Wisata Sejarah Yogya-Solo dengan Prameks

Yogyakarta - Kereta Rel Diesel (KRD) Prambanan Ekspres (Prameks) perlahan masuk Stasiun Tugu. Dari sini, kereta api ini melanjutkan perjalanan hingga Stasiun Solo Balapan. Dengan kecepatan rata-rata sekitar 100 km/jam, kereta komuter ini jadi kebanggaan warga kedua kota yang bersebelahan ini. Dengan tiket Rp 7.000, perjalanan Yogya-Solo (dan sebaliknya), yang jika ditempuh dengan kendaraan roda empat menghabiskan waktu sekitar 2 jam, hanya perlu sekitar 45 menit.

Duduk di ruang masinis membuat pemandangan lebih luas. Meninggalkan Stasiun Tugu, tak lama kereta masuk ke Stasiun Lempuyangan. Stasiun tua yang dari sisi ukuran terbilang kecil ini kini sudah dibenahi. Usia stasiun ini sedikit lebih tua dari Stasiun Tugu. Stasiun Lempuyangan diresmikan 2 Maret 1872 dan menjadi awal keberadaan kereta api di Yogyakarta. Sekitar 14 tahun kemudian, barulah Stasiun Tugu hadir.

Kereta api Prameks beroperasi sepuluh kali pergi-pulang dan berhenti di stasiun-stasiun berikut: Stasiun Wates, Lempuyangan, Klaten, Purwosari, Solo Balapan, dan Solo Jebres. Semula KA Prameks Solo-Yogya PP (sudah ada sejak 1994) menggunakan KA Senja Utama Solo. Kereta api ini hanya beroperasi dua kali sehari.

Lama-kelamaan, warga merasa sangat memerlukan kereta komuter ini dengan jadwal yang lebih banyak. Akhirnya, menggunakan kereta rel diesel, kereta komuter ini memenuhi jadwal lima kali PP setiap hari. Rangkaian sepuh itu akhirnya harus diganti dengan rangkaian yang lebih baru, maka pada 2006 rangkaian Prameks diperbarui dengan menggunakan kereta rel diesel eletrik (KRDE). Jadwal keberangkatan pun menjadi tujuh kali PP dan kemudian 10 kali PP. Itu belum jadwal ke jurusan lain di luar Solo, seperti ke Kutoarjo.

Dari salah satu blog penggemar kereta kuno, disebutkan, kereta komuter Solo-Yogyakarta PP sebetulnya sudah ada sejak tahun 1960-an hingga 1970-an. Kereta itu bernama Kuda Putih. Kondisinya seperti si Bon Bon, yang sudah dikonservasi dan dipamerkan di Stasiun Tanjungpriok, sebelum tersentuh “paramedik.”

Kembali ke Prameks di masa kini, perjalanan Stasiun Tugu-Solo Balapan menawarkan pemandangan yang berbeda dengan pemandangan di jalur KRL Bogor-Jakarta. Pegunungan, hamparan sawah, menganga di depan mata. Ijo royo royo. Sepanjang jalur kereta ini pun kondisinya relatif bersih, enak dipandang. Kereta ini melewati beberapa stasiun, baik stasiun baru, maupun lama. Dengan kereta api inilah, rencana wisata sejarah Yogyakarta kerja sama antara PT KA dan PT Taman Wisata Candi, digelar mulai September mendatang.

Jika kini kereta ini tak berhenti di Stasiun Brambanan, maka begitu wisata sejarah dimulai, kereta ini akan kembali berhenti di stasiun tua yang hancur akibat gempa 2006. Stasiun ini kini sudah dibangun kembali, tetapi belum beroperasi. Dari sini, calon pengunjung Candi Prambanan akan diangkut bus menuju lokasi.

Selain pemandangan pegunungan, sawah, Candi Boko, dekat Candi Prambanan, penumpang juga bisa menyaksikan bagaimana perkebunan tembakau di Srowot, Klaten, ditutup dengan semacam kain putih sebagai pengaman. Barangkali yang nantinya harus dipikirkan adalah pemandu dwibahasa. Pemandu ini harus bisa menjelaskan kepada penumpang, yang memang tujuannya berwisata, tentang kisah apa saja yang ada di sepanjang jalur yang dilewati.

Tentu, itu termasuk menceritakan kisah stasiun yang dilalui dan sejarah serta kekayaan kawasan yang dilewati, seperti misalnya, Manajer Operasi Daerah Operasi VI Yogyakarta Sutrisno, yang bisa menceritakan, tembakau dari Srowot selama ini melanglang buana hingga ke Eropa dan Amerika, tetapi tak mampir ke perusahaan rokok di Indonesia. Tak terasa, stasiun tujuan, Solo Balapan, sudah di depan mata. Perjalanan pendek ini harus diakhiri di stasiun yang dibangun oleh Nederlands Indische Spoorweg Maatschappij pada 1873, tertua setelah Stasiun Semarang, Tawang. (Pradaningrum Mijarto)

Sumber: http://www.kompas.com 10 Juli 2009
-

Arsip Blog

Recent Posts