Mayor Jantje dan Tanjidor

Oleh Pradaningrum Mijarto

Musik orkes yang kemudian dikenal sebagai tanjidor berawal dari Citrap atau Citeureup dan dimulai sekitar dasawarsa kedua abad 19. Musik ini disebut-sebut sebagai musik para budak dan tak bisa lepas dari peran seorang mayor yang keturunan mardijkers (orang merdeka).

Adalah Augustijn Michiels, keturunan langsung dari Jonathan Michiels seorang mardijkers yang jadi pemimpin kaum mardijkers di timur laut Batavia, yang mewariskan kesenian musik tersebut. Jonathan bergelar Oud Luitenant der Inlandsche Burgerij of der Papangers – letnan senior kaum Papang. Ia memiliki tanah di Cileungsi dan Klapanunggal. Warisan Jonathan akhirnya jatuh ke tangan Augustijn yang pada 1807 – setelah 20 tahun dinas di kemiliteran – berhenti dengan gelar Oud Majoore der Burgerij atau Kolonel Titulair.

Meski demikian, Augustijn yang kaya raya tak pernah tinggal di Weltevreden sebagaimana warga Belanda dan Eropa lainnya. Sebagai mardijkers ia memilih tetap tinggal di Ancol di mana kaum mardijkers tinggal.

Di tahun 1817, Augustijn yang kemudian lebih dikenal sebagai Mayor Jantje, membeli tanah Citrap sekaligus daerah pedalaman di sepanjang jalan raya antara Batavia dan Buitenzorg (Bogor) seperti Cibarusa, Tanahbaru, Cimapang. Dalam ulasannya pada buku Mayor Jantje: Cerita Tuan Tanah Batavia Abad ke-19 karangan Johan Fabricius, Mona Lohanda menegaskan keberadaan sang mayor serta perannya pada keberadaan tanjidor.

Sebagai tuan tanah, Mayor Jantje memiliki ratusan budak, pria dan wanita. Dari ratusan budak itu, ada 30 orang yang kemudian bergabung dalam Korps Musik Papang (Het Muziek Corps der Papangers) yang dibentuk antara 1827-1829. Para pemusik ini mengiringi pesta sang mayor setiap malam. Dari musik Eropa hingga Tionghoa dimainkan. Musik ini terus dimainkan hingga kematian menjemput Mayor Jantje pada 27 Januari 1833 di kediamannya di Semper Idem, Batavia.

Dengan kematian Mayor Jantje, keberadaan orkes itu pun tak jelas lagi. Para budak yang diberi alat musik Eropa seperti tamburin Turki, terompet Perancis, drum bas, dan clarinet itu pun dilelang. Dilelang bersama alat musiknya. Namun Mona menegaskan, musik tanjidor bermula dari zaman Mayor Jantje. Nama tanjidor diperkirakan berasal dari bahasa Portugis tanger (bermain musik) dan tangedor (bermain musik di luar ruangan), namun Betawi pun punya kata tanji (musik).

Tanjidor hingga tahun pertengahan tahun 1950-an masih menghibur warga pada saat merayakan tahun baru, termasuk ngamen di kawasan Kota pada saat Imlek hingga Cap Go Meh. Setelah itu, orkes musik yang terdiri atas alat musik barat seperti klarinet, trombone, trompet, tuba tenor, drum samping, simbal, dilarang ngamen di Jakarta. Orkes ini juga terpengaruh musik China dilihat dari penggunaan suling, gong, kendang, rebab. Musik mereka biasanya adalah musik riang, mars seperti lagu-lagu dari zaman Belanda yang biasa dibawakan para serdadu.

-

Arsip Blog

Recent Posts