Citra Ke(peng)adilan

Oleh: William Chang

DALAM semester pertama 2009, 68,92 persen terdakwa korupsi dinyatakan bebas. Yang lebih tragis, tercatat MA terbanyak menghadiahkan vonis bebas bagi pelaku korupsi (ICW). Teori deterensi, retributivisme, dan moralitas sudah ditinggalkan?

Meningkatnya kesadaran publik akan sistem ke(peng)adilan dalam kasus-kasus kriminal mengundang reaksi sosial. Selain rasa geram, jengkel, tidak puas dan marah, alas kaki pun pernah melayang ke arah hakim. Malah, kantor pengadilan dibakar massa. Contempt of court menjadi protest of justice di ajang pengadilan.

Ketidakadilan dalam vonis hakim, menurut Campanale, bukan hanya melukai hati rakyat, tetapi juga memicu kekacauan sosial. Keadilan menjadi keutamaan interior yang menata hidup sosial melalui nilai konstitutif dan konstruktif. Realisasi keadilan seharusnya tampak dalam relasi antarindividu (ordo partium ad partes), antara kelompok sosial dan individu (ordo totius ad partes), antara individu dan semua (ordo totium ad totum) (D Campanale, Saggi sulla giustizia, 1987, 9).

Efek jera keputusan hakim di pengadilan hampir tidak terasa. Masih banyak yang bertanya, mengapa legislator koruptif di Padang dipenjarakan, sedangkan legislator yang korupsi di daerah lain masih berlenggang-lenggok? (Kompas, 28/8/2009, 24). Tak sedikit mantan kepala departemen atau kepala daerah terlibat tindak korupsi besar-besaran. Mungkin dimensi edukatif tidak diprioritaskan dalam keputusan hakim. Seorang residivis berulang kali masuk-keluar penjara. Politisasi dan komersialisasi vonis hakim hanya mencoreng citra ke(peng)adilan kita. Bagaimana SBY-Boediono dapat memperbaiki citra ke(peng)adilan?

Teori Deterensi
Kebijakan seorang hakim dalam menjatuhkan hukuman tetap diperdebatkan secara filosofis. Sumbangan gagasan kritis A Duff, A von Hirsch, dan D Farrell dalam Punishment menonjolkan setidaknya tiga faktor penentu iustifikasi sebuah hukuman di kalangan penegak keadilan (Debates in Contemporary Political Philosophy, 2003).

Pertama, teori deterensi membenarkan hukuman di pengadilan sejauh mengurangi tindak kejahatan. Pandangan ini dikenal sebagai langkah preventif untuk tindak kriminal serupa.

Kedua, penentuan hukuman yang sanggup merehabilitasi si pelanggar hukum. Kadar tindak kejahatan pelaku kurang dipertimbangkan. Terkesan hukum takut pada si pelanggar hukum. Kebijakan ini mencederai nilai keadilan dalam masyarakat.

Ketiga, teori retributivisme membenarkan hukuman setimpal dengan tindakan si pelanggar hukum. Amat memilukan hati jika hukuman seorang maling ayam lebih berat daripada maling duit negara miliaran rupiah.

Penentuan vonis yang adil dan edukatif selalu menghargai teori deterensi dan retributivisme yang menumbuhkan efek jera bagi pelaku tindak kejahatan. Hukuman, menurut A Duff, pada hakikatnya adalah celaan atau kecaman atas tindak kejahatan seseorang. Sebuah hard treatment dibutuhkan dalam langkah mereduksi kejahatan yang tumbuh kian subur di masyarakat.

Menegakkan Keadilan
Adagium fiat iustitia ruat coelum (43 SM) menobatkan keadilan sebagai sebuah nilai dan kebajikan moral yang mutlak ditegakkan (di pengadilan). Meski penguasa harus dilengserkan dari takhtanya, keadilan sebagai kekuatan moral tetap dijunjung. Moralitas dalam pengadilan dikhianati saat seorang hakim mengkhianati etika profesinya.

Selain teori-teori penopang keadilan, moralitas seorang penegak keadilan amat menentukan vonis yang adil. Citra pengadilan sebagai penjamin keadilan masih bisa diperbaiki asal perangkat penegak keadilan, seperti polisi, jaksa, pengacara, dan hakim, benar-benar memprioritaskan keadilan, bukan kepentingan pribadi. Perpaduan teori keadilan dan moralitas penegak hukum tak terpisahkan.

Penegakan keadilan dalam dunia hukum bermula dari perbaikan moralitas oknum kepolisian, kejaksaan, pengacara, dan kehakiman. Integritas pribadi hakim yang bermoral akan menjernihkan dan memperbaiki citra ke(peng)adilan di Tanah Air.

Penegak keadilan yang bercitra buruk sudah saatnya diganti oleh mereka yang berjiwa reformatif sehingga tercipta sebuah sistem pengadilan yang adil. Tanpa pembenahan moral sampai kapan pun keadilan di Tanah Air ibarat sebuah mitos di dunia maya.

Memang, tidak sedikit polisi, jaksa, pengacara, dan hakim mengeluarkan banyak duit semasa pendidikan dan “pembelian” jabatan penting. Namun, pengalaman getir ini tidak dapat menghalalkan semua tindakan yang mengkhianati keadilan di masyarakat. Harga diri, martabat, dan wibawa bangsa bukan terletak pada luas wilayah kedaulatan dan jumlah penduduk, tetapi pada dalam dan luasnya keadilan dalam sebuah negara.

William Chang, Ketua Program Pascasarjana STT Pastor Bonus

Sumber: Kompas, Senin, 07 September 2009
-

Arsip Blog

Recent Posts