Upacara Tarik Batu: Mereka Menyiapkan Kuburnya Sendiri

Oleh Retno Handini
Peneliti pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional

Dari atas batu calon kubur, kata-kata hutaya diteriakkan lantang oleh paaung watu tanpa henti. Kata yang berarti "semangat" itu telah membakar dan menyalakan kekuatan sehingga batu seberat 12 ton itu pun bergerak lancar menempuh jarak 2,2 kilometer, ditarik oleh lebih dari seribu orang dengan menggunakan sepuluh tali.

Gemuruh pun segera menggema di seantero Desa Malinjak, Kecamatan Katikutana, Kabupaten Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur, di suatu pagi cerah pada 28 September lalu. Hari itu dilakukan upacara tarik batu untuk menyiapkan kubur bagi warga mereka, Umbu Redha Amabuni (80) dan istrinya. Batu berukuran 4,2 x 2,4 meter setinggi 1,4 meter itu bergulir lancar dari lokasi asal di Dusun Kutarutu menuju rumah Umbu Redha di Dusun Kabelauntu.

Peran paaung watu pun sangat dominan. Orang yang bertugas mengatur jalannya upacara itu tak henti-hentinya meneriakkan kata hutaya. Terkadang, untuk menambah semangat, dia meneriakkan kata sindiran mangumammi (perempuan kamu!), yang dijawab spontan oleh massa—sambil mengerahkan segenap tenaga untuk menarik batu—dengan teriakan munima (kami laki-laki!).

Dialah sang pemimpin dan salah satu peletak sukses dalam upacara ini. Oleh karena itu, dia harus memiliki kemampuan untuk mengatur dan memberi semangat kepada massa penarik batu yang jumlahnya ribuan.

Calon kubur batu tersebut ditempatkan pada dua gelondong kayu bulat utuh yang ujungnya disatukan dan dibentuk menyerupai perahu. Secara simbolis, perahu tersebut melambangkan kendaraan yang akan membawa kubur batu. Saat penarikan, sebagai alas digunakan balok-balok kayu bulat sebagai landasan yang berfungsi sebagai roda, sementara untuk menariknya digunakan tali dari jenis tua.

Kayu-kayu gelondong diletakkan di sepanjang jalan yang akan dilalui batu. Alas kayu itu tidak harus menutupi seluruh jalan karena kayu yang telah dilalui akan diambil dan dipasang kembali di depan, hingga batu mencapai tempat pendirian kubur. Di sepanjang jalan yang dilalui batu mahaberat itu, tersedia kendaraan yang membawa air minum. Para penarik batu pun secara berkala juga disiram air agar tidak kepanasan.

Status sosial
Upacara tarik batu adalah salah satu upacara penting, merupakan bagian dari sebuah proses menyiapkan makam. Acara ini sendiri dilaksanakan oleh keluarga Umbu Dingu Deddy dan saudara-saudaranya; sebagai bentuk penghargaan dan rasa hormat kepada orangtuanya.

Hal pertama yang dilakukan adalah mencari sumber batuan terdekat dari lokasi rumah, kemudian meminta ahli pahat untuk menggali batuan tersebut dan memahatnya menjadi bentuk kubur yang diinginkan. Proses pemahatan itu sendiri bisa memakan waktu hingga berbulan-bulan. Kubur batu untuk Umbu Redha Amabuni dan istrinya ini, misalnya, mulai dipahat tahun 2002 dan baru selesai tahun 2005.

Upacara tarik batu itu sendiri baru dilakukan tahun 2007 karena memerlukan persiapan yang matang. Setidaknya melibatkan hampir seluruh penduduk di empat desa di wilayah tersebut, yakni Malinjak, Tanamodu, Weilawa, dan
Damaika.

Upacara ini merupakan salah satu ajang memperlihatkan status sosial karena hanya yang mampu secara ekonomis yang bisa melaksanakan upacara tersebut. Terlebih jika kubur tersebut dibuat dari monolit, batu besar yang untuk menarik dan membuatnya menjadi kubur saja memerlukan biaya sangat besar.

Inilah prestise tersendiri bagi sang pendiri kubur batu. Kelak, ketika Umbu Redha maupun istrinya meninggal dunia, bagian atas dari kubur batu ini akan dilubangi untuk menempatkan jenazah mereka dengan posisi terlipat. Kaki ditekuk di dada dan diikat dengan kain merah. Jenazah dibaringkan miring, bagian kanan berada di posisi bawah. Posisi seperti ini menyerupai posisi bayi dalam kandungan, yang bermakna suci kembali. Maka, sucilah mereka ketika meninggal, sama sucinya dengan ketika lahir.

Sebagian besar orang Sumba mempersiapkan kubur untuk dirinya sendiri kelak jika dia meninggal. Karena, mempersiapkan kubur bagi diri sendiri merupakan satu kebanggaan dan bisa mendatangkan rasa nyaman. Itu sebabnya, keberadaan kubur-kubur batu di Sumba Barat tidak dapat dipisahkan dari rumah- rumah tradisional. Setiap perkampungan tradisional selalu memiliki kubur-kubur batu di tengah permukimannya, yang diletakkan di halaman depan rumah masing-masing.

Ada dua alasan mengenai tata letak kubur tersebut. Pertama, adanya anggapan bahwa kubur di depan rumah akan mudah dilihat setiap saat oleh anggota keluarga yang masih hidup sehingga memudahkan pula untuk mengirim doa dan sesaji. Ini merupakan satu bukti penghormatan untuk orang yang telah meninggal.

Kedua, para kerabat tidak ingin "berjauhan" dengan anggota mereka yang telah meninggal meskipun telah berbeda alam. Walaupun sebagian besar orang Sumba sudah memeluk agama Kristen Protestan, mereka masih memegang teguh tradisi pemujaan leluhur itu. Hal ini antara lain diwujudkan dengan pemberian sirih pinang pada kubur-kubur keluarganya pada saat-saat tertentu, seperti ketika akan bepergian jauh, awal potong padi, mengadakan hajatan, serta membangun atau merenovasi rumah.

Tradisi megalitik
Kubur batu untuk Umbu Redha Amabuni dan istrinya ini berbentuk watu pawesi, yaitu kubur berkaki empat, yang dalam istilah arkeologi disebut dolmen. Kubur batu di Sumba Barat, baik yang berbentuk bejana (kabang) maupun watu pawesi, merupakan kubur primer yang dipakai secara komunal antara suami istri dan cucu- cucunya.

Jenazah anak kandung tidak dapat dikuburkan bersama jenazah orangtuanya. Ini didasarkan pada pandangan bahwa pada waktu hidup seorang anak yang telah dewasa dan menikah tidak boleh tinggal sekamar dengan orangtua sehingga setelah meninggal juga tidak boleh dikubur dalam kubur batu (odi) yang sama. Sementara jenazah cucu boleh disatukan dengan kubur kakek-neneknya.

Dalam konteks budaya prasejarah, kubur-kubur batu tersebut merupakan kubur dari budaya megalitik muda, yang berkembang pesat di Indonesia sejak menjelang tarikh Masehi. Eksistensinya, seperti yang masih dapat dilihat di Sumba saat ini, jelas merupakan tradisi tersendiri dari sebuah tata cara penguburan dari masa prasejarah.

Tampaknya, ciri-ciri budaya megalitik yang berintikan pemujaan kepada arwah leluhur (ancestor worship) itu tidak saja hanya terlihat dari pendirian dan pemakaian kubur-kubur batu tersebut, tetapi juga dapat dilihat dalam keseharian mereka. Marapu, yang masih dianut sebagian besar orang Sumba, merupakan kepercayaan asli yang bertumpu pada pemujaan arwah nenek moyang, meyakini roh- roh leluhur sebagai penghubung antara mereka yang masih hidup dan Sang Pencipta. Inilah inti dari pendirian kubur-kubur batu tersebut. Di Wainyapu, kubur batu disebut sebagai watu rante, yang bermakna tempat mendiang bersemayam.

Tata letak rumah adat (lewata moriata) terhadap pola perkampungan juga mencirikan orientasi chtonis, yaitu berorientasi pada kekuatan supranatural, pegunungan, misalnya. Di lain pihak, kubur-kubur batu juga menempati posisi sangat istimewa.

Sebagian besar permukiman di sini menunjukkan pola berjajar linier utara-selatan, saling berhadapan, menghadap ke kubur-kubur batu dan tempat- tempat pemujaan (marapuano). Ada pula permukiman melingkar, berkiblat ke kubur-kubur batu yang terletak di tengahnya.

Inilah dedikasi orang Sumba kepada arwah leluhur. Sebuah lokal genius yang tetap mereka pertahankan di antara kuatnya dominasi Kristen-Protestan. Agama dan tradisi berdampingan secara harmonis dalam keseharian orang Sumba.

Sang rumah abadi
Umbu Redha pun, beserta istrinya, begitu bahagia dan terharu setelah watu pawesi menempati posisi barunya di depan rumahnya. Inilah batu tempat jasadnya kelak ketika meninggal. Sang rumah, bagi mereka, yang akan mengayominya dalam keabadian. Terlihat matanya selalu berkaca-kaca setiap orang mengucapkan selamat karena acara tarik batu telah berjalan lancar.

Sungguh merupakan satu kebahagiaan yang sempurna jika pada saat hidupnya orang Sumba melihat secara langsung persiapan dan pembuatan makam sebagai tempat istirahat abadinya kelak. Watu pawesi yang dihadiahkan oleh anak-anak dan para kerabat untuk dirinya adalah pengabdian dan kasih sayang mereka kepada orangtuanya.

Kepada seluruh masyarakat yang telah bergotong-royong menarik batu, dibagilah daging, yang bermakna untuk membersihkan tangan yang luka karena menarik batu. Acara ini diadakan oleh keluarga sebagai ungkapan terima kasih kepada setiap orang yang telah terlibat secara aktif pada acara tarik batu.

Sesaat setelah tiba di Jakarta, sebuah pesan singkat dari Ibu Umbu Dingu Deddy masuk ke telepon seluler penulis. Sang penyelenggara upacara tarik batu itu menulis, "Keluarga kami terkesan dengan kehadiran Ibu saat itu karena dalam budaya kami—khususnya budaya Anak Kalang Sumba—baru kali ini ada seorang wanita yang berani naik di atas batu adat. Menurut para tetua adat, hal itu diyakini ikut memperlancar jalannya batu tersebut. Karena, tidak semua batu adat akan berjalan mulus pada setiap upacara tarik batu. Sekali lagi terima kasih banyak."

Untuk sang orangtua, batu itu dipersembahkan. Demi kubur abadinya kelak ketika mereka telah berlalu....

-

Arsip Blog

Recent Posts