Parade Suara-Suara Pedalaman

Surabaya, Jatim - Tidak banyak yang tahu kehidupan suku-suku pedalaman Indonesia yang masih kental dengan budaya asli. Salah satunya, tentang suku pedalaman di Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah, To Wana. Kemarin (13/7) malam, 17 orang To Wana ''buka-bukaan'' kepada publik metropolis. Potret kehidupan itu tersaji apik dalam The Folklife Performance di Gedung Cak Durasim, Taman Budaya Jawa Timur.

Beragam bentuk ritual tradisional ditampilkan dalam acara tersebut. Mulai tari, nyanyian, hingga upacara adat. Salah satu yang disajikan adalah tari Dendelu. Pada tari itu, sekelompok orang berbusana hitam dengan topi jerami di kepalanya berdiri melingkar. Yang laki-laki, sebagian besar, bertelanjang dada dengan bawahan celana pendek hitam.

Sembari melingkar, mereka saling bergandeng tangan sambil berjalan berkeliling. Orang-orang Topo Ta'a (sebutan lain Suku To Wana) tersebut tak cuma menari. Mereka juga melantunkan syair-syair sebagai pengiring tarian.

Suku To Wana juga menampilkan pertunjukan musik. Yang mereka usung adalah semacam musik medley dari beberapa alat musik asli To Wana seperti talali (suling), geso-geso (alat gesek), popondo (alat petik), tutuba (alat berdawai dari bambu), gong, dan ganda (gendang).

Selain pertunjukan musik dan tari, Suku To Wana yang sehari-hari berkomunikasi dengan bahasa Taa tersebut menyajikan potret kehidupan mereka kala berburu. Mereka menamakannya Manyopu atau menyumpit. Dengan menggunakan semacam sumpit panjang dari bambu, mereka berburu binatang-binatang seperti burung, monyet, serta babi. Untuk membunuh hewan buruannya, mereka menggunakan racun. Selain untuk berburu, senjata panjang tersebut digunakan untuk membela diri.

Kemarin, mereka juga mempertontonkan Mawinti, permainan adu betis untuk mengisi waktu luang. Selain itu, ada upacara Momago untuk menyembuhkan orang sakit dan Momata, upacara mengenang orang meninggal.

Pertunjukan potret kehidupan Suku To Wana tersebut merupakan salah satu misi pemerintah Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah, untuk menyajikan keaslian budaya yang dibawakan suku asli pemilik budaya tersebut.

Selain itu, menurut sang sutradara, Amin Abdullah, pertunjukan tersebut memiliki tiga hal penting. ''Yang pertama, memberikan kesempatan bagi masyarakat adat terpencil untuk mempresentasikan budayanya. Kemudian, menarik perhatian masyarakat sekaligus pemerintah untuk lebih peduli terhadap kehidupan kaum terpinggir itu. Yang terakhir, memberi warna baru dalam seni pertunjukan di Indonesia,'' jelas lulusan University of Hawaii tersebut. (ken/dos)

-

Arsip Blog

Recent Posts