"Sabulungan", Kearifan Mentawai Menjaga Hutan

Oleh : Fransisca Romana

Sabulungan berasal dari kata sa dan bulung. Sa berarti seikat, bulung artinya daun. Sabulungan mengajarkan keseimbangan antara alam dan manusia. Kepercayaan itu mengajarkan manusia untuk memperlakukan alam, tumbuh-tumbuhan, air, dan binatang seperti dirinya.

Demikianlah suku Mentawai di Provinsi Sumatera Barat melakukan bentuk konservasi hutan tanpa mereka sadari.

Daun bagi suku Mentawai dianggap memiliki kekuatan magis untuk menyembuhkan dan menghidupkan. Daun selalu ada dalam upacara-upacara suku Mentawai. Masyarakat Mentawai pun dikenal dengan kemampuan mereka yang menakjubkan, yakni menyembuhkan orang sakit dengan menggunakan daun-daunan liar yang tumbuh di hutan.

Daun juga dipercaya mampu menghubungkan manusia dengan penguasa jagat raya yang disebut Ulau Manua. Daun, atau lebih luas pohon dan hutan, menurut keyakinan mereka, merupakan tempat bersemayam dewa-dewa yang harus dihormati. Jika tidak, malapetakalah yang akan ditemui.

Ada tiga dewa yang dihormati dalam ajaran sabulungan. Pertama Tai Kaleleu, yakni dewa hutan dan gunung. Pesta adat atau punen mulia yang dilakukan sebelum berburu dipersembahkan kepada dewa ini.

Kedua adalah Tai Leubagat Koat, yang merupakan dewa laut atau dewa air. Air dihormati karena memberikan kehidupan, tetapi kadang-kadang juga menimbulkan badai. Tai Leubagat Koat layaknya Dewa Syiwa dalam agama Hindu. Ketiga, Tai Kamanua, dewa langit, sang pemberi hujan dan kehidupan. Ketiga dewa itulah yang menjaga keseimbangan alam.

Kepercayaan sabulungan ini mirip dengan ajaran Kaharingan dalam masyarakat Dayak di Kalimantan. Alam sangat dihormati karena mereka percaya semua benda yang hidup ada pemiliknya. Tentu saja pemilik akan marah jika yang dimilikinya dirusak.

Sabulungan itu pula yang menjaga eratnya hubungan antarwarga dan antarsuku. Menurut catatan peneliti budaya Mentawai dari Universitas Negeri Padang, Sumatera Barat, Ady Rosa, masyarakat Mentawai terdiri dari empat suku induk dengan 76 subsuku di bawahnya. Selain mendasari hidup dan kepercayaan, sabulungan juga menjiwai kehidupan seni suku Mentawai.

Seiring dengan masuknya pengaruh dari luar, baik masa penjajahan maupun setelah kemerdekaan Indonesia, sabulungan tidak bisa lagi dilakukan dalam bentuk formal. Sabulungan dianggap kepercayaan yang sesat, bahkan segala atribut mereka dibakar dan dimusnahkan. Padahal, yang mereka sembah adalah penguasa langit dan bumi yang tidak kelihatan, yang oleh sejumlah agama disebut Tuhan.

Meski demikian, sabulungan tetap hidup dalam jiwa masyarakat suku Mentawai. Mereka arif menjaga dan melindungi hutan di tanah mereka melalui peraturan adat. Untuk menebang pohon harus melalui persetujuan rimata (kepala suku) dan sikerei (dukun).

Menebangnya pun dengan sistem tebang pilih, tidak boleh sembarangan. Sebelum menebang pohon atau hutan, harus pula diadakan punen mulia yang merupakan suatu upacara adat semacam permintaan izin dan ucapan terima kasih.

Di masa lalu masyarakat Mentawai juga mengenal panaki, suatu upacara untuk membuka hutan menjadi ladang. Dengan guntingan kain kecil-kecil yang disangkutkan pada satu tiang kayu, mereka yang membuka hutan meminta izin kepada penguasa hutan agar penguasa itu tidak terkejut. Tanpa panaki, pembukaan hutan menjadi ladang tidak mungkin dilakukan.

Penguasa hutan disebut eppu, sedangkan penguasa sungai disebut jagot bat hoinan. Selain menggunting kain kecil-kecil, orang yang membuka hutan juga meletakkan tembakau. "Kalau tidak dilakukan, masyarakat Mentawai percaya penguasa hutan akan marah dan mendatangkan malapetaka," ungkap Kepala Desa Maileppet, Kecamatan Siberut Selatan, Kepulauan Mentawai, Besman Saleleubaja.

Tidak hanya menebang hutan, mengotori air juga merupakan suatu tindakan yang tidak bisa dibenarkan, bahkan bisa mendatangkan hukuman berupa denda adat. Denda itu setara dengan seekor babi, yang termasuk harta berharga bagi masyarakat Mentawai. Di sungai, buang air kecil saja dilarang, apalagi buang air besar, sangat tidak diperbolehkan karena air adalah sumber kehidupan. Air dari hulu ke hilir sungai memang terlihat bersih tanpa pencemaran.

Masih terjaga
Meski masyarakat Mentawai saat ini sudah memeluk agama formal, seperti yang diharuskan pemerintah, kearifan lokal itu masih terjaga. Masyarakat Mentawai yang hidup di pedalaman masih menjaga tradisi menghormati alam semesta. Salah satu bentuk sabulungan saat ini terwujud dalam upacara penyembuhan orang sakit oleh sikerei.

Upacara berlangsung sejak malam hingga pagi hari. Sore hari sikerei mengambil daun obat di hutan. Kemudian ia berkeliling kampung sambil membunyikan genta sebagai penanda adanya upacara penyembuhan orang sakit. Pada tengah malam sikerei akan masuk ke tengah hutan yang merupakan makam nenek moyang dan berdoa untuk memanggil roh. Roh dari hutan itulah yang akan menyembuhkan orang yang sakit.

Tidak hanya daun yang berkhasiat untuk menyembuhkan si sakit, hutan pun memberikan kayu yang bagus yang bisa dibuat sampan. Sampan merupakan sarana vital masyarakat suku Mentawai untuk saling berhubungan. Dikelilingi hutan lebat dan laut, sampan menjadi satu-satunya alat transportasi suku Mentawai karena jalan darat berupa jalan setapak yang hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki.

Terancam HPH

Berdasarkan kearifan sabulungan yang mendarah daging di kalangan suku Mentawai, mereka bisa menentukan tempat yang tepat untuk berladang. Ladang mereka selalu aman, jauh dari bencana longsor, misalnya, karena mereka mengganti pohon yang ditebang dengan tanaman baru.

Namun, kearifan lokal masyarakat suku Mentawai dalam menjaga hutan harus berhadapan dengan hak pengusahaan hutan (HPH) dan izin pemanfaatan kayu (IPK) yang mulai marak di Pulau Siberut. Sekitar tahun 1970-an pemerintah membagi hutan Siberut seluas 408.000 hektar untuk empat HPH dan hanya menyisakan 6.000 hektar untuk suaka margasatwa serta 65.000 hektar untuk permukiman dan pertanian.

Sejak tahun 2001 Pemerintah Kabupaten Mentawai memberikan lagi HPH kepada PT Koperasi Andalas Madani (KAM) dan kepada PT Salaki Summa Sejahtera (SSS). Selain kerusakan ekologi, kehidupan sosial budaya masyarakat suku Mentawai pun terancam.

Seharusnya dengan dicanangkan sebagai taman nasional, tidak ada lagi HPH dan IPK di Pulau Siberut. Kepala Desa Muntai, Kecamatan Siberut Selatan, Victor Sagari, menyatakan kekhawatiran akan dampak HPH dan IPK, mengingat hutan itu bukan untuk kehidupan hari ini saja, tetapi untuk anak cucu bangsa ini.

"Dulu kami hanya memilih kayu keras dan bagus untuk membuat rumah semacam ini. Tetapi, setelah sekarang kayu yang keras diambil (HPH) sehingga hanya tersisa kayu lunak bagi kami sehingga rumah cepat lapuk," tuturnya.

Kayu lunak itu pun seharusnya tidak boleh diambil karena memang bukan pada tempatnya diambil. Namun, apa boleh buat, masyarakat Mentawai perlu membangun rumah untuk tempat tinggal mereka sehingga masalah ini benar-benar dilematis. Victor juga khawatir karena kawasan Siberut Selatan kini mulai dirambah pengusaha yang membuka hutan di Siberut Utara.

Selain sebagai pendukung kehidupan masyarakat, hutan Mentawai merupakan ekosistem bagi sejumlah satwa endemik yang hanya ditemui di Kepulauan Mentawai, antara lain joja atau lutung mentawai (Presbytis potenziani), bokkoi atau beruk mentawai (Macaca pagensis), simakobu (Simias concolor), dan bilou atau siamang kerdil (Hylobates klosii).

Monyet-monyet itu pun merupakan bagian dari adat istiadat masyarakat suku Mentawai. Berburu monyet merupakan bagian dari tradisi masyarakat Mentawai. Selain itu, tampak pula dalam ukir-ukiran hiasan dinding yang merupakan jimat yang dipasang di atas pintu masuk ruangan kedua dalam sebuah uma. Ukiran yang disebut jaraik itu berwujud tengkorak monyet, biasanya bokkoi jantan dewasa.

Adanya HPH dan IPK dikhawatirkan akan menyebabkan habitat satwa endemik Mentawai itu terganggu. Ujung-ujungnya, kehidupan adat suku Mentawai pun terganggu. "Kita harus belajar dari apa yang sudah terjadi di Papua. Di sana tanaman sagu dipaksa diganti dengan padi. Saat gagal panen, terjadilah kelaparan dan banyak yang menjadi korban. Jangan sampai suku Mentawai pun turut menjadi korban," papar Ady Rosa.

Jika hutan hilang, kearifan pun akan turut hilang. Dengan mempertahankan hutan Mentawai, jiwa sabulungan bisa terus hidup dan bisa menjadi contoh bagi semua pihak untuk mempertahankan hutan yang semakin habis di muka bumi.

Kompas.com
-

Arsip Blog

Recent Posts