantunya dibukakan hatinya. Dia berdoa, semoga hidupnya selalu dilindungi Tuhan. Dia berdoa, Tuhan sudi mengangkat sedikit beban yang menimpa hidupnya selama ini. Dia berdoa dengan setulus hati, walaupun dia jarang shalat.

Malam semakin membungkus keheningan masjid ini. Seorang penjaga masjid hendak menghampirinya. Belum lagi penjaga masjid itu menegurnya, nenek Mardiyem segera melangkah dari teras masjid. Mengambil karung beras yang berisi botol dan gelas plastik bekas dan menggembolnya di punggung yang semakin membungkuk. Nenek Mardiyem pulang lebih awal dari kemarin. Kakinya tak sanggup lagi melangkah jauh. Badannya ingin segera merebah di lantai pelataran toko beras Pak Sudirtoyang dia tahu betapa keras, kotor, dan dinginnya alas tidurnya itu...

***
Pagi masih sangat perawan. Toko beras Pak Sudirto pun belum buka. Pagi ini nenek Mardiyem akan menepati janjinya kemarin. Bertemu Ibu Endang di pertigaan lampu merah, seberang restoran dealer motor terkemuka. Jaraknya lumayan jauh untuk ukuran kakinya yang sudah ringkih, sekira tiga ratus lima puluh meter dari toko beras Pak Sudirto. Namun, demi janji, dia pun bergegas. Dia juga ingin membuktikan ucapan Ibu Endang, yang katanya ada TPA baru. Bagi mereka, TPA adalah ladang uang. Kubangan duit yang akan mereka keruk sepuas-puasnya. Dengan tergopoh-gopoh, nenek Mardiyem mengawali langkah ke rumah Mbak Darmi. Seperti biasa, menyetor hasil pulungan kemarin dan menerima upah.

Setelah mendapat uang dari Mbak Darmi, nenek Mardiyem lalu bersemangat melangkahkan kaki ke pertigaan lampu merah. Menemui Ibu Endang di sana. Dari kejauhansamar-samardia sudah bisa melihat sosok Ibu Endang yang melambai-lambaikan tangannya. Ibu Endang juga telah siap dengan perlengkapan memulungnya: keranjang bambu dan besi pengait. Anaknya yang masih batita digendongnya dengan sehelai kain.

“Nenek, buruan! Nanti keburu banyak orang di sana!” teriak Ibu Endang.

Nenek Mardiyem berlari kecil. Sekuat-kuat tenaganya, dia berlari. Sesampainya di depan kios rokok kecil, tempat Ibu Endang menunggunya, segera tangan kanannya ditarik Ibu Endang.

“Ayo, cepet, nek!” perintah Ibu Endang tak sabar.

“Sabar...sabar, nak. Nenek cape...” keluh nenek Mardiyem masih terengah-engah.

“Ayo, nek, nanti rejeki kita dipatok ayam...” celoteh Ibu Endang. Tangannya masih memegang erat tangan nenek Mardiyem.

Sesampainya di depan TPA, mereka melihat para pemulung lain sudah berada di tengah ladang sampah yang melimpah. Memungut dan mengkait barang-barang rongsok di sana. Ibu Endang dan nenek Mardiyem pun tak ketinggalan bersemangat. Mereka lalu ngeluyur ke tengah timbunan sampah. Betapa senang mereka menemui gunungan sampah.

Mobil truk sampah baru saja tiba. Siap menuangkan kembali sampah-sampah yang mereka ambil dari beberapa lingkungan di kota ini. Mobil itu berhenti tepat di belakang nenek Mardiyem yang sedang asyik memulung botol dan gelas plastik.

“Nenek awas!” teriak Ibu Endang yang memulung tak jauh dari nenek Mariyem.

Nenek Mardiyem menoleh ke belakang. Terkejut. Dan dia pun tak bisa berbuat apa-apa. Supir mobil truk pengangkut sampah mendengar teriakan Ibu Endang, dan melongok ke belakang melalui jendela mobil, tapi dia sudah terlanjur menarik platuk untuk menumpahkan sampah-sampah yang ada di punggung mobil. Sampah-sampah itu pun mengubur nenek Mardiyem hidup-hidup. Kini, dia tinggal jasad. Dia tertimbun di antara sampah-sampah, termasuk gelas-gelas plastik yang menjadi sumber uang baginya. Sekarang, dia adalah manusia dalam gelas plastik...

Lubang Buaya, 17-22 Juli 2010

Fandy Hutari adalah penulis esai, buku, novel, cerpen, dan puisi. Esai, puisi, dan cerpennya dimuat di beberapa media cetak dan online. Dua bukunya yang sudah diterbitkan adalah Sandiwara dan Perang; Politisasi terhadap Aktifitas Sandiwara Modern Masa Jepang (Ombak, 2009), dan Ingatan Dodol (Insist Media Utama, 2010). Penulis bisa dihubungi di Email: fandyhutari@yahoo.com. Facebook: Fandy Hutari (sandiwaradanperang@writeme.com).
[1] Tempat Pembuangan Akhir.

Pangeran dan Kereta Kuda

Cerpen oleh Hadi Prayuda

Aliran sungai itu deras. Sangat indah bila aku berada di antaranya. Sekitar 3 jam aku berada di sini. Di atas jembatan ini. Tak satu pun orang yang lalu-lalang melihatku. Seperti sebuah kematian, yang tak pernah menyapa ketika manusia dirundung rasa. Seketika itu pula ia merenggutnya. Juga terhadap binatang-binatang yang tak berumur panjang. Seperti rangkaian temali yang terputus ketika mulai rapuh dan memipih.

Matahari masih terjaga, meski saat itu hari menuju senja. Sekumpulan burung pun tampak beterbangan setelah lelah mengais kisah. Padahal umur mereka tak sepanjang aku. Sedangkan aku di sini, hampir melawan siklus mimpi.

Dua pertiga hidupku adalah masa lalu yang tak berbatas waktu. Yang dalam perjalanannya, aku tak pernah paham akan goresan-goresan tinta kecil Tuhan. Seumur hidup aku tak pernah beranjak untuk menikahi semesta kata. Bahkan terhadap ucapan-ucapan keramat yang, kata orang, dapat menenangkan nurani.

Seorang wanita tua yang saban hari duduk bersimpuh di ujung jembatan ini, kira-kira 7 meter jaraknya denganku, pernah melontarkan kata-kata lewat bisikannya di telingaku, "Sungai yang ada di bawah jembatan ini keramat, tapi juga membawa hoki, asalkan kita tak mengganggunya."
Benar saja, selama wanita itu menjadi pengemis di sini, banyak yang memberinya uang receh, bahkan sesekali lebih dari itu.

Aku berharap bisa seberuntung wanita itu, meski bukan dalam hal materi. Aku berharap dia datang. Menjemputku dengan kereta kuda. Bersama malaikat yang biasa melindungiku setiap bintang berpendar.

****
Mentari telah terbenam. Tapi mengapa aku tak seantusiastik malam-malam sebelumnya. Ketika dia datang menjemputku dengan iringan lampor. "Apa lantaran dia telat?" batinku bertanya. Andai wanita di ujung jembatan itu bisa memberi jawaban. Tapi tampaknya ia sudah lelah setelah menaruh asa pada segenggam tangannya sepanjang hari ini. Begitu pula burung-burung yang beterbangan itu, yang sudah tak kulihat lagi melayang-layang di kegelapan.

Lima jam sudah aku menunggu. Masih tak ada kabar. Wanita di ujung jembatan itu pun hanya bersandar. Tak segera pulang. Entah ia bersandar sekadar menemani malam atau memasrahkan dirinya untuk bersenggama dengan bulan. Itu pun tak terjawab.

Gaun cantik yang kukenakan ini sengaja kupakai untuk menyambut kedatangan dia. Bukan dengan alasan cinta. Ini tentang keenggananku merayu dia dengan lirik-lirik erotis yang melambungkan berahinya. Aku malas berkata-kata.

Dua hari yang lalu, dia menjemputku dengan kereta kuda itu. Tapi tanpa malaikat, seperti dua malam sebelumnya. Betapa semringah wajahku saat itu. Dia memegang tanganku, menciumi setiap lekuk tubuhku, dan kami pun hampir bercumbu. Tapi hal itu tak terjadi, lantaran aku mencegahnya sekadar menjaga keperawananku. Tapi dia tak menunjukkan amarahnya. Betapa kesabaran membatasi api-api yang tersulut itu.

Dia bahkan mencoba bersenandung--hal yang tak pernah kudengar dari mulut manisnya--dan setiap kata yang diucapkan sering membuatku bergelinjang. "Meski angin bergunjing dan rembulan bergumam, dengan melihat parasmu, semua itu seperti puisi surga yang seakan memberiku taman indah berhamparkan mawar. Izinkan aku tetirah bersamamu ke dunia yang lain yang hanya memberi senyuman, bukan cacian, agar aku bisa memberimu benih dan kita memiliki sejuta cinta tanpa nestapa."

****
Malam melarut dan awan pun bergelayut. Hari ini Dewi Malam tampaknya tak memberiku restu. Semakin lama ia semakin hilang bersembunyi di balik kumulonimbus. Malam juga tak bisa mengendus kedatangan dia. Aku mulai cemas. Udara seperti memberi tanda akan membekukan kulitku. Juga angin yang berembus semakin cepat, membuatku merapat bersandar di dinding jembatan ini. Sambil terduduk dan membiarkan gaun indah ini ternoda oleh sapuan debu.

"Mengapa dia belum datang?" aku sedikit bergumam, bertanya, juga khawatir. "Apa memang dia tidak datang?"

Seketika itu pula gerimis datang. Gaunku basah. Segera aku beranjak dan membangunkan wanita di ujung jembatan itu.

"Bu, bangun, Bu, hujan, Ibu harus pindah. Nanti Ibu basah kuyup."

Wanita itu tidak kunjung bangun setelah ku guncangkan tubuhnya. Ku bopong dia ke tempat teduh. Kilat dan petir terus bersahutan. Tak biasanya malamku seperti ini.

"Pangeran, kenapa kau tak kunjung datang. Aku kedinginan. Wanita tua ini juga tak bisa menemaniku. Entah kenapa dia tidak bangun-bangun."

Hujan semakin deras. Wanita tua itu belum juga bangun. Gaun yang kupakai pun terlihat lusuh dan lepek terkena cipratan air hujan.

****
Suara gemerincing menyentil kedua daun telingaku dari kejauhan. Semakin lama semakin kencang. Semoga firasatku tepat, bahwa sebuah kereta kuda datang membawa sang pangeran.

Ah, betapa senangnya. Dia benar-benar datang. Ternyata perkataan wanita itu benar. Sungai di bawah jembatan itu memang keramat. Tiga kali aku berdiri di situ, tiga kali pula aku dijemput oleh dia. Kereta kuda itu tepat berhenti di hadapanku. Di hadapan senyumku. Dalam keadaan hujan yang menderas.

Senyumku mulai getir dan wajahku berubah pucat tatkala sang hamba mengabarkan bahwa Pangeran urung datang. Di tengah guyuran hujan dan dengan suara tersengal-sengal, aku memutuskan untuk ikut dan melihat keadaan Pangeran. Tapi sang hamba tak mengizinkan aku.
"Ini perintah Pangeran. Tidak usah ikut. Beliau cuma menitipkan pesan agar Putri tak perlu menunggunya. Untuk seterusnya," sang hamba berucap.

"Apa alasan dia?" kataku.

"Pangeran akan menikah dengan wanita lain."

Dengan segera kereta kuda itu melesat, jauh hingga tak terlihat oleh pandanganku. Secepat itukah dia berpaling? Aku seperti tak mengenal dia ketika sang hamba mengucapkan alasan-alasan itu. Kenanganku saat bersamanya ketika berada di dalam kereta kuda lenyap begitu saja tanpa pamit, tanpa jejak, bahkan tanpa suara.

****
"Sepertinya sungai itu sudah tidak keramat lagi," wanita yang tertidur itu tiba-tiba terbangun dan membisikkan kata-kata, "Bangunlah dari mimpimu. Mungkin Pangeran tak ingin bertemu dengan kau, yang sekadar sebuah mimpi bocah miskin ingusan yang terlalu mengada-ada."

Nama : Hadi Prayuda
Pekerjaan : Korektor bahasa di salah satu media cetak di Jakarta
Pendidikan : Lulusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Jakarta 2008
E-Mail : prayuda.hadi@yahoo.com / menara.elnino@gmail.com

-

Arsip Blog

Recent Posts