Hari Antikorupsi Internasional: “People’s Power“ Sekali Lagi

Oleh: Budiarto Shambazy

ALHAMDULILLAH, semua orang lega unjuk rasa di sejumlah kota memperingati Hari Antikorupsi Internasional, 9 Desember, berlangsung damai. Pihak-pihak tertentu yang mengembuskan rumor massa akan ditunggangi penumpang gelap untuk mendongkel Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang terbukti isapan jempol belaka, mestinya minta maaf.

Rakyat, yang sering dianggap remeh oleh the ruling elite, terbukti makin matang berdemokrasi. Tujuan unjuk rasa memfokuskan perhatian rakyat kepada kegagalan pemberantasan korupsi sejak kriminalisasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sampai pembentukan Pansus Century di DPR, telah mencapai sasaran.

People’s power (kekuatan rakyat) untuk sementara memenangi perjuangan antikorupsi. Jika memakai metafora olahraga, rakyat berada dalam posisi unggulan. Sebaliknya, koruptor menjadi the underdogs. Ini kemenangan moral yang mahapenting untuk melanjutkan koreksi terhadap pembasmian korupsi, terutama membongkar skandal Century, sampai ke akar-akarnya.

Pemerintah dan DPR kini hanya bertindak sebagai pemeran-pemeran pembantu saja dalam pemberantasan korupsi. Rakyatlah pemeran utamanya. The ruling elite sudah terlalu lama mendikte dan mendominasi jalannya kekuasaan sejak ingar-bingar kampanye Pemilu/Pilpres 2009, rakyat hanya jadi penonton. Kini ”kendali permainan” diambil alih sang pemenang utama.

Sesuai rencana, ribuan pengunjuk rasa turun ke berbagai lokasi. Jumlah pengunjuk rasa perlu menjadi ukuran. Tolok ukur yang lebih menentukan partisipasi damai dan meriah berbagai kalangan, mulai dari mahasiswa, pelajar, buruh, sampai pejalan kaki. Partisipasi ini terakhir kali terlihat pada hari-hari jauh sebelum pecahnya Tragedi Mei 1998, kerusuhan hasil intrik politik internal kekuasaan.

Sekalipun hujan deras mengguyur Jakarta, semangat pengunjuk rasa di berbagai lokasi tidak pernah surut sejak pagi sampai petang. Pawai, orasi, happening arts, dan berbagai ragam unjuk rasa berlangsung tertib. Sama sekali tidak terbit rasa khawatir saat berada di kerumunan pengunjuk rasa. Toh, ”pemanasan” sudah sering dilakukan ketika aktivis antikriminalisasi rajin berunjuk rasa membela KPK.

Bisnis tetap jalan sekalipun banyak warga yang tidak bepergian menggunakan kendaraan. Tak heran lalu lintas Ibu Kota tidak semrawut seperti biasanya. Patut pula dipuji sikap aparat keamanan yang persuasif menghadapi massa. Okelah terjadi bentrok antara polisi dan mahasiswa di Makassar. Namun, seperti diakui aparat keamanan, insiden itu disebabkan oleh kesalahpahaman kecil saja.

Sebuah restoran cepat saji Amerika Serikat, KFC (Kentucky Fried Chicken), menjadi sasaran amuk massa. Beberapa tahun terakhir demo mahasiswa Makassar kadang berakhir ricuh. Wakil Presiden Jusuf Kalla, tokoh Bugis yang disegani, pernah bergurau, ”Rumah saya saja sering didemo. Unjuk rasa boleh, tetapi jangan menghancurkan apa saja.”

Oleh sebab itu, salah satu insiden perusakan restoran cepat saji KFC ditanggapi khalayak dengan joke sinis. ”Mahasiswa salah paham karena enggak ngerti bahasa Inggris, KFC dikira ’Korupsi Fans Club’,” kata joke itu. Sekali lagi, tak ada kesan seram sama sekali karena kesadaran rakyat bahwa perjuangan kali ini bertujuan mulia, yakni selama-lamanya menghabisi korupsi.

Seperti sudah saya singgung dalam Kolom Politik-Ekonomi edisi 28 November, people’s power kali ini lahir dari rasa kecewa rakyat terhadap rangkaian peristiwa sejak kriminalisasi KPK sampai kecurigaan terhadap bailout Century. Melalui proses pendewasaan yang matang, people’s power diawali oleh pembentukan kubu moral, intelektual, dan sosial yang ampuh. Niat tulus, tekad besar, upaya gigih, dan sifatnya yang sukarela berhasil membentuk people’s power itu.

Dan, mengingat besarnya magnitudo skandal Century, muncul reaksi keras dari berbagai kalangan yang memuncak 9 Desember lalu. People’s power yang berpihak pada hati nurani rakyat itu telah berubah wujud menjadi bola salju yang membesar dan menggelinding cepat. Tak ada lagi yang mampu menahan laju bola itu, apalagi kembali mendorongnya ke puncak gunung salju.

Melawan demokrasi?

Telah menjadi gejala umum di negara-negara Dunia Ketiga, termasuk Indonesia pada masa Orde Baru, people’s power berpotensi ditunggangi mereka yang memancing di air keruh. Dengan modal laporan-laporan intelijen yang kurang layak dipertanggungjawabkan secara profesional, Orde Baru mengarang potensi ancaman keamanan fiktif, seperti komunis, OTB (organisasi tanpa bentuk), atau ”setan gundul”.

Justru karena gaya kepemimpinan nasional model itulah timbul intrik-intrik di lingkar dalam kekuasaan yang memecahkan kerusuhan Malari 1974 atau Tragedi Mei 1998. Budaya abdi dalem istana sarat persaingan tak sehat antara orang-orang sekeliling presiden, seperti model ”durna” Orde Lama atau gaya ”KISS” (ke istana sendiri-sendiri) Orde Baru. Dan, presiden pun memanipulasi kompetisi itu memecah-belah lingkar dalamnya sendiri.

Namun, Gus Dur berhasil melakukan demistifikasi istana. Lebih penting dari itu, Indonesia sudah menjadi demokrasi terbesar ketiga di dunia setelah India dan Amerika Serikat. Jarum jam mustahil diputar ke belakang, bangsa dan negara ini menjadi sorotan dunia. Media asing memberitakan gencar unjuk rasa 9 Desember, lengkap dengan latar belakang skandal Century yang disebut melanggar aturan-aturan dan kriminalisasi KPK yang dipuji sukses menumpas korupsi.

Juga telah menjadi tren di Dunia Ketiga pada era Perang Dingin, rezim-rezim otoriter maupun quasi-democracy justru melancarkan perlawanan terhadap demokrasi. Tujuannya cuma satu, yakni mempertahankan kekuasaan. Sayangnya, dunia telanjur berubah dan perlawanan tersebut sia-sia saja. Dalam istilah yang populer, penguasa masih memakai logika analog, sementara akal rakyat sudah digital.

Contohnya, penguasa dengan gegabah mengecap dengan memakai doktrin ketinggalan zaman bahwa unjuk rasa pasti kebablasan menjadi kerusuhan. Padahal, merekalah yang kebablasan melawan prinsip-prinsip demokrasi agar kekuasaannya langgeng tanpa kontrol. Dalam pepatah, ”Buruk rupa cermin pun dibelah”.

Mesti diakui, pamor people’s power di negeri yang bangsanya dikenal suka run amok (mengamuk) ini sempat anjlok karena Malari 1974 dan Mei 1998. Jatuhnya korban jiwa dan kerusakan infrastruktur dengan gampang membuat penguasa menuding rakyat belum siap berdemokrasi. Kini, setelah unjuk rasa Hari Antikorupsi Internasional, terbukti pamor people’s power naik kembali.

Lagi pula people’s power amat dibutuhkan kehadirannya saat kekuasaan membangun tembok pelindung.

Saya masih suka heran melihat upaya akal-akalan mereka yang berusaha menahan laju tuntutan agar skandal Century dibongkar tuntas. Upaya itu telah menjadi olok-olok rakyat yang geleng-geleng kepala menyaksikan ulah mereka, terutama pihak-pihak yang mulai saling menyalahkan.

Sekali lagi, people’s power sejatinya dilancarkan melalui metode power to the people. Itulah proses pembelajaran, penyadaran, pemahaman, dan pemberdayaan rakyat agar tak terkelabui skandal Century. Dengan bantuan media massa dan juga word of mouth, skandal Century telah merasuk ke kalbu sanubari rakyat yang terusik hati nuraninya.

Saat meliput unjuk rasa 9 Desember, dengan mudah dapat dirasakan bahwa kalangan awam—seperti tukang ojek, pelajar, buruh, bahkan pedagang kaki lima—sudah gusar. Pesan moral mereka satu, ”Jangan membuat kami makin gusar”. Kiranya Pansus Century DPR memahami benar fenomena ini dan tunduk kepada tuntutan people’s power. Janganlah bermain api, bermainlah dengan cantik.

Tantangan terbesar ke depan adalah mengawasi kerja Pansus Century DPR. People’s power sudah lama mafhum sukar berharap dari proses konstitusional yang penuh persekongkolan di lembaga wakil rakyat itu. Jangan khawatir, tetap jaga kebenaran, rapatkanlah barisan, rancanglah gerakan, jagalah ketertiban, dan, insya Allah, people’s power pasti menang!

Budiarto Shambazy, wartawan senior Kompas.

Sumber: Kompas, Sabtu, 12 Desember 2009

Bailout Century dan Persekongkolan Para Bedebah

Oleh: Maqdir Ismail

TANPA adanya penjelasan yang rasional dan secara hukum sah, maka sampai kapanpun kecurigaan bahwa penerbitan Perpu No. 2 Tahun 2008 dan Perpu No. 4 Tahun 2008 adalah sebagai bentuk penukangan untuk menjarah uang Negara dengan medianya “krisis” keuangan bank Century akan tetap ada.

Hiruk pikuk dan perdebatan tentang kebijakan bailout bank Century semakin melabar dan semakin tidak jelas. Perseteruan baru antara Bambang Soesatyo vs Sri Mulyani Indrawati dibuka, perseteruan lama antara Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati vs Aburizal Bakrie digali kembali. Ranah perseteruan dibawa kemasalah privat bukan masalah publik. Sri Mulyani Indrawati mengancam hendak melaporkan Bambang Soesatyo ke Polisi, karena melakukan penghinaan dan mungkin juga nanti karena diduga menghina pejabat umum. Kalau ini yang terjadi, alih-alih masalah bailout itu selesai, tetapi justru yang lahir kesibukan mengurus perkara penghinaan.

Pokok persoalan bailout bank Century itu secara hukum adalah mengenai keabsahan dari bailout. Apakah bailout itu dilaksanakan dengan iktikad baik atau terjadi karena ada penyalahgunaan wewenang, kesempatan atau sarana karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan Negara atau perekonomian Negara. Para pihak yang setuju atas kebijakan bailout, pada pokoknya menyatakan bahwa penyelamatan Century seharga Rp6,7 triliun masih lebih murah daripada menutup bank Century. Sementara pihak yang tidak setuju dengan bailout, karena diduga ada “persekongkolan para bedebah”. Tentu masing-masing argumen ini mempunyai kebenaran.

Dasar Hukum Bailout

Bailout itu dilakukan, karena ada dasar hukumnya yaitu Perpu No. 2 Tahun 2008, Perpu No. 3 Tahun 2008 dan Perpu No. 4 Tahun 2008, ada juga Peraturan Bank Indonesia Nomor: 10/30/PBI/2008 tanggal 14 Nopember 2008. Ini berarti secara hukum bailout terhadap bank Century adalah sah dan berdasarkan atas hukum. Tidak ada pelanggaran terhadap hukum, tidak juga ada penyalahgunaan wewenang yang dilakukan secara sengaja, tidak ada penyalahgunaan sarana, kesempatan atau jabatan yang merugikan Negara atau perekonomian Negara.

Adanya Perpu dan Peraturan Bank Indonesia dapat diduga untuk melakukan bailout terhadap bank yang sedang mengalami kesulitan keuangan karena situasi perekonomian Indonesia terimbas turbulensi krisis finansial global. Bukan hanya untuk bank Century. Hanya saja secara kebetulan bank Century adalah bank yang pertama dan terakhir pada masa itu yang mengalami kesulitan keuangan yang cenderung sistemik dan dianggap berpotensi membahayakan sistim keuangan, karena krisis yang dialami oleh Bank Century akan berdampak buruk terhadap ekonomi nasional.

Bahwa timbul dugaan bailout tersebut dilakukan semata-mata untuk melindungi kepentingan tertentu, nampaknya hingga kini, masih merupakan asumsi. Belum ada fakta aktual yang dapat membantah bahwa kesulitan keuangan bank Century tidak berpotensi membahayakan sistem keuangan dan tidak berdampak buruk terhadap ekonomi nasional. Hampir semua ekonom yang mempunyai hubungan dekat dengan otoritas keuangan, mendukung kesimpulan ini. Meskipun juga tidak sedikit ekonom yang menyanggah adanya dampak buruk terhadap ekonomi nasional ini.

Persekongkolan Para Bedebah

Kalaulah memang ada “persekongkolan para bedebah”, dalam bailout terhadap bank Century, maka persekongkolan yang harus dicurigai mulai dari terbitnya Perpu No. 2 Tahun 2008 dan Perpu No. 4 Tahun 2008. Kedua Perpu inilah yang menjadi dasar hukum kuat untuk meloloskan adanya kemungkinan bailout. Perpu No. 2 Tahun 2008 kemudian disahkan menjadi UU No. 6 Tahun 2009 adalah dasar hukum yang kuat untuk memberikan fasilitas darurat, dengan turunannya Peraturan Bank Indonesia Nomor: 10/30/PBI/2008 tanggal 14 Nopember 2008.

Sedangkan Perpu No. 4 Tahun 2008, dapat dikatakan sebagai pengalihan kewenangan dari Bank Indonesia kepada Menteri Keuangan sebagai Ketua Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) dalam memutuskan kondisi bank berdampak sistemik atau tidak. Besarnya kekuasaan Ketua KSSK dapat dibuktikan karena mengambil keputusan meskipun ada penolakan dari peserta rapat KSSK.

Untuk membuktikan bahwa penerbitan Perpu No. 2 Tahun 2008 dan Perpu No. 4 Tahun 2008, sebagai bentuk persekongkolan, tentunya tidak mudah. Paling kurang yang harus dibuktikan pertama-tama, siapa yang menghendaki terbitnya kedua Perpu tersebut, karena Perpu bisa terbit atas permintaan Bank Indonesia, bisa juga atas permintaan Departemen Keuangan bahkan bisa jadi atas kehendak dari Presiden; kedua apakah memang terbitnya kedua perpu ini adalah sebagai kebijakan khusus untuk menjarah uang Negara melalui Bank Century; ketiga, harus dibuktikan pula bahwa kesulitan keuangan karena krisis yang dialami oleh Bank Century akan berdampak buruk terhadap ekonomi nasional yang cenderung sistemik dan berpotensi membahayakan sistim keuangan tidak riil; keempat, ada pihak tertentu yang mendapat keuntungan dari adanya bailout bank Century.

Sebagai upaya transparan mengungkap apa sesungguhnya yang terjadi dibalik bailout terhadap bank Century ini, maka yang harus dijelaskan oleh pemerintah dan Bank Indonesia bukan hanya masalah benar dan tidak benarnya kondisi perekonomian Indonesia yang akan menjadi buruk kalau bank Century tidak diselamatkan. Tetapi yang tidak kalah pentingnya adalah alasan lahirnya dan dasar hukum aktual penerbitan Perpu No. 2 Tahun 2008 dan Perpu No. 4 Tahun 2008. Tanpa adanya penjelasan yang rasional dan secara hukum sah, maka sampai kapanpun kecurigaan bahwa penerbitan Perpu No. 2 Tahun 2008 dan Perpu No. 4 Tahun 2008 adalah sebagai bentuk penukangan untuk menjarah uang Negara dengan medianya “krisis” keuangan bank Century akan tetap ada. Dan dugaan bahwa ada “persekongkolan para bedebah” itu akan selalu bergaung.

Maqdir Ismail, Advokat dan Staf Pengajar FH Universitas Al-Azhar Indonesia

Sumber : Koran Tempo, Rabu, 4 November 2009

Mahasiswa Melayu Dapat Beasiswa

Jakarta - Sebanyak 650 pelajar dan mahasiwa etnis melayu yang tengah menempuh studi di Jakarta mendapatkan beasiswa dari Pemprov DKI Jakarta dan Perhimpunan Masyarakat Melayu Baru Indonesia (Mabin) dengan nilai total mencapai Rp 400 juta.

"Kegiatan ini merupakan bukti nyata terhadap masyarakat, dalam mengurangi tingkat kemiskinan dan kepedulian terhadap dunia pendidikan," ujar Fauzi Bowo, Gubernur DKI Jakarta, saat kegiatan Semarak Melayu 2012, yang berlangsung di sebuah pusat perbelanjaan di bilangan Jakarta Pusat.

Dikatakan Fauzi, melalui pembagian beasiswa ini, diharapkan dapat membangun jiwa entepreneurship dan mencerdaskan masyarakat. Dengan begitu, dirinya yakin untuk masa yang akan datang kemampuan dan kualitas masyarakat melayu ke depan menjadi lebih baik dan dapat bersaing. Fauzi juga mengapresiasi peran masyarakat Melayu yang mempu menjaga kerukunan dalam hidup berbangsa dan beragama.

"Masyarakat Melayu menjadi pilar persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Harapan ini bukan sebuah impian yang mustahil. Sebab, rumpun Melayu merupakan suku bangsa terbesar di Indonesia. Jaga persatuan dan potensi yang kita miliki untuk kemajuan bangsa Indonesia secara menyeluruh," katanya.

Sementara itu, Ketua Pimpinan Wilayah Mabin DKI Jakarta, yang juga Walikota Jakarta Pusat, Saefullah mengungkapkan, bantuan pendidikan berupa beasiswa yang diberikan kepada mahasiswa dan pelajar itu merupakan realisai program kerja dalam rangka meningkatkan kualitas SDM. Dijelaskannya, bantuan yang diberikan kepada 50 mahasiswa yang masing-masing mendapatkan sebesar Rp 2 juta, terdiri dari mahasiswa S1 hingga S3. Sementara, untuk 600 pelajar masing-masing mendapat Rp 500-800 ribu, yang terdiri dari pelajar SD hingga SMA.

"Dugderan" 2012 Munculkan Potensi Budaya Lokal Semarang

Semarang, Jateng - Tradisi tahunan yang digelar Pemerintah Kota Semarang menyambut datangnya bulan puasa yang disebut "Dugderan", tahun ini akan memunculkan potensi seni dan budaya lokal di tingkat kecamatan.

"Berbeda dengan acara `Dugderan` tahun-tahun sebelumnya, pada tahun 2012 kami akan memberi kesempatan kepada 16 kecamatan untuk mengeksplorasi potensi seni dan budaya lokal setempat," kata Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Semarang Kasturi di Semarang, Selasa.

Kasturi menegaskan "Dugderan" tahun 2012 yang akan dilaksanakan pada Kamis tanggal 19 Juli, diharapkan dapat melestarikan serta menumbuhkan potensi seni dan budaya lokal.

Akibat adanya tambahan atraksi dari 16 kecamatan, dipastikan waktu karnaval dari halaman Balai Kota menuju Masjid Kauman molor sekitar satu jam.

Jika sebelumnya acara yang dimulai sekitar pukul 12.15 WIB di halaman Balaikota Semarang, rombongan bisa tiba di Masjid Kauman sekitar pukul 14.00 WIB, diperkirakan molor menjadi pukul sekitar 15.00 WIB.

Saat karnaval dari Balai Kota menuju Masjid Kauman, lanjut Kasturi, selain dari perwakilan dari tingkat kecamatan ada juga diikuti dari organisasi kepemudaan, organisasi keagamaan, organisasi masyarakat, dan sanggar seni dengan syarat menampilkan kesenian lokal, drumband atau rebana, kembang manggar, dan warak ngendok.

"Ada pasukan yang jalan kaki, pasukan naik kereta kencana dan bendi, dan pasukan mobil hias warak," kata Kasturi.

Hingga saat ini sudah ada 48 mobil hias warak yang dipastikan ikut dalam "Dugderan" dan seluruhnya berasal dari unsur sekolah, belum termasuk dari kalangan perhotelan atau swasta lainnya.

Tidak hanya memunculkan potensi seni dan budaya lokal, lanjut Kasturi, pada gelar Dugderan 2012 juga akan kembali menonjolkan potensi kuliner khas Kota Semarang yakni Ganjel Rel.

"Di Masjid Kauman, nanti akan ada pembagian Ganjel Rel dan minuman khataman Qur`an. Ganjel Rel adalah makanan khas Semarang dan masyarakat luar Semarang harus tahu," katanya.

Di Masjid Kauman akan ada pemukulan bedug dan meriam sehingga menimbulkan bunyi dug dan der sebagai pertanda bahwa Bulan Puasa telah tiba. Pemukulan bedug dan meriam juga akan dilakukan di Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT).

"Jadi setelah rombongan selesai dari Masjid Kauman langsung diteruskan ke MAJT. Akan tetapi jika waktunya tidak mencukupi, untuk ke MAJT akan disediakan bus," kata Kasturi.

Hingga saat ini, Disbudpar Kota Semarang masih terus melakukan persiapan untuk mengelar "Dugderan" 2012.

Tim Tari UGM Tampil di Peksiminas XI NTB

Yogyakarta - Tim Tari Universitas Gadjah Mada mewakili Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta pada Pekan Seni Mahasiswa Nasional XI di Mataram, Nusa Tenggara Barat, 1-6 Juli 2012.

"Kami berhak mewakili DIY setelah meraih juara pertama dalam Pekan Seni Mahasiswa Daerah (Peksimida) di Universitas Sanata Dharma (USD) Yogyakarta," kata ketua produksi tim tari UGM Dani Trisno Nugroho di Yogyakarta, Rabu.

Menurut dia, dalam Peksimida, UGM mengirimkan satu tim yang membawakan Tari Candu Raras, dan berhasil menjadi juara pertama.

Atas keberhasilan tersebut, tim tari UGM akan mewakili DIY pada Pekan Seni Mahasiswa Nasional (Peksiminas).

"Untuk menghadapi Peksiminas, tim tari UGM saat ini terus berlatih, dan melakukan beberapa penyempurnaan tarian. Kami berusaha memasukkan lebih banyak unsur Yogyakarta ke dalam Tari Candu Raras," katanya.

Ia mengatakan Tari Candu Raras yang berdurasi sekitar 12,5 menit tersebut bercerita tentang para penari cantik yang bisa membuat penonton ketagihan, dan terinspirasi dari kesenian rakyat Taledhek atau yang dikenal dengan sebutan Ledhek.

Kesenian Ledhek sudah ada sejak zaman Jawa Kuno, yang tercatat pada Prasasti Poh 905 Masehi, dan juga digambarkan pada relief Karmawibhangga di Candi Borobudur. "Relief itu menggambarkan sekelompok gadis cantik yang menari di keramaian dengan diiringi musik gamelan dari satu tempat ke tempat lain," katanya.

Pada masanya, tarian itu menjadi sarana hiburan yang sangat digemari, bahkan menjadi suatu kebanggaan bagi orang yang menjadi tuan rumah pertunjukan Ledhek. Namun, akhir-akhir ini kesenian Ledhek semakin meredup, dan hilang ditelan perkembangan zaman.

Menurut dia, Tari Candu Raras merupakan karya koreografer Lita Sudiati, penari dari Unit Kesenian Jawa Gaya Surakarta (UKJGS) UGM.

Penata iringan digarap Tatag Waruju Wikan Priangga, dan penata kostum Robi Aji Trisantoso, keduanya juga anggota UKJGS UGM.

Ia mengatakan tim Tari Candu Raras beranggotakan tujuh orang dari unit kegiatan mahasiswa Tari Bali, Swagayugama, dan UKJGS UGM.

Ketujuh penari itu adalah Lita Sudiati, Odila Tamoyi, Lucky Krisnawati Utami, Narulita Ayu S, Sholiha Wardati, Hesty Budi Nugraheni, serta Dian Kusuma Wardani.

"Kami menargetkan bisa masuk lima besar dalam Peksiminas, bahkan bisa meraih juara pertama. Kami akan menampilkan tarian secara utuh dalam bentuk simbol gerak dan koreografi," katanya.

Artis Hollywood Menari Jawa di "Gatotkaca Kembar"

Jakarta - Artis Hollywood, Camille Guaty, akan menarikan tarian Jawa dalam drama sinema berjudul "Gatotkaca Kembar" garapan sutradara Mirwan Suwarso.

"Cukup sulit, tangan dan mata saya harus bergerak bersamaan," katanya pada sesi latihan drama tersebut di Senayan, Jakarta, Senin.

Dalam drama sinema "Gatotkaca Kembar" yang rencananya dipentaskan pada 2 Juni mendatang, Camille yang memerankan Batari Durga, harus meliuk-liuk bagaikan ular.

Artis yang pernah bermain di film seri "Prison Break" dan film "Ghost of Girlfriend's Past" itu mengaku sedang bisa bermain dalam drama yang mengangkat kisah budaya lokal.

Camille, yang baru pertama datang dan berakting di Indonesia, punya waktu lima hari untuk mendalami perannya.

"Saya tetap yakin bisa memerankannya dengan baik, lihat saja nanti," kata Camille.

Sepanjang pertunjukan tersebut, Camille akan berdialog dan menyanyi dengan Bahasa Inggris.

Dia mengaku bisa bermain drama di Indonesia berkat ajakan Max Morgan, seorang penyanyi rock asal Amerika yang pernah bermain dalam drama garapan Mirwan Suwarso di Indonesia.

Di "Gatotkaca Kembar", Max kembali akan bermain. Kali ini dia bermain sebagai penjahat dan tubuhnya akan dicat hijau.

"Jadi jahat itu memberikan banyak kesenangan buat saya," katanya seraya tertawa.

Publik Kepulauan Riau Terpukau oleh Festival Tutur Melayu

Jambi - Perhelatan Festival Tradisi Tutur Revitalisasi Budaya Melayu di kota Tanjungpinang, 23-27 Mei, mendapat apresiasi positif dari ribuan warga Kepulauan Riau. Pada festival tersebut, tiga macam tradisi tutur khas Jambi digarap secara tradisional-kontemporer dan adaptif dengan kontur zaman.

"Alhamdulillah dua kali pergelaran kita tampil di panggung berbeda pada Festival Tradisi Tutur ajang Revitalisasi Budaya Melayu (RBM) III di Tanjungpinang, Kepri, kita mendapat sambutan luar biasa dari publik setempat dan para tamu undangan dari luar daerah bahkan luar negeri," kata pimpinan rombongan dan penata artistik pertunjukan tradisi tutur Jambi, Zulbahri di Jambi, Senin.

Dia mengatakan, dalam perhelatan yang bertema "Alam Melayu; dari Ingatan ke Kenyataan" tim Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) Jambi yang pertunjukannya dipercayakan kepada sanggar tradisi Mindulahin pimpinan Azhar MJ, menampilkan pertunjukan gabungan tiga dari 14 macam tradisi tutur Jambi yakni, Nandung Jolo dari Muarojambi, Keba dari Kerinci dan Krinok dari Bungo.

"Padahal selain Jambi juga tampil pula utusan dari Malaka, Kelantan dan Trengganu Malaysia, Patani Thailand, Guangzu China, NTB, Sulawesi Tenggara, Riau dan utusan dari kabupaten-kabupaten di Kepri. Kesemua tampil di empat panggung berbeda secara bergiliran selama empat malam, dua kali penampilan Jambi selalu mendaat respon positif dari publik dan pengurus ATL serta para ahli budaya selaku pemakalah pada kongres ATL," ujar Zulbahri.

Pada pertunjukan tersebut, tambah dia, ketiga tradisi tutur Jambi ditampilkan dalam dua bentuk garapan yakni dalam bentuk garapan tradisional yang dibawakan oleh tiga penutur yang merupakan tiga calon maestro tutur yang diajukan Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) Jambi yakni Alfian (Nandung Jolo), Azhar Mj (Keba) dan Junai (Krinok).

Selain pertunjukan yang ditampilkan sebagaimana wujud aslinya itu, tim kesenian ATL Jambi pun menampilkan pertunjukan yangmerupakan hasil olahan dari berbagai seni tradisi tutur Jambi seperti Sinjang, Keba, Krinok, Nandung Jolo, Iwa, Mantau, Mantra dan Seloko.

"Kketua Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) pusat, Dr Pudentia, bersama jajarannya beserta para tokoh tradisi tutur Tanah Air dan dari beberapa negara seperti dari Leiden Belanda, Prancis, Singapura, Malaysia, dan lainnya selalu hadir menonton sampai tuntas pertunjukan berdurasi dua jam dari Jambi ini," ungkap Zulbahri.

Bahkan, tambah dia, Dr Pudentia sendiri mengapresiasi positif pertunjukan tradisi tutur Jambi yang menurut dia khas dan unik.

Ia mengharapkan agar acara ini dilestarikan dan dikembangkan dengan salah satu strateginya adalah dengan memperbanyak kesempatan ditampilkan kepada publik luas pada berbagai acara yang diselenggarakan baik oleh pemerintah maupun swasta, dalam maupun luar negeri.

Sementara Sekjen ATL Jambi, Nukman mengungkapkan, karena besarnya minat publik di Tanah Air akan keberadaan tradisi tutur Jambi maka pada pergelaran Festival dan kongres ATL selanjutnya di Manado, Sulawesi Utara 2014 Jambi kembali secara khusus akan mengirimkan utusan tim keseniannya guna menampilkan berbagai tradisi tutur yang dimiliki.

Festival Budaya Masyarakat Sunda di Pasir Impun

Bandung - Sejumlah kesenian tradisional khas dari kampung adat yang ada di Jawa Barat dan Banten, dipentaskan pada Festival Budaya Masyarakat Adat Tatar Sunda di Ekowisata dan Budaya Alam Santosa di Pasir Impun Kabupaten Bandung, Senin (28/5/2012) ini.

"Kegiatan ini sebagai ajang kumpul bareng dan silaturahim kampung adat. Sambutan dari mereka luar biasa," kata Duta Sawala Baresan Olot Tatar Sunda (BOTS), Eka Santosa.

Kegiatan yang digelar di kawasan pegunungan di kawasan utara Bandung Raya itu, dikemas untuk menghadirkan 14 kampung adat Sunda, termasuk Banten, dalam satu ajang.

Sejumlah kesenian khas kampung adat yang akan ditampilkan adalah kesenian tradisional Laes, Jipeng, Tutunggulan, Gambyung, Kidung Puji Alam, Tari Buyng, Terbang, Karinding dan Gondang, Tembang Sunda, Bangreng, Dog-dog lojor, Beluk, Ronggeng Gunung, dan Tarawangsa.

Warga Pasir Impun sebagai tuan rumah juga akan unjuk gigi dengan kesenian yang berkembang di daerah itu reog, kuda renggong, dan kendang pencak.

Selain itu, kegiatan lainnya yang akan digelar adalah diskusi, permainan "baheula" (tradisional), menggambar, mewarnai dan juga pentas wayang golek.

"Peserta dan pengunjung terbuka untuk semua umur. Mereka bisa menikmati festival budaya ini yang juga sebagai upaya pewarisan budaya Sunda kepada generasi muda," kata Eka Santosa.

Sementara itu Ketua Panitia Festival Budaya Masyarakat Adat Sunda, Carnan M, mengatakan bahwa pihaknya mengumpulkan 14 perwakilan kampung adat di Jabar dan Banten bukan hal yang mudah. Namun dia mengapresiasi, karena ternyata masing-masing antusias dan mengirimkan dutanya ke festival itu.

"Setiap kampung adat punya keunikan dan karakter yang berbeda-beda. Namun semangatnya sama, yakni untuk mempertahankan adat istiadat peninggalkan leluhurnya kepada generasi mereka sehingga tetap lestari," kata Carnan.

Kawasan Eko Wisata Budaya Alam Santosa terletak di kawasan pegunungan di Pasirimpun di Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung. Di lokasi itu dibangun Bale Gede dengan arsitektur julang ngapak, serta terdapat beberapa bangunan dengan arsitektur Tagog yang khas di Tatar Parahyangan.

Uang dan Prahara Komisi Pemberantasan Korupsi

Oleh: Endang Suryadinata

“The Love of money is the root of all evil”

(Epicurus)

PESAN filsuf Yunani kuno di atas menunjukkan peran besar uang dalam sejarah, termasuk menyeret manusia baik-baik menjadi penjahat, sebagaimana deretan skandal penguasa di masa silam. Uang, skandal (seperti korupsi), dan kekuasaan memang saling berkaitan erat.

Demikian juga peran uang di negeri ini. Ketika masih disebut Nusantara, tiap kerajaan punya mata uang sendiri. Mengingat lama dijajah Belanda, uang yang paling lama pengaruhnya di Nusantara adalah gulden Belanda (1610-1817).

Ketika Indonesia merdeka, beberapa mata uang dipakai, seperti “rupiah Hindia Belanda”,”rupiah Jawa”, “gulden Belanda” atau “gulden NICA”. Baru pada 30 Oktober 1946, pemerintah membuat mata uang ORI (Oeang Repoeblik Indonesia). ORI pertama dicetak dalam bentuk uang kertas bernominal satu sen, dengan gambar muka keris terhunus dan gambar belakang teks undang-undang serta ditandatangani Menteri Keuangan pertama, Mr A.A. Maramis.

Namun, dalam sejarah, ORI tenggelam akibat semakin kuatnya rupiah. Padahal rupiah mengandung nada agak minor, yakni kurang nasionalis, mengingat nama rupiah terkait dengan mata uang India, rupee. Rupiah, yang makin kuat, akhirnya ditetapkan sebagai mata uang nasional sejak 2 November 1949 (genap 60 tahun).

Memasuki dekade 1950, rupiah semakin stabil. Seiring dengan stabilnya rupiah, demokrasi di negeri kita juga berkembang. Untuk pertama kalinya, pada 1955 digelar pemilu demokratis pertama yang diikuti banyak partai. Banyak kalangan mengagumi perkembangan demokrasi 1950-an seperti pernah ditulis Tempo. Atau bisa dibaca buku berjudul Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia, Studi Sosio-Legal atas Konstituante 1956-1959, yang diangkat dari tesis studi hukum Adnan Buyung di Belanda pada 1989.

Sayang, demokrasi terpimpin ala Bung Karno tidak suka melihat perkembangan demokrasi multipartai seperti itu, berkat adanya Dekrit 5 Juli 1959. Era kediktatoran pun dimulai. Tapi, setelah menyandang predikat Pemimpin Besar Revolusi selama tujuh tahun, Bung Karno pun turun dari kursi presiden. Versi resmi memang menyebutkan Bung Karno turun, karena Soeharto menggantikannya lewat Supersemar 1966. Tapi sesungguhnya rupiahlah yang ikut punya andil. Maklum, pada akhir tahun 1965, nilai rupiah jadi Rp 35 ribu per dolar AS, terendah dalam sejarah rupiah.

Bung Karno turun, Soeharto naik dan menjadi penguasa diktator (1966-1998). Uang atau rupiah menjadi orientasi utama dari praksis kekuasaannya. Korupsi atau “budaya” KKN mulai lahir dan subur di era Soeharto. Maklum, uang adalah sumber segala kejahatan, seperti diungkapkan oleh Epicurus di awal tulisan ini. Penyanyi Mogi Darusman (1947-2007) pernah menggambarkan kekuasaan rezim ketika itu dengan lagu Rayap-rayap, yang di antara liriknya berbunyi “Kau tahu rayap-rayap, makin banyak di mana-mana. Di balik baju resmi. Merongrong tiang negara. Kau tahu babi babi makin gemuk di negeri kita. Mereka dengan tenang. Memakan kota dan desa. Rayap-rayap”.

Menurut KH Zainudin M.Z., salah satu kelemahan terbesar Pak Harto adalah “terlambat untuk berhenti”. Padahal, kalau Pak Harto mau berhenti pada 1985, cerita tentang Soeharto dan Indonesia akan lain. Tapi nafsu akan uang dan kekayaan makin menjadi-jadi seiring dengan besarnya anak-anak Cendana. Bukan hanya keluarga Cendana, seluruh birokrasi di bawah Soeharto akhirnya dibusukkan oleh KKN. Tapi gara-gara uang pula rezim Soeharto akhirnya tumbang, ketika rupiah sudah anjlok ke posisi Rp 17.200 per dolar AS pada April 1998. Kita ingat, gerakan Aku Cinta Rupiah yang digelorakan oleh Mbak Tutut tidak bisa menyelamatkan rupiah sekaligus posisi Soeharto.

Anehnya, banyak orang tak mau belajar dari kejatuhan Bung Karno atau Pak Harto. Buktinya, pascareformasi 1998, korupsi atau penggarongan kekayaan negara demi rupiah justru masih terus berlangsung. Dulu, pada era Soeharto, banditnya hanya satu dan terpusat di Jakarta. Sedangkan selama era reformasi, banditnya bisa lebih dari 1.000 dan tersebar di seantero negeri untuk berlomba-lomba korupsi (Mancur Olson, Power and Prosperity, 2000).

Maka, kekuasaan atau jabatan banyak dicari atau dikejar. Bukan untuk melayani dan menyejahterakan rakyat, melainkan untuk menggarong dan menumpuk rupiah demi ego masing-masing. Bahkan DPR/DPRD, yang disebut wakil rakyat, sesungguhnya hanya wakil dari ambisi dan nafsunya untuk memburu uang. Slank pun pada 2008 menyanyikan lagu yang liriknya bikin panas anggota Dewan: “Mau tau gak mafia di Senayan? Kerjanya tukang buat peraturan. Bikin UUD? Ujung-ujungnya duit.”

Syukurlah ada KPK, yang sejak 2005 mampu memberantas korupsi dengan menyeret para mantan menteri, gubernur, wakil rakyat, bupati, dan wali kota yang korup. Kerja KPK pun diapresiasi oleh rakyat. KPK ibarat “Frankenstein” yang menyebar teror bagi para koruptor. Uang negara pun diselamatkan, meski praktek korupsi masih terjadi di sana-sini.

Sayang, kini ada upaya untuk memberantas KPK dengan agenda membubarkan KPK, seperti tampak dari rekaman pembicaraan orang yang disangka sebagai Anggodo Widjojo, adik tersangka kasus korupsi Anggoro Widjojo, dengan sejumlah lawan bicaranya. Dalam rekaman ini ada banyak banyak nama, termasuk Presiden SBY. Jadi isi rekaman itu bukan cuma mengkriminalisasi Bibit dan Chandra (baca Koran Tempo, 27-30 Oktober 2009).

Dua pemimpin KPK itu malah akhirnya ditahan polisi dan tak boleh ditemui petinggi KPK lainnya. Ada apa ini? Mengapa bukan isi rekaman itu yang diusut? Ini jelas serangan balik para koruptor agar nafsu korupsi tidak ada yang menghalangi. KPK, yang berhasil memberantas korupsi, kini tengah diberantas oleh tangan-tangan kekuasaan yang korup. Maklum, kekuasaan memang cenderung korup, apalagi kekuasaan absolut tanpa oposisi. Negeri ini tengah memasuki saat-saat paling gawat dalam sejarahnya, kalau isi rekaman itu benar.

Sudah pasti “drama” kriminalisasi KPK ini harus diakhiri. Namun, kalau akhirnya KPK menjadi “macan ompong”, negeri ini jelas kembali ke era “jahiliah”. Rupiah seharusnya digunakan untuk “bonum commune” atau menyejahterakan rakyat, bukan sebagai “malum commune” dan pemuas bagi ego penguasa. Maka, para penguasa, belajarlah dari sejarah, agar sejarah skandal (kejatuhan) para penguasa akibat uang di masa silam tidak terulang sekarang.

Endang Suryadinata, Penulis, Tinggal di Belanda

Sumber: Koran Tempo, Sabtu, 31 Oktober 2009

Menakar Syarat Penahanan

Oleh: Eddy O S Hiariej

JIKA kekuasaan penegakan hukum tidak dibarengi kapasitas intelektual memadai aparatnya, maka atas nama hukum, kekuasaan cenderung disalahgunakan.

Saat ini Polri sedang mempertontonkan kekuasaan dan bertangan besi menyusul penahanan terhadap kedua unsur pimpinan KPK (nonaktif), Bibit S Rianto dan Chandra M Hamzah. Situasi semacam ini amat tidak menguntungkan bagi Polri dalam menjunjung tinggi semboyan polisi modern, melayani dan menjaga.

Di mana pun di dunia, sifat dan karakter dasar instrumen hukum acara pidana sedikit-banyak mengekang hak asasi manusia. Seseorang yang ditangkap, ditahan, digeledah, dan disita belum tentu bersalah. Karena itu, pelaksanaan hukum acara pidana harus berdasar prinsip kehati-hatian sehingga aspek perlindungan terhadap hak asasi manusia tetap terjaga.

Hak dan kewenangan yang melekat pada aparat hukum sesuai KUHAP tidak boleh ditafsirkan selain apa yang tertulis. Kalaupun dilakukan penafsiran terhadap suatu ketentuan dalam hukum acara pidana, penafsiran itu harus dilakukan secara restriktif.

Menakar Syarat Penahanan

Apakah penahanan terhadap Bibit S Rianto dan Chandra M Hamzah memiliki alasan hukum yang kuat?

Jawaban atas pertanyaan itu akan jelas dengan menakar syarat penahanan sebagaimana tercantum dalam KUHAP. Berdasar Pasal 21 KUHAP yang terdiri dari empat ayat, secara implisit ada tiga syarat penahanan terhadap seorang tersangka atau terdakwa. Tiga syarat itu adalah syarat subyektif (Pasal 21 Ayat 1), syarat kelengkapan formal (Pasal 21 Ayat 2 dan Ayat 3), dan syarat obyektif penahanan (Pasal 21 Ayat 4). Ihwal syarat kelengkapan formal dan syarat obyektif tidak akan diulas dalam tulisan ini karena ukurannya jelas dan pasti.

Syarat kelengkapan formal berarti surat perintah penahanan harus mencantumkan identitas, menyebut alasan penahanan, dan uraian singkat perkara yang disangkakan dengan memberikan tembusan surat perintah penahanan kepada keluarga.

Sementara syarat obyektif adalah penahanan dilakukan jika suatu tindak pidana diancam lima tahun atau lebih, atau tindak pidana tertentu sebagaimana diuraikan dalam Pasal 21 Ayat 4 KUHAP. Sementara syarat subyektif penahanan yang diulas dalam tulisan ini adalah syarat yang amat rentan dengan penyalahgunaan kekuasaan karena hanya berdasar pandangan subyektif pribadi aparat hukum.

Syarat subyektif penahanan berdasar Pasal 21 Ayat 1 KUHAP adalah jika ada keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti, atau mengulangi tindak pidana. Bagaimana menakar syarat subyektif penahanan tentu tidak terlepas dari kasus yang dihadapi.

Dalam kasus Bibit S Rianto dan Chandra M Hamzah, keterangan resmi Wakabareskrim Polri menyatakan keduanya ditahan terkait kasus penyalahgunaan wewenang (penyadapan dan pencekalan) dan pemerasan. Masih menurut Wakabareskrim Polri, kedua tersangka bebas melakukan jumpa pers yang dapat memengaruhi opini publik. Selanjutnya terkait pemerasan Polri memiliki bukti yang cukup.

Syarat Subyektif

Jika dikaitkan dengan kekhawatiran Polri sebagai syarat subyektif penahanan dapat diukur sebagai berikut:

Pertama, jika kedua tersangka dikhawatirkan akan melarikan diri, bukankah selama ini kedua tersangka menunjukkan sikap yang amat kooperatif dengan melakukan wajib lapor sebagaimana disyaratkan. Selain itu, setiap kali dibutuhkan keterangannya, kedua tersangka siap menghadap sewaktu-waktu ke Mabes Polri. Dengan demikian, kekhawatiran ini tidak terbukti secara faktual.

Kedua, jika Polri menganggap kedua tersangka akan merusak atau menghilangkan barang bukti, kekhawatiran ini justru kontradiktif dengan pernyataan Mabes Polri bahwa Polri telah memiliki bukti cukup dan bukankah Polri mempunyai kewenangan untuk menyita barang bukti itu jika masih ada pada tangan tersangka. Barang bukti apa yang akan dirusak atau dihilangkan? Tegasnya, kekhawatiran atas hal ini terkesan mengada-ada.

Ketiga, adanya anggapan tersangka akan mengulangi tindak pidana. Harap diingat, kedua tersangka dijerat dengan pasal penyalahgunaan kewenangan dan penyuapan. Saat ini status mereka adalah nonaktif, lalu kewenangan apa lagi yang akan mereka salah gunakan sebagai indikasi mengulangi tindak pidana atau adakah indikasi mereka akan melakukan pemerasan selama proses ini berlangsung?

Lebih celaka lagi jika jumpa pers yang dilakukan kedua tersangka dianggap Polri sebagai indikasi melakukan tindak pidana. Adakah aturan perundang-undangan di Indonesia yang menyatakan kebebasan untuk melakukan jumpa pers adalah tindak pidana? Berdasar fakta itu, kekhawatiran Polri terhadap kedua tersangka sebagai alasan subyektif penahanan sama sekali tidak berdasar dan hanya menunjukkan kekuasaan tanpa dilandasi akal sehat dan cenderung sesat.

Solusi nyata untuk menyudahi perseteruan KPK-polisi, Presiden sebagai Kepala Negara dapat melakukan intervensi dengan hak prerogatif yang melekat padanya dalam hal penegakan hukum, yakni abolisi. Terlebih ada indikasi kuat, penetapan kedua unsur pimpinan KPK sebagai tersangka adalah hasil rekayasa. Maka, dengan meminta pertimbangan DPR (Pasal 14 Ayat 2 UUD 1945), Presiden dapat memberi abolisi, yakni hak untuk menghapus penuntutan terhadap seseorang yang diduga melakukan tindak pidana.

Eddy O S Hiariej, Pengajar Hukum Pidana Fakultas Hukum UGM

Sumber: Kompas, Sabtu, 31 Oktober 2009

Penahanan Bibit dan Chandra Bukan Kasus Biasa

Oleh: Tjipta Lesmana

AKHIRNYA Presiden Susilo Bambang Yudhoyono angkat suara terkait perseteruan sengit antara Polri dan KPK, lebih khusus lagi karena ditahannya dua unsur pimpinan KPK, Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Rianto.

Presiden menyempatkan untuk menggelar jumpa pers (Jumat, 30/10/2009) karena namanya tiga kali disebut dalam rekaman percakapan terkait kasus korupsi Anggoro Widjojo. Namun, ada satu aspek pernyataan Yudhoyono yang niscaya mengecewakan masyarakat luas.

Saat Presiden menegaskan “kasus Bibit dan Chandra sama dengan kasus yang menimpa pejabat lain”, publik dibuat bingung dan bertanya-tanya, “Masih setiakah Presiden dengan tekad untuk menjadi ‘panglima gerakan antikorupsi” sebagaimana dicanangkan berulang kali dalam kampanye Pemilu Presiden 2004?”

“Perihal penahanan seorang tersangka, kita tahu, seorang tersangka, dalam proses penyidikan, bisa ditahan apakah penahanan oleh polisi, atau jaksa, atau yang memiliki kapasitas sebagai penyidik. Yang penting, rakyat harus (tahu) alasan penahanan yang jelas dan rujukan hukum mana yang dijadikan alasan,” tegas Yudhoyono.

Betapa tinggi kadar normatif pernyataan Presiden. Substansi paparan Presiden Yudhoyono selama kurang lebih setengah jam itu sebagian besar bersifat normatif. Presiden mengatakan, dalam proses penyidikan, penyidik—apakah Polri, kejaksaan, atau KPK—punya kewenangan untuk menahan tersangka. Presiden meminta Kepala Polri agar menyelidiki (membuka) secara tuntas rekaman percakapan yang beredar di masyarakat. Cari siapa pelaku percakapan itu. Kembali ditegaskan, Presiden tidak bisa melakukan intervensi dalam proses hukum yang sedang dilakukan instansi penegak hukum. “Saya tidak akan, dan saya tidak boleh....”

Dengan ucapan-ucapan normatif itu, Presiden Yudhoyono seakan hendak mengatakan kepada rakyat Indonesia, dirinya seorang pemimpin yang selalu menghormati dan menaati hukum; selalu bertindak di atas rel hukum.

Bukan Kasus Biasa

Sayang, Presiden telah melakukan kekeliruan pembandingan dalam ilmu logika. Penahanan Bibit dan Chandra tidak bisa disebut kasus biasa, jika mencermati kronologi kejadian sebelumnya. Jika tergolong kasus biasa, mana mungkin opini publik berdiri di belakang mantan kedua unsur pimpinan KPK itu? Mana mungkin tokoh masyarakat seperti Syafii Maarif, Franz Magnis-Suseno, Goenawan Mohamad, dan lainnya serentak berikrar siap pasang badan demi membela Bibit dan Chandra? Jika kasus biasa, omong kosong media bisa disogok untuk membesarkan kasus itu sekaligus membela mereka?

Tentu ada yang tidak beres. Bahkan, ada sesuatu yang bisa membawa aib besar bagi potret negara hukum Indonesia di balik penahanan Bibit dan Chandra.

Maka, perlu dihindari sikap normatif. Inilah momentum emas bagi presiden untuk tampil ke depan memperbaiki citra diri yang beberapa waktu lalu agak turun akibat penyusunan Kabinet Indonesia Bersatu jilid II. Bagaimana caranya?

Jika benar Presiden Yudhoyono mempersepsikan diri “pemimpin junjungan hukum”, kiranya perlu segera mengambil tiga tindakan penting.

Pertama, memerintahkan Kapolri dan Jaksa Agung untuk secepatnya dan penuh keseriusan menyelidiki rekaman percakapan yang terkait petinggi kedua instansi penegak hukum itu. Ini pekerjaan amat mudah. Maka, segera akan ditemukan siapa sebenarnya petinggi yang dimaksud dalam percakapan itu. Lalu, sidik apa makna pesan yang terkandung di balik “ucapan-ucapan menghebohkan” itu.

Kedua, karena pemberian status tersangka—yang dilanjutkan penahanan—Bibit dan Chandra terkait penyelidikan KPK terhadap dugaan keterlibatan sejumlah petinggi Polri dan Kejaksaan Agung dalam kasus Anggoro maupun skandal Bank Century, maka presiden tidak salah jika memerintahkan Kapolri untuk menunda penyidikan kasus Bibit dan Chandra, apalagi menahan mereka.

Dalam hal ini, masalah ayam dan telur harus dipecahkan dulu. Bibit dan Chandra dibidik Polri karena mereka menyadap telepon petinggi Polri, bahkan mempermalukan institusi Polri di mata rakyat Indonesia. Namun, KPK berkelit, mereka punya dasar kuat untuk melakukan penyelidikan. Mana lebih dulu? Jawabannya, bongkar misteri rekaman percakapan yang kini menjadi rahasia publik. Dari situ akan diperoleh indikasi apakah KPK atau Polri yang melenceng.

Ketiga, jika misteri dalam butir kedua sudah terkuak, Presiden perlu mengambil tindakan tegas terhadap pimpinan Polri dan Kejaksaan Agung. Presiden perlu diingatkan sejarah lahirnya KPK. KPK lahir karena (a) desakan reformasi untuk memberantas korupsi, mengingat korupsi menjadi salah satu penyebab pokok gagalnya bangsa Indonesia menjadi bangsa bermartabat di antara bangsa-bangsa dunia; (b) buruknya citra dan kinerja Polri dan kejaksaan selama puluhan tahun dalam penegakan hukum.

Belum Terlambat

Presiden belum terlambat untuk memperbaiki citra kepemimpinan, sehubungan dengan penahanan Bibit dan Chandra.

Untuk itu, presiden perlu mencermati opini publik, sebab sebenarnya opini publik adalah salah satu pilar sistem demokrasi. Semua presiden Amerika Serikat, setiap subuh berkewajiban untuk mencermati opini publik terkini terkait kasus besar yang dihadapi bangsa dan negaranya. Bukankah hal itu juga bisa dilakukan Presiden Yudhoyono?

Kebijakan dan tindakan presiden selamanya tidak akan efektif manakala bertabrakan dengan opini publik, apalagi opini publik yang benar-benar solid.

Tjipta Lesmana, Ahli Komunikasi Politik

Sumber: Kompas, Sabtu, 31 Oktober 2009

Cicak-cicak Bersatulah!

Oleh: Teten Masduki

Penyair WS RENDRA dalam puisinya pernah menyerukan Bersatulah Pelacur Pelacur Kota Jakarta, yang ditulis sewaktu almarhum belajar di Amerika pertengahan tahun 1970-an. Puisi itu ditulis dalam lembaran surat balasan kepada sahabatnya di dalam negeri yang menceritakan kenestapaan pelacur-pelacur Ibu Kota yang tidak mendapat perlindungan polisi.

Seorang teman menganjurkan mencatut judul puisi itu dalam tulisan ini untuk membangunkan kesadaran “cicak-cicak”. Bahwa niat baik, dan seberapa kuat legitimasi perlawanan korupsi, tidaklah banyak menolong berhadapan dengan kekuatan besar yang terorganisasi. Sebab, ancaman terhadap agenda pemberantasan korupsi kini bukan sekadar wacana.

Penahanan Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah, dua Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) nonaktif, memperlihatkan pertarungan “cicak” dan “buaya” makin sengit. Sepertinya kepolisian dan Kejaksaan Agung panik melihat opini masyarakat yang mulai meragukan kredibilitas polisi dan jaksa menyusul beredarnya transkrip rekaman yang mengonfirmasi adanya dugaan rekayasa kriminalisasi terhadap Bibit dan Chandra.

Seolah dengan penahanan itu dua hal sekaligus bisa diperoleh, menghambat gerak perlawanan kedua tersangka dan sekaligus menunjukkan keperkasaan mereka. Atau barangkali polisi sudah menemukan bukti kuat bahwa mereka menerima suap, yang sejauh ini menjadi kelemahan sangkaan pidana terhadap mereka yang dituding cuma melakukan penyimpangan prosedur pencekalan.

Rekayasa Kriminalisasi

Transkrip rekaman pembicaraan antara pejabat kejaksaan dan pihak-pihak yang terkait kasus korupsi yang sedang ditangani KPK tersebut bukan saja menyingkap adanya dugaan rekayasa kriminalisasi terhadap kedua unsur pimpinan KPK itu, tetapi jauh dari pada itu memperlihatkan bahwa unsur-unsur busuk masih menguasai kekuasaan formal kita.

Memang sangat menyakitkan. Di tengah semangat masyarakat untuk keluar dari lilitan korupsi yang telah menempatkan bangsa ini pada harkat budaya yang paling hina, masuk dalam kelompok negara terkorup di dunia, masih ada anasir-anasir lama yang berusaha merevitalisasi rezim korupsi di negeri ini.

Sedikit banyak KPK, yang lahir dari rahim reformasi, telah mengganggu rezim korupsi. Belakangan KPK malah mulai menyentuh nenek moyang korupsi yang berbasis pada patronase politik dan bisnis, meski belum mengusut sumber-sumber dana politik. Dalam hal tertentu KPK juga telah mempermalukan reputasi polisi dan kejaksaan. Bisnis perlindungan hukum bagi koruptor menjadi hancur ketika KPK bisa dengan mudah menyeret koruptor ke penjara meski polisi dan jaksa sudah menutup kasusnya rapat- rapat dengan alasan klasik: tidak cukup bukti.

Kita sebenarnya mengharapkan ada dukungan politik tingkat tinggi terhadap KPK. Presiden yang mengklaim punya perhatian terhadap pemberantasan korupsi mestinya berdiri di belakang KPK dalam melawan upaya-upaya yang mau melemahkan KPK. Menimbulkan kontroversi di masyarakat ketika semalam sebelum penetapan tersangka kedua unsur pimpinan KPK itu oleh polisi, Presiden hadir dalam acara buka puasa di Mabes Polri. Untung saja Presiden juga cepat merespons kekhawatiran masyarakat ketika akan mengangkat sendiri pejabat sementara pimpinan KPK pengganti tiga unsur pimpinan KPK yang sedang diproses di pengadilan, dengan menyerahkannya kepada tim seleksi independen dan hasilnya relatif bisa diterima masyarakat.

Sekarang Presiden pun dicatut namanya dalam transkrip rekaman rekayasa hukum itu. Tentu kita tidak mengharapkan Presiden sekadar membersihkan dirinya dari pencatutan itu, tetapi menunjukkan kualitas kepemimpinannya dalam menyelesaikan karut-marut konflik antara “cicak dan buaya” ini. Saat ini momen yang tepat untuk menata kembali hubungan konstruktif semua kelembagaan antikorupsi itu yang sekarang saling sikut. Presiden harus memberi dukungan kepada KPK untuk mengusut pihak-pihak yang terlihat dalam rekayasa kriminalisasi ini.

Presiden biasanya enggan dipersepsikan publik bahwa ia melakukan intervensi politik terhadap kemandirian penegakan hukum, karena memang polisi dan kejaksaan yang bermasalah dengan KPK berada di bawah kekuasaan Presiden. Dan tidak mungkin membersihkan negeri ini dari korupsi tanpa KPK yang kuat, karena masih diperlukan waktu dan upaya yang panjang untuk memulihkan institusi polisi dan kejaksaan untuk bisa berada di garda terdepan pemberantasan korupsi.

Serangan balik koruptor terhadap KPK barangkali tidak akan pernah reda. Serangan mematikan yang harus diwaspadai akan mengarah pada pemangkasan kewenangan formal dan infiltrasi agen-agen korupsi ke dalam tubuh KPK. Dalam skala dukungan politik yang sangat lemah, tidak ada jalan lain, KPK harus membangun sistem kekebalan internal dan mengapitalisasi dukungan masyarakat yang sangat besar sebagai kekuatan legitimasi mereka.

Tidak Tuntas

Sayangnya dalam pertarungan ini KPK tampil agak ragu-ragu dan kurang percaya diri. Kalau saja mau, KPK bisa menyeret hampir separuh anggota DPR dari sejumlah kasus yang mereka tangani. Dalam banyak kasus, KPK tidak pernah menebas habis semua pelakunya. Padahal, seperti membasmi virus, mestinya KPK tidak boleh menyisakan benih-benih kotor yang akan berkembang biak atau memberikan perlawanan.

Dalam kasus dugaan pemerasan oleh pejabat kepolisian pada kasus Bank Century, KPK membiarkan isunya berkembang tanpa berani menuntaskan.

Saya yakin KPK pun bisa menggunakan rekaman itu, yang pasti informasinya jauh lebih lengkap dari secuil transkrip rekaman yang beredar saat ini, untuk menghentikan kriminalisasi terhadap KPK terus berlanjut. Padahal, mereka bisa melakukan itu atas nama mandat supervisi yang dimiliki oleh KPK terhadap kepolisian dan kejaksaan.

Atau mungkin kita tak bisa mengharapkan cicak melakukan lompatan besar karena cicak hanya bisa merayap diam-diam melahap mangsanya, seperti hampir semua anak prasekolah bisa menyanyikan lagu “Cicak-cicak di Dinding”.

Teten Masduki, Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia

Sumber: Kompas, Jumat, 30 Oktober 2009

Bersatu Mengganyang Korupsi

Oleh: Widodo Dwi Putro

SEEKOR katak secara refleks dapat melompat menyelamatkan diri jika ia secara tiba-tiba dimasukkan ke dalam kuali yang berisi air mendidih. Namun, jika dari awal katak itu dimasukkan ke dalam kuali yang airnya dingin, ia akan diam karena berada dalam zona nyaman.

Sekalipun air itu dipanaskan secara perlahan-lahan, si katak tetap akan diam. Bahkan, si katak terlelap tidur!

Dia tidak berusaha menyelamatkan diri karena menikmati hangatnya perpindahan suhu air. Ini berarti si katak sudah beradaptasi dengan panasnya air karena dari awal dia sudah beradaptasi dengan “ancaman lambat”. Akibatnya, si katak tidak pernah menyadari adanya ancaman lambat hingga ia mati dalam air mendidih dan lebih celaka menikmatinya (Peter Senge, The Fifth Discipline, 1990).

Korupsi Meluas

Mutatis mutandis, Indonesia juga mengalami keadaan seperti “balada katak rebus” itu: kurang memiliki kepekaan terhadap ancaman korupsi. Korupsi bermula dari kejadian kecil-kecilan pada akhir tahun 1960-an, sekarang sudah berubah dan berkembang menjadi extra-ordinary crime (kejahatan luar biasa).

Pada tahun 1967 Jenderal (Purn) Abdul Haris Nasution, yang mulai mengkhawatirkan perkembangan korupsi, sudah mengingatkan, jika korupsi terus dibiarkan, akan berbahaya bagi masa depan bangsa. Saat itu mulai terdengar menteri-menteri yang didakwa korupsi. Seorang petinggi Orde Baru ketika itu bisik-bisik menyebut korupsi seperti “kentut tidak kelihatan, tetapi terasa baunya”.

Korupsi mulai meluas antara lain ditandai kemunculan bentuk-bentuk korupsi baru yang tidak dilakukan secara individual, melainkan secara kolektif. Bangsa kita bukannya tidak sadar akan ancaman kejahatan luar biasa karena sudah sejak reformasi “keadaan darurat perang melawan korupsi” dilontarkan. Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi secara tragis justru dibubarkan Mahkamah Agung setelah berupaya memeriksa sejumlah hakim agung yang diduga terlibat mafia peradilan.

Dalam sejarah pemberantasan korupsi, Indonesia pernah memiliki enam komisi atau lembaga antikorupsi sejenis Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang telah bubar atau dipaksa dibubarkan. Diperlukan komisi independen dalam pemberantasan korupsi karena di samping penegak hukum konvensional gagal memberantas korupsi, hukum juga tidak mungkin mengarah kepada aparat penegak hukum sendiri sehingga diperlukan lembaga yang mempunyai kewenangan superbody.

Belakangan ini, penegak hukum bukannya serius memerangi korupsi, tetapi seolah justru sibuk memeriksa kelompok antikorupsi. Setelah polisi menjerat petinggi KPK, sekarang jaksa berusaha memenjarakan aktivis propemberantasan korupsi (ICW) dengan pasal karet pencemaran nama baik.

Para koruptor bersorak menikmati siaran langsung pertarungan antara “buaya dan cicak”. Sejak itu, kita tidak pernah lagi mendengar ada koruptor kelas kakap yang diperiksa.

Bersatu Padu

Kalau kita andaikan para koruptor melakukan kerja sama secara rapi untuk melakukan korupsi, mengapa polisi, jaksa, hakim, dan KPK justru saling berhadapan satu sama lain. Mengapa mereka tidak bekerja bersama-sama untuk menghadapi musuh bersama, yaitu korupsi dan koruptor?

Terdengar aneh, aparat penegak hukum sibuk bertikai di antara mereka sendiri. Namun, itulah yang terjadi sekarang ini, aparat penegak hukum mengalami disorientasi dalam pemberantasan korupsi. Komponen penegakan hukum (polisi, jaksa, hakim, dan KPK) saling berhadapan demi menjaga dan melindungi korps.

“Perang saudara” antarsesama aparat penegak hukum hanya akan memberi napas para koruptor untuk bangkit dan menyusun kekuatan kembali. Apabila semua komponen aparat penegak hukum tidak kunjung bekerja sama dan bersatu padu memberantas korupsi, para koruptor bernapas lega. Para koruptor hanya takut apabila semua komponen bersatu padu memberantas korupsi.

Artikel Prof Satjipto Rahardjo, “Saatnya Melakukan Konsolidasi” (Kompas, 12/10/2009), menggugah aparat penegak hukum untuk bekerja sama memberantas korupsi. Warga sebuah republik yang sudah lama babak belur didera korupsi berharap bisa melihat polisi dan jaksa tidak lagi “bertikai” berhadapan dengan KPK. Semangat korps dan bendera menjadi tidak penting sehingga apabila ada “orang dalam” yang terlibat korupsi atau melindungi koruptor, harus didudukkan sebagai warga negara biasa untuk diperiksa menurut hukum yang berlaku. Bangsa ini sudah sekarat karena korupsi.

Ada kepentingan bangsa yang lebih besar yang harus diselamatkan dan didahulukan.

Widodo Dwi Putro, Dosen Fakultas Hukum Universitas Mataram

Sumber: Kompas, Jumat, 30 Oktober 2009

Berantas Korupsi atau KPK?

Oleh: Febri Diansyah

NAMA Presiden SBY dicatut dalam salah satu transkrip rekaman percakapan seorang perempuan dan petinggi Kejaksaan Agung.

Sejumlah nama pejabat kepolisian yang relatif akrab di mata publik terkait fabel “cicak vs buaya” pun muncul kembali. Juru Bicara Kepresidenan membantah pembicaraan itu dan menyatakan sebagai pencatutan nama SBY. Pertanyaannya, benarkah rekaman ini? Sekronis itukah kondisi aparatus hukum di Indonesia? Namun, rekaman ini berhubungan dengan penetapan tersangka dua unsur pimpinan KPK.

Untuk pertanyaan pertama, secara tegas Pelaksana Tugas Ketua KPK menyatakan rekaman itu ada. KPK melakukan penyadapan terkait kasus korupsi Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT) (Kompas, 27/10). Melalui kasus ini, anggota Komisi IV DPR 2004-2009 telah dinyatakan bersalah oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Kasus dugaan korupsi Masaro yang melibatkan Anggoro Widjojo dimulai dari korupsi SKRT. Maka, dapat ditebak penyadapan oleh KPK dimulai dari orang-orang yang sering berkomunikasi dengan “lingkaran Anggoro”. Dalam konteks kewenangan, KPK dinilai menjalankan salah satu tugas penyelidikan seperti dijamin pada Pasal 12 Ayat (1) Huruf a UU KPK.

Jika dicermati, dari kasus Masaro inilah sejumlah malapetaka silih berganti menghadang kerja pemberantasan korupsi KPK. Bahkan, isu suap terhadap pimpinan dan sejumlah anggota staf lembaga antikorupsi ini sempat ditiupkan pihak tertentu. Hingga, dua unsur pimpinan KPK ditetapkan sebagai tersangka oleh Mabes Polri (16/9). Ditambah polemik Bank Century, akhirnya istilah yang meremehkan KPK, “cicak kok mau lawan buaya”, terucap dari salah satu petinggi kepolisian.

Semua catatan itu menjadi kian menakjubkan saat beberapa bagian dari transkrip hasil penyadapan KPK beredar di publik. Masyarakat agaknya kian meragukan motivasi di balik proses hukum terhadap dua unsur pimpinan KPK. Poin paling menarik adalah kegeraman oknum petinggi institusi penegak hukum dan aktor dari kalangan mafia-bisnis terhadap KPK. Jika saja KPK ditutup dan mati, tentu mereka akan menjadi “pahlawan”. Secara teoretis, persekongkolan ini mengantar pemikiran pada konsepsi “oligarki kekuasaan” sebagai akar korupsi. Bahwa, persekongkolan mafia bisnis dengan penegak hukum dan dukungan otoritas politik membangun bangunan koruptif yang amat kuat.

Kebuntuan Hukum

Ketika tiga pilar oligarki kekuasaan itu bersatu, hampir tidak mungkin penegakan hukum berjalan dengan benar, kecuali kronik “rekayasa kriminalisasi” ini diusut tuntas lebih dulu. Sistem hukum Indonesia, khususnya konsep criminal justice system, akan mengalami disfungsi jika penegak hukum terkooptasi korupsi.

Terungkapnya komunikasi intensif di antara sejumlah elite penegak hukum bisa jadi memenuhi kriteria “oligarki kekuasaan”. Ditambah, otoritas politik seperti parlemen dan parpol yang juga terkesan amat resisten dengan keseriusan pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK.

Belajar dari sejumlah kasus korupsi besar yang pernah diungkap KPK, perselingkuhan mafia politik dan mafia bisnis sebenarnya mudah dibaca. Sebut saja, aliran dana Bank Indonesia; alih fungsi hutan dan suap anggota DPR; suap jaksa UTG; dan kasus skandal BLBI yang tak kunjung jelas hingga kini.

Kita tahu, kasus BLBI Sjamsul Nursalim yang sebelumnya ditangani Kejaksaan Agung berakhir dengan SP3 dengan alasan tidak ada unsur pidana. Padahal, tidak lama setelah itu, KPK menangkap tangan transaksi suap terhadap Ketua Tim Jaksa BLBI itu. Hal ini menjadi catatan penting masyarakat bahwa saat sebuah kasus memiliki dimensi aktor politik-bisnis dan oknum penegak hukum korup, niscaya proses hukumnya di lembaga konvensional akan bermasalah.

Beberapa karakter itu mungkin mirip dengan penanganan dugaan penyalahgunaan wewenang dua unsur pimpinan KPK. Unsur Anggoro dari kalangan bisnis (PT Masaro) yang berstatus tersangka dan buron KPK memegang peran penting. Setidaknya dari transkrip komunikasi antara petinggi institusi penegak hukum dan “orang dekat” Anggoro memberikan sinyal adanya upaya mengarahkan penanganan kasus pimpinan KPK. Mungkin, inilah yang disebut “rekayasa”.

Atau, jika tidak terjadi persekongkolan, minimal ada persinggungan kepentingan antara pihak-pihak yang “terganggu” dan keberadaan KPK sehingga muncul salah satu frase dalam transkrip rekaman itu bahwa “KPK akan ditutup”.

Poin penting yang ingin disampaikan dari deretan dan perbandingan fenomena itu adalah adanya “kebuntuan hukum”. Mekanisme hukum konvensional di kepolisian dan kejaksaan diperkirakan tidak akan berjalan efektif jika dugaan rekayasa dalam rekaman penyadapan itu tak diusut lebih dulu sehingga frase standar “penyelesaian ini kita serahkan kepada proses hukum” menjadi tidak relevan, bahkan cenderung naif. Terutama jika “proses hukum” yang dimaksud hanya tahap dan prosedur standar seperti berjalan saat ini.

Alasannya, bukan karena Polri dan kejaksaan tidak bisa dipercaya. Justru, saat ini nama baik kedua lembaga itu harus diselamatkan. Kekhawatiran publik lebih pada sejumlah oknum yang disebut dalam rekaman itu, ternyata orang-orang yang punya pengaruh terhadap kasus pimpinan KPK. Dikhawatirkan, proses hukum yang dihasilkan tidak lagi adil jika orang-orang yang memegang kendali sulit dipercaya.

Pada titik itulah ketegasan Presiden membentuk tim penyelidik dan investigasi independen amat dinanti. Tujuan pembentukan tim ditekankan pada upaya mengoreksi proses hukum dan memperkuat pemberantasan korupsi. Lebih dari itu, hasil investigasi tim tentu amat bernilai bagi kredibilitas Presiden SBY di mata Indonesia dan internasional.

Jika Presiden benar-benar komit dengan pemberantasan korupsi, sebaiknya penelusuran fakta di balik rekaman ini dilakukan secara akuntabel dan terbuka. Lalu, kriminalisasi dua unsur pimpinan KPK dihentikan serta dilakukan restrukturisasi Polri dan kejaksaan. Presiden sebagai otoritas politik eksekutif tertinggi di Indonesia perlu memastikan dan mengawasi kinerja institusi penegak hukum. Harus dipastikan, apakah saat ini berbagai pihak sedang melakukan penegakan hukum dan pemberantasan korupsi, atau justru sedang bersekongkol melemahkan KPK? Seperti ditulis dalam sebuah mural cicak di jalanan Jakarta, “Mau Berantas Korupsi, atau Berantas KPK?”

Febri Diansyah, Peneliti Hukum; Anggota Badan Pekerja ICW

Sumber: Kompas, Kamis, 29 Oktober 2009

KPK, Si Monster Frankenstein

Oleh: Triyono Lukmantoro

JIKA benar ada rekayasa proses kriminalisasi terhadap dua unsur pimpinan nonaktif Komisi Pemberantasan Korupsi, Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah, nasib KPK bagai makhluk yang diciptakan Victor Frankenstein dalam novel yang ditulis Mary Shelley (1797-1851).

Frankenstein adalah ilmuwan ambisius yang mempelajari bagaimana menciptakan kehidupan dan melahirkan makhluk yang menyerupai manusia. Makhluk ciptaannya lebih besar dari manusia dan amat kuat. Setelah Frankenstein bisa memberi kehidupan terhadap makhluk itu, ternyata tampangnya menjijikkan dan menebarkan ketakutan.

Meski dipandang ganas, monster itu baik hati karena sudi membantu sebuah keluarga petani. Monster itu sekadar menanyakan identitas diri dan siapa orangtua yang melahirkannya. Monster itu bisa diprogram untuk memenuhi agenda yang diinginkan Frankenstein. Namun, karena tidak lagi dikehendaki mengarungi kehidupannya sendiri, monster itu dilenyapkan dari muka bumi. Frankenstein layaknya dikerangkeng dalam ambisinya sendiri.

“Monster” KPK

Itulah yang terjadi saat kalangan elite politik menciptakan aneka makhluk yang mampu memberantas korupsi. Pada awalnya makhluk itu bertugas mengawasi kekayaan penyelenggara negara. Namun, karena tugas itu dirasakan kurang berbobot, makhluk itu ditingkatkan kewenangannya.

Kemampuan menyadap, menahan, dan menuntut diberikan kepada makhluk itu. Karena semua kemampuan itu justru dipandang mengganggu para penciptanya, berbagai upaya untuk melenyapkannya secara sistematis pun dijalankan secara terbuka. Itulah KPK saat dilihat sebagai monster yang menjijikkan dan sedemikian ganas.

Monster itu amat tahu bahwa tugas utamanya adalah memberangus korupsi dari negeri yang dikendalikan para penguasa berwatak pencuri. Namun, ternyata tugas mulia itu tidak dikehendaki para penciptanya. Para penguasa politik yang bermain sebagai Frankenstein itu sekadar menginginkan bahwa sang monster diciptakan dari proses-proses kimiawi dan sisa-sisa tubuh manusia yang membusuk.

Artinya adalah monster itu dihadirkan sebagai manusia tiruan yang dipajang pada etalase kekuasaan. Sebagai penghuni etalase, sosok itu hanya diinginkan untuk memperindah kekuasaan sehingga populer dan mendapatkan decak kekaguman dari rakyat. Monster itu bukan bertugas untuk memangsa para penciptanya sendiri. Namun, apa yang terjadi, ternyata makhluk antikorupsi itu menjebol dinding etalase yang membatasinya dan mulai memburu kalangan penciptanya yang berbuat korupsi.

Menghabisi Kehidupan

Berbagai metode untuk menghabisi kehidupan KPK membuktikan absurditas kekuasaan sedang merajalela. Seperti layaknya Frankenstein yang sangat berambisi menciptakan makhluk yang mampu melebihi manusia biasa, tetapi makhluk itu justru tidak disenangi.

Absurditas dalam domain persoalan ini tidak sebatas sebagai sesuatu yang tidak masuk akal, tetapi juga sesuatu yang telah menjauhi nurani manusia kebanyakan. Bagaimana mungkin makhluk yang dikehendaki kelahirannya oleh penguasa justru hendak dimatikan sendiri.

Absurditas, ungkap Albert Camus (1913-1960), adalah perasaan keterasingan. Perasaan ini muncul di antara dunia dan tuntutan yang harus dibuat berdasarkan pada perhitungan-perhitungan rasional.

Absurditas makin besar karena ada konfrontasi antara kebutuhan manusia dan ketidakbernalaran yang tersembunyi. Untuk mencari jawabannya jelas sangat sulit ditemukan. Suatu jawaban yang benar-benar masuk akal justru disangkal. Jawaban-jawaban lain terus diburu, tetapi berujung pada keadaan yang semakin tidak menentu.

Melenyapkan KPK

Ketika para elite kekuasaan berupaya keras melenyapkan KPK, ada berbagai mekanisme yang ditempuh, dari mekanisme politik yang ditangani wakil rakyat hingga strategi hukum yang dikendalikan kepolisian dan kejaksaan. Semakin cara politik dan hukum digulirkan, semakin pula ketidakmasukakalan mudah dirasakan rakyat kebanyakan.

Padahal, absurditas kekuasaan itu amat mudah dikuak persoalannya. Jika korupsi dianggap sebagai kejahatan yang melawan kemanusiaan dan sulit diberantas dengan teknik-teknik hukum yang biasa, jawabannya adalah menggulirkan regulasi yang luar biasa. Dengan demikian, jawaban dari semua itu adalah mengukuhkan dan membesarkan KPK, bukan menjadikan KPK sekadar sebagai makhluk pemanis etalase kekuasaan.

Para elite politik beraksi bagai menggantikan posisi Tuhan, yakni menciptakan makhluk yang diidamkannya sendiri, tetapi saat tidak dikehendaki kehadirannya, sang makhluk lalu dimatikan.

Pada ranah politik, fenomena itu dianggap sebagai hal lumrah. Namun, dalam tataran etika, perilaku itu pantas dinamakan sebagai hubris, yakni aksi kesombongan, arogansi, yang berupaya merendahkan dan menjadikan korbannya dihinggapi perasaan malu. Bukankah tindakan itu yang dijalankan kepada dua unsur pimpinan KPK dengan menjadikan mereka sebagai tersangka?

Melawan Kehendak Umum

Sisi lain yang amat buruk dari para penguasa yang dihinggapi hubris adalah tindakan-tindakan mereka amat menentang kehendak umum. Jika dalam demokrasi ada aksioma yang menyatakan suara rakyat adalah suara Tuhan, tidakkah elite kekuasaan yang hendak merontokkan kehidupan KPK bertentangan dengan suara rakyat yang berarti menentang suara umum?

Para elite kekuasaan yang membunuh eksistensi KPK sama dengan menjatuhkan para protagonis. Sebab, bagaimanapun, posisi KPK dalam panggung politik pemberantasan korupsi ialah sebagai pihak yang memegang peran protagonis bagi rakyat, sebaliknya para koruptor berkedudukan sebagai antagonis yang melukai hati rakyat.

Tidak berlebihan jika dikemukakan, KPK telah mendapatkan simpati rakyat. Kehadirannya bagai Prometheus yang mencuri api dari para dewa untuk memberikan pengetahuan kepada rakyat. Namun, para dewa tidak berkenan dengan perilaku Prometheus, lalu dihukum oleh Zus dengan mengikatnya pada sebongkah batu. Seekor elang besar memakan hati Prometheus. Saat hati itu pulih lagi, elang besar itu menyantapnya pada hari berikut. Perumpamaan itulah yang sedang terjadi pada KPK.

Ini semua terjadi karena KPK telah dipandang sebagai monster menjijikkan dan menakutkan sehingga para Frankenstein kekuasaan berusaha membunuhnya agar tak menjadi santapan monster ciptaannya sendiri.

Triyono Lukmantoro, Dosen FISIP Universitas Diponegoro, Semarang

Sumber: Kompas, Rabu, 28 Oktober 2009

Agenda Antikorupsi SBY Jilid II

Oleh: Oce Madril

PIDATO Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada saat pelantikan mendapat pujian dari banyak kalangan. Pada awal pidato SBY mengatakan esensi program pemerintahan lima tahun mendatang adalah peningkatan kesejahteraan rakyat, penguatan demokrasi, dan penegakan keadilan, “Prosperity, Democracy and Justice.” Untuk mencapai hal tersebut, tak lupa SBY memasukkan agenda pemberantasan korupsi.

Pemberantasan korupsi sepertinya masih menjadi kata kunci yang ditunggu-tunggu masyarakat. Bagaimana tidak, sampai saat ini, Indonesia masih termasuk dalam jajaran negara-negara terkorup di dunia dan Asia. Setidaknya menurut survei Transparency International (TI), Indonesia masih berada di urutan ke-126 dengan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 2,6. Walaupun IPK-nya naik dari tahun sebelumnya, hal itu tidak cukup mengangkat posisi Indonesia untuk bisa keluar dari daftar negara-negara terkorup.

Agar komitmen antikorupsi tidak sekadar ucapan belaka, sebaiknya Presiden SBY segera membuktikannya dengan program-program konkret. Salah satunya membenahi institusi penegak hukum.

Benahi Kejaksaan

Baik atau buruknya pemberantasan korupsi sebuah rezim politik dapat dilihat dari kinerja penegak hukum yang ada di bawahnya secara struktural, khususnya institusi kejaksaan. Kejaksaan adalah perpanjangan tangan presiden untuk penegakan hukum, khususnya pemberantasan korupsi. UU Kejaksaan dengan tegas menyatakan bahwa kejaksaan merupakan lembaga pemerintah yang bertugas melakukan penuntutan. Penetapan susunan organisasi dan tata kerja kejaksaan juga merupakan kewenangan presiden. Karena itu, kondisi kejaksaan mencerminkan kinerja penegakan hukum pemerintah.

Beberapa survei publik menyatakan bahwa institusi kejaksaan merupakan sektor penegakan hukum yang mesti direformasi. Sebagaimana hasil penelitian Partnership for Governance Reform (2007) yang menyatakan bahwa kejaksaan bersama-sama dengan pengadilan dan kepolisian merupakan lembaga dengan intensitas korupsi tertinggi. Kemudian, dalam Indeks Persepsi Korupsi dan Indeks Suap 2008 yang dirilis TI disebutkan bahwa seluruh kelompok responden (tokoh masyarakat, pelaku bisnis, dan pejabat publik) menyatakan bahwa institusi penegak hukum merupakan prioritas sektor yang harus dibersihkan dari perilaku koruptif.

Selain citra buruk, kejaksaan dinilai sering melakukan blunder kebijakan yang bertolak belakang dengan semangat pemberantasan korupsi. Di antaranya tren penetapan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) dalam kasus-kasus korupsi. SP3 ini jelas bermasalah karena alasan SP3 selama ini adalah bukan merupakan kasus pidana, tidak ada kerugian negara, dan kekurangan alat bukti. Alasan tersebut tentu tidak bisa diterima karena proses penentuan peningkatan status dari penyelidikan ke penyidikan seharusnya sudah melewati proses internal kejaksaan, bahkan untuk kasus besar harus diputuskan Jaksa Agung. Status tersangka menandakan bahwa telah ditemukan bukti awal yang berkaitan dengan tindak pidana tertentu. Dengan demikian, jika masih di-SP3 berarti ada masalah mendasar pada proses pengambilan keputusan di internal kejaksaan dan justru patut dikhawatirkan menjadi ranah “mafia peradilan”.

Kejaksaan juga bermasalah terkait uang pengganti kerugian negara. Catatan audit BPK per Desember 2007 melaporkan bahwa dana Rp 7,72 triliun belum diselesaikan/belum disetor ke kas negara. ICW pernah mempermasalahkan ketidakjelasan pengelolaan dana tersebut. Namun, upaya itu berujung pada penetapan tersangka pada dua aktivis ICW karena dianggap telah mencemarkan nama baik Kejagung. Selain itu, kejaksaan lemah dalam menindaklanjuti hasil temuan BPK. Dari 266 temuan BPK pada 2008, 200 (75,19%) di antaranya belum ditindaklanjuti. Tingkat kepatuhan sangat rendah, yakni hanya 24,81 persen.

Karut-marut kondisi kejaksaan tersebut harus segera dibenahi. Salah satu cara yang patut dipertimbangkan oleh Presiden SBY adalah melakukan penyegaran di tubuh Kejagung dengan mengganti Jaksa Agung saat ini beserta jajaran pimpinan lain Kejagung. Penggantian ini perlu dilakukan atas pertimbangan dua hal. Pertama, kinerja Jaksa Agung Hendarman Supandji tidak menunjukkan pencapaian yang signifikan dalam hal penegakan hukum antikorupsi. Alih-alih memperbaiki kinerja, kejaksaan malah semakin terperosok dalam citra yang semakin memburuk. Kedua, unsur pimpinan Kejagung saat ini telah kehilangan kepercayaan publik. Beragam peristiwa kontroversial dan kebijakan yang tidak populis telah mengikis rasa kepercayaan publik terhadap pimpinan Kejagung. Mereka telah kehilangan dukungan moral sehingga cukup sulit diharapkan mampu mengangkat citra dan kinerja dalam rentang waktu kepeminpinan SBY jilid II. Karena itu, penggantian Jaksa Agung dan jajaran pimpinan Kejagung lain perlu dilakukan demi menyelamatkan agenda pemberantasan korupsi SBY jilid II.

Perkuat KPK

Tak kunjung membaiknya kinerja kejaksaan dalam pemberantasan korupsi menyebabkan tidak adanya pilihan lain selain memperkuat KPK. Kinerja yang ditunjukkan KPK selama ini telah menghadirkan kepercayaan publik, baik dalam negeri maupun internasional, bahwa Indonesia serius memberantas korupsi. KPK tercatat telah berhasil menyeret sejumlah pejabat negara, baik di pusat maupun daerah, anggota legislatif dan pejabat publik lain serta pengusaha swasta yang melakukan korupsi. Melalui kewenangan penindakan dan pengawasan jalannya pemerintahan, KPK telah berperan dalam mendorong terjadinya reformasi birokrasi di tubuh institusi pelayanan publik. KPK juga tercatat telah mampu menghadirkan tradisi tertib hukum para pejabat tinggi negara, baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif melalui mekanisme pelaporan harta kekayaan negara.

Setidaknya, catatan-catatan posisitf tersebut harus senantiasa dijaga dan diperkuat. Presiden SBY harus memastikan bahwa KPK tidak dilemahkan. Berbagai upaya terkini untuk melemahkan independensi dan kewenangan KPK harus segera dihentikan. Dukungan politik presiden mestinya diberikan agar KPK menjadi institusi yang kuat, stabil, dan efektif yang selaras dengan amanat United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) yang diratifikasi Indonesia pada 2006. Jika pemerintah gagal melindungi KPK, hal itu akan menggagalkan semua upaya menghapus korupsi dan berdampak kepada kredibilitas politik dan ekonomi.

Oce Madril, Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi FH UGM, Master Student Law and Governance Program, Nagoya University, Jepang

Sumber: Jawa Pos, Rabu, 28 Oktober 2009
-

Arsip Blog

Recent Posts