Kesenian Tradisional Jalantur, Kesenian Baris Berbaris yang Hidup Sejak Gestapu

Unik.Menarik.Mengagumkan. Itulah kesan yang hadir ketika menyaksikan kesenian Jalantur, sebuah bentuk kesenian tradisional yang sudah berumur 50 tahun lebih milik masyarakat Dusun Gowo Pos Desa Sengi Kecamatan Dukun Kabupaten Magelang. Kesenian Jalantur hadir menghibur warga kota Yogyakarta saat mengisi acara kesenian Jagongan Media Rakyat di Jogja Nasional Museum, Minggu (25/7).

Kesenian Jalantur ini dipentaskan oleh generasi ke empat sejak kesenian ini muncul kali pertama tahun 1958. Menurut Indarto, ketua kesenian Jalantur, generasi pertama kesenian ini dipimpin oleh Ali Achmad dari tahun 1958-1965. Kemudian generasi kedua dari tahun 1965-1980 dibawah pimpinan Reban. Generasi ketiga dibawah kendali Truno berlangsung 1980-2000 sedang generasi ke empat telah melestarikan Jalantur dari tahun 2000 hingga 2010 ini.

Sebagian besar anggota kesenian Jelantur adalah orang tua berusia diatas 40 hingga 60 tahun. Namun diantara para orang tua itu menyempil beberapa anak muda berusia 20-30 tahun yang ikut menjadi prajurit baris berbaris.

Dituturkan Sumpeno, kesenian Jalantur muncul kali pertama ketika masa MMC (Merapi Merbabu Complek), masa saat Merapi dan Merbabu tengah tidak aman karena ulah para perusuh (berandal) yang mengganggu ketentraman hidup masyarakat yang tinggal di lereng dua gunung tersebut.

Masa MMC ini ada di tahun 50-an akhir, masa ketika Indonesia tengah berkecamuk ramai dengan “jaman PKI-nya”. Ketika itu, beberapa desa yang berlokasi di lereng Merapi seperti Sengi, Tlogolilih, Papua, Wonolelo dan Paten menyiapkan tokoh-tokoh desanya untuk menjadi pengaman desa dari gangguan gerombolan pembuat onar yang bersembunyi di Merapi dan Merbabu.

Pada tahun 60 Jalantur ini sempat tidak pernah tampil hingga 10 tahun lamanya karena tokoh-tokoh kesenian Jalantur ditangkapi penguasa karena dianggap pengikut PKI,” cerita koordinator Jalantur ini menjelaskan masa vakum Jalantur yang pernah terjadi pada tahun 1960-1970.

Jalantur, menurut Sumpeno adalah singkatan dari Jalan Yang Diatur. Jalantur dalam prakteknya adalah seni baris berbaris yang dilakukan banyak orang. Adalah kepandaian masyarakat di lereng gunung Merapi yang menjadikan baris-baris itu menjadi bentuk kesenian tradisional.

Dalam pementasannya di Jagongan Media Rakyat, Minggu (25/7), sebanyak 22 orang anggota kesenian Jalantur dari dusun Gowo Pos ini mementaskan Jalantur selama 45 menit. 22 penari ini terbagi menjadi beberapa peran. Ada satu anggota yang menjadi “wasit” yang memberi aba-aba baris berbaris dengan memakai peluit. Kemudian ada empat orang sebagai senopati, dan yang lain menjadi prajurit.

Jalantur adalah kesenian baris berbaris membuat berbagai formasi huruf dan juga membuat alamat asal kesenian Jalantur,” kata Sumpeno sebelum pementasan. Di tambahkannya, Jalantur juga menampilkan serangkaian peperangan antarsenopati.“Baris berbaris dulu baru perang beneran memakai senjata tajam,” kata Sumpeno.

Busana yang dipakai penari kesenian Jelantur ini menggunakan seragam khas prajurit dilengkapi beragam asesoris seperti sampur, jarit, tagen, keris dan slayer leher. Namun begitu, ada yang membedakan antara seragam senopati dan penari yang lain. Para senopati ini memakai kuluk dan menggunakan pedang sementara prajurit lain menggunakan tombak dan penthungan kayu. Para senopati ini juga membawa jaran kepang (turonggo).

Dalam pementasannya, anggota kesenian Jelantur itu mampu membuat aneka formasi huruf seperti huruf L, U, V dan beberapa huruf lain. Mereka berada dibawah arahan bunyi peluit yang dibunyikan wasit untuk memberi aba-aba barisan untuk belok kanan, belok kiri, hadap kanan, hadap kiri dan dll.

Dengan diiringi tetabuhan beberapa alat gamelan seperti bende dan kenong para prajurit ini silih berganti melakukan gerakan membentuk huruf dan berperang. Tiba pada giliran peperangan antarsenopati yang ketiga, salah satu senopati mengalami tidak sadar diri. Namun dengan cepat para pendamping segera bisa menguasai senopati tersebut dan memberi minum air putih.

Memang tarian perang yang diperagakan para senopati ini berlangsung sangat keras.Dengan masing-masing senopati yang sudah membawa pedang, mereka tampak bersungguh-sungguh dalam peperangan sehingga bunyi pedang yang beradu sangat jelas terdengar.

Para senopati ini memang harus selalu menyiapkan diri. Apalagi bagi senopati-senopati yang menggunakan jaran kepang untuk menari. Mereka akan bisa tidak sadarkan diri. Menurut Sumpeno, pihaknya harus melakukan ritual terhadap jaran kepang yang akan digunakan untuk menari. Caranya beberapa jam sebelum digunakan menari jaran kepang tersebut harus disiram air dan bunga setaman.

Gerakan tarian pada kesenian Jalantur ini hanya berisi dua macam saja memang. Berbaris membentuk formasi huruf kemudian diselingi perang antarsenopati. Berbaris membuat formasi kemudian senopati berperang lagi. Begitu seterusnya.

Penampilan kesenian Jalantur pada Minggu sore di depan rumah Joglo JNM itu berlangsung cukup meriah. Para penonton nyaris tak berancak dari tempat mereka menyaksikan tontonan yang tak pernah mereka saksikan sebelumnya. Mereka telah menyaksikan kesenian tradisional yang unik. Kesenian tradisional baris berbaris. (The Real Jogja/joe)

-

Arsip Blog

Recent Posts