Siak, Riau - Tanjak akhir-akhir ini menjadi tren baru di Kabupaten Siak. Setiap hari pengrajin tanjak lokal di Pasar Seni Kesturi, Kota Siak, dibuat kerepotan dengan ramainya pesanan yang datang. Ikat kepala berbahan kain songket ciri khas melayu itu menjadi populer, setelah orang nomor satu di Negeri Istana, Bupati H Syamsuar menerapkan kebijakan pemakaian tanjak dikalangan Aparatur Sipil Negara (ASN) setiap Kamis dan Jumat.
Menurut Ketua Majelis Kerapatan Adat Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR) Kabupaten Siak Zulkifli ZA, tanjak adalah lambang kewibawaan dikalangan masyarakat melayu. Semakin tinggi dan komplek bentuknya, menunjukkan semakin tinggi pula status sosial sipemakai tanjak tersebut. Tanjak biasa dipakai masyarakat melayu diseluruh lapisan strata sosial, baik dilingkungan kerajaan, kalangan bangsawan maupun masyarakat awam.
"Begitu meninggalkan rumah, orang melayu biasa mengenakan tanjak. Fungsinya sebagai penutup kepala dari gangguan udara maupun ranting, awalnya berbentuk ikat biasa, namun oleh orang melayu dahulu yang aktif dibidang gerak tangan muncul kreasi bentuk dengan nama tebing runtuh, belalai gajah, pial ayam, elang menyongsong angin dan lain sebagainya," kata Zulkifli, Jumat (3/2/2017).
Sayangnya, kata pria yang lama bergelut dengan kesenian dan kebudayaan melayu Riau ini, beberapa nama ikat kepala di zaman kerajaan tersebut, bentuknya sudah sulit ditemukan. Bentuk-bentuk tanjak disebut juga dengan ikat, misalnya ikat sebelit.
"Dilingkungan Kerajaan Siak dulu yang cukup populer diantaranya ikat pial ayam yang biasa dipakai para panglima, dan ikat elang menyongsong angin yang biasa dipakai datuk lima puluh. Khusus datuk pesisir ciri khasnya ikat hangtuah," jelasnya.
Ikat elang menyongsong angin ini, lanjutnya, melambangkan kebijaksanaan dan kecermatan elang memainkan gerak angin, sementara ikat hangtuah melambangkan ketegasan.
Sementara untuk warna, tanjak adat biasanya berwarna hitam, dan untuk pengantin disesuaikan dengan pakaian. "Biasanya kalau pengantin laki-laki pakai ikat hangtuah, namun sekarang banyak yang meniru ikat dendam, yang populer di Malaysia," jelasnya.
Terkait kebijakan Bupati Siak yang menggagas pemakaian tanjak dilingkungan ASN, Zulkifli memberikan dukungan penuh. Sebab, pada dasarnya pemakaian tanjak dan baju melayu akan memberikan kewibawaan dan dampak psikologis bagi pemakainya. Namun demikian ia mengingatkan agar pemakaian tanjak dilingkungan ASN tersebut tetap disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan adat berlaku.
"Saya mendukung ide Kabupaten Siak sebagai pioner menggalakkan kembali budaya bertanjak di Provinsi Riau, sebab kita sudah punya Grand Design Kebudayaan Melayu. Namun demikian nantinya, untuk ASN saya sarankan agar jangan terlampau tinggi tanjaknya, supaya dapat dibedakan mana yang tanjak adat dengan pakaian harian. Ikatnya bisa ikat pial ayam atau elang menyongsong angin yang disederhanakan," sebutnya.
Bupati Siak H Syamsuar mengatakan, tanjak ini digalakkan untuk menghidupkan kembali identitas kebudayaan melayu ditengah masyarakat. Sebelumnya gerakan berbusana dan berbahasa melayu sudah diterapkan di Kabupaten Siak.
"Saya teringat Tokoh Riau Datuk Tenas Effendi pernah berpesan kepada saya. Beliau bilang Pak Bupati jagelah Siak tu elok-elok. Sebab kalau habis melayu di Siak, maka habislah melayu di Riau," kata Bupati kepada GoRiau.com.
Datuk Setia Amanah Kabupaten Siak itu juga mengatakan, gerakan bertanjak ini adalah salah satu cara untuk mempopulerkan kembali kebudayaan melayu.
"Tentunya, kebiasaan memakai tanjak ini bisa mendukung program pariwisata kita dan juga memberi peluang bagi pengrajin untuk lebih berkembang, seiring semakin banyaknya pesanan tanjak ini," tutup Syamsuar.
Sumber: https://www.goriau.com