Reformasi Birokrasi Generasi Kedua

Oleh: Sofian Effendi

KETIKA menyampaikan pidato kenegaraan di depan DPR dalam rangka memperingati ulang tahun ke-64 Hari Kemerdekaan RI, Presiden SBY menegaskan perlunya reformasi gelombang kedua digulirkan untuk menuntaskan agenda kerja yang belum selesai.

“Reformasi gelombang kedua ini,” ujar Presiden, “hakikatnya adalah untuk membebaskan Indonesia dari dampak dan ekor krisis yang terjadi 10 tahun yang lalu, dan kemudian pada tahun 2025 negara kita berada dalam fase untuk benar-benar bergerak menuju negara maju.”

Setelah bekerja keras selama 10 tahun, Indonesia berhasil membangun sistem demokrasi terbesar ketiga di dunia secara damai, jujur, dan aman. Kondisi ekonomi nasional juga semakin baik dengan tingkat pertumbuhan PDB rerata 6 persen per tahun sejak 2002.

Kebutuhan Masyarakat

Untuk mencapai standar pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan masyarakat pendapatan menengah dan untuk menarik partisipasi swasta dalam penyediaan pelayanan publik, pemerintah harus bekerja keras membangun sektor publik dan meningkatkan kinerja aparatur negara serta memberantas praktik KKN yang semakin menggejala.

Kalau sektor publik Indonesia gagal merespons berbagai masalah mendasar tadi, Indonesia akan terjerumus dalam middle income trap karena terjepit di antara pengeluaran mahal untuk berbagai inovasi seperti di negara pendapatan tinggi dan daya beli rendah karena upah murah sebagai negara pendapatan rendah. Publikasi Bank Dunia yang baru saja dirilis, Investing in Indonesia’s Institutions for Inclusive and Sustainable Development, menyimpulkan, pada dekade kedua abad ke-21 Indonesia akan mengalami transformasi sebagai middle income country dengan pendapatan per kapita 3.830 dollar AS pada 2009. Untuk menjadi negara maju pada 2025, Indonesia harus mentransformasi dirinya menjadi the world’s strongest economic performers, seperti RRC, India, dan Vietnam.

Pemerintahan SBY-Boediono yang mendapat mandat sangat besar dari rakyat harus melakukan reformasi birokrasi gelombang kedua untuk meningkatkan kapasitas kelembagaan seluruh aparatur negara, baik di tingkat pusat maupun daerah. Prestasi pembangunan yang lebih baik pada dekade kedua Reformasi akan bergantung pada kemampuan pemerintah mengatasi fragmentasi kewenangan antar lembaga pemerintahan, kapasitas rendah, memberantas praktik KKN, dan dalam membangun kepercayaan (trust) masyarakat kepada aparatur negara.

Salah satu dari 10 sasaran pembangunan nasional yang ditawarkan Presiden SBY melalui pidato kenegaraan di depan DPR untuk memuluskan jalan Indonesia menjadi negara maju pada 2025 adalah “membangun tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) dan meningkatkan pemberantasan korupsi”.

Reformasi birokrasi generasi pertama yang telah dilakukan oleh pemerintah Orde Reformasi ruang lingkupnya amat terbatas dan tanpa didukung grand strategy yang mantap. Akibatnya, terjadilah fragmentasi luar biasa dalam tata pengelolaan pemerintahan. Sebagai contoh, pemisahan kekuasaan antara legislatif dan eksekutif tidak sepenuhnya ditaati karena ada kewenangan eksekutif yang dijalankan oleh kekuasaan legislatif, misalnya alokasi anggaran yang dikenal sebagai Satuan III, padahal lembaga ini tidak memiliki kapasitas kelembagaan untuk melakukan tugas tersebut.

Birokrasi publik yang dimotori sekitar 4 juta PNS sebenarnya tidak tambun dilihat dari rasio pegawai per penduduk (1 : 50). Untuk menyediakan pelayanan bagi 230 juta penduduk, diperlukan 4,6 juta pegawai. Kinerja birokrasi publik rendah karena manajemen SDM aparatur negara belum sepenuhnya menerapkan best practices prinsip meritokrasi, masih menerapkan sistem berbasis karier yang kurang mampu mendinamisasi perubahan dalam birokrasi semua cabang pemerintahan, merebaknya politisasi PNS, dan semangat kerja merosot karena disparitas penggajian antarinstansi.

Belajar dari pengalaman dan kekurangan masa lalu, reformasi birokrasi generasi kedua harus diarahkan untuk membangun kapasitas kelembagaan dan tata kelola pemerintahan yang baik pada seluruh jajaran aparatur negara. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, reformasi birokrasi generasi kedua harus memusatkan perhatian pada tiga sasaran pokok berikut.

Membangun kepercayaan publik. Kinerja rendah dan merebaknya praktik KKN di lingkungan aparatur negara menyebabkan rendahnya kepercayaan publik kepada aparatur negara. Sementara kepercayaan masyarakat dipengaruhi oleh persepsi publik tentang integritas aparatur negara. Pada Laporan Integritas Instansi Pemerintah 2007 yang dikeluarkan oleh KPK, Indonesia baru mencapai IIIP 5,53, sedangkan Korea Selatan sudah mencapai IIIP 6,9 dan Malaysia IIIP 6,6. Sementara dari Laporan Laporan Indeks Persepsi Korupsi yang dikeluarkan MTI, pada 2009 Indonesia baru mencapai IPK 2,6, jauh di bawah Malaysia yang mencapai IPK 5,1 dan Korsel yang mencapai IPK 5,5.

Untuk membangun kepercayaan masyarakat, pemerintah perlu menggalakkan pemberantasan KKN, mendorong budaya integritas pada seluruh SDM aparatur negara, membangun sistem monitoring dan evaluasi yang efektif, mengefektifkan lembaga pengawasan seperti Ombudsman, serta melibatkan organisasi masyarakat sipil dalam meningkatkan integritas aparatur negara.

Pelayanan publik bermutu dan responsif. Pemerintahan Orde Baru dan pemerintahan Orde Reformasi telah banyak mencapai kemajuan dalam penyediaan pelayanan publik, terutama dalam pendidikan wajib 9 tahun, pelayanan kesehatan dasar, penyediaan sarana dan prasarana transportasi, serta penyediaan air bersih. Tetapi, kesenjangan akses dan mutu pelayanan publik antardaerah masih besar dan praktik KKN masih menggejala.

Kapasitas kelembagaan aparatur negara dalam menyediakan pelayanan administrasi, seperti perizinan dan tanda bukti diri, juga jauh dari harapan publik. Salah satu contoh, pada 2009 untuk pengurusan izin usaha baru di Indonesia perlu waktu 105 hari, sedangkan di Malaysia hanya perlu 24 hari, di Thailand perlu 33 hari, dan Singapura hanya perlu 5 hari. Karena itu, salah satu prioritas pembangunan aparatur negara pada reformasi birokrasi gelombang kedua adalah membangun instansi pemerintah agar memiliki kapasitas kelembagaan dalam menyelenggarakan pelayanan publik bermutu dan responsif.

Reformasi sistem aparatur negara. Landasan hukum sistem kepegawaian negara, Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 dan peraturan pelaksanaannya, masih menerapkan sistem karier yang sudah ditinggalkan banyak negara. Praktik political spoilage serta semangat kedaerahan sempit semakin menggejala dan hanya dapat dihambat dengan sistem manajemen SDM berbasis jabatan (position based personnel management system). Mengikuti best practices di Negara maju, perlu diperkenalkan kategori baru pegawai negeri, misalnya JES (jabatan eselon I sampai III) dan PNTT (pegawai negeri tidak tetap atau PN kontrak).

Empat puluh persen atau 1,6 juta PNS yang diangkat pada 1970-an akan memasuki masa pensiun dalam waktu 10 tahun mendatang. Pengeluaran untuk lebih kurang 3,5 juta pensiunan tentu akan mengambil porsi besar belanja pegawai dalam APBN. Pemerintah harus mengadakan perubahan drastis sistem pensiun pegawai negeri. Dari sistem pay as you go yang sangat memberatkan APBN menjadi sistem self paying yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber dalam negeri untuk pembangunan nasional.

Kepada SBY-Boediono

Dalam pidato kenegaraan di depan DPR dan pidato penerimaan sebagai presiden dan wapres masa bakti 2009-2014, serta pidato di depan DPD, Presiden SBY menekankan dengan tegas tekad pemerintah untuk melaksanakan pembangunan tata kelola pemerintahan yang baik serta pemberantasan korupsi.

Waktu 5 tahun sangat singkat, karena itu harus digunakan sebaik-baiknya oleh presiden dan wapres terpilih untuk melaksanakan reformasi birokrasi generasi kedua dengan membangun 3 pilar aparatur negara, yaitu pemantapan integritas aparatur negara, penyediaan pelayanan publik prima yang terjangkau oleh masyarakat, dan penataan manajemen SDM aparatur negara, guna mewujudkan tata kepemerintahan yang baik yang telah dijanjikan kepada rakyat.

Selamat bekerja Presiden SBY dan Wapres Boediono, semoga Anda berdua diberi kekuatan dan tuntunan oleh Yang Mahakuasa dalam menjalankan tugas yang amat berat membangun fondasi untuk transformasi Indonesia menjadi negara maju pada 2025.

Sofian Effendi, Guru Besar Universitas Gadjah Mada (UGM)

Sumber: Kompas, Kamis, 10 September 2009
-

Arsip Blog

Recent Posts