Stempel Datuak Katumanggungan dan Datuak Parpatiah Nan Sabatang

Oleh : Suryadi

Umumnya orang Minangkabau – bukan Minang kerbau seperti acap kali ditulis dalam koran Soenting Melajoe pimpinan Mahyuddin Dt. St. Maharadja – mengenal nama Datuak Katumanggungan dan Datuak Parpatiah Nan Sabatang. Mereka termasuk founding father orang Minang. Nama keduanya disebut-sebut dalam berbagai wacana kebudayaan Minangkabau – dalam tambo, dalam cerita rakyat, dalam pidato adat dan pasambahan, dalam kaba, dan mungkin juga dalam mimpi para datuak kita. Konon jejaknya juga dapat dilacak dalam material culture Minangkbau: ada Batu Batikam di Batusangkar, sebagai ‘bukti arkeologis’ percanggahan ideologis yang amat prinsipil antara kedua mamak muyang orang Minang itu: yang satu hendak menegakkan sistem otokratis (ketek babingkah tanah, gadang balingkuang aua [Laras Koto Piliang]), yang lain hendak menerapkan sistem demokratis (titiak dari ateh, bosek dari bumi [Laras Bodi Caniago]). Kata pakar pernaskahan Minangkabau dari Universitas Andalas, Dra. Zuriati M.Hum, kepada saya, tongkat kedua datuak kita itu ditemukan di Solok. Tongkat itu sudah berdaun. Ondeh! Sedangkan almarhum Anas Navis dalam salah satu artikelnya di www.ranah-minang.com menulis bahwa kuburan kedua datuak kita itu yang juga ditemukan di Solok. Wallahualam! Ini kaba orang yang saya kaba(r)kan, dusta orang saya tak serta.

Lepas dari bukti-bukti setengah mengawang di atas tentang Datuak Katumanggungan dan Datuak Parpatiah Nan Sabatang, dalam tulisan ini saya membicarakan ‘bukti’ yang lain yang jarang dibicarakan orang Minang. Bukti itu adalah stempel kedua datuak-muyang kita itu.

Stempel? Jadi, kedua datuak kita itu pandai menulis? Pandai membaca? Kalau mamak muyangnya tidak pandai tulis-baca, tentu anak cucunya pandai maota saja. Cerita yang kita dengar selama ini mengatakan bahwa Datuak Katumanggungan dan Datuak Parpatiah nan Sabatang memang pintar: pandai mambaco dalam raik, pandai manyurek manilantang.

(Konon) kedua stempel yang gambarnya disajikan di sini adalah stempel (cap) Datuak Katumanggungan dan stempel Datuak Parpatiah Nan Sabatang. Bentuknya serupa tapi tak sama, seolah mencerminakan ideologi politik keduanya yang sarantak balain dagam. Sumber stempel a dan b adalah naskah Tambo Minangkabau yang kini tersimpan di Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda, di bawah kode Cod. Or. 1745, halaman ii dan iii. Kemungkinan naskah ini sudah pernah diresek oleh Edwar Djamaris dan M. Yusuf, dua orang pakar pernaskahan Minangkabau. Kolofonnya mengatakan bahwa Tambo ini disalin oleh Bagindo Tanalam [(Su)tan Alam?] Sikutare [Si Kutar?] pada tahun 1824 (Di Pariaman, misalnya, nama Sikutar biasa didengar, sebagai peminangan dari nama Mukhtar; juga kata Ahmad yang menjadi [Si] Amaik; Sahrul yang menjadi [Si] Arun, dll.) Tak disebutkan dimana tempat penyalinan naskah ini (Lihat Wieringa 1998:103). Menurutnya, Tambo ini dimulai dengan cerita tentang nenek moyang orang Minang, Sri Maharaja Diraja, yaitu keturunan Iskandar Zulkarnain, dilanjutkan kemudian dengan kisah tentang kedua originators Minangkabau: Datuak Katumanggungan dan Datuak Parpatiah Nan Sabatang. “On pp. ii-iii the seals of these two rulers are to be found” (Ibid.) Abstrak naskah ini juga dapat dilihat dalam Iskandar (1995: 14); Haji Wan Ali Wan Mamat (1885: 20); dan Juynboll (1899: 245-46). Semula naskah ini adalah koleksi Akademi Delft. Akademi ini ditutup pada tahun 1864, dan koleksi naskah Nusantara yang ada disana dipindahkan ke Perpustakaan Universitas Leiden.

Inskripsi stempel a (Aksara Arab-Melayu/Jawi) adalah sebagai berikut: “Inilah cap Datuk Katemanggungan nan banama Maharaja Diraja.” Di atas dan di bawah stempel terdapat anotasi (keterangan): “Matlab Datuk Katemanggungan jua adanya nan bergelar Sultan Paduka Besar; adapun Datuk Katemanggungan itu ialah nan tuah pada Laras Kota Piliang adanya. Inilah cap besar kepada segala anak cucu Datuk Katemanggungan pada tiap2 lu[h]ak dan laras dan pada tiap2 batang rantau, lalu ke laut nan sedidis, ombak nan be[r]debur.”

Inskripsi stempel b, yang juga ditulis dalam aksara Jawi, adalah sebagai berikut: “Inilah Cap Datuk Parpatih Sebatang nan bernama Si Manang Sutan”. Di atas dan di bawah cap terdapat anotasi: “Matlab Datuk Perpatih Sebatang jua adanya nan bernama Si Manang Sutan adanya. Adapun Datuk Perpatih Sebatang itu ialah nan tuah di dalam Laras Bodi Caniago jua adanya. Inilah cap besar kepada segala anak cucu Datuk Perpatih Sebatang pada lu[h]ak dan laras dan pada tiap2 batang rantau, lalu ke laut nan sedidis dan ombak nan be[r]debur jua adanya.” (Lihat juga Wieringa 1998: 104; Gallop 2002: part 1, vol. II, 133).

Teks inskripsi kedua stempel itu, beserta anotasinya, menarik untuk dibahas lebih lanjut. Mudah-mudahan para pakar pernaskahan Minangkabau akan tertarik menelitinya. Saya hanya pandai manatiangkan ide-ide dan persoalan. Misalnya, ada kata matlab yang cukup arkhais. Ternyata juga nama yang disebut adalah “Datuak Perpatih Sebatang”, tanpa kata nan yang umum dikenal oleh orang Minang. Inskripsi stempel itu juga menyebutkan nama lain Datuak Katumanggungan, yaitu Maharaja Diraja ([tak] sama dengan Sri Maharaja Diraja?), dan juga ada gelarnya yang lain, yaitu Sultan Paduka Besar. Sedangkan nama lain Datuk Parpatih Nan Sabatang adalah Si Manang Sutan. Jadi, yang satu punya nama dan gelar lebih banyak daripada yang lain. Boleh jadi ini merefleksikan gradasi otoritas keduanya? Yang jelas dalam wacana budaya Minangkabau memang disebutkan bahwa Datuak Katumanggungan lebih tua daripada Datuak Parpatiah nan Sabatang.

Akan tetapi, yang paling menarik adalah keterangan “Inilah cap besar kepada segala anak cucu [datuak nan berdua itu] pada lu[h]ak dan laras pada tiap2 batang rantau, lalu ke laut nan sedidis dan ombak nan be[r]debur…”. Interpretasi saya yang daif: redaksi stempel ini tidak diubah-ubah dan sudah turun temurun digunakan dari generasi ke generasi. Stempelnya sendiri (fisiknya) mungkin sudah berkali-kali diganti (stempel pastilah tidak begitu dapat tahan lama). Kata “cap besar” juga mengindikasikan bahwa stempel ini pernah memiliki otoritas dan wibawa yang tinggi, baik di luhak (laras yang tiga) dan rantau yang membentang sampai ke “laut nan sedidis dan ombak nan be[r]debur”.

Seperti telah disebut di atas, Tambo tempat stempel ini ditemukan ditulis tahun 1824. Dengan demikian, umurnya baru kurang lebih 183 tahun. Jadi, kurang logis bahwa stempel ini adalah stempel yang asli yang pernah dipakai oleh datuak kita nan berdua itu. Masa hidup Datuak Katumanggungan dan Datuak Parpatiah Sabatang pastilah berasal dari periode yang jauh lebih lama daripada tarikh itu, setidaknya ketika Gunung Merapi sudah sedikit lebih besar dari telur itik. Timbul pertanyaan lain: bagaimana otoritas stempel itu di masa lalu? Apakah stempel itu dipegang oleh satu otoritas saja atau boleh dipegang oleh beberapa otoritas di Minankabau? Kenapa hanya Or. 1745 saja yang punya stempel itu? Apakah ini dapat membantu kita menelusuri kira-kira dimana Cod.Or. 1745 ditulis atau disalin? Silakan para pakar filologi Minangkabau lebih lanjut memikirkannya.

Ada banyak hal seputar stempel ini yang bisa didiskusikan, namun tidak mungkin dilakukan dalam artikel yang pendek ini. Yang jelas, Datuak Katumanggungan dan Datuak Parpatiah Nan Sabatang tetap penuh misteri. Dunia ilmiah belum dapat memberikan lebih banyak bukti yang meyakinkan mengenai banyak hal seputar sejarah hidup kedua originators sukubangsa Minangkabau itu.***

Suryadi, kandidat doktor di CNWS Leiden University, Belanda
Dimuat di Padang Ekspres, Minggu, 1 Juli 2007

-

Arsip Blog

Recent Posts