Wayang Dikagumi Dunia, Telantar di Negeri Sendiri

Jakarta - Sebanyak 295 seniman boneka dari 46 negara menunjukkan kebolehannya di sejumlah tempat di Jakarta pada 1-8 September 2013. Perhelatan terbesar di dunia soal wayang ini sekaligus menunjukkan bahwa Indonesia adalah rumah bagi wayang.
Sepuluh penari pria bertelanjang dada. Tangan mereka ditekuk di atas kepala, lalu diikat. Bersama dengan tangan, wajah para penari itu kemudian ditutup kain berwarna-warni. Dada dan perut gendut (ada pula yang kurus) penari berubah menjadi wajah-wajah pria dan wanita yang dilukis dengan berbagai ekspresi.
Ketika musik berirama dangdut dimainkan, tubuh para penari sontak berputar-putar, meliuk ke kiri kanan, dan membuat formasi saling silang atau berjejer. Gerakan tubuh menghidupkan ekspresi wajah di perut penari.
Gelayut perut gendut yang bergoyang-goyang membuat ekspresi wajah di perut ikut berubah-ubah, terkadang seperti cemberut atau tersenyum. Inilah boneka manusia yang menjadi tradisi baru masyarakat Rajasthan dan Gujarat, India. Pertunjukan boneka manusia yang diciptakan seniman Jeetendra Adwani ini mampu membuat geli penonton yang sebagian besar orang asing, Senin (2/9), di Hall Epicentrum Walk, Kuningan, Jakarta Selatan.
”Saya terinspirasi orang-orangan sawah di ladang kami,” kata Jeetendra yang sore kemarin ikut menari. Ia menciptakan boneka manusia pada tahun 1995 dan sejak itu tarian boneka manusia dikenal sebagai ciri khas tarian tradisi Rajasthan dan Gujarat.
Jeetendra mementaskan tarian boneka manusia dalam rangkaian Wayang World Puppet Carnival (WWPC) 2013 di Jakarta.
Beragam boneka
WWPC 2013 menampilkan beragam boneka dari sejumlah negara. Valeria Sacco dari Riserva Canini Teatro Italia, misalnya, memperkenalkan boneka perempuan seukuran manusia yang ia mainkan sendiri. Dalam penampilannya, Sacco membaur bersama boneka yang selalu bersandar pada tangannya. Ia sendiri menutupi wajahnya dengan kain dan kadang- kadang dibuka untuk berperan menjadi lawan bicara sang boneka.
Dari Peru, Amerika Selatan, Jose Navarro memainkan boneka yang digerakkan dengan tali- temali. Keterampilan jarinya membuat boneka yang mengenakan pakaian tradisional Peru itu begitu hidup. Boneka itu ia hidupkan dari ritual tari tradisional Peru bernama tari gunting (scissors dance).
Pertunjukan boneka lainnya bentuknya sangat beragam, mulai dari boneka jari, boneka tali, boneka bayangan, hingga boneka yang tangan kaki dan kepalanya langsung digerakkan tangan-tangan pemainnya. Mereka tampil dalam pertunjukan gratis di empat lokasi yang berbeda, yaitu di Gedung Pewayangan TMII, Museum Nasional, Monumen Nasional (Monas) dan Gedung Teater Usmar Ismail pada 1-8 September. Selesai bermain, giliran para seniman itu ”digiring” untuk menonton wayang Indonesia semalam suntuk di Monas.
”Banyak orang asing sudah tahu wayang, tetapi mereka tidak tahu bagaimana wayang dimainkan komunitasnya di sini,” kata Eko Tjipto, Ketua Umum Persatuan Pedalangan Indonesia (Pepadi) yang menggagas WWPC 2013. Indonesia menampilkan lima dalang dalam pergelaran wayang kulit dan wayang golek semalam suntuk.
Permainan bayangan
Lalu, di mana posisi wayang dalam tradisi dunia? Menurut Suyanto, dosen pedalangan Sekolah Tinggi Seni Indonesia Surakarta, wayang berbeda dengan pertunjukan boneka yang menjadi tradisi sebagian besar bangsa Eropa. Wayang dalam tradisi Indonesia sudah berkembang jauh sebelum orang Eropa mengenal pertunjukan boneka.
Wayang menjadi bagian ritual masyarakat Nusantara yang pada masa itu masih memuja leluhur. Solichin, peneliti dan penulis buku Filsafat Wayang, mengungkap, wayang sudah dikenal di Nusantara sekitar 1.500 tahun sebelum Masehi sebelum bangsa ini mengenal tulisan dan masih memeluk animisme.
Buku Wayang, Masterpiece Seni Budaya Dunia, yang ditulis Solichin, menyebutkan, pada masa itu, roh leluhur dipuja-puja dan diwujudkan dalam bentuk patung atau gambar. Salah satu contoh bentuk wayang purba adalah si Gale-gale dari Sumatera Utara, yaitu boneka kayu yang digerakkan dengan tali dari belakang.
Adapun wayang berasal dari bahasa Jawa yang artinya bayang-bayang. Hal ini disebabkan pada mulanya pertunjukan wayang hanya bisa disaksikan dari balik layar. Obor penerangan atau blencong menciptakan bayang-bayang indah di layar dari karakter yang dimainkan. Fenomena inilah yang membuat seniman boneka di luar negeri menjuluki wayang sebagai shadow puppet atau boneka bayang- bayang.
Wayang juga menginspirasi seniman dunia untuk mengembangkan kreasinya. Larry Reed, seniman dari San Francisco Amerika Serikat, misalnya, menciptakan karya baru setelah melihat pertunjukan bayang-bayang wayang Bali. Ia menciptakan pertunjukan bayang-bayang berskala layar bioskop.
Eko Tjipto mengatakan, kreasi ini menunjukkan wayang dikagumi di tataran dunia. Ironisnya, seni wayang di Tanah Air justru ditelantarkan. Dari sekitar 100 jenis wayang yang ada di Indonesia, misalnya, kini 75 di antaranya sudah musnah karena tidak ada regenerasi.
Agar tak semakin banyak wayang yang punah inilah, WWPC diselenggarakan. ”Ini sekaligus mengajak generasi muda untuk mencintai wayang,” kata Direktur Eksekutif Yayasan Arsari Djojohadikusumo, Catrini Pratihari Kubontubuh, yayasan yang mendukung WWPC.
Jangan sampai wayang dikagumi dunia, tetapi ditelantarkan di negeri sendiri.
-

Arsip Blog

Recent Posts