Membentuk Kabinet Antikorupsi

Oleh: Zainal Arifin Mochtar

PEMILU Presiden 2009 ternyata satu putaran saja. Jumlah dukungan yang lebih dari 60% dan menjadikan hanya satu putaran tentu menunjukkan fakta legitimasi yang cukup kuat.

Terlepas dari kualitas pemilu yang dianggap bermasalah, Pemilu 2009 telah memberikan pasangan presiden dan wakil presiden yang nantinya akan bekerja untuk mengurus negeri ini sebagai pemimpin administratif tertinggi bagi bergeraknya birokrasi paling tidak sampai lima tahun ke depan.

Sebagai pemimpin administrasi, salah satu hal yang paling penting adalah pembentukan kabinet yang terdiri atas para menteri dan akan bekerja membantu presiden untuk menjalankan roda pemerintahan. Dalam kaitan kerja pemerintah dengan kualitas pelayanan publik, pembentukan kabinet menjadi hal yang penting dalam upaya menguatkan kemampuan kerja dan keberhasilan menyelenggarakan pelayanan publik.

Dalam hal pelayanan publik ini, meminjam data Transparansi Indonesia (TI), Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia menjadi rendah karena kualitas pelayanan publik sering menjadi terganggu seiring dengan ganasnya praktik koruptif. Kualitas pelayanan birokrasi gagal menjadi maksimal karena praktik suap, misalnya, dan hal tersebut masif serta merata di seluruh lembaga dan departemen yang ada.

Dalam sektor perekonomian, gejala birokrasi negara yang tidak bersih ini, kata Peter B Evans (1989), merupakan predator dalam perkembangan ekonomi. Menjadi pemangsa kemampuan pelayanan publik di sektor ekonomi, bahkan menggagalkan perkembangan ekonomi. Terlebih di wilayah hukum.

Praktik koruptif tentu akan menghalangi access to justice. Sangat banyak penelitian dan literatur yang membuktikan bahwa kualitas penegakan hukum banyak terganggu oleh praktik koruptif. Pemberian pelayanan seketika menjadi hilang akibat kegagalan mendapatkan sosok luar biasa yang mampu membangun sistem yang tidak koruptif.

Kualitas Antikorupsi

Karenanya,dalam pembentukan kabinet, Presiden harus bersungguh-sungguh mencari sosok yang antikorupsi. Artinya, punya visi dan misi yang jelas perihal tindakan antikorupsi dalam kaitan membangun pelayanan publik. Sosok antikorupsi tentu saja adalah gabungan dari sosok yang memiliki kapabilitas, integritas, dan akseptabilitas. Tiga hal yang diibaratkan sebagai jentera yang menggerakkan kincir angin.

Dari sisi kapabilitas, Presiden harus mampu memilih orang-orang yang memang memiliki kemampuan subtantif dari kementerian yang akan dipimpinnya. Logika yang sering mengatakan menteri cukup hanya punya kemampuan manajerial untuk mempekerjakan orang-orang ahli untuk mendukungnya adalah kurang tepat. Mustahil rasanya seorang menteri yang tidak menguasai bidangnya akan mampu bekerja dan memahami yang dikerjakannya.

Kapabilitas tentu saja juga dalam konsep mampu berpikir tentang semua konsekuensi dari tindakan yang diambil, semacam kemampuan untuk berpikir forward looking. Seorang menteri yang memegang jabatan dan memiliki kewenangan yang dijalankannya tentu harus memahami tindakan yang diambilnya. Ketika tindakan tersebut diambil dengan kapabilitas yang baik, perhitungan matang dan cerdas akan sangat membantu dan memandu arah kebijakan menjadi lebih baik.

Sisi kedua adalah integritas. Integritas adalah kemampuan untuk menegakkan kapabilitas ke dalam realitas secara baik. Selama ini kebanyakan kemampuan menjalankan pemerintahan terganggu oleh ketiadaan integritas. Banyak kejadian yang menunjukkan keraguan publik akan sebuah kapasitas tindakan pemerintah oleh karena ketiadaan kepercayaan integritas atas sosok menteri tersebut.

Apalagi, sering melakukan tindakan yang keliru dan nyaris tanpa penjelasan yang benar selain persoalan minim integritas ini. Ada banyak tindakan menteri yang berakibat pada potensi kerugian negara. Tidak untuk mengatakan disengaja, tetapi kejadian seorang menteri yang mengeluarkan surat edaran yang mencabut kemungkinan tindakan hukum bagi anggota DPRD “nakal” yang enggan mengembalikan dana-dana yang diterima secara haram melalui Peraturan Pemerintah No 37 Tahun 2006 menunjukkan hal ini.

Bagaimana mungkin seorang menteri bisa menjelaskan perihal siapa yang akan mengganti kerugian negara jika para anggota DPRD yang nakal tersebut tetap enggan mengembalikan uang negara? Padahal kita semua paham, tindakan hukumlah yang bisa memaksa upaya pengembaliannya.

Dengan mengeluarkan surat edaran yang menegasikan kemungkinan pertanggungjawaban hukum yang dia keluarkan sebelumnya, dia telah menempatkan momen ketidakpastian bagi upaya pengembalian kerugian negara akibat PP 37. Banyak yang menduga surat edaran ini berbau koruptif.

Terlepas disengaja atau tidak, pertanyaan perihal integritas membuat mudahnya publik berkesimpulan ada hal yang tidak benar dan tidak pas telah dilakukan. Integritas ini bukan hal yang sepele. Tindakan penggunaan kewenangan akan mudah diterima ketika pelaksana kewenangan menunjukkan integritas yang kuat.

Tidak bisa dimungkiri, perbedaan penerimaan tindakan Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK) karena masih adanya kepercayaan publik akan integritas. Putusan-putusan kontroversial MA sering tidak mendapatkan kepercayaan oleh karena integritas rendah di MA.

Sementara, meski dengan putusan yang cenderung kontroversial, penerimaan publik lebih kuat atas MK karena masih adanya kepercayaan akan integritas yang baik. Distingsi kepercayaan atas MA dan MK adalah potret pentingnya integritas dalam menjalankan kewenangan. Menteri yang berintegritas tentu akan membantu proses jalannya pemerintahan secara baik.

Hal berikutnya adalah akseptabilitas. Seorang tokoh menteri harus merupakan sosok yang akseptabilitasnya baik. Bukan hanya penerimaan secara politik, tetapi juga publik. Penerimaan politik sering hanya merupakan penerimaan kamuflatif.

Seakan-akan diterima sebagai tokoh publik, padahal belum tentu diterima publik. Apalagi, tokoh yang hanya lahir dari penerimaan politik tidak jarang menjadi musuh publik karena tindakan yang lebih dekat ke aspirasi politik dibandingkan aspirasi publik.

Kabinet Antikorupsi

Kita belum melihat sampai di mana kemampuan Presiden untuk membuat kabinet antikorupsi yang kuat secara kapabilitas, integritas, dan akseptabilitas. Berkaca pada kemampuan Presiden untuk meramu kabinet pilihannya ketika 2004 hingga 2009, wajar jika banyak catatan merah.

Banyak tokoh politik yang kurang memiliki kapabilitas, bahkan sangat diragukan integritasnya, menghiasi barisan kabinet Indonesia bersatu. Bahkan, dalam perjalanan kabinet, beberapa menteri yang terindikasi melakukan tindakan koruptif sama sekali tanpa tindakan berarti. Dalam beberapa kejadian, SBY bahkan seakan-akan membela para menteri yang terindikasi korupsi ini.

Memang, ketika itu harus dipahami karena SBY tidak mendapatkan legitimasi publik dan politik sekuat saat ini. Kala itu, SBY lebih mudah untuk digoyahkan. Namun, tetap saja pengedepanan dukungan politik dibandingkan dukungan publik adalah hal yang dapat merusak substansi negara demokrasi yang memberikan pelayanan publik sebaik-baiknya.

Karenanya, di tengah dukungan publik dan politik yang cukup kuat dan luas seperti saat ini, Presiden harus mampu menunjukkan kemampuannya dalam meramu menteri-menterinya. Dukungan partai-partai memang penting untuk memperkuat sistem presidensial. Namun, kemampuan untuk tidak ditekan oleh partai dalam penentuan kebijakan prerogatif Presiden, termasuk menteri, akan menunjukkan ke publik potret yang dicari dari seorang presiden.

Presiden yang mampu tegas dan menegasikan kepentingan politik atas nama kepentingan publik. Mau tidak mau, Presiden harus membuka rekam jejak para calon menteri sebaik-baiknya. Agar tidak salah pilih, apalagi terpaksa memilih. Tanpa pembentukan kabinet antikorupsi dengan kapabilitas, integritas, dan akseptablitas yang cukup baik, sulit bagi publik untuk berharap banyak. Padahal itulah esensi demokrasi langsung melalui pemilu sebagai ajang menggantungkan harapan kepada presiden terpilih. Maukah? Mampukah? Wallahu a’lam.(*)

Zainal Arifin Mochtar, Pengajar Ilmu Hukum, Direktur PuKAT Korupsi FH UGM Yogyakarta

Sumber: Seputar Indonesia, Senin, 07 September 2009
-

Arsip Blog

Recent Posts