Narasi Feminisme, Pembebas Penindasan

Oleh: S Prasetyo Utomo

Di antara para feminis, dapat kita temukan tiga novelis yang mengekspresikan pembebasan mereka terhadap dominasi budaya patriarkhi melalui narasi fiksi. Kita mengenal Nawal el-Saadawi, Tsitsi V Himunyanga-Phiri, dan Arundhati Roy sebagai pengarang feminis yang tajam menulis novel yang menyuarakan pembebasan dari penindasan budaya patriarkhi. Mereka menyingkap sisi gelap, kegetiran, dan ketidakadilan terhadap perempuan. Pembebasan mereka dikemas dalam struktur narasi dan bersenyawa dengan imaji.

Tentu Nawal el-Saadawi menanggung kegetiran hidup karena ketajaman tulisan-tulisannya. Menteri Kesehatan Mesir telah menghentikannya dari jabatan Direktur Pendidikan Kesehatan dan Pemimpin Redaksi Majalah Health. Sebagai feminis, ia dianggap membahayakan kelangsungan kekuasaan patriarkhi. Akan tetapi, justru pada saat ia menganggur, novel-novel feminis lahir dari tangannya. Beberapa novel feminisnya selalu menciptakan kejutan dan dekonstruksi terhadap penindasan kekuasaan laki-laki.

Begitu pula dengan Tsitsi V Himunyanga-Phiri yang menulis novel dengan aspirasi feminisme yang menggempur penindasan budaya laki-laki. Ia mencipta novel bukan sebagai ekspresi estetika, melainkan untuk melakukan perjuangan feminisme.

Sebagai pengarang Afrika berkulit hitam yang mendapat pendidikan Barat, Tsitsi V Himunyanga-Phiri mengekspresikan perjuangan hak-hak kaum perempuan. Ia tidak menyajikan metafora kehidupan, tetapi mengekspresikan realitas kasar kehidupan, dan terutama, situasi sosial di Afrika.

Sementara Arundhati Roy juga mengalami kegetiran karena adegan seks yang jorok dalam novelnya dianggap merusak moral anak muda. Bahkan, ia digugat ke pengadilan. Akan tetapi, gugatan Arundhati Roy akan realitas sosial budaya India yang sangat sensitif terhadap diskriminasi atas kasta, ras, etnis, kelas, agama, dan orientasi seksual inilah yang membuat ia mendapat hujatan keras.

Perjuangan feminisme
Di antara novel-novel Nawal el-Saadawi, Perempuan di Titik Nol merupakan salah satu karya yang secara tajam menyuarakan perjuangan feminisme.

Tokoh utama novel ini adalah Firdaus, pelacur kelas atas di kota Kairo yang divonis hukuman gantung karena membunuh seorang germo. Novel yang diangkat dari kisah nyata ini merupakan kritik sosial yang keras.

Melalui tokoh Firdaus, Nawal el-Saadawi menyingkap bahwa semua yang memerintah adalah laki-laki. Persamaan di antara mereka adalah kerakusan dan kepribadian yang penuh distorsi, nafsu tanpa batas mengumpulkan uang, seks, dan kekuasaan.

Dalam novel Tsitsi V Himunyanya-Phiri, Warisa, tersirat perlawanan untuk meruntuhkan adat istiadat dan hukum yang secara tidak adil membatasi kebebasan dan perjuangan perempuan. Karena itu, perlawanan feminisme terarah pada kaum laki-laki agar perempuan memperoleh peran dalam menentukan adat istiadat dan hukum.

Perlawanan feminis-dalam novel itu-juga diarahkan kepada kaum perempuan yang telah terperangkap budaya yang diciptakan kaum laki-laki. Dihadirkan pula tokoh perempuan yang menerima dengan sukacita dirinya dijadikan gundik laki-laki beristri.

Novel Arundhati Roy, The God of Small Things, dikemas dalam gaya dan struktur narasi yang menakjubkan. Ia leluasa mengekspresikan masalah jender dan seksualitas; representasi kelas, agama, etnisitas dan ras; identitas budaya dan posisi postkolonial; sejarah dan ideologi; kekuasaan negara, sampai kekerasan rumah tangga. Kritik tajam novel ini diarahkan pada komunisme dan agama-yang mengajarkan kesetaraan manusia-ternyata sama sekali tidak mengubah sistem perbedaan manusia yang sangat diskriminatif dan patriarkhis di India.

Karya sastra
Pembebasan tiga feminis yang menulis novel dengan ketajaman visi dan ideologi ini sungguh membuat kejutan yang menyentak kesadaran kebudayaan.

Pertama, mereka melakukan perjuangan tekstual dengan menulis novel yang searus dengan ideologi perjuangan yang dilakukan sehari-hari dalam konteks sosial.

Kedua, novel-novel itu sengaja dicipta sedekat mungkin dengan realitas sosial dan secara tersirat atau terbuka membongkar pembusukan budaya patriarkhi.

Ketiga, novel bukan lagi melulu dikonstruksi melalui fantasi sehingga menjadi teks imajinatif yang estetis, melainkan menjadi bagian dari pembebasan budaya patriarkhi.

Di antara ketiga novelis feminis itu, tak semuanya menghasilkan teks sastra yang rendah kadar literernya. Memang novel Warisan karya Tsitsi V Himunyanga-Phiri terkesan terlalu sarat beban sosiologis sehingga struktur narasi terbengkalai.

Sedangkan novel Nawal el-Saadawi, meskipun disusun dengan struktur sederhana dan memakai bahasa yang lugas dan tajam, tetapi masih menghidupkan estetika, kontemplasi, dan imaji-imaji yang menyengat hati nurani.

Struktur narasi yang unik, khas, dengan gaya penuh daya pikat diekspresikan Arundhati Roy, sehingga lazimlah ia mendapat anugerah Booker Prize 1997. Ia tak sekadar melancarkan gugatan atas penindasan adat istiadat dan hukum patriarkhi, tetapi juga dikenang luas kalangan dunia dengan kekuatan literer novelnya.

S PRASETYO UTOMO Cerpenis dan Pemerhati Sastra Budaya, Tinggal di Semarang

-

Arsip Blog

Recent Posts