Kerbau dalam Kehidupan Masyarakat Megalit: Tradisinya pada Etnis Batak di Sumatera Utara

Oleh Nenggih Susilowati
Balai Arkelogi Medan

I. Pendahuluan
Kerbau (Bubalus bubalis), jenis hewan yang termasuk famili bovidae ini sudah dikenal sejak masa prasejarah terbukti dari beberapa fragmen tulang dan giginya yang ditemukan pada ekskavasi beberapa situs di Indonesia. Di Sumatera situs-situs yang mengandung temuan tersebut antara lain situs Gua Togindrawa, Nias dan Situs Bukit Kerang Pangkalan, Aceh Tamiang. Di kedua situs yang merupakan situs mesolitik itu menunjukkan adanya pengkonsumsian jenis hewan famili bovidae. Kemudian di daerah lain yaitu pada situs megalitik juga ditemukan bagian gigi kerbau (bovidae) pada kubur batu (phandusa) di Bondowoso, pada dolmen di situs Telagamukmin, Lampung Utara, serta tulang-tulang hewan ini di bawah menhir di Wonogiri (Sukendar,1990:215).

Dalam bentuk karya seni jenis hewan ini juga sering dijumpai pada tinggalan-tinggalan budaya megalitik/tradisinya dalam bentuk patung, relief, maupun lukisan. Di Tanjung Ara dan Kotaraya Lembak, Sumatera Selatan misalnya ditemukan peti kubur batu dengan lukisan pada dindingnya yang menggambarkan tangan dengan tiga jari manusia dan kepala kerbau. Di Airpurah, Sumatera Selatan juga ditemukan patung dua orang prajurit yang berhadap-hadapan, seorang memegang tali yang diikatkan pada hidung kerbau, dan yang lain memegang tanduk kerbau (Soejono,ed.,1993). Penggambaran kerbau dan manusia dikatakan mempunyai hubungan dengan konsepsi pemujaan nenek moyang (De Bie dalam Soejono,ed.,1993:216). Kemudian di Terjan, Jawa Timur ditemukan arca-arca kepala yang menyerupai kerbau pada kubur batu (Sukendar,1990:216). Pahatan kerbau juga terdapat pada sarkofagus di situs Munduk Tumpeng, Bali yang dikaitkan dengan lambang kesuburan dan kendaraan arwah (Aziz,1999:3).

Kerbau hingga kini juga masih dipilih sebagai ornamen atau bagian tubuhnya dijadikan sebagai hiasan pada rumah-rumah adat, seperti rumah adat masyarakat Toraja, di Sulawesi Selatan. Kepala kerbau dalam khazanah simbolis orang Toraja disebut kabongo’. Penggunaan kepala kerbau sebagai artikulasi simbolik dapat ditemui pada tiang tongkonan (Tulak Somba). Kepala kerbau dalam passura’ dapat dikenal melalui berbagai desain. Untuk variasi ini dikenal dengan pa’tedong, yang berkaitan dengan kekuasaan/kepemimpinan suku. Di Nias Selatan, simbol sejenis yang dikenal sebagai Hugolaso hanya berlaku untuk ketua kampung keturunan Si Ulu. Di luar Indonesia beberapa kelompok suku Naga di dataran tinggi Assam antara Myanmar dan India menggunakan tanduk kerbau sebagai tanda kebesaran, status sosial tinggi, prestise, dan kekuasaan politik atas kelompoknya (Wiryomartono,2001:158).

Menarik bahwa di beberapa tempat di Indonesia, baik pada situs megalitik maupun masyarakat yang hidup dengan tradisi megalitiknya menggunakan kerbau sebagai simbol maupun dalam kehidupannya. Mengingat di Sumatera Utara ornamen kerbau atau bagian tubuhnya juga digunakan oleh masyarakat Batak pada rumah-rumah adatnya. Kemudian juga ditemukan tinggalan arkeologis berupa patung dan relief kerbau pada punden berundak di situs Batu Gaja, Simalungun, maka melalui tulisan ini dicoba dipaparkan latarbelakang hewan tersebut ditampilkan dalam karya seni dari dulu hingga kini.

II. Kerbau, budaya materi dan makna simboliknya
Tinggalan arkeologis berupa patung dan relief kerbau terdapat di punden berundak Situs Batu Gajah, Simalungun. Keletakan bangunannya pada tempuran dua buah sungai mengingatkan pada konsep yang sering diterapkan dalam pembangunan bangunan suci Hindu - Buddha. Situs tersebut merupakan situs megalitik yang kemungkinan berkembang pada masa yang hampir sama ketika pengaruh Hindu - Buddha berkembang di Padang Lawas sekitar abad ke- XI -- XIV M.

Patung kerbau terletak di sebelah barat patung harimau sekitar 34,5 m pada undakan/teras keenam. Posisi patung digambarkan berdiri agak miring ke kiri dan menghadap ke timur. Secara keseluruhan patung ini cukup besar, kondisinya sebagian besar sudah mulai aus sehingga penggambaran anatomi tubuh terutama bagian kepala sudah tidak kelihatan. Bagian kepala digambarkan cukup besar namun kondisinya sudah sangat aus. Pada bagian kiri dan kanan kepala bentuknya agak lebar. Bagian depan kepala terdapat bentuk yang menonjol dan di bagian bawahnya terdapat bentuk hampir persegi empat yang bagian belakangnya menyambung ke bagian bawah kepala.

Bagian badan digambarkan tambun dengan perut buncit. Bagian pantat berbentuk bulat dan besar disertai dengan penggambaran bagian dari kelamin jantan. Di atas badan binatang ini terdapat relief sebagian tubuh penunggangnya yang tampak pada bagian kanan patung ini. Bagian tubuh penunggang patung ini yang digambarkan adalah sebagian badannya, kaki kanan, dan tangan kanan. Pada bagian belahan pantat digambarkan buah pelir sedangkan phalus digambarkan berada di bagian bawah perut. Kaki patung ini hanya tinggal tiga, karena kaki bagian depan sebelah kiri sudah tidak ada. Ketiga kakinya digambarkan dalam posisi tegak, berbentuk lurus, dan berukuran cukup besar. Secara keseluruhan posisi patung ini miring ke kiri. Patung ini menggambarkan jenis kelamin jantan dengan penggambaran yang sangat jelas. Adapun ukuran patung kerbau ini secara keseluruhan adalah: tinggi 106 cm, panjang 155 cm, dan lebar 100 cm. Kondisi patung kerbau yang ada di situs ini sekarang kondisinya cukup memprihatinkan bila dibandingkan ketika Tichelman seorang peneliti Belanda pertama kali menjumpainya. Dikatakan olehnya,”…tidak jauh dari tempat tersebut dijumpai (patung) seekor kerbau dengan jelasnya, kepalanya melengkung…” (Tichelman dan P. Voorhoeve,1938:72). Kemudian pada lereng padas yang terletak di bagian kanan patung ini terdapat relief kepala kerbau. Kondisi relief ini umumnya sudah rusak sehingga yang tampak hanya bagian kirinya saja. Mata bagian kiri digambarkan berbentuk lubang besar, hidung berbentuk lubang berjumlah dua buah, mulut terbuka, dan tanduk hanya tampak pada bagian kiri kepala. Adapun ukuran relief ini secara keseluruhan adalah: tinggi 71 cm dan lebar 47 cm.

Selain itu ornamen kerbau sering digambarkan pada rumah-rumah adat masyarakat Batak di Sumatera Utara. Seperti pada rumah adat masyarakat Batak Simalungun terdapat ornamen yang disebut Pinar Uluni Horbou yaitu berupa kepala kerbau yang dibentuk dari ijuk dan tanduknya dari tanduk kerbau asli. Pada masyarakat Simalungun kerbau merupakan lambang kesabaran, keberanian, kebenaran, dan sebagai penangkal roh jahat (Sipayung,dkk.,1994:18). Demikian halnya dengan masyarakat Batak Karo juga mengenal ornamen sejenis berupa kepala kerbau berwarna putih yang terbuat dari ijuk dan tanduk kerbau asli. Ornamen tersebut diletakkan pada bagian ujung atapnya yang mengarah ke dua penjuru mata angin (timur--barat) jika memiliki 2 ayo-ayo (hiasan atap), atau empat penjuru mata angin (utara--timur—selatan--barat) jika memiliki 4 ayo-ayo. Ornamen itu melambangkan keperkasaan dan penjaga keselamatan dari serangan roh-roh jahat (Ginting & Sitepu,1994:18). Demikian halnya dengan masyarakat Batak Toba pada ujung puncak atap bagian depan rumah adat (sopo) dihiasi dengan motif Ulu palung (hiasan raksasa) yang menggunakan tanduk kerbau. Hiasan tersebut merupakan lambang penjaga keselamatan dari gangguan hantu. Khusus pada rumah raja, susunan tanduk kerbau ditempelkan pada dinding bagian dalam sopo yang menandai kekuasaan raja, sekaligus menggambarkan telah dilaksanakannya pesta besar (mangalahat horbo = memotong kerbau). Selain itu juga dikenal ornamen lain yang mirip kerbau yang disebut dengan Sijonggi (lembu jantan) yang merupakan lambang keperkasaan (Hasanuddin, dkk.,1997: 5,12).

III. Peranan kerbau dalam kehidupan etnis Batak
Dapat dikatakan bahwa kerbau merupakan hewan yang mempunyai nilai penting dalam kehidupan masyarakat dari dulu hingga kini. Melalui data ekofaktual yang ditemukan di situs-situs mesolitik kemungkinan jenis hewan tersebut hidup liar di hutan Indonesia. Hewan tersebut diburu dan dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhan makanan manusia pada masa itu. Kemudian pada masa yang lebih muda bersamaan dengan terjadinya migrasi manusia pada masa neolitik dan perundagian, ketika manusia sudah hidup menetap domestikasi hewan dan tumbuhan juga dikembangkan. Migrasi tersebut juga membawa religi yang dikenal dengan pendirian bangunan-bangunan megalitnya sekitar 2500 SM -- 1500 SM -- awal Masehi. Pendirian bangunan megalit tersebut juga disertai upacara-upacara berkaitan dengan pemujaan roh-roh leluhur, atau berkaitan dengan kematian dengan melaksanakan pemotongan hewan-hewan kurban diantaranya kerbau. Berbagai tinggalan arkeologis di situs-situs megalit Sumatera Selatan, Jawa Timur, dan Lampung menggambarkan pemanfaatan maupun pembudidayaan kerbau. Masa yang sama jika dibandingkan dengan pembudidayaan kerbau di luar Indonesia seperti di daratan Lembah Indus, India (4500 tahun yang lalu), Cina (3500 tahun yang lalu), dan Mesir (800 tahun yang lalu) (Aziz,1999:3).

Peranan kerbau dalam kegiatan pertanian dapat dikaitkan dengan perkembangan sistem pertaniannya. Sistem pertanian yang dikenal semula pada masa prasejarah adalah pertanian lahan kering (perladangan), kemudian dikembangkan sistem pertanian lahan basah (persawahan). Menurut Brandes bahwa penanaman padi di sawah telah dikenal di Indonesia sejak sebelum pengaruh kebudayaan India menyebar di Indonesia (Brandes,1889 dalam Ferdinandus,1990: 426). Penanaman padi dengan sistem perladangan diperkirakan dikenal di Indonesia jauh sebelumnya sekitar 2500 -- 1500 SM, yaitu bersamaan masuknya kebudayaan megalitik tua di Indonesia (Geldern,1945:138--141). Pendapat lain menyebutkan bahwa penanaman padi dengan sistem pengairan dikenal di Indonesia diduga pada jaman logam (Marschall,1969 dalam Suryanto,1990:413). Bukti pendapat ini di beberapa situs tingkat perundagian ditemukan beberapa alat-alat besi yang diperkirakan digunakan pada kegiatan itu. Misalnya, dalam kubur peti batu di situs Kawengan, Kidangan, dan Gunungmas di Bojonegoro dan situs Gunungsigro di Tuban, Jawa Timur. Alat-alat yang ditemukan adalah kapak, beliung, ujung tombak, mata sabit dan mata pisau (Suryanto,1990:412). Ditambahkan bahwa sistem persawahan di Bali misalnya, pada tingkat perundagian telah dilaksanakan di kaki-kaki pegunungan yaitu pada tempat yang mudah diatur pengairannya (Soejono,1977:322). Dengan demikian pada jaman logam atau perundagian diperkirakan kerbau telah dimanfaatkan untuk membantu kegiatan pertaniannya.

Kerbau Sumatera tidak banyak berbeda dengan kerbau Benggala. Sekalipun termasuk famili bovidae anatomi hewan ini berbeda dengan sapi, kukunya lebih lebar, dan tanduknya berbentuk bujursangkar atau gepeng melengkung ke belakang. Umumnya tanduk sedatar dengan kening dan tidak membentuk sudut seperti terdapat pada sapi. Ekor kecil menggantung sampai ke bawah lutut, kecil, dan berjumbai di ujungnya. Lehernya besar dan berotot sehingga penampakan gelambir hanya sedikit terlihat atau tidak sama sekali (Marsden,1999:81). Kerbau merupakan hewan domestikasi yang sering dikaitkan dengan kehidupan masyarakat bermatapencaharian di bidang pertanian. Kerbau digunakan sebagai sarana transportasi (kendaraan), untuk membantu mengolah lahan pertanian, dan kotorannya dapat dijadikan pupuk (Gunadi, 2000:60). Domestikasi kerbau dikaitkan dengan kebutuhan hewan itu dalam jumlah banyak untuk memenuhi kebutuhan masyarakatnya seperti tersebut di atas, juga dikonsumsi atau digunakan sebagai hewan kurban pada upacara adat.

Secara khusus domestikasi kerbau di Sumatera Utara belum diketahui, namun melalui tinggalan arkeologis berupa patung dan relief kerbau pada punden berundak di Situs Batu Gaja, Simalungun menunjukkan adanya domestikasi hewan tersebut. Menilik kondisi situs Batu Gajah, Simalungun yang merupakan situs megalitik maka diperkirakan bahwa pemanfaatan kerbau di Sumatera Utara sudah dikenal sejak budaya megalitik berkembang di wilayah ini. Jika dibandingkan dengan kebutuhan masyarakat akan kerbau pada masa kini kemungkinan kebutuhannya tidak jauh berbeda, selain untuk dikonsumsi, sebagai hewan kurban, membantu mengolah lahan petanian, dan sebagai alat transportasi. Pendirian megalit berupa punden berundak tentunya disertai dengan upacara-upacara adat, terutama upacara kematian jika dikaitkan dengan keberadaan kubur batunya. Melihat kebiasaan yang berlangsung hingga kini, kemungkinan di dalam upacara-upacara adat tersebut juga menggunakan kerbau sebagai hewan kurban. Pemanfaatan kerbau sebagai alat transportasi diperkirakan berkaitan dengan pengangkutan hasil-hasil pertaniannya.

Mengenai perkembangan pertanian, diperkirakan sebelum masuknya pengaruh Hindu-Buddha (abad ke- XI – XIV M) kegiatan pertanian sudah dilaksanakan oleh masyarakatnya, kemudian bersamaan dengan teknologi yang masuk kegiatan itu semakin berkembang, terutama pada peralatan yang dimanfaatkannya. Kemungkinan adanya perkembangan teknologi pertaniannya dapat dikaitkan dengan adanya tradisi pengolahan lahan tanpa menggunakan bajak pada sebagian masyarakat Sumatera utara, serta pemanfaatan peralatan lebih sederhana yang digerakkan oleh manusia seperti tenggala roda dan sisir kayu (Susilowati,2003:49). Tradisi pengolahan lahan tanpa menggunakan bajak diketahui masih dilakukan hingga kini oleh sebagian masyarakat di Barus dan Tapanuli Selatan, yaitu dengan menggiring kerbau (sekitar 8 -- 12 ekor) berkeliling pada lahan sawah secara berulang-ulang. Banyaknya kerbau yang digunakan menggambarkan banyaknya populasi kerbau yang diternakkan oleh satu keluarga inti di tempat tersebut. Sekalipun tidak banyak lahan sawah yang diusahakan di Samosir tempat komunitas subetnis Batak Toba misalnya, populasi kerbau sebagai hewan ternak juga cukup banyak. Hal ini disebabkan banyaknya kebutuhan kerbau sebagai hewan kurban yang menyertai upacara adat yang diselenggarakan masyarakatnya.

Bagi masyarakat yang masih hidup dengan tradisi megalitiknya seperti Toraja, Sumba, Dayak Ngaju, dan Batak, kerbau merupakan hewan yang sering dikorbankan pada upacara-upacara adatnya seperti upacara kematian (rambu solo’, marapu, tiwah, saur matua dan mangokal holi), atau pembangunan rumah adat. Pada umumnya banyaknya kerbau yang disembelih pada suatu upacara adat menggambarkan kemampuan keluarga atau tingginya status sosial seseorang di masyarakat. Kegiatan tersebut secara simbolis tergambar pada banyaknya tanduk kerbau yang dipajang pada rumah adat.

Pada masyarakat Batak di Sumatera Utara dikenal upacara kematian seperti saur matua, dan mangokal holi (menggali tulang) untuk memindahkan tulang dari kubur primer ke kubur sekunder. Sebagai rangkaian kegiatan upacara tersebut biasanya dilaksanakan pesta syukuran adat yang disertai dengan pemotongan kerbau. Sebelum disembelih kerbau diikat pada tiang yang disebut borotan serta diiringi dengan tarian tor-tor. Kemudian setelah kerbau disembelih dagingnya dibagikan pada kerabat yang mengikuti upacara tersebut berupa jambar juhut (Simatupang, 2005:63--65). Demikian halnya pada upacara perkawinan, horja bius (acara penghormatan terhadap leluhur), dan pendirian rumah adat, kerbau juga disembelih selain sebagai hewan korban juga sebagai pelengkap adat dalam pembagian jambar (Wiradnyana & Somba,2005:20). Pada pembagian pembagian jambar juhut (hewan kurban) terdapat aturan tertentu yang disebut ruhut papangan (Sihombing,1986 dalam Simatupang, 2005:88), yaitu:

a. Kepala (ulu (2) dan osang (3)) untuk raja adat.
b. Leher (rungkung atau tanggalan (6)) untuk pihak boru.
c. Paha dan kaki (soit (7)) untuk pihak dongan sabutuha.
d. Punggung dan rusuk (panamboli (4) & somba-somba (5)) untuk pihak hula-hula.
e. Bagian belakang (ihur-ihur (1)) untuk pihak hasuhuton.

Adanya aturan yang memberi perlakuan khusus pada raja di masyarakat Batak tersebut juga menjelaskan tentang keberadaan tanduk kerbau yang tersimpan pada rumah adatnya. Perlakuan khusus kepada pemimpin adat berkaitan dengan pemberian bagian kepala hewan kurban khususnya kerbau, juga ditemukan pada masyarakat Toraja.

IV. Penutup
Ornamen kerbau bagi masyarakat Batak merupakan lambang yang memiliki sifat sakral dan profan. Sifat sakralnya diketahui melalui ornamen kerbau pada tinggalan megalitik yang berkaitan dengan kubur batu, merupakan lambang kendaraan (wahana) bagi arwah menuju ke dunia arwah. Ornamen kerbau juga melambangkan kesuburan dikaitkan dengan kehidupan masyarakat pendukung megalitik bermatapencaharian di bidang pertanian. Sebagai perbandingan yang menggambarkan kepercayaan itu adalah digunakannya kerbau sebagai hewan kurban hingga kini, terutama pada upacara adat berkaitan dengan kematian seperti upacara saur matua, dan mangokal holi.

Bersifat profan dikaitkan dengan pandangan masyarakat bahwa kerbau merupakan hewan kurban yang memiliki nilai paling tinggi dibandingkan hewan lain seperti babi. Hal itulah yang menyebabkan pada beberapa suku tanduk kerbau yang diletakkan pada rumah adat melambangkan tingginya kedudukan sosial (prestise) dan kekuasaan/kepemimpinan pemiliknya. Sebagai ornamen yang digunakan pada rumah adat terutama pada rumah adat masyarakat Batak terdapat kesamaan pandangan, yaitu secara mistis dikaitkan dengan lambang penjaga keselamatan dari roh jahat, dan lambang yang berkaitan dengan kepemimpinan seperti keperkasaan/keberanian.

Kepustakaan
Aziz, Fadhila Arifin, 1999. Sarkofagus Munduk Tumpeng: Visualisasi Keseimbangan antara Dunia Idea dengan Dunia Materi, dalam: Naditira Widya No. 3. Banjarmasin: Balai Arkeologi Banjarmasin, hal. 1 -- 11

Ferdinandus, Peter,1990. Adakah pengaruh asing dalam system pertanian Masa Jawa Kuna ? dalam: Kajian Agrikultur berdasarkan Data Arkeologi, Analisis Hasil Penelitian Arkeologi III. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, hal. 423 -- 440

Geldern, R. von Heine, 1945. Prehistoric Research in Netherlands Indies, Science and Scientist in the Netherlands Indies. New York: Board for the Netherlands Indies, Suriname and Curacao

Gunadi, 2000. Kerbau di Beberapa Suku Bangsa Indonesia: Suatu Tinjauan Antropologi Ekonomi, dalam: Somba Opu No. 9. Ujung Pandang: Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Propinsi Sulawesi Selatan dan Tenggara, hal. 59--63

Ginting, Samaria dan A.G. Sitepu, 1994/1995. Ragam Hias (ornamen) Rumah Adat Batak Karo. Medan: Museum Negeri Propinsi Sumatera Utara

Hasanuddin, Samaria Ginting, dan Lisna Budi Setiati, 1997. Ornamen (Ragam Hias) Rumah Adat Batak Toba. Medan: Bagian Proyek Pembinaan Permuseuman Sumatera Utara

Marsden, William, 1999. Sejarah Sumatra, diterjemahkan oleh A.S. Nasution dan Mahyuddin Mendim. Bandung: Remaja Rosdakarya

Simatupang, Defri Elias, 2005. Upacara Mangokal Holi di Pulau Samosir, Studi Etnoarkeologi Transformasi Unsur Kebudayaan Religi, dalam Skripsi untuk gelar Sarjana dalam Ilmu Arkeologi, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada

Sipayung, Hernauli dan S. Andreas Lingga, 1994. Ragam Hias (Ornamen) Rumah Tradisional Simalungun. Medan: Museum Negeri Propinsi Sumatera Utara

Situmorang, Oloan,1997. Mengenali Bangunan serta Ornamen Rumah Adat Daerah Mandailing dan Hubungannya dengan Perlambangan Adat. Medan: Angkasa Wira Usaha

Soejono, R.P.,1977. Sistim-sistim penguburan pada akhir masa prasejarah di Bali, Disertasi dalam Ilmu Sastra, Universitas Indonesia.

----------- (ed.), 1990. Sejarah Nasional Indonesia I. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Sukendar, Haris, 1984. Tinjauan Arca Megalitik Tinggihari dan Sekitarnya, dalam: Berkala Arkeologi No. V (2). Yogyakarta: Balai Arkeologi Yogyakarta, hal. 1--16

------------, 1990. Peternakan pada masa tradisi Megalitik dalam Kajian Agrikultur berdasarkan Data Arkeologi, Analisis Hasil Penelitian Arkeologi III. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, hal. 209 -- 220

------------, 1996. Seni Lukis Prasejarah antara Estetika dan Religius, dalam: Kebudayaan No. 10. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, hal. 11 -- 24

Sulistyanto, Bambang, 1989. Proses Perkembangan Kesenian dalam Perubahan Kebudayaan, dalam: Berkala Arkeologi No. X (2). Yogyakarta: Balai Arkeologi Yogyakarta, hal. 31-- 51

-------------& Nasruddin, 2006. Tiwah Ritus Kematian Dayak Ngaju, dalam Kebudayaan, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kebudayaan Vol.1 No1. Jakarta: Puslitbang Kebudayaan, hal. 20 – 32

Susilowati, Nenggih, 2001. Laporan Penelitian Arkeologi. Penelitian Arkeologi di Batu Gajah, Kabupaten Simalungun, Provinsi Sumatera Utara. Medan: Balai Arkeologi Medan (tidak diterbitkan)

-----------, 2003. Tenggala (Bajak) di Sumatera Utara, Unsur Budaya Yang Masuk Pada Masa Klasik, dalam: Sangkhakala No. 12. Medan: Balai Arkeologi Medan, hal. 43 -- 54

Suryanto, Diman, 1990. Bercocok tanam dan Religi: Kajian terhadap Hasil Penelitian Kubur Peti Batu di Bojonegoro, dalam: Kajian Agrikultur berdasarkan Data Arkeologi, Analisis Hasil Penelitian Arkeologi III. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, hal. 406 --422

Tichelman, G L dan P. Voorhoeve, 1938. Steenplastiek in Simaloengoen. Medan: Köhler & Co

Whitten, Anthony J. dkk., 1984. The Ecology of Sumatra. Yogyakarta: Gajah Mada University Press

Wiradnyana, Ketut & Somba, Nani, 2005. Fungsi dan Makna Kerbau dalam Tradisi Megalitik di Sebagian Wilayah Indonesia, dalam: Walennae Vol. VIII No. 12. Makassar: Balai Arkeologi Makassar, hal 17 -- 26

Wiryomartono, Bagoes P., ‘Garonto Passura’ Masalah Ideografik dalam Tradisi Toraja, dalam: Semiotik, Mengkaji Tanda dalam Artifak, penyunting E.K.M. Masinambow & Rahayu S. Hidayat, Jakarta: Balai Pustaka, hal. 146 -- 160

-

Arsip Blog

Recent Posts