Bambu dan Baduy: Keserasian Hidup Bersama Alam

Oleh : Redaksi Explore Indonesia

Baduy, sebuah nama yang lazim diberikan kepada satu kelompok masyarakat adat di wilayah Kabupaten Lebak, Propinsi Banten. Sebenarnya, kelompok masyarakat ini lebih senang disebut Orang Kanekes, sesuai nama wilayah atau desa mereka. Mungkin sekali, nama Baduy dihubungkan dengan adanya Sungai Baduy dan Gunung Baduy yang ada di bagian utara wilayah perkampungan Desa Kanekes. Masyarakat suku Baduy terkenal dengan kemampuan luar biasa yang mereka miliki untuk menolak pengaruh budaya dari luar.

Saat ini, masyarakat Baduy terpisah menjadi dua kelompok besar yang disebut Baduy Luar dan Baduy Dalam. Berbeda dengan Baduy Luar yang terdiri dari belasan perkampungan kecil menyebar di sekeliling wilayah Desa Kanekes, Baduy Dalam hanya terdiri dari 3 kampung yang masing-masing mempunyai ke-puun-nan (kepala adat), yakni Cibeo, Cikeurtawarna, dan Cikeusik. Walaupun sudah sedikit terbuka dengan pengaruh budaya dari luar, namun masyarakat Baduy Luar masih sangat kuat memegang adat istiadat Baduy dengan ”kiblat” utama kepada ketiga kepuunan Baduy Dalam.

Perbedaan sikap, walau tidak exkstrim, antara Baduy Luar dan Baduy Dalam ketika merespon intervensi budaya dari luar komunitasnya, telah memberikan perbedaan warna antara kedua kelompok tersebut. Penggunaan paku untuk membuat rumah, misalnya, bagi Baduy luar adalah hal yang biasa, sementara bagi Baduy Dalam penggunaan paku tersebut merupakan hal tabu dan dilarang. Contoh lain adalah penggunaan angkutan transportasi kendaraan bermotor; bagi orang Baduy Luar diperbolehkan, sedangkan untuk orang Baduy Dalam tidak boleh sama sekali.

Namun demikian, adalah hal menarik ketika keseluruhan Baduy dari kedua kelompok sama-sama memiliki ikatan yang sangat kuat dengan tumbuhan bambu. Hal ini dengan mudah dapat dilihat disaat kita mulai memasuki wilayah habitat Baduy Luar. Sepanjang perjalanan akan dijumpai sejumlah rumpun bambu yang sebagian-nya terpelihara dengan baik oleh penduduk Baduy. Beruntung, letak wilayah Desa Kanekes yang merupakan bagian dari Pegunungan Kendeng dengan ketinggian 300 – 600 m di atas permukaan laut (DPL), yang mempunyai topografi berbukit dan bergelombang dengan kemiringan tanah rata-rata mencapai 45%, yang merupakan tanah vulkanik (di bagian utara), tanah endapan (di bagian tengah), dan tanah campuran (di bagian selatan) dengan suhu rata-rata 20°C. Keadaan tersebut memungkinkan untuk tumbuh suburnya rumpun bambu.

Menilik sejarah panjang suku-suku pedalaman yang ada di Indonesia, hampir semua masyarakat tradisional itu memiliki keterkaitan langsung dengan tumbuhan bambu ini. Sehingga ada pameo mengatakan ”dimana ada bambu, di sana ada masyarakat tradisional”. Umumnya, habitat manusia yang pernah ada di dunia dari dahulu kala hingga sekarang dikaitkan dengan keberadaan sungai. Manusia akan membangun pemukimannya di dekat aliran sungai. Masyarakat Baduy mengambil kombinasi antara kedua hal tersebut: membuat perumahan mereka di dekat sungai dan rumpun bambu.

Ada alasan kuat mengapa masyarakat Baduy memilih tumbuhan bambu sebagai ”teman hidup”nya. Bambu dengan segala kelebihannya telah menyediakan dirinya menjadi bahan baku bagi hampir semua kebutuhan hidup manusia! Hampir tidak ada dari bagian tumbuhan ini, mulai dari akar hingga pucuk dan daun-nya yang tidak bisa dimanfaatkan. Akar bambu sering dipakai sebagai bahan ramuan obat, pucuk (rebung) bambu dibuat sayuran, dan batang bambu dewasa untuk bermacam keperluan bangunan. Bahkan tanah tempat bekas rumpun bambu adalah bagian tanah yang amat subur untuk berladang.

Bambu telah menyediakan hampir semua kebutuhan peralatan hidup bagi manusia Baduy. Gelas Bambu adalah yang paling sederhana. Orang Baduy, terutama kelompok Baduy Dalam mengkreasi gelas minum dari bambu dengan berbagai ukuran. Struktur tumbuhan yang berlubang di tengah dengan buku-buku kokoh yang menjadi pembatas antar ruas-ruasnya telah dimanfaatkan secara cerdas untuk menciptakan gelas-gelas tempat minum manusia. Selain gelas, bambu juga dapat dibuat berbagai peralatan dapur dan rumah tangga, seperti sendok, garpu, sumpit, dan untuk menanak nasi. Bambu kering kerap juga digunakan sebagai kayu bakar untuk perapian memasak makanan.

Bambu ternyata juga menjamah wilayah naluri seni manusia di banyak tempat di Indonesia, termasuk Baduy. Alat musik tiup seperti seruling bambu, angklung, dan kentongan adalah beberapa contoh penggunaan ruas-ruas bambu dengan berbagai ukuran bagi kepentingan pemenuhan hasrat bermusik atau berkesenian orang Baduy. Pembuatan wayang dari anyaman bambu juga sering dijumpai di komunitas Baduy, dan banyak lagi. Perlengkapan kerja seperti caping (tudung) yang biasa digunakan bekerja di ladang di tengah terik matahari terbuat dari bambu. Terdapat juga tikar bambu, atau sekedar anyaman bambu yang agak kasar, yang biasanya digunakan untuk menjemur ketela, kopi, kelapa, bahkan padi. Bakul berukuran kecil, sedang dan besar dibuat dari bambu. Bambu Timba adalah alat mengambil dan membawa air dari sungai atau pancuran hampir dimiliki di setiap rumah orang Baduy.

Bambu adalah bahan bangunan utama bagi suku Baduy. Bambu dapat dibuat lumbung padi, tempat jemuran padi yang baru dipanen, rumah, saluran air, dan jembatan penyebrangan di atas sungai atau jurang. Format bambu yang lurus dan panjang tanpa cabang, berlubang tengah, beruas dan berbuku kokoh, tersedia dalam berbagai ukuran, dan berbagai kelebihan tumbuhan ini, telah menjadikannya sebagai bagian tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat tradisional seperti orang Baduy. Dengan keahlian dan dan kemampuan tehnik yang amat sederhana, Baduy remaja dan dewasa dapat membuat berbagai macam bangunan bagi keluarganya dari bahan baku bambu. Dalam membuat rumah misalnya, bambu dapat diolah sedemikian rupa untuk menjadi apa saja. Bambu bisa jadi tiang penyanggah rumah yang umumnya berbentuk panggung, ia juga bisa jadi dinding, lantai, kasau, bahkan jadi atap rumah.

Bangunan jembatan bambu di atas kali besar adalah satu fenomena ”teknologi tradisional” yang spektakuler sekaligus unik dan indah. Jembatan bambu di atas sungai Cihujung di Kampung Gajebo, salah satu perkampungan Baduy Luar, terlihat artistik melintang kokoh menghubungkan kedua sisi jurang sungai di ketinggian sekitar 40-an meter dari permukaan sungai. Kemampuan teknologi yang cukup baik untuk menciptakan bangunan jembatan di tengah hutan dengan formasi jembatan ala Jembatan Merah di Palembang atau meniru gaya London Bridge di Inggris. Semua bahan utama bangunan jembatan ini dari bambu. Tiang-tiang penyanggah dibuat dari bambu besar yang panjang dan kokoh, juga tiang-tiang gantungan jembatan menggunakan bambu. Lantai jembatannya juga dari bambu yang bulat dan utuh yang disusun sedemikian rupa seperti rakit, sambung-menyambung dari sisi yang satu ke sisi sungai yang lainnya. Sebagai pengikat jembatan, Orang Baduy menggunakan pilinan ijuk yang didapatkan dari pohon enau yang juga banyak tersebar di wilayah hutan di Baduy. Ada beberapa buah jembatan bambu seperti ini di sana, di samping terdapat juga jembatan akar yang dibuat dari rangkaian akar-akar pohon besar dari kedua sisi sungai.

Saat ini, di masyarakat modern di kota-kota besar, bahkan di negara maju, keberadaan perabotan dan perlengkapan furniture dari bambu sudah menjadi pemandangan jamak. Meja-kursi bambu adalah hal biasa, bukan saja di rumah-rumah, bahkan sering terlihat di perkantoran dan restoran mewah. Aksesoris bangunan yang terbuat dari bambu seperti bel, lampu dinding, gantungan kunci, dan lain-lain adalah juga merupakan bagian dari kehidupan masyarakat moderen. Bahkan, bila bambu asli tidak ditemukan, orang justru membuat hasil karya bambu mereka melalui imitasi bambu dari bahan baku plastik dan lainnya. Bambu telah menjadi inspirasi manusia di mana saja sepanjang masa.

Jadi, amat logis jika akhirnya tercipta suatu ikatan bathin yang kuat antara masyarakat Baduy dengan pokok bambu, yang pada akhirnya membuat masyarakat tradisional ini menjaga dengan seksama rumpun-rumpun bambu di sekitar mereka dengan baik. Sepanjang bambu masih tumbuh subur, rimbun dan kokoh di daerahnya, orang Baduy akan tetap eksis dengan segala pernik kebudayaan dan adat istiadatnya yang ”tidak lekang oleh panas, tidak lapuk oleh hujan”. (WL)

-

Arsip Blog

Recent Posts