Tentang Lokalisasi Çriwijaya

Oleh: R. Soekmono

Nama Çriwijaya untuk telinga kita bukanlah sesuatu yang asing; perkataan itu telah menjadi sebagian dari perbendaharaan kata-kata Indonesia. Pun lokalisasinya di Palembang sudah menjadi sebagian dari pengetahuan kita tentang sejarah Tanah Air kita.

Dalam ilmu pengetahuan juga adanya kerajaan yang bernama Çriwijaya dan yang berpusat di Palembang sudah diterima sebagai salah satu fakta sejarah. Kalau kita mengingat bahwa kenyataan-kenyataan tersebut baru dikenal dalam tahun 1918,[1] yaitu sebagai hasil telaah yang menjadi sangat masyhur dari Coedes,[2] maka sungguh mengagumkan bahwa sesuatu teori dalam sejarah sampai dapat demikian meresapnya. Soalnya ialah bahwa lokalisasi Çriwijaya di Palembang itu sebenarnya masih menghadapi kemungkinan pendapat-pendapat yang lain. Dasar untuk lokalisasi itu, kalau diteliti betul-betul, masih sangat goyah.[3] Tidak mengherankan bahwa justru tentang lokalisasi itu terdapat berbagai ahli yang menentangnya.

Keberatan tentang lokalisasi Çriwijaya di Palembang itu terutama sekali didasarkan atas sangat sedikitnya peninggalan-peninggalan purbakala di sana. Dalam tahun 1930, Bosch sudah mengemukakan kesangsiannya,[4] waktu ia menyatakan bahwa "de persoonlijk opgedane ervaring, dat de hoofdplaats (Palembang) nagenoeg gene overblijfselen bevat, die aan het glorierijk bestaan van het oude Çriwijaya kunnen herinneren, heeft met klem de vraag naar voren gebracht of wel ooit de hoofdstad van dat rijk op de plaats van het huidige Palembang gevestigd is geweest," dan kemudian berkesimpulan,... "de oudheidkundige overblijfselen (geven) geen steun aan de gangbare onderstelling, dat de hoofdstad Çriwijaya op de plaats van de tegenwoordige kota Palembang gelegen was." Pun Nilakanta Sastri, yang bagaimanapun juga tetap mempertahankan Palembang untuk lokalisasi Çriwijaya dan menyatakan bahwa "no case has been made out for locating the new site of Srivi jaya else where in Sumatra than at Palembang"[5] harus menenteramkan diri dengan perkataan "the almost total absence of archaeological vestiges of Srivijaya at Palembang (Srivijaya) remains a mystery of which no solution is forthcoming as yet."[6]

Sumber utama untuk lokalisasi Çriwijaya sebenarnya adalah berita-berita Tionghoa, Arab, Yunani dan India. Di situ didapatkan nama-nama Fo-che, Che-li-fo-che, San-fo-tsi, Sribuza, Zabag, Sabadeibai, Crivisaya dan sebagainya, dan semuanya itu sudah dapat diterima sebagai ejaan atau ucapan asing untuk nama Çriwijaya. Didapatkan pula dalam berbagai berita itu lokalisasinya tempat-tempat tersebut. Sayang sekali bahwa lokalisasi itu tidak memberi sesuatu kepastian sehingga di dalam merekonstruksi peta Asia Tenggara terdapat banyak perbedaan pendapat.

Di antara para penentang Coedês mula-mula tampil ke muka Majumdar,[7] yang berpendirian bahwa Çriwijaya itu harus dicari di Jawa dan nantinya di Ligor, dan kemudian Quaritch Wales[8] yang berdasarkan atas penyelidikannya di daerah Chaiya berkesimpulan untuk menempatkan Çriwijaya itu di Chaiya. Kedua pendapat ini dibantah oleh Coedês[9] sendiri dengan sangat tegas sehingga identifikasi Çriwijaya dengan Palembang menjadi lebih kokoh. Penentang yang kuat adalah Moens,[10] yang dengan merekonstruksi peta Asia Tenggara berdasarkan berita-berita Tionghoa dan Arab sampai kepada kesimpulan bahwa Çriwijaya itu mula-mula berpusat di Kedah dan kemudian di daerah pertemuan Sungai Kampar Kanan dan Batang Mahat. Meskipun teori Moens belum dapat dibantah sepenuhnya, namun tidak dapat pula mengubah "tradisi" bahwa Çriwijaya itu di Palembang.

Betapa sulitnya menggunakan bahan-bahan dari berita-berita asing itu, nyata benar dari kesimpulan Roland Braddell, yang selama hampir 20 tahun telah berturut-turut mengumumkan hasil studinya untuk mengidentifikasikan dan melokalisasikan tempat-tempat yang terdapat dalam berita-berita asing tadi,[11] dan sebagai penutup karangannya yang terakhir dalam seri itu mengatakan bahwa "...our main purpose has been to protest against the repetition of insufficiently investigated identifications, and to ask from sinologists far more help than they have yet given in the construction of the ancient historical geography of Malaysia."[12]

Dengan tidak mengurangi jasa dan kebesaran para ahli purbakala, ahli bahasa, ahli sejarah dan ahli-ahli lainnya, yang telah memberikan sumbangannya yang tak ternilai terhadap sejarah Çriwijaya, pada kesempatan ini saya ingin meminta perhatian terhadap sesuatu hal yang pada hemat saya patut diperhatikan, yaitu bahwa peta Asia Tenggara zaman Çriwijaya sangat berlainan daripada apa yang dapat kita lihat sekarang. Hal ini oleh para ahli tersebut tentu dimaklumi, akan tetapi selanjutnya tidak diperhitungkan. Maka dari itu dalam usaha melokalisasi Çriwijaya, terlebih dahulu kita harus mencari pegangan pokok dengan jalan merekonstruksi peta Asia Tenggara, khusus garis-garis pantainya, lebih khusus lagi garis-garis pantai yang berbatasan dengan bagian Barat Sunda-plat. Usaha ke arah ini dilakukan pula oleh Moens dan Roland Braddell, akan tetapi satu cabang ilmu pengetahuan yang dapat memberi bantuan untuk mendapatkan sesuatu kepastian tidak mereka gunakan. Yang saya maksudkan ialah geomorfologi.

Usaha untuk memetakan kembali pantai-pantai di sebelah Barat Sunda-plat pertamakali dilakukan oleh Obdeyn,[13] yang berdasarkan geomorfologi melokalisasi tempat-tempat yang tersebut dalam berita-berita Tionghoa dan sebagainya. Antara lain ia sampai kepada kesimpulan bahwa di dalam zaman Çriwijaya, Bangka-Belitung bersambung menjadi satu dengan jazirah Malaka melalui kepulauan Lingga dan Riau. Oleh karena Selat Sunda belum ada (Sumatra bersambung dengan Jawa), maka pelayaran internasional India-Indonesia-Tiongkok harus mengitari Bangka-Belitung, sehingga pantai timur Sumatra dan pantai utara Jawa menjadi sangat penting.

Meskipun hasil-hasil usaha Obdeyn itu untuk sebagian besar tidak dapat diterima oleh para ahli yang berkepentingan,[14] namun jelaslah kiranya bahwa geomorfologi adalah ilmu yang dapat memberi bahan-bahan baru lagi untuk lokalisasi Çriwijaya. Maka sayanglah bahwa kegagalan Obdeyn itu menyebabkan hasil telaahnya tidak mendapat sambutan dan tenggelam begitu saja dalam timbunan teori-teori yang ada.

Namun usaha Obdeyn itu jugalah yang dijadikan pangkal, ketika Dinas Purbakala dalam tahun 1954 atas perintah Menteri P.P. dan K. (Mr. Moh. Yamin) melakukan penyelidikan terhadap Çriwijaya, terutama untuk meneliti garis pantainya dan lokalisasi peninggalan-peninggalan purbakalanya. Penyelidikan ini dilakukan baik dari udara maupun di darat,[15] dan oleh karena geomorfologi akan dijadikan bahan utama maka khusus untuk keperluan ini telah "dipinjam" seorang ahli geomorfologi dari Jawatan Topografi Angkatan Darat, ialah Dr. H. Th. Verstappen.

Hasil penyelidikan dari udara ialah bahwa garis yang memisahkan tanah tertiair dari tanah quartair (terutama alluvium)—sebagaimana dinyatakan dalam peta-peta geologi—dapat dianggap sebagai garis pantai dahulu kala. Maka dengan garis pantai ini sebagai pegangan, ternyata bahwa Palembang dan Jambi terletak di tepi laut, Palembang pada ujung jazirah yang berpangkal di Sekayu, dan Jambi pada sebuah teluk yang menjorok ke dalam sampai di Muara Tembesi.[16]

Penyelidikan di darat ternyata memperkuat hipotesa ini. Semua peninggalan purbakala, baik di daerah Palembang maupun di Jambi dan Muara Jambi, tidak ada yang terletak di atas tanah alluvium. Juga tempat-tempat ditemukannya batu-batu bersurat, seperti Kedukan Bukit, Talang Tuwo dan Telaga Batu letaknya di atas tanah tua.[17]

Menurut keadaannya sekarang, kota-kota Palembang dan Jambi itu masing-masing letaknya kira-kira 70 kilometer dari laut, dan tanah alluvium yang penuh rawa-rawa dan menjadi lajur dataran rendah di pantai timur Sumatra itu adalah hasil pengendapan sungai-sungai yang membawa lumpur dari daerah pedalaman ke laut. Timbullah pertanyaan, apakah mungkin sejak zaman Çriwijaya itu pengendapan-pengendapan tadi telah dapat mengubah garis pantai itu begitu rupa sehingga kedua kota tadi menjadi terpisah demikian jauhnya dari laut?

Menurut Van Bemmelen[18] garis pantai pada muara Batang Hari bertambah lebar 7 ½ kilometer dalam tempo 100 tahun, yang berarti rata-rata 75 meter tiap tahun. Lebar seluruhnya dari lajur alluvium di sini kira-kira ada 140 kilometer, "so that it may have come into existence since the begining of the Christian era."[19] Tentang Air Musi dikatakan bahwa tambahannya rata-rata 125 meter setiap tahunnya. Kalau kita mengingat bahwa pengendapan yang secepat ini ialah karena Sungai Musi di Palembang mendapat tambahan air dari sungai-sungai Ogan dan Komering sedangkan tambahan tanah alluvium kebanyakan terdorong ke arah Pulau Bangka, maka dapat pula diambil kesimpulan bahwa pelebaran pantai baru dimulai pada awal tarikh Masehi.

Mengenai pengendapan ini tidak boleh juga dilupakan bahwa dengan mengambil garis pemisah tanah tertiair dari tanah quartair sebagai pangkalnya, permulaan pengendapan Air Musi itu berlangsungnya di Sekayu (jarak terbang 100 kilometer di sebelah barat Palembang) dan bagi Batang Hari permulaannya di Muara Tembesi (60 kilometer jarak terbang di sebelah barat Jambi). Ditambah lagi dengan kenyataan bahwa proses pengendapan di Sekayu dan Muara Tembesi lebih lambat berlangsungnya daripada pengendapan sesudah meliwati Palembang dan Jambi,[20] maka dengan mendekati kepastian dapatlah kini kita katakan, sesuai pula dengan lokalisasi tempat-tempat peninggalan purbakala, bahwa dalam zaman Çriwijaya kota-kota Palembang dan Jambi terletak di tepi laut, Palembang pada ujung jazirah dan Jambi pada suatu teluk.

Seperti kita ketahui, kerajaan Çriwijaya—dengan ups dan downs-nya—berlangsung dari pertengahan akhir abad ke-7 sampai akhir abad ke-14. Selama tujuh abad itu tentu saja garis pantai yang telah saya gambarkan tadi mengalami pula perubahan-perubahan yang tidak sedikit. Hal ini nyata misalnya dari berita-berita Arab dan Tionghoa dari abad ke-13, yang menyatakan bahwa Çriwijaya terletak di tepi sungai besar.[21] Hanya ganjilnya ialah bahwa pada peta-peta VOC, di antaranya ada yang bahkan berasal dari tahun 1660. Palembang dan Jambi itu masih digambarkan di tepi pantai. Mungkin hal ini disebabkan karena petanya terlalu kecil sehingga jarak-jarak kecil tidak ditampakkan, dan lagi oleh karena kedua kota itu memang merupakan pelabuhan samudera di dalam zaman itu.

Mengingat akan hal yang terakhir ini, yaitu bahwa dalam abad ke-13, Çriwijaya terletak di tepi sungai, pula dengan menghitung kecepatan pengendapan sungai-sungai Musi dan Batang Hari mulai dari Sekayu dan Muara Tembesi, maka dapatlah kini kita tentukan bahwa lokalisasi Çriwijaya di tepi laut hanya berlaku dari permulaan sejarahnya sampai sekitar tahun 1000 Masehi. Kesimpulan ini dapat kiranya mendapat sokongan dari peninggalan-peninggalan purbakalanya di daerah Jambi. Kalau sebuah bangunan (candi?) di Solok Sipin di tepi barat Kota Jambi berangka tahun 1064,[22] maka di Muara Jambi terdapat bangunan yang berasal dari zaman Singhasari.[23] Hal ini dihubungkan dengan apa yang dikenal sebagai "Pamalayu" memberi kesan bahwa tentara Singhasari sampainya di Malayu bukan di Jambi melainkan jauh ke timur lagi, yaitu di Muara Jambi, untuk kemudian menuju ke daerah Sungaidareh. Pun peninggalan-peninggalan zaman VOC (benteng dari tahun 1724) di daerah ini terdapat di Muara Kompeh,[24] antara Jambi dan Muara Jambi.

Setelah kita merekonstruksi garis pantai timur Sumatra itu, untuk melokalisasi Çriwijaya kita masih perlu juga meneliti garis-garis pantai yang berhadapan dengan pantai tadi guna merekonstruksi jalan-jalan pelayaran dalam zaman Çriwijaya. Seperti sudah dikatakan di muka, Obdeyn berpendapat bahwa jazirah Malaka bersambung menjadi satu dengan kepulauan Riau-Lingga dan Bangka-Belitung. Terhadap pendapat ini Verstappen menyatakan dengan tegas bantahannya, dan berpendapat bahwa di dalam zaman Çriwijaya kepulauan Riau dan Lingga memang merupakan tanah lanjutan dari jazirah Malaka, tetapi Bangka dan Belitung sudah terpisahkan oleh laut.[25] Pandangan ini sesuai dengan apa yang dapat nyata dari peta-peta hidrografi. Pun dari sudut geologi pendapat ini dapat dipertanggungjawabkan. Menurut Van Bemmelen[26] kepulauan Lingga, Bangka dan Belitung itu "belong to a mountain range which had largely been baseleveled and which was partly abraded. It has of the sea in late quaternary time. They represent a drowned topography," dan selanjutnya ia mengatakan bahwa "Singkep, Bangka and Billiton are surrounded by an aureole of submerged river valleys, containing alluvial tin-ores."

Kesimpulan yang kini dapat kita tarik mengenai rekonstruksi peta daerah Riau dan kepulauan Lingga ialah bahwa di dalam zaman Çriwijaya daerah-daerah ini bukannya terdiri atas pulau-pulau melainkan merupakan ujung selatan jazirah Malaka. Dengan menyesuaikan keadaan garis pantai Sumatra sendiri, gambaran daerah Riau ini dapat juga kiranya dipertahankan sampai sekitar tahun 1000 Masehi.[27] Namun, kalau sejak masa ini daerah itu sudah mulai terpecah-pecah menjadi kepulauan, selat-selat sempit dan dangkal di antara pulau-pulaunya belum juga dapat dipakai untuk pelayaran. Daerah ini bahkan terkenal sebagai sarang bajak-bajak laut, yang selalu mengganggu jalan pelayaran di Selat Malaka.

Rekonstruksi peta daerah Riau ini dapat pula kiranya memberi penjelasan, mengapa di Pasir Panjang (ujung utara Pulau Karimun) terdapatkan pertulisan dari abad ke-928[28] yang menggunakan huruf-huruf Dewanagari dan bersifat agama Budha Mahayana. Tempat ini sebagai ujung yang menjorok ke laut dan yang tentu dihadapi orang dalam pelayaran dari utara ke selatan melalui Selat Malaka adalah tempat yang penting, mungkin sebagai tempat singgah dan mungkin pula hanya sebagai tanda peringatan atau petunjuk pelayaran.

Setelah kita rekonstruksi jalannya pantai-pantai dahulu di sekitar Palembang—Jambi dan kepulauan Riau, dapatlah kita kini berusaha menetapkan jalan-jalan laut yang menghubungkan India dengan Indonesia dan dengan Hindia Belakang serta Tiongkok. Oleh Quaritch Wales[29] telah dapat dibuktikan bahwa bagian tersempit jazirah Malaka (di sekitar Teluk Bandon) memegang peranan penting sebagai kunci jalan perdagangan antara India dan Tiongkok.[30] Jalan ini adalah jalan darat sehingga di sini muatan kapal harus dibongkar untuk dipindahkan ke kapal-kapal lain, suatu hal yang bagi niaga laut tidak sedikit menimbulkan kesulitan dan kerugian. Maka jalan ini terang tidak banyak memengaruhi jalannya pelayaran mengitari jazirah Malaka. Ada juga pendapat, yang baru-baru ini dikemukakan oleh Chand[31] bahwa "at one time there was a sea route through the peninsula that made present day Malaya an island," akan tetapi ucapan ini hanya berupa kalimat demikian saja, tanpa disertai suatu bukti ataupun penjelasan.[32] Dengan demikian pendapat ini tidak dapat kita perhitungkan dalam uraian sekarang ini.

Jalan lain yang mungkin menghubungkan Lautan Hindia dan Laut Tiongkok Selatan adalah Selat Sunda, akan tetapi menurut Obdcyn[33] Selat Sunda ini baru dikenal oleh orang-orang Tionghoa dan Arab sejak tahun 1175. Pendapat ini disokong pula oleh Van Bemmelen, yang menyatakan[34] "It is possible that, indeed, Strait Sunda did not yet exist in older historical times in its present configuration. The link between South Sumatra and Java has probably been engulfed in the early Quaternary, accompanied by paroxysmal volcanic outbursts," dan kemudian dalam sub bab "Speculation on the Origin of the Origin of Strait Sunda"[35] sampai kepada kesimpulan bahwa "It is possible that it (Selat Sunda) became navigable scarcely one thousand years ago. Especially the narrow passage across the northmost branch of the great Lampong fault, with the island of Dwars-in-de-weg (Sangiang) in the middle, could be navigated only since the middle-ages."

Dengan tertutupnya kemungkinan hubungan pelayaran dilakukan melalui Teluk Bandon dan Selat Sunda, maka jelaslah betapa pentingnya Selat Malaka dan Selat Berhala di dalam zaman Çriwijaya sebelum tahun 1000 Masehi. Tiap kapal, dari dan ke India, Jawa dan Hindia Belakang Tiongkok, harus melalui Teluk Jambi!

Dari kenyataan ini nampaklah dengan jelas bahwa Jambi mempunyai kedudukan yang lebih penting daripada Palembang, yang hanya disinggahi oleh kapal-kapal yang melewatinya dalam pelayaran antara Selat Malaka dan Pulau Jawa saja. Lagi pula Jambi itu letaknya menghadap ke lautan bebas, sedangkan Palembang pada suatu selat saja, yaitu Selat Bangka. Maka di antara Palembang dan Jambi untuk lokalisasi Çriwijaya, pilihan akan lebih tepat kalau jatuh pada Jambi.

Teluk Jambi memang sangat ideal untuk suatu pelabuhan samudra, pula untuk pertahanan terhadap serangan-serangan dari laut, sebab tepat di mulut teluk itu terdapat tiga buah pulau. Pada salah satu pulau yang paling luar terdapat sebuah dusun yang sekarang bernama Muara Sabak, dan menurut keterangan beberapa orang di Jambi, di dusun itu ada pula didapatkan peninggalan-peninggalan purbakala.[36] Adanya tiga pulau dan Dusun Muara Sabak itu sungguh menarik perhatian, karena dari Ptolomaeus diketahui adanya tiga pulau Sabadeibai, yang oleh Krom[37] dilokalisasikan di sekitar Palembang, sedangkan "wanneer wij in deibai weder het gewone dwipa in zijn Prakrit-vorm vertegenwoordigd mogen denken, houden wij Saba als eigenlijken plaatsnaam over." Terlalu jauhkah kalau kita menarik kesimpulan bahwa ketiga pulau di Teluk Jambi itulah yang dimaksudkan oleh Ptolomaeus?

Pun pada peta kuno (abad ke-16, 17,) yang dipakai sebagai bahan oleh Obdeyn,[38] kita jumpai nama-nama "saban", "Sabam", dan "Sabi—, yang letaknya di sebelah utara "Palimbao" (Palembang), tepat di mana kita mengharapkan letaknya Jambi.

Tidaklah lebih masuk akal kalau perkataan-perkataan Zābaj Zābag dari berita-berita Arab kita identifikasikan dengan (Muara) Sabak? Mungkin pula bahkan Sabak ini adalah pelabuhan bagi Çriwijaya yang beribukota di Jambi! Inilah kiranya yang menyebabkan berita-berita Arab itu mengatakan adanya maharaja dari Zābag.

Tidak masuk akal pulakah kalau San-fo-tsi dari berita-berita Tionghoa itu kita identifikasikan dengan (Muara) Tembesi, sebuah kota di Çriwijaya juga, tetapi mempunyai kedudukan penting karena letaknya di ujung Teluk Jambi dan di muara Batang Hari, dan dengan demikian menjadi penghubung penting antara pantai dan daerah pedalaman?

Dari rekonstruksi yang saya uraikan di atas itu jelaslah kini bahwa untuk menguasai lalu-lintas laut di perairan pantai timur Sumatera kuncinya harus kita cari di sekitar Jambi.

Dapatkah kesimpulan untuk melokalisasi Çriwijaya di Jambi itu memperoleh dukungan dari bahan-bahan ilmu purbakala? Jawabnya menguntungkan, bahkan memperkuat, kesimpulan ini. Prasasti-prasasti yang didapatkan di sekitar Palembang, yang sampai kini dipakai untuk memperkuat pendapat bahwa di Palembanglah letak Çriwijaya, kalau kita teliti kembali bahkan akan memperkuat kebalikannya! Penelitian kembali ini dimungkinkan oleh diterbitkannya prasasti Telaga Batu oleh De Casparis,[39] yang ternyata "consists of a long imprecation directed against the perpetrators of all possible crime against the king and the state crivijaya,"[40] dan asalnya dari masa yang sama seperti prasasti-prasasti lainnya.[41] Kalau Palembang memang ibu kota Çriwijaya, dapatkah masuk akal bahwa kutukan-kutukan yang berupa ancaman sangat mengerikan itu justru diabadikan di ibukota? Mungkinkah warga ibukota sendiri diancam secara demikian oleh rajanya?

Prasasti Telaga Batu bukanlah piagam raja dan negara Çriwijaya yang berpusat atau beribukota di Palembang! Peringatan itu adalah usaha menjamin ketertiban (dengan istilah sekarang: follow-up dari suatu operasi militer) dari seorang raja Çriwijaya yang telah berhasil menduduki Palembang! Inilah kiranya interpretasi yang dapat memberi penjelasan kepada prasasti Kedukan Bukit, lebih-lebih setelah ada lagi pecahan prasasti lainnya yang membuat keterangan tambahan terhadap prasasti tersebut.[42] Follow-up yang positif ialah pemberian suatu hadiah kepada masyarakat yang telah tunduk itu agar mereka mengecap kebahagiaan atas kemurahan raja, dan inilah yang dimaksudkan dengan "pranidhāna" yang dikekalkan pada batu Talang Tuwo (tahun 684, jadi tahun berikutnya dari prasasti Kedukan Bukit).

Dalam rangka ini maka prasasti Kotakapur dan Karang Berahi yang sama isinya, adalah peringatan-peringatan yang dimaksudkan untuk memperkuat kedudukan Çriwijaya. Kotakapur di Bangka adalah tempat yang strategis untuk menguasai jalan laut di muka pelabuhan Palembang, dan Karang Berahi terletak di jalan raya (sungai dan darat) antara pantai timur dan daerah pedalaman, yang banyak mengandung emas.[43] Dan tempat-tempat yang harus khusus diperkuat itu adalah tempat-tempat yang sesuai dengan siasat untuk menjamin pertahanan Çriwijaya, dan yang memperkuat pula pilihan kita untuk melokalisasi Çriwijaya di Jambi.

Pun peninggalan-peninggalan purbakalanya yang berupa arca tidak bertentangan dengan kesimpulan kita. Arca Budha yang besar sekali dari Bukit Seguntang, yang coraknya dapat dikembalikan kepada langgam Amarāwati,[44] dan arca-arca perunggu yang didapatkan dari dalam sungai dan bercorak langgam Gupta,[45] merupakan petunjuk yang jelas ke arah agama Budha Mahāyāna di Palembang di sekitar abad ke-6/7. Kenyataan ini, dihubungkan dengan berita Itsing—seorang musafir Tionghoa yang menjelang akhir abad ke-7 lama sekali tinggal di Çriwijaya—bahwa di daerah Lautan Selatan agama Budha yang ia jumpai di mana-mana adalah Hinayāna (dari aliran Mulasarwāstiwadanikāya) kecuali di Malayu di mana ia jumpai penganut-penganut agama Budha Mahāyāna, menutup segala kemungkinan untuk melokalisasi Çriwijaya di Palembang. Maka menarik perhatianlah bahwa Moens justru mengidentifikasikan Malayu itu dengan Palembang, meskipun Sumatera Tengah (Jambi dan Muara Takus) ia masukkan pula.[46]

Jelaslah kini bahwa rekonstruksi berdasarkan geomorfologi yang memberi kesimpulan untuk melokalisasikan Çriwijaya di Jambi sesuai juga dengan bukti-bukti peninggalan purbakala.

Sesuaikah pula kesimpulan ini dengan berita-berita Tionghoa, Arab dan lain sebagainya? Seperti sudah dikatakan di muka, mengenai berita-berita Tionghoa itu Roland Braddell sampai kepada kesimpulan untuk memprotes "the repetition of insufficiently investigated identifications" dan "to ask from sinologists far more help."[47] Lebih sempurna lagi kiranya kalau protes ini ditambah dengan penyesalan yang sangat terhadap tradisi, yang—berdasarkan atas "insufficiently investigated indentifications" itu—menjadi penghalang untuk meninjau kembali teori-teori yang sudah usang! Dalam hal ini sangatlah menarik perhatian, bahwa salah satu sumber terpenting yang dipakai oleh Moens untuk kartografinya,[48] baru-baru ini oleh William T. Kau[49] dapat dibuktikan sebagai sumber yang tidak seharusnya dipercaya secara mutlak. Sumber ini adalah berita dari Kia-Tan, "one of China‘s most celebrated cartographers,"[50] yang ternyata "never travelled beyond the borders of his native country,"[51] akan tetapi dari bukunya yang 40 jilid tebalnya mengenai topografi Tiongkok dan negara-negara di Lautan Selatan menimbulkan "a widespread belief that Kia-Tan‘s writings were based on firsthand observations made during his journeys."[52] Pun nama-nama tempat Bering kali ditulis berbeda-beda, tergantung dari pendengaran orang Tionghoa sendiri. Ho-lo-tan misalnya[53] "has been transcribed in different ways and its location is also uncertain. One translator says that it is situated on the island of Cho-po or Tou-po; another maintains that it ruled over the island of Cho-p‘o; while a third thinks that it has its capital in Shê-p‘o." Pembacaan kembali tulisan-tulisan Tionghoa kuno itupun menimbulkan berbagai kesulitan. Kao mengatakan[54] bahwa "it is difficult to trace the influence of the Amoy Swatow-Canton dialects in the toponyms...," dan selanjutnya: "Not withstanding what we have just said as to the insignificant part played by South China seamen before the eleventh century, however, we think the Amoy dialect is a very useful guide to the correct pronounciation of many Chinese characters in early writings. For, among all the dialects, it retains the largest elements of ancient Chinese intonations and rhymes...." Apa yang dikemukakan oleh W.T. Kao tadi, yang sesuai dengan protes Roland Braddell, memberikan dorongan kepada kita untuk lebih berhati-hati lagi dalam mengidentifikasi serta melokalisasi nama-nama dan tempat-tempat sebagaimana didapatkan dalam berita-berita Tionghoa. Demikian pula kiranya dalam kita menghadapi berita-berita Arab atau lainnya. Hal ini nyata sudah kalau kita mengingat bahwa apa yang kini dibaca Sribuza dari berita Arab dahulunya dibaca Sarbaza, dan Zabedj dibunyikan sekarang: Zābag.[55]

Namun di dalam kita berhati-hati itu, kalau sesuatu identifikasi dan lokalisasi (atau satu di antara dua) tidak meragukan dan memang sesuai dengan kenyataan, apa salahnyalah kalau kita sampai kepada suatu ketetapan. Sebagaimana sudah dikemukakan,[56] Sabadeibai dari Ptolomaeus dan Zābag dari berita-berita Arab adalah (Muara) Sabak di muka Teluk Jambi. San-fo-tsi untuk (Muara) Tembesi dapat pula kita anggap pasti kalau kita menilik berita-berita Tionghoa dari zaman Sung (960-1279), di mana kita jumpai raja "Chan-pi" di Kerajaan San-fo-tsi.[57] Chan-pi dan San-fo-tsi bersama-sama tidak memberi kesangsian lagi untuk mengidentifikasikannya dengan Jambi dan (Muara) Tembesi.

Demikianlah, ditinjau dari berbagai sudut, tidak ada sesuatu bahan yang memberi petunjuk untuk melokalisasi Criwijaya di Palembang. Semua petunjuk mengarahkan pandangan kita ke Jambi, dengan meninggalkan tradisi yang telah bertahan 40 tahun lamanya.
_____________________

Tulisan ini diambil dari buku “Bunga Rampai Bahasa, Sastra, dan Budaya”, (ed. Achadiati Ikram), yang diterbitkan oleh Intermasa di Jakarta tahun 1988.

R. Soekmono, adalah guru besar pada Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Jakarta, Indonesia.

Kredit foto : www.e-dukasi.net

Singkatan Nama Buku/Majalah:

BEFEO : Bulletin de l‘Ecole Francaise d‘ Extreme Orient
BKI : Bijdragen tot de Taal-Land-en Volkenkunde van Nederlandsch-Indio, uitgegeven door het Koninklijk Instituut voor de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch-Indic.
Encycl. NI : Encyclopaedie van Nederlandsch-Indië, 2e druk, 1917.
HJG : Hindoe-Javaansche Geschiedenis, 2e druk, 1931
IAL : Indian Art & Letters.
Inl. : Inleiding tot de Hindoe-Javaansche Kunst, 2e druk, 1923.
JMBRAS : Journal of the Malayan Branch of the Royal Asiatic Society.
OV : Oudheidkundig Verslag.
TAG : Tijdschrift van het Koninklijk Aardrijkskundig Genootschap.
TBG : Tijdschrift voor de Indische Taal-, Land- en Volkenkunde, uitgegeven door het Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen.
Trans. Am. Phil. Soc. : Transactions of the American Philosophical Society.
VBG : Verhandelingen van het Bataviaasch Genootschap van Kunsten Wetenschappen.

[1] Sebelumnya orang menduga bahwa Çri Wijaya adalah nama seorang raja. Lihat Kern, "Inscripte van Kota Kapoer," BKI, 67, 1913, h. 393-400.
[2] G. Coedes, "Le Royaume de Çrivijaya," BEFEO, XVIII, 1918.
[3] Dasar yang dipakai, dan dengan begitu saja diambil sebagai fakta, oleh Coedes adalah terutama sekali W.P. Groeneveldt, "Notes on the Malay Archipelago and Malacca, compiled from Chinese sources," VBG, XXXIX, 1876, h. 67--76, sedangkan Groeneveldt itu mengemukakan San-fo-tsi Palembang tidak sebagai sesuatu itu kepastian. Lihat juga: J. L. Moens, "Çrivijaya, Yāva en Kaţāha," TBG, LXXVII, 1937, h. 328; dan juga: G. Coedes, Les États Hindouisés d‘Indochine et d‘Indonésie, 1948, h. 143, catatan 1.
[4] 4 F. D. K. Bosch, "Verslag van een Reis door Sumatra," OV, 1930, h. 155.
[5] K. A. Nilakanta Sastri, History of Sri Vijaya, 1949, h. 35.
[6] Ibid., h. 27.
[7] R. C. Majuindar, "Les Rois Sailendra de Suvarnadvipa," BEFEO, XXIII, 1933.
[8] H. G. Quaritch Wales, "A Newly Explored Route of Ancient Indian Cultural Expansion," IAL, IX, 1935.
[9] G. Coedês, "A Propos d‘une Nouvelle Théorie sur le Site de Srivijaya," JMBRAS, XIV, 1936.
[10] J. L. Moens, TBG, LXVII, 1937
[11] "Roland Braddell, "Notes on Ancient Times in Malaya," JMBRAS, 1935—1951.
[12] JMBRAS, XXIV, 1951, h. 27.
[13] Berbagai karangan dalam TAG, 2e reeks, LVIII--LXI (1941--1944).
[14] Kecuali mengenai identifikasi serta lokalisasinya berbagai tempat, dari sudut geomorfologi sendiri pun banyak hal yang tidak dapat sesuai dengan kartografi. berdasarkan geologi dan hidrografi.
[15] Laporan lengkap tentang perjalanan di Sumatera Selatan dan Jambi ini diterbitkan sebagai Amerta, No. 3, 1954.
[16] Penyelidikan hanya terbatas pada daerah Palembang dan Jambi, sehingga daerah sekitar khatulistiwa di daratan Sumatra yang juga mempunyai pretensi untuk lokalisasi Çriwijaya (lihat Moens), terpaksa tidak dibicarakan di sini.
[17] Lihat Amerta, 3, h. 32 sq.
[18] R. W. van Bemmelen, The Geology of Indonesia, Vol. IA, h. 298--302.
[19] Ibid., h. 299.
[20] Di Sekayu, Muara Tembesi, air Sungai Musi, Batang Hari lebih sedikit daripada di Palembang, Jambi, sehingga pengendapannya lebih lambat berlangsung. (Van Bemmelen sendiri mendapatkan untuk pantai Semarang pelebaran pantai sehanyak 12 meter dalam tahun 1941, sedangkan sejak 1695 catatan menunjukkan tambahan hanya 8 meter.) Perlu pula diperhatikan bahwa perhitungan pengendapan ini tidak dengan memperhatikan faktor-faktor lainnya, seperti jumlah banyaknya lumpur yang diendapkan, dalamnya tempat pengendapan, kekuatan arus serta pengaruh pasang surutnya laut di tempat berlangsungnya pengendapan itu. Perhitungan itu berdasarkan lineaire aanslibbing.
[21] Lihat misalnya Moens, loc. cit., h. 338 (berita-berita dari Ibn Sa‘id dan Abulfida) dan Krom, HJG, 1931, h. 307 (berita Chau-Ju-Kua).
[22] Lihat Krom, Inl.2 , II, 1923, h. 425 sq.
[23] Lihat Amerta, 3, h. 12, terutama mengenai "batu catur"-nya.
[24] Lihat Encyl. NI2, Jilid I, h. 610.
[25] Lihat Amerta, 3, h. 32. Baik juga diingat bahwa dalam zaman pleistosen jazirah Malaka bersambung dengan tanah pegunungan di Jawa Tengah dan merupakan suatu landbridge melalui Kepulauan Riau, Lingga, Bangka, Belitung, dan Karimunjawa. Titian tanah ini bare terputus-putus pada akhir zaman es dengan timbulnya Laut Jawa sebagai laut transgressi (lihat Helmut de Terra, "Pleisistocene Geology and Early Man in Java," Trans. Am. Phil. Soc., 32, III, 1934.
[26] Loc. cit., h. 17.
[27] Jadi tidak sampai tahun 1400 seperti Obdeyn.
[28] Lihat Krom, HJG, h. 138.
[29] “A Newly Explored Route etc.," IAL, IX, 1935; "Archaeological Researches on Ancient Indian Colonization in Malaya," JMBRAS, XVIII/1, 1940.
[30] Quaritch Wales bahkan sampai kepada lokalisasi Çriwijaya di daerah ini. Supra, h. 2.
[31] Emcee Chand & Khien Yimsiri, Thai Monumental Bronzes, 1957, h. 23.
[32] Dalam catatan di bawah dikatakan, "A projected paper has already been sketched out dealing with this subject in detail," tetapi sampai hari ini belum ada kenyataannya.
[33] Diambil pula oleh Van Bemmelen, loc. cit., h. 299.
[34] Loc. cit., h. 299.
[35] Loc. cit., h. 633--635.
[36] Sayang, waktu saya di Jambi (lihat Amerta) tidak berkesempatan mengunjungi Muara Sabak.
[37] Krom, HJG, h. 60. Saba ia lokalisasikan di Palembang.
[38] Lihat terutama TAG, LIX, 1942: De Geografische Kennis omtrent Sumatra in de Middeleeuwen, "dan" De Oude Zeehandelsweg door de Straat van Malakka in Verband met de Geomorfologie der Selat-eilanden."
[39] J.G. de Casparis, "Selected Inscriptions from the 7th to the 9th Century, A.D." Prasasti Indonesia, H, h. 15--46.
[40] Loc. cit., h. 27--28.
[41] Loc. cit., h. 16.
[42] De Casparis, loc. cit., h. 11-15. Ada juga pendapat yang menafsirkan prasasti Kedukan Bukit itu sebagai peringatan didirikannya Kerajaan Çriwijaya, seperti Krom (HJG) dan Poerbatjaraka (Riwajat Indonesia, I, 1952, h. 42).
[43] Sampai sekarang daerah Jambi Hulu ini masih terkenal sebagai daerah yang banyak menghasilkan emas bubuk.
[44] Nilakanta Sastri, loc. cit., h. 31. Cf. F. D. K. Bosch, "Het Bronzen Buddhabeeld van Celebes‘ Westkust," TBG, LXIII, 1933, h. 500.
[45] Bosch, loc. cit., h. 500.
[46] Loc. cit., h. 358 sq.
[47] Supra, h. 2.
[48] Loc. cit., h. 336.
[49] William T. Kao, "A Primary Record Relating to Holo-tan and Miscellaneous Notes on Srivijaya and Fo-che," JMBRAS, XXIX/1, 1956, h. 163--178.
[50] Loc. cit., h. 176.
[51] Ibid.
[52] Ibid.
[53] Contoh dari William T. Kao, loc. cit., h. 164.
[54] Loc. cit., h. 165--166.
[55] Krom, HJG, h. 112.
[56] Supra, h. 8.
[57] Lihat Groeneveldt, loc. cit., h. 63 beserta catatan 5-nya di bawah.

-

Arsip Blog

Recent Posts