Mandar dalam Perspektif Kesejarahan

Oleh : Edward L. Poelinggomang

Pengantar
Topik Sejarah Mandar telah menjadi objek penelitian keilmuan dan tajuk pembicaraan dalam berbagai seminar. Meskipun demikian tampak bahwa penggalan-penggalan objek studi dan pembicaraan itu masih belum diramu menjadi karya standar Sejarah Mandar. Itulah sebabnya dalam beberapa makalah seminar masih dijumpai beberapa hal yang belum baku untuk di pahami dan dijadikan dasar berpijak.

Sebagai contoh dapat ditampilkan pengertian Mandar. Dalam makalah dari H. Mochtar Husein (1984) diungkapkan bahwa kata Mandar memiliki tiga arti : (1) Mandar berasal dari konsep Sipamandar yang berarti saling kuat menguatkan; penyebutan itu dalam pengembangan berubah penyebutannya menjadi Mandar; (2) kata Mandar dalam penuturan orang Balanipa berarti sungai, dan (3) Mandar berasal dari Bahasa Arab; Nadara-Yanduru-Nadra yang dalam perkembangan kemudian terjadi perubahan artikulasi menjadi Mandar yang berarti tempat yang jarang penduduknya. Penulis makala ini, setelah mengajukan berbagai pertimbangan penetapan pilihan pada butir kedua, yaitu “mandar” yang berarti “sungai” dalam penuturan penduduk Balanipa. Tampaknya menyebutan itu tidak berpengaruh terhadap penamaan sungai sehingga sungai yang terdapat de daerah itu sendiri disebut Sungai Balangnipa. Selain itu masih terdapat sejumlah sungai lain di daerah Pitu Babana Binanga (PBB), yaitu sungai: Campalagiang, Karama, Lumu, Buding-Buding, dan Lariang.

Selain itu, dalam buku dari H. Saharuddin, dijumpai keterangan tentang asal kata Mandar yang berbeda. Menurut penulisnya, berdasarkan keterangan dari A. Saiful Sinrang, kata Mandar berasal dari kata mandar yang berarti “Cahaya”; sementara menurut Darwis Hamzah berasal dari kata mandag yang berarti “Kuat”; selain itu ada pula yang berpendapat bahwa penyebutan itu diambil berdasarkan nama Sungai Mandar yang bermuara di pusat bekas Kerajaan Balanipa (Saharuddin, 1985:3). Sungai itu kini lebih dikenal dengan nama Sungai Balangnipa. Namun demikian tampak penulisnya menyatakan dengan jelas bahwa hal itu hanya diperkirakan (digunakan kata mungkin). Hal ini tentu mengarahkan perhatian kita pada adanya penyebutan Teluk Mandar dimana bermuara Sungai Balangnipa, sehingga diperkirakan kemungkinan dahulunya dikenal dengan penyebutan Sungai Mandar.

Gambaran tentang nama Mandar ini cukup membingungkan, apabila direnungkan tanpa referensi. Karena itu dapat memberikan kecerahan menyangkut penamaan itu, saya ingin mengajak untuk berpaling pada latar kesejarahan. Saya berharap dengan mencoba menelusuri Keterangan-keterangan Kesejahteraan, kita dapat mengambil kesimpulan yang beralasan tentang penamaan itu.

Latar Kesejarahan
Dalam salah satu naskah lokal (lontara) di Mandar ditemukan keterangan yang menyatakan bahwa manusia pertama yang datang ke daerah ini mendarat di hulu Sungai Sadang. Sementara dalam tulisan dari Salahuddin Mahmud (1984) dinyatakan bahwa Tomakaka yang pertama menetap di Ulu’ Sadang. Keterangan itu memberikan petunjuk bahwa pemukiman di daerah ini telah berlangsung jauh sebelum terjadi penurunan permukaan laut (masa glasial). Selain itu juga dapat dipahami bahwa penghuni daerah ini adalah Kelompok Migran yang datang dari daerah lain, diperkirakan dari daerah Cina Selatan, yang kemudian menetap dan membangun persekutuan masyarakat. Juga dapat berarti bahwa penduduk daerah pesisiran maupun daerah pedalaman bercikal bakal pada keturunan yang sama, yang oleh berbagai alasan, pertambahan penduduk , bencana alam, wabah penyakit atau karena persoalan adat dan sistem kekuasaan, berpindah dan membangun pemukiman baru.

Dalam tradisi lokal masyarakat Sulawesi Selatan diperoleh keterangan yang cukup memikat tentang persebaran pemukiman. Kisah kerajaan mitis di Rura yang bersifat teokratis, terjadinya persebaran penduduk ke berbagai penjuru daerah itu disebabkan karena raja Rura, Londong di Rura yang bergelar Sappang ri Galete berkehendak melakukan perkawinan antara anak-anak sendiri, yang laki-laki di kawinkan dengan yang puteri (insest), suata rencana yang dilarang para dewata. Menurut tradisi jika terjadi insest maka pasti dewata yang mendatangkan mala petaka yang besar, sehingga sebulum upacara pernikahan dilakukan para keluarga kerajaan dan rakyat yang tidak menyetujuinya tidak berangkat meninggalkan negerinya (Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan, 1991). Tampak hal yang senada juga dijumpai dalam kisah Sawerigading yang berkeinginan untuk mempersunting saudara kembarnya, We Tenriabeng. Meskipun kisahnya mengarah pada pengembaraannya ke Cina untuk mempersunting sepupunya di Cina, We Cudai, namun karena ingin kembali ke Luwu, maka akhirnya ia ditarik ke paratiwi (ke bawa bumi) dan saudara kembarnya dimarairatkan ke dunia atas (boting langi). Tampaknya kisah-kisah ini mendasari aturan adat bagi penghukuman pelaku insest untuk didaerah dan ditenggelamkan ke air dalam, di danau atau di laut.

Akibat lain dari perbuatan insest adalah bencana dalam kehidupan masyarakat yang digambarkan bagaikan kehidupan yang kaos. Yang kuat memangsai yang lemah sehingga terjadi terus menerus perang tanding antar satu persekutuan dengan persekutuan lainnya. Dalam Masyarakat Sulawesi Selatan, kondisi itu diungkapkan dengan pernyataan bahwa kehidupan manusia sama seperti kehidupan ikan dilaut yang saling memangsai. Hal itu yang mendorong masyarakat senangtiasa bermohon kepada dewata kiranya dapat menemukan tokoh yang dapat menciptakan ketenteraman dan kedamaian. Hal itu terpenuhi dengan ditampilkan konsep Tumanurung, yang ditempatlkan menjadi tokoh pemersatu yang berhasil memulihkan kehidupan masyarakat, dan membangun tatanan pemerintahan yang terorganisir dalam bentuk monarkhi namun raja tidak memiliki kekuasaan mutlak karena dibentuk pula dewan hadat yang berfungsi legislatif dalam mengontrol kewenangan pemegang kendali politik.

Gambaran proses politik dengan konsep Tumanurung ini memiliki corak yang berbeda dengan pengkisahan sejarah dengan Mandar. Tumanurung lebih tampak sebagai tokoh pemula pemukiman yang kemudian tersebar ke berbagai daerah, yang pada prinsipnya untuk menunjukan bahwa penduduk Sulawesi Selatan, bahkan hingga Sulawesi tengah memiliki latar kesejarahan yang sama dan bersaudara. Dalam kisah Sejarah Sendawa, berdasarkan tradisi lisan, manusia pertama (Tumanurung) yang datang di Tanetena adalah tujuan orang Tumanurung yang kemudian masing-masing mengembara ke kaili, luwu, toraja, Bone, Cina, Sendana, dan yang satunya tidak diketahui ke mana perginya karena masing-masing memiliki semangat kepemimpinan. (Ahmad Sahur 1984). Kisah pengembaraan yang sama pula dalam ceritra rakyat di Enrekang, sehubungan dengan kerajaan Rura, dan kisah dalam satra I Galigo.

Sementara penyelesaian proses kehidupan masyarakat yang kaos itu terkisah dengan tampilnya I Manyambungi (Tamanyambungngi) yang dikenal juga dengan nama Todilaling. Ia adalah putera dari Tomakaka Napo, Pong ri Gadang. Ia mengembara dan diketahui pernah menjadi salah seorang pemimpin pemberani (Tobarani) Kerajaan Makassar (Gowa-Tallo) pada periode Tumaparissi Kalonna (1510-1546). Pada waktu menjadi pertentangan di negerinya, Ia dipanggil pulang untuk membantu penyelesaian persoalan yang terjadi. Keberhasilan menyelesaikan perselisihan yang terjadi itu, menyebabkan ia dipilih dan diangkat menjadi pemegang kendali kekuasaan atas persekutuan itu dibentuk dari: Napo. Mosso, Todang Todang, dan Samasundu. Pusat pemerintahan di Napo, satu wilayah yang sejak lama dikenal menjadi bandar niaga di daerah ini. Persekutuan ini menjadi dasar kerajaan Balanipa, sehingga dia dikenal sebagai raja Balanipa I. Proses pemilihan dan pengangkatannya ini di pandang sebagai dasar bagi pembentukan kesatuan pemerintahan yang dikategorikan dengan kerajaan.

Keberhasilan dalam memulihkan dan menentramkan masyarakat dengan konsep menyatukan kelompok-kelompok Tomakaka itu dilanjutkan pula oleh penerus pemegang kendali kekuasaan di kerajaan itu. Tomepayung, yang dinobatkan menggantikan I Manyambungi, tercatat berhasil mendamaikan dan menggabungkan lagi tiga Tomakaka, yaitu: Boroboro, Banato, dan Andau (baca: Ahmad Sahur, 1984: 89-93; Saharuddin, 1985: 35-40). Ia juga memprakarsai Muktamar Tammenjarra yang menghasilkan persekutuan pitu Babana Binanga (PBB). Pada dasarnya pembentukan wadah ini merupakan wadah persekutuan Kerajaan-Kerajaan (bondgenootshappijke landen) dengan menempatkan Kerajaan Balanipa sebagai pemimpin persekutuan itu dengan status sebagai “ayah” dan Kerajaan Sendana berstatus “ibu” dan Kerajaan lainnya sebagai anggota dengan status “anak”.

Dalam perkembangan kemudian, ia juga bergiat menjalin persekutuan dengan Kerajaan-Kerajaan kecil di daerah pedalaman yang telah membentuk persekutuan Pitu Ulunna Salu (PUS) yang terdiri dari kerajaan: Rantebulahan, Aralle, Mambi, Bambang, Matangnga, Messawa, dan Tabulahan. Permusyarawatan yang diselenggarakan di Luyo Tabasalah itu menghasilkan perjanjian Luyo (Allamungan Batu di Luyo). Isi pokok perjanjian itu adalah kesepakatan bersama untuk menjamin ketentraman kerajaan-kerajaan persekutuan. Itulah sebabnya pengaturannya adalah PUS mengemban kewajiban menangkal musuh yang datang dari arah pedalaman sementara PBB menangkal musuh yang datang dari arah laut. Persekutuan itu di ibaratkan bagaikan sebuah pupil mata yang terpadu warna hitam dan putih, paduan yang memungsikan mata. Menurut Darwis Hamzah, Perjanjian Luyo ini yang dikenal dengan istilah ‘Sipamandar’ yang berarti saling kuat menguatkan (Saharuddin, 1985: 41).

Latar Kesejarahan ini yang mendasari penyebutan dalam penataan pemerintahan di daerah ini setelah pihak pemerintah Hindia Balanda berhasil memaksakan kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan menandatangani pernyataan pendek (Korte Verklaring)4 dengan menyebut wilayah PUS sebagai negeri-negeri pedalaman dari Balanipa (bovenlanden van Balanipa) dan Polewali dan Kerajaan Binuang sebagai negeri pesisir dari Balanipa (beneden landen van Balanipa)5 Dalam penamaan wilayah di daerah ini tampak pemerintah Hindia Balanda mengalami kesulitan untuk menyebut berdasarkan nama daerah mengingat pembentukan wilayah itu terdiri dari beberapa kerajaan yang menjadi satu federasi ataupun berbentuk konfederasi. Oleh karena itu pusat pemerintahan dijadikan patokan penamaan wilayah itu. Sebagai contoh, wilayah PUS yang berpusat di Mamasa (Wilayah Tabulahan) menjadi nama wilayah PUS; sementara Balanipa dan Binuang yang berpusat di Polewali disebut saja Polewali.

Pada periode pemerintahan Hindia Belanda ini, yang secara de yure dan de fakto setelah penandatanganan Pernyataan Pendek itu pada permulaan abad ke-20 itu, seluruh wilayah yang tergabung dalam PBB dan PUS disebut afdeeling Mandar, dengan pusat pemerintahan di Majene. Wilayah afdeeling ini terbagi dalam empat onderafdeeling, yaitu onderafdeeling: Majene, Mamuju, Polewali dan Mamasa. (Staatblad 1924 No. 476 dan Staatblad 1940 No. 21). Penamaan itu memberikan petunjuk bahwa nama Mandar telah mencakup wilayah pemukiman rakyat dari pesekutuan PBB dan PUS, dan telah menjadi konsep perwilayahan yang luas. Penamaan wilayah itu kemudian menampilkan nama itu sebagai mengejawantakan diri kelompok penduduk penghuni wilayah ini, sehingga umum dijadikan salah satu etnis di Sulawesi Selatan, untuk membedakannya dari kelompok Makassar dan Bugis.

Sesungguhnya, berdasar pada latar kesejarahaan, pembentukan kelompok Bugis dan Makassar adalah suatu gagasan dari Cornelis Speelman yang mengarah pada politik adu-domba. Karena itu dalam Perjanjian Bungaya (1667), Kelompok Bugis adalah Kerajaan-Kerajaan yang berpihak pada VOC dan Perang Makassar (1666-1667; 1668-1669), yaitu Bone, Soppeng, Luwu, dan Federasi Toratea (Binamu, Bangkala, dan Laikang). Sementara kerajaan-kerajaan yang berpihak kepada kerajaan Makassar dijadikan Kelompok Makassar, yaitu semua kerajaan yang tidak berpihak pada VOC, termasuk Kerajaan-Kerajaan di Mandar. Yang menjadi pemimpin kelompok Bugis adalah Kerajaan Bone, sementara yang menjadi pemimpin Kelompok Makassar adalah kerajaan Gowa. Namun dalam penataannya Kelompok Bugis mendapat peluang memperluas pengaruh kekuasaannya sehingga dalam pengembangan kemudian kerajaan-kerajaan yang dahulunya masuk dalam Kelompok Makassar beralih menjadi anggota Kelompok Bugis seperti Maros, Pangkajene, Tanatte, Malusse Tasi, Kelompok Ajataparang dan Mandar. Oleh karena itulah dalam pemberitaan pihak pemerintahan Belanda kemudian orang-orang Mandar (Madereezen) disebut juga orang Bugis (Bugineezen) (Encyclopedie Van. Nederlandsch-Indie, “Mandar”: 664).

Penataan administrasi pemerintahan kolonial itu mengalami perubahan ketika pemerintah Indonesia menata organisasi pemerintahan di Sulawesi. Berdasarkan peraturan Presiden RI Nomor 5 Tahun 1960 (Lembaran Negara 1960 Nomor 38). Wilayah Propinsi Sulawesi Selatan dan Tenggara terdiri dari 27 Daerah Tingkat II, dimana wilayah Mandar terbagi dalam tiga daerah Tingkat II (Kabupaten) yaitu Kabupaten: Majene, Mamuju dan Polewali-Mamasa. Pada perkembangan terakhir berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2002, pemerintahan memisahkan Mamasa dari Kabupaten polewali-Mamasa dan menjadikannya satu Kabupaten daerah Tingkat II yang Menjadi dengan nama Kabupaten daerah Tingkat II Mamasa. Penataan ini tampak kembali mengikuti penataan pada waktu pemerintahan Hindia Belanda maupun ketika Belanda tentang daerah ini yang saya tekuni, saya belum menemukan satu artikel yang menjelaskan tentang nama Mandar, kecuali penyebutan Makassar dan Sulawesi.

Interpretasi tentang pengadopsian kata mandar yang berarti sungai menjadi dasar penyebutan kewilayahan Mandar cukup beralasan Hal itu didasarkan pembentukan persekutuan menggunakan keterangan “Sungai” yaitu Pitu Babana Binanga (Tujuh Kerajaan Muara Sungai) dan Pitu Ulunna Salu (Tuju Kerajaan Hulu Sungai). Hal ini menunjukkan bahwa kerajaan-kerajaan di wilayah ini terbentuk di daerah aliran sungai, sehingga mendapat penyebutan Mandar yang berarti “Sungai”. Kenyataan menunjukan bahwa di daerah Mandar terdapat sejumlah besar sungai yang bermuara di Selat Makassar. Perkiraan ini juga di ungkapkan oleh Mocktar Husein dan H. Saharuddin, dan tentu hal itu terkait dengan kosa kata bahasa penduduk Balanipa yang menyebut sungai dengan kata mandar (mandi ke sungai = namauna di mandar). Sementara kosa kata lainnya adalah binanga dan salu yang memiliki arti “Sungai”.

Tinjauan Akhir
Gambaran periode kesejarahan daerah ini menunjukan bahwa penamaan Mandar telah mencakup wilayah yang meliputi dibagian utara Kerajaan Mamuju hingga ke Selatan Kerajaan Binuang dan bagian Timur Wilayah PUS. Dalam konsep kewilayahan sekarang meliputi Kabupaten daerah Tingkat II: Mamuju, Majene, Polewali Mamasa, dan Mamasa. Sesungguhnya penataan wilayah Kabupaten dalam kehidupan pemerintahan sekarang ini telah menggeser konsep kewilayahan Mandar, namun karena gagasan kewilayahan itu telah melahirkan pemahaman etnisitas bagi penduduk asli yang mendiami wilayah itu, maka konsep ini masih menghangat dan memiliki juga oleh penduduk Mamuju, Majene, dan Mamasa.

Mandar dengan berbagai interpretasi penamaannya dapat dipandang berpangkal dan berbasis pada Kerajaan Balanipa, yang Wilayahnya kini merupakan bagian dari wilayah Kabupaten Polewali-Mamasa, sekarang minius wilayah Mamasa. Dipandang dari Latar Kesejarahan, daerah Kabupaten ini mengemban peran pemersatu, pencipta keteraturan dan ketertiban di wilayah PBB dan PUS, bahkan telah berpengaruh bagi penetapan kelompok etnis. Dengan demikian beralasan apabila pemekaran wilayah kabupaten ini mendorong munulnya gagasan untuk menempatkan kembali Kabupaten Polewali-Mamasa menjadi Kabupaten dengan mengembang nama Mandar.

Namun demikian patut dipikirkan mengingat nama Mandar telah mengikat kesatuan kaum yang lebih luas, bukan hanya Penduduk Kabupaten Polewali Mamasa. Hal itu berarti penamaan Kabupaten Mandar untuk satu bagian dari wilayah etnis Mandar akan dapat melabilkan ikatan emosional Kelompok Mandar. Namun bila penamaan itu mendapat dukungan dari semua Kelompok kaum yang telah mengidentifikasi diri menjadi Mandar, sebagai wujud pengembangan Sipamandar, hal itu dapat menjadi katup pengaman, bagi tampilnya Kabupaten Mandar sebagai nama baru Kabupaten Polewali-Mamasa.

Hal lain yang dapat dipertimbangkan adalah mencari nama lain. Penamaan Polewali lebih berpatokan pada nama pusat pemerintahan untuk seluruh wilayah Kekuasaannya. Terdapat beberapa nama yang perna teremban dan cukup beralasan untuk dijadikan nama, seperti: napo, Balanipa, dan Binuang. Latar sejarah menunjukan adanya keungulan yang muncul dari kerajaan-kerajaan dahulu dalam membangun tatanan kehidupan masyarakat yang tertib dan tentram. Karena itu dapat diabadikan melalui akronim, untuk memperoleh penyebutan nama Kabupaten yang baru, sebagai dasar motivasi bagi pemerintah untuk melaksanakan pemerintah yang tertib dan tentram.

Perlu saya tambahkan bahwa Napo telah lama dikenal sebagai salah satu bandar niaga terpenting pada pesisir barat Sulawesi, disamping: Siang, Bacokiki, dan Suppa. Bandar Tallo dan kemudian Sombaopu baru dibangun oleh raja Gowa Ke-9, Tumaparissi Kalonna (1510-1546). Pada masa pemerintahannya Kerajaan Mandar (sesungguhnya Kerajaan Napo) mengalihkan kekuasaannya atas Gorontalo kepada kerajaan Makassar. Hal itu tercatat dalam Buku Harian Raja-Raja Gowa dan Tallo membentuk persekutuan dan melibatkan diri dalam dunia perdagangan maritim, kerajaan-kerajaan di Mandar telah mengembanhkan pengaruh kekuasaannya ke daerah lain, terutama kaili (Donggala) dan Gorontalo.

(Sumber : Kumpulan Makalah Seminar Sehari Tahap II Menggagas Perubahan Nama Kabupaten Polewali Mamasa Pasca UU 11 2002 Pelaksana : DPD KNPI Polewali Mandar Masa Bakti 2003-2006)

-

Arsip Blog

Recent Posts