Korupsi di Balik Parsel

Oleh: Maksum

SETIAP menjelang Hari Raya Idul Fitri, selalu muncul kontroversi seputar pemberian dan penerimaan parsel Lebaran bagi para pejabat negara. Bagi yang pro, sejak kali pertama dilarang oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2004, larangan tersebut dinilai positif dalam upaya pemberantasan korupsi. Apa pun alasannya, pemberian parsel kepada pejabat negara yang notabene berkantong tebal tak ubahnya sebuah kamuflase untuk tujuan dan maksud tertentu.

Kenyataannya, pemberian parsel kepada pejabat negara begitu membudaya di kalangan pengusaha, termasuk perusahaan BUMN. Tak heran, kemudian ditafsirkan pemberian parsel itu identik dengan sebuah sogokan atau pelicin untuk meminta sesuatu yang lebih kepada pejabat bersangkutan.

Sementara bagi yang kontra, larangan KPK itu hanyalah pernyataan emosional yang tidak ada gunanya. Masalah parsel itu terlalu kecil kalau dikaitkan dengan tindakan korupsi. Bahkan mereka berdalih, korupsi tak hanya dilakukan saat Lebaran. Bagi pengusaha parsel, larangan tersebut jelas merupakan pukulan telak karena omzet dagangannya menurun drastis.

Pertanyaannya, benarkah pemberian parsel Lebaran itu merupakan bagian dari korupsi? Apakah pelarangan itu mampu menimbulkan efek jera kepada siapa pun untuk tidak melakukan korupsi?

Parsel Itu Korupsi?

Memberikan parsel atau hadiah mestinya merupakan budaya yang baik. Namun, hal yang baik itu—dalam banyak kasus—tidak selalu berdampak baik. Ada celah-celah yang bisa diselewengkan dan disalahgunakan. Dalam perkembangannya, pemberian parsel memang mengarah pada praktik yang kurang baik (negatif). Sejumlah instansi mendesain anggaran, baik terbuka maupun terselubung, untuk biaya parsel.

Selain itu, pengiriman parsel berubah menjadi sebuah “keharusan”. Akibatnya, mereka yang nekat tidak melakukan justru akan mendapatkan sanksi sosial atau bahkan—mungkin—ada yang mendapat sanksi struktural. Sejak sekian tahun lalu, gejala tersebut sudah terasa. Budaya parsel yang semula berjalan alamiah berubah menjadi sesuatu yang terstruktur. Mereka yang ingin dinilai baik dipaksa keadaan untuk ikut-ikutan mengirimkan parsel, baik kepada atasannya maupun instansi lain seperti DPR yang menjadi partner kerjanya.

“Keharusan” itu tentu membawa konsekuensi cukup besar. Ketika musim Lebaran tiba, para pejabat—khususnya yang posisinya bisa terancam setiap saat—harus rela menyediakan parsel. Dan, bisa dipastikan, untuk keperluan itu, dana yang harus dialokasikan tidak sedikit.

Dari sini, pertanyaan kritis harus diajukan: kira-kira, dari mana saja dana tersebut didapatkan oleh para pengirim parsel? Apabila merujuk pada kultur pejabat di negeri ini, rasanya sangat sulit dipercaya jika dana yang digunakan untuk membeli parsel itu merupakan hasil usaha pribadi. Bukan pula tabungan yang disisihkan dari gaji bulanan yang diterimanya.

Dugaan terbesar tetaplah mengarah pada praktik-praktik terselubung atau praktik “abu-abu” yang sudah puluhan tahun menjadi budaya akut di negeri ini. Nah, dari sinilah, kekhawatiran KPK bahwa budaya parsel mengarah pada gratifikasi dan praktik korupsi itu menemukan konteksnya.

Paling tidak, kekhawatiran KPK tersebut bisa diterima oleh nalar sehat kita. Memang kekhawatiran tersebut tidak mudah dibuktikan. Itu sama dengan tidak mudahnya membongkar dan membuktikan praktik korupsi yang merajalela di negeri ini. Dipercayai keberadaannya, kendati sulit dibuktikan!

Harus Didukung

Hemat saya, langkah KPK itu harus terus didukung. Apalagi, jika kita melihat realitas bahwa “tikus-tikus berdasi”, baik yang ada di pusat maupun daerah, seperti tak pernah kekurangan akal untuk bisa menggerogoti uang rakyat.

Berdasar data di Depdagri, selama 2004-2007 saja telah dikeluarkan izin pemeriksaan terhadap tujuh gubernur, 60 bupati/wali kota dan/atau wakilnya serta 1.062 anggota DPRD dalam berbagai kasus tindak pidana korupsi.

Lebih dari itu, sudah ada beberapa gubernur, bupati/wali kota dan/atau wakilnya yang telah diberhentikan sementara dan dijebloskan ke penjara, menyusul jatuhnya vonis pengadilan. Jumlah itu masih lebih kecil daripada data kasus yang kini masih diproses kejaksaan. Belum lagi ditambah pejabat tingkat pusat maupun BUMN. Sungguh memprihatinkan!

Memang, larangan pejabat menerima parsel jelas belum cukup. Larangan tersebut bukan jaminan korupsi bisa dieliminasi jika tidak dibarengi dengan keselarasan langkah aspek-aspek lain. Larangan KPK tersebut barangkali lebih tepat diartikan sebagai gerakan moral yang diharapkan terimplementasi dalam konteks lebih besar.

Bukankah dalam kasus penyimpangan tender di daerah, umumnya, juga didahului sebuah kongkalikong alias TST (tahu sama tahu) antar pejabat? Bukankah korupsi dana APBD yang menyeret banyak anggota DPRD dan pejabat pemerintah itu dilakukan secara berjamaah, yang umumnya diawali iming-iming jatah bagian?

Tentu saja menjalin kedekatan dalam konteks hubungan profesional bukan sesuatu hal yang tabu. Dalam hubungan kerja maupun bisnis, sikap saling kenal justru merupakan syarat jika ingin negosiasi berhasil. Namun, semuanya itu harus tetap berdasar nilai-nilai profesionalisme dan tak menyimpang dari kaidah hukum.

Walhasil, kendati kebijakan KPK itu membawa “korban”, rasanya kebijakan tersebut tetap harus diberi apresiasi. Seluruh komponen bangsa ini harus satu kata: sekecil apa pun celah yang memberikan peluang untuk korupsi harus ditutup rapat-rapat.

Kita pun berharap, semoga KPK tidak hanya pandai mengurusi parsel Lebaran, tapi menjadi “ciut nyali” ketika berhadapan dengan tikus-tikus berdasi. Jika itu yang terjadi, apa pun kebijakan KPK pasti tak akan mampu memberi efek jera korupsi. (*)

Maksum, dosen Fikih Siyasah IAIN Walisongo Semarang

Sumber: Jawa Pos, Rabu, 09 September 2009
-

Arsip Blog

Recent Posts