Batik Sumut Tembus Pasar Luar Negeri

Medan, Sumut - Kini batik tidak hanya dari Jawa, tapi Sumatera Utara juga menghasilkan kain batik dengan motif budaya dan suku yang ada di sini dikenal sebagai batik Medan. Produksinya tidak hanya pasar lokal, tapi juga mampu menembus pasar luar negeri.
“Selain dijual di pasar lokal, batik ini, juga kami jual ke pasar luar negeri ketika pameran di sana seperti ke Thailand dan Bulgaria,” kata Zuhrita Kustiwi, pemilik kerajinan batik UD Mitra Cahaya kepada Berita Senin (9/9).
Ia berkisah, UD Mitra Cahaya beralamat di Jalan Letda Sujono Gang Al Halim Kiri nomor 1 Medan merupakan usaha keluarga yang digagas oleh ibundanya Dra Nur Cahaya Nasution yang kini lebih fokus mengurusi calon perajin batik di Lembaga Keterampilan Pelatihan (LKP) “Saudur Sadalanan” (seiring sejalan-Red bahasa Mandaing).
Kustiwi, biasa dipanggil Tiwi adalah penerus usaha ibunya. Tiwi sendiri sebagai PNS tidak sepenuhnya dapat memantau usaha tersebut. “Semuanya saya beri kepercayaan kepada para pegawai di sini,” katanya. Usaha batik Medan ini juga ada di Jalan Bersama Gg Musyawarah nomor 2 Kelurahan Bantan Medan Tembung. Usaha ini milik kakak Tiwi. “Yang di Jalan Bersama itu usaha batik kakak perempuan saya nomor dua. Kami empat bersaudara, saya nomor tiga,” tutur Tiwi.
Tempat usaha batik Medan milik Tiwi ini lokasinya masuk ke gang, tanpa pamflet. Namun usahanya mulai terkenal dan menjadi salah satu tempat yang patut dikunjungi jika ada tamu pemerintah datang.
Puteri Indonesia 2008 Zivanna Letisha Siregar yang akrab disapa Zizi pernah menyambangi tempat itu. Zizi yang mewakili Indonesia di ajang Miss Universe 2009 itu secara dadakan (tiba-tiba) berkunjung.  “Suatu kebanggaan juga tempat kami ini dikunjungi Puteri Inonesia. Namun kami berharap pemerintah mau memberi bantuan untuk mempermudah mendapatkan bahan baku dan mempromosikan batik ini,” ucapnya.
Awalnya sang ibulah yang mendapat pelajaran membatik dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Sumut. Ternyata pelajaran membatik itu ditekuni dengan belajar lagi ke Yogyakarta hingga ke Solo.
Motif batik menurut Tiwi, dia peroleh dari buku-buku dan internet untuk corak khas Mandailing, Melayu, Tapsel, Karo, Nias, Toba dan Simalungun. Selain dari buku, inspirasi motif juga dilihat dari tiang-tiang Pekan Raya Sumatera Utara (PRSU).
Motif itu dikirim ke Yogyakarta untuk dibuatkan mal atau cetakannya. Mal batik terbuat dari tembaga itu harganya variatif tergantung kerumitan membuatnya. Namun kisaranya Rp900 ribu hingga Rp3 juta.
Selain mal, lilin bahan baku pembuatan batik juga dipesan ke Solo, harganya per kilo Rp30.000. Menurut Tiwi, lilin bisa didaur ulang untuk dipakai lagi dalam proses pembuatan batik berikutnya. Namun setelah dihitung untung rugi dan kualitasnya, ternyata lebih bagus membatik dari lilin yang baru. Selain hasilnya optimal, biaya proses daur ulangnya juga beda tipis kalau membeli lilin baru. Kompor dan kuali kecil untuk melelehkan lilin juga didatangkan dari Pulau Jawa. “Hampir semua bahan membatik ini didatangkan dari Jawa,” tuturnya. 
Tiwi mengaku dia terus memproduksi kain batik tersebut sekalipun tidak ada yang pesan. Kini Tiwi bersuamikan Tuful Zuhri Siregar itu memiliki 18 orang karyawan yang terlatih. Dengan bantuan tenaga karyawannya itu, dalam satu bulan usaha pembuatan batik milik Tiwi mampu menghasilkan 500 lembar kain, baik untuk batik tulis maupun batik cap.
Untuk batik cap terbuat dari bahan kain katun primisima dan kain sutra, Tiwi memberi harga masing-masing Rp130 ribu dan Rp350 ribu untuk selembar kain berukuran 2 meter itu. Sedangkan untuk batik tulis harganya mahal, dua kali lipat dari batik cap yakni Rp250 ribu untuk bahan katun primisima dan Rp800 ribu untuk bahan kain sutra. Sebab membuat batik tulis butuh waktu seminggu, sedangkan batik cap minimal tiga hari. “Disini khusus membuat batik motif Medan, tak ada motif lain,” ungkapnya.
Tiwi mengatakan yang paling laris dan sering dipesan adalah motif Gorga. Pemesan biasanya berasal dari kalangan instansi pemerintah seperti Dinas Koperasi, Dinas Perindustrian dan Perdagangan dan Kantor Pajak.
Usaha yang dirintisnya sejak tahun 2008 makin dilirik pemesan setelah pemerintah mencanangkan Hari Batik pada 2 Oktober 2010. Sejak itulah banyak orderan batik untuk seragam instansi. Ia menjelaskan mekanisme membuat batik. Kain putih berukuran 2-3 meter dicap dengan mal sesuai motif diinginkan mau motif Melayu atau Mandailing dan daerah lainnya atau semua motif daerah di satu kain tersebut.
Kemudian proses pewarnaan sesuai keinginan. Kalau motif batak biasanya didominasi merah dan hitam. Untuk mempertahankan garis-garis motif maka dibuat proses penembokan dengan cara mempertebalnya dengan canting yang panas. Jadi lengkap ada kuali kecil dan kompor.
Proses penembokan bertujuan  agar warna tahan lama dan kain batik pun diwarnai sekali lagi sebagai bagian proses pewarnaan akhir. “Kita melakukan pewarnaan dua kali. Setelah pewarnaan pertama dilakukan proses penembokan, kemudian diwarnai sekali lagi baru kemudian dilorot, artinya direbus dalam bahasa Jawa,” tutur Tiwi.
Proses pelorotan (perebusan) itu hanya memakan waktu selama 10-15 menit tujuannya untuk menghilangkan lilin yang terdapat pada kain. Barulah setelah itu kain batik yang sudah diwarnai dan dilorot itu dijemur hingga  kering. Nah, batik pun sudah jadi.
Motif batik Medan antara lain corak dari kain ulos Batak, motif Hari Hara Sundung di Langit yang menunjukkan ciri khas Batak Toba, dan motif Pani Patunda dari Simalungun.  Selain itu, motif Melayu seperti pucuk rebung, semut beriring, itik pulang petang. Kemudian motif Toba ada desa nawalu, Gorga Sitompi, Batak Mandailing dengan motif mataniari juga dikembangkan sebagai motif Batik Medan.
Perbedaan antara Batik Medan dengan batik asal Pulau Jawa, terletak pada motifnya. Motif Jawa biasanya mengedepankan motif bunga, hewan dan semacamnya. Sementara motif Batik Medan condong ke etnik di Sumatera Utara.  Misalnya motif ulos yang mengambil corak dari kain ulos Batak.
-

Arsip Blog

Recent Posts