Batik Oey Soe Tjoen

Pekalongan, Jawa Tengah- Keindahan itu sebenarnya ada dalam ruang-ruang tersembunyi. Keindahan bukan tidak tampak, tetapi hanya bersetia dalam keheningan....

Ba adalah titik, dot, yang terangkai menyusun sebuah garis. Saat dirangkai, garis-garis itu menjadi sebuah lukisan atau gambar yang memesona.

Bunga mawar dengan kupu-kupu cantik yang mengitarinya, terpampang indah dengan latar belakang biru kehijauan, cantik tentunya.

”Itu adalah motif khas karya batik kami. Dulu awalnya, motif itu dikumpulkan dari gambar kartu pos zaman Belanda. Bapak mertua saya, Oey Soe Tjoen, meminta kepada karyawannya untuk menggambar motif itu sebagai pola untuk batik yang diproduksinya. Ada lebih dari 100 motif bunga telah dikumpulkan,” kata Istianti Setiono, penerus batik halus khas Pekalongan yang dikenal dengan Batik Oey Soe Tjoen.

Namun, kecantikan batik Oey Soe Tjoen tidak hanya karena polanya yang bunga atau kupu-kupu itu. Kecermatan dan proses membatik serta mewarnai yang lumayan rumit, njlimet, memberinya nilai tersendiri.

Awalnya adalah memberi kanji (tepung dari ketela) pada kain mori yang 100 persen dibuat dari kapas. ”Kesulitan ada sejak itu. Menarik dan membentangkan kain yang menyusut karena dikanji bukan hal mudah. Dahulu saya sering menyobekkan kain yang baru dikanji sebab menariknya terlalu kuat,” kata Istianti.

Setelah kembali dibentangkan pada ukuran semula, kain mulai diberi pola dan diberi malam (lilin untuk membatik). Berbeda dari pembatik pada umumnya yang menarik garis atau menyusun titik seturut garis lurus dari atas ke bawah ke atas, garis dan rangkaian titik batik produk Oey Soe Tjoen dibuat melengkung. Ini untuk memberi kesan lembut, sesuai pesan Oey Soe Tjoen.

Petani yang menjadi pembatik pada usaha milik keluarga Oey Soe Tjoen, lanjut Istianti, terbiasa dengan pola itu. Mereka adalah orang-orang yang memiliki ketenangan sehingga mampu membatik dengan cermat dan teliti. Namun, efeknya adalah waktu yang dibutuhkan menjadi lebih lama. Apalagi, batik Oey Soe Tjoen adalah batik yang dibuat bolak-balik. Artinya, dua sisi kain dilukis dengan pola dan cara yang sama.

Setelah semua pola awal ditutup malam, kain dicelup dalam pewarna, lalu dikerok, ditutup malam lagi untuk memberi warna berikutnya. Setidaknya lebih dari 12 kali kain itu melalui proses diberi malam, diwarnai, dan dikerok, sebelum akhirnya kain batik itu diselesaikan.

Setiap memberi warna baru, pola yang diberi warna ditutup kembali dengan malam. Gradasi yang dimunculkan betul-betul melalui pemalaman, pewarnaan, dan pengerokan yang berulang-ulang.

Sejak mewarisi usaha batik dari orangtuanya, tahun 1930, Oey Soe Tjoen sengaja mengalihkan cara memproduksi batik dari cap ke batik tulis halus. Istrinya, Kwee Tjoan Giok, pun terlibat aktif dalam usaha itu.

Berdua, mereka merintisnya. Mulai dari membina pembatik yang umumnya adalah petani yang tinggal di sekitar Kedungwuni, tempat keluarga itu tinggal, hingga membina relasi dengan pendukung usaha, seperti pembuat canting dan penyedia malam tawon.

Tidak mengherankan jika sepeninggal Oey Soe Tjoen pada tahun 1975, pembatik itu tetap setia bekerja pada Oey Kam Long, anak ketiga Oey Soe Tjoen. Ketika Oey Kam Long atau Muljadi Widjaja menikahi Istianti Setiono, Kwee Tjoan Giok pun melatih Istianti, yang sarjana lulusan Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Sanata Dharma Yogyakarta, menjadi penerus.

Istianti kerap diajak menjenguk pembatik di rumah mereka. Ia juga ditunjukkan kepada siapa canting dibeli. Tak jarang ia diajak bertandang ke rumah mereka, tidak hanya untuk urusan pekerjaan, tetapi sekadar untuk berkunjung.

”Kami memilih tetap mempertahankan cara dan proses sebagaimana bapak mertua saya memulainya,” kata Istianti, yang kemudian meneruskan usaha itu setelah suaminya wafat tahun 2002. Kunjungan itu kerap dipakai untuk mengontrol kualitas dan kinerja pembatik.

”Setiap proses harus diperiksa dengan cermat dan detail. Jangan sampai ada satu tetesan malam yang tidak pada tempatnya karena kalau terlewat dan telanjur diwarnai sulit sekali hilang,” kata Istianti lagi. Jika ada yang sobek atau tercoret saat proses, Istianti segera menelepon si pemesan.

”Kami jelaskan kondisinya dan bertanya apakah akan diteruskan atau dihentikan. Biasanya mereka akan meminta dibuatkan baru dan yang telanjur rusak tetap diteruskan,” papar Istianti.

Dengan pola kerja seperti itu, dalam satu tahun Istianti hanya mampu memproduksi 15 lembar kain batik.

”Semuanya adalah pesanan,” kata Istianti yang menjual kain produksinya antara Rp 6,5 juta dan Rp 7,5 juta per lembar. (B Josie Susilo H)

Sumber: cetak.kompas.com (9 September 2008)
-

Arsip Blog

Recent Posts