Pariwisata Budaya untuk Kebangkitan Nias

Oleh : Esther Pormes Telaumbanua

Kepulauan Nias memiliki warisan alam dan budaya yang kaya. Nias memiliki situs peninggalan budaya megalitik unik dan berbeda dengan yang di daerah lainnya di Indonesia. Peninggalan era megalitikum itu berupa desa tradisional dengan rumah-rumah adat berarsitektur unik, tradisi lisan, serta berbagai kesenian dan kerajinan tangan tradisional yang menarik.

Omo hada (rumah adat), tari baluse (tari perang), dan hombo batu (lompat batu), yang pernah menghiasi mata uang rupiah, dulu adalah ikon pariwisata Nias yang kian terbenam. Sebutan paradise on earth adalah pengakuan peselancar mancanegara atas keindahan alam dan kedahsyatan ombak Nias.

Peninggalan budaya megalitik itu masih ada yang mewarnai kehidupan sehari-hari masyarakat Nias. Sebelum bencana alam beberapa waktu lalu angka kunjungan wisatawan ke Kepulauan Nias cukup signifikan. Tentunya ada daya tarik tertentu yang mendasari kehadiran mereka walaupun harus menembus berbagai kesulitan dan terbatasnya fasilitas.

Pariwisata Nias tumbuh karena keindahan alam dan keunikan budaya. Melestarikan aset ini merupakan fungsi utama kepariwisataan Nias. Bila keunikan alam dan budaya ini hilang hilang pulalah kepariwisataan itu.

Konsep kepariwisataan Nias berbasis pada masyarakat dan budaya. Konsep ini mengajarkan untuk tetap menjunjung tinggi nilai-nilai luhur budaya Nias, menghargai nilai kemanusiaan, memelihara lingkungan, serta membina kesadaran untuk menyeimbangkan antara kebutuhan materi dan rohani, pemanfaatan sumber daya dan pelestariannya. Kepariwisataan seperti ini menempatkan manusia Nias sebagai subjek dan pemanfaatannya sebesar-besarnya diperuntukkan bagi masyarakat. Prinsipnya dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat.

Pariwisata budaya berkelanjutan sangat tepat diterapkan untuk Nias yang terkenal dengan hoho (syair) dan mitos "langit lapis sembilannya" itu. Konsep ini mengangkat keterlibatan masyarakat untuk mendukung kegiatan pariwisata di daerahnya melalui sentra-sentra pariwisata yang berbasis pada kegiatan hidup sehari-hari.

Pariwisata seperti ini tidak memerlukan keterlibatan investor besar. Dengan mengembangkan pola kemitraan dengan berbagai lembaga, pemerintah dapat membina desa tradisional Bawömataluo (Bukit Matahari) yang lengkap dengan peninggalan budaya megalitik sebagai sentra pariwisata. Menginjakkan kaki di desa ini seperti berada pada sensasi suatu peradaban ratusan tahun lalu. Wisatawan dapat melihat langsung kehidupan sehari-hari masyarakat Nias yang tinggal di rumah-rumah tradisional. Desa pesisir atau pulau di Selatan dapat dibina dengan mengangkat pola hidup keseharian nelayan atau petani tradisional di wilayah Tengah dan Barat. Dengan kedatangan wisatawan kewirausahaan masyarakat akan tumbuh dengan sendirinya, seperti, produksi kerajinan, penginapan, dan warung makan yang dikelola masyarakat. Sedang melalui pelatihan berkesinambungan kapasitas warga ditingkatkan dalam membuat suvenir berupa replikasi barang-barang pusaka, menjaga kebersihan, berkomunikasi secara ramah, sampai mengelola penginapan.

Dua Unsur

Di dalam konsep pariwisata budaya berkelanjutan terpadu dua unsur, yaitu industri dan sistem berkelanjutan. Artinya, pariwisata merupakan upaya terpadu untuk mengembangkan kualitas hidup masyarakat Nias melalui kegiatan penyediaan, pengembangan, pemanfaatan dan pemeliharaan sumber daya budaya secara berkelanjutan.

Seperti kita ketahui, budaya manusia pada dasarnya memiliki ciri-ciri yang meliputi aspek kekayaan budaya, teknologi, kearifan, serta living culture (sosial, ekonomi, religi, estetika, mata pencaharian). Sebagai satu sistem kebudayaan merupakan perwujudan kehidupan manusia yang berkaitan dengan ide, perilaku, dan material. Maka, yang dimaksud dengan budaya dalam hal ini tidak hanya kesenian, tingkat kemajuan teknologi atau hasil karya yang indah-indah, tetapi juga meliputi hasil karya ono Niha dalam mempertahankan dan meningkatkan taraf hidup serta proses adaptasi dengan lingkungan yang sangat akrab dengan bencana.

Berdasarkan pengalaman, pariwisata dengan budaya dan alam sebagai komoditas utamanya akan membawa dampak yang tidak selalu positif. Dampak positif langsungnya adalah keuntungan ekonomi, namun sifatnya sementara. Dampak negatif yang kemudian muncul adalah terhadap eksistensi dan ekspresi pada budaya sebagai sumber komoditas. Pariwisata dengan pendekatan ekonomi cenderung memberikan keuntungan lebih banyak bagi pemerintah dan pemilik modal. Sedang peranan masyarakat rendah dan kurang berpartisipasi. Akibatnya adalah aktivitas budaya kurang bermakna dan kurang berjiwa karena menjadi sekadar pertunjukan.

Demikian pula nilai-nilai budaya mengikis dan tingkat kesejahteraan mereka pun tidak akan berubah. Konsep pengembangan pariwisata yang bijaksana menempatkan aspek peningkatan kualitas kehidupan masyarakat lebih utama dibanding aspek ekonomis.

Dalam mengembangkan pariwisata budaya Nias, perlu diperhatikan keterpaduan penerapan prinsip pengembangan kepariwisataan budaya yang berkelanjutan (sustainable cultural tourism) dan prinsip pengelolaan sumber daya budaya. Dalam hal ini beberapa hal harus disiapkan, yaitu konsep pendekatan pengembangan kepariwisataan, proses perencanaan, dan pelestarian kekayaan budaya.

Prinsip utama dalam pengembangan pariwisata budaya Nias berbasis masyarakat adalah pelibatan masyarakat dalam kegiatan perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan. Proses perencanaan harus terintegrasi dan partisipatif dengan prinsip dari bawah ke atas. Kebijakan dan perencanaan kepariwisataan harus mengakomodasi kepentingan masyarakat Nias.

Masyarakat Nias, yang mayoritas miskin di daerah tujuan wisata, harus dihargai sebagai pemilik sumber daya yang utama. Setiap kegiatan pariwisata harus dapat memberikan sumbangan positif bagi kehidupan mereka. Perencanaan seperti ini akan melahirkan kesadaran, apresiasi, dan kepedulian mereka untuk melindungi sumber daya budaya dan lingkungan kehidupan sosial budaya. Daya dukung sosial budaya sangat diperlukan menghadapi dampak negatif yang biasanya membonceng dalam aktivitas pariwisata.

Kegiatan kepariwisataan harus pula memperhatikan batas-batas yang mampu diterima oleh kondisi sosial budaya. Oleh karena itu, perlu berbagai kajian dan studi mengawali proses perencanaan.

Pelatihan yang efektif perlu diselenggarakan untuk meningkatkan pengetahuan dan kualitas stakeholder (pemerintah pusat/daerah, swasta, masyarakat dan wisatawan). Perlu pelatihan berkesinambungan untuk membangun paradigma baru bahwa pengembangan pariwisata tidak semata-mata untuk tujuan ekonomi, tetapi juga pelestarian sumber daya budaya. Selain untuk informasi, promosi dilakukan untuk menumbuhkan kesadaran dalam hal konservasi, restorasi, dan rekonstruksi nilai-nilai budaya, serta mengurangi benturan kepentingan antar-stakeholder terhadap prinsip berkelanjutan dalam pengembangan pariwisata budaya.

Bagian penting lainnya adalah pemantauan dan evaluasi untuk mengawasi penyelenggaraannya. Hal ini dilaksanakan bersama-sama secara konsisten dan bertanggung jawab dengan menggunakan alat ukur yang meliputi, paling tidak, kelestarian lingkungan sosial budaya, penguatan kondisi sosial dan peningkatan ekonomi masyarakat.

Momen Bangkit

Ayo dimulai sekarang. Mengapa? Pertama, karena ini momen untuk Nias bangkit dari keterpurukan. Selain sektor pertanian, perikanan dan kelautan, sektor pariwisata merupakan potensi ekonomi Nias yang memadai, yang belum digarap dengan optimal. Dalam grand design pembangunan Nias, pariwisata dapat menjadi sektor andalan, menggerakkan ekonomi rakyat Nias mulai yang paling dasar yaitu perekonomian keluarga. Kedua, pascabencana alam Nias menjadi perhatian nasional dan internasional. Wisatawan tentu ingin mendapatkan pengalaman unik dan berbeda, yang dapat dilihat, dinikmati, dan sekaligus dipelajari.Fasilitas, sarana atau pemandangan alamnya mungkin tidak berbeda dengan daerah lain, namun sejarah dan budaya Nias yang unik hanya ada di Nias. Aspek inilah daya tarik luar biasa bagi wisatawan. Wisatawan datang untuk melihat Nias yang sesungguhnya dan kehadiran mereka dapat menjadi sumber "mataair" kehidupan bagi masyarakat. Ketiga, kekayaan budaya itu melekat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Nias, yang saat ini berada dalam proses transisi dari era tradisional menuju era modernisasi dengan perubahan paradigma yang dihadirkan melalui kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi serta pembangunan yang berlangsung jor-joran. Ketidakwaspadaan bisa menyebabkan nilai dan apresiasi berbagai kekayaan budaya Nias terkikis, bahkan punah. Kebangkitan kembali pariwisata Nias diharapkan segera untuk dapat mendukung pembangunan jangka panjang dan revitalisasi nilai-nilai budaya. Dengan konsep yang tepat niscaya Nias akan menjadi salah satu destinasi wisatawan nusantara dan mancanegara.

Esther Pormes Telaumbanua, adalah Ketua Yayasan Tatuhini Nias Bangkit.

-

Arsip Blog

Recent Posts