Lorenzo Pole Tanpa Sesi Kualifikasi

Estoril - Jorge Lorenzo akan start dari posisi terdepan pada GP Portugal, Minggu (31/10/10). Sang juara bertahan tersebut meraih pole position tanpa harus melewati fase kualifikasi, karena sesi tersebut (kualifikasi) dibatalkan akibat hujan deras yang mengguyur Sirkuit Estoril, Sabtu (30/10/10).

Ya, cuaca selama akhir pekan ini memang sangat tidak bersahabat. Setelah pada hari Jumat (29/10/10) latihan pertama tak berlangsung sempurna, sehingga hanya beberapa pebalap yang bisa mencoba trek akibat hujan deras disertai angin kencang, kondisi serupa juga terjadi jelang kualifikasi.

Berdasarkan hasil pengecekan keadaan lintasan dengan safety car, panitia lomba memutuskan untuk menunda selama 30 menit dari jadwal kualifikasi. Tetapi setelah menunggu selama setengah jam, ternyata kondisi trek tetap buruk dan tidak memungkinkan bagi pebalap menjalani sesi kualifikasi.

Alhasil, diputuskan bahwa hasil latihan kemarin yang menjadi patokan untuk menentukan posisi start pebalap pada hari Minggu nanti. Berdasarkan itulah, maka Lorenzo yang berhak menempati pole, disusul pebalap Ducati Nicky Hayden, serta rekan setimnya di Fiat Yamaha, Valentino Rossi.

Grid kedua dihuni pebalap Ducati Casey Stoner, disusul Ben Spies (Tech 3 Yamaha) dan Marco Melandri (Gresini Honda). Selanjutnya, berturut-turut ada Andrea Dovizioso (Repsol Honda), Randy de Puniet (LCR Honda), Colin Edwards (Yamaha Tech 3) dan Marco Simoncelli (Gresini Honda), yang melengkapi posisi 10 besar.

GP Portugal ini juga akan ditandai dengan kembalinya pebalap Repsol Honda Dani Pedrosa, serta pebalap Pramac Ducati Carlos Checa. Pedrosa akan lakukan debutnya setelah absen di tiga seri terdahulu akibat jatuh di Jepang dan cedera patah tulang selangka, sedangkan Checa, yang baru selesai tampil di Superbike, menggantikan posisi Mika Kallio.

- Hasil latihan yang dijadikan hasil kualifikasi
Pos Rider Team Time Gap
1. Jorge Lorenzo Yamaha 1m48.853s
2. Nicky Hayden Ducati 1m49.435s + 0.582s
3. Valentino Rossi Yamaha 1m50.007s + 1.154s
4. Casey Stoner Ducati 1m50.081s + 1.228s
5. Ben Spies Tech 3 Yamaha 1m50.313s + 1.460s
6. Marco Melandri Gresini Honda 1m50.500s + 1.647s
7. Andrea Dovizioso Honda 1m50.787s + 1.934s
8. Randy de Puniet LCR Honda 1m50.824s + 1.971s
9. Colin Edwards Tech 3 Yamaha 1m51.250s + 2.397s
10. Marco Simoncelli Gresini Honda 1m51.518s + 2.665s
11. Aleix Espargaro Pramac Ducati 1m51.916s + 3.063s
12. Dani Pedrosa Honda 1m52.734s + 3.881s
13. Loris Capirossi Suzuki 1m53.018s + 4.165s
14. Alvaro Bautista Suzuki 1m53.317s + 4.464s
15. Hector Barbera Aspar Ducati 1m53.537s + 4.684s
16. Hiroshi Aoyama Interwetten Honda 1m53.933s + 5.080s
17. Carlos Checa Pramac Ducati 1m54.073s + 5.220s
(Aloysius Gonsaga AE)

Jejak Kekayaan Kerajaan Majapahit

Surabaya, Jawa Timur - Detik demi detik kejayaan Majapahit seakan hilang dimakan waktu karena hanya segelintir orang yang mengenal sosok kerajaan itu. Menurut budayawan kelahiran Inggris Nigel Bullough, di Surabaya, Senin, untuk lebih mengenal apa dan bagaimana kepemimpinan Hayam Wuruk kala itu masyarakat pada masa kini perlu mencermati karya Mpu Prapanca dengan bukunya berjudul Kakawin Negarakertagama (Dasawamana).

"Karya tersebut menggambarkan bagaimana perjalanan kerja Raja Hayam Wuruk, keluarga, dan pejabat tingginya saat berkeliling ke bagian Timur Jawa sekitar September pada tahun 1359 Masehi," kata budayawan kelahiran tahun 1952 itu. Pria yang lebih dikenal dengan nama Hadi Sidomulyo itu menjelaskan, untuk menarik minat masyarakat menelusuri jejak kekayaan Kerajaan Majapahit itu pihaknya melaksanakan pameran foto mulai 10 September sampai 4 Oktober 2009.

"Hasil riset dan dokumentasi itu saya dapatkan saat merekam keadaan desa, lingkungan alam, dan bangunan suci peninggalan Majapahit yang tergambar dalam 49 foto eksklusif," katanya. Ia menyebutkan, pameran foto itu merupakan salah satu rangkaian acara Peringatan 650 tahun rute Majapahit yang diawali seminar dan pameran artefak Majapahit pada 5-9 September di Balai Pemuda Surabaya. "Lalu, dilanjutkan dengan seminar "Jurnalisme Prapanca dan Prospek Pariwisata Majapahit" pada tanggal 30 September ini," katanya.

Ketua Panitia yang juga Dosen Jurusan Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Surabaya (Unesa), Hanan Pamungkas, berharap, dengan pameran dan seminar itu dapat memperkenalkan rute Majapahit sebagai jalur wisata Jawa Timur yang potensial untuk dikembangkan. "Jawa Timur memiliki sejumlah aset wisata yang menyimpan berbagai peristiwa tidak hanya wisata Kerajaan, tetapi peristiwa sosial budaya yang menarik. Semuanya itu bisa dikembangkan menjadi objek wisata yang potensial," katanya. (Kom/Ant)

Indonesia Meriahkan Magnifest di Kota Braunschweig

Braunschweig, Jerman - Indonesia meramaikan penyelenggaraan Magnifest di Kota Braunschweig, Jerman, yang merupakan kota kembar atau sister city Kota Bandung sejak tahun 1960. Dengan menampilkan tari-tarian dan lagu-lagu daerah, Indonesia merupakan satu-satunya peserta Festival Magnifest ke-36 yang berasal dari luar Jerman di Kota Braunsweig, akhir pekan lalu. KJRI Hamburg, Selasa, menyebutkan festival bertema "Kultur im Herzen der Stadt" (Kebudayaan di Jantung Kota) ini diikuti seniman berbagai kota di negara bagian Niedersachsen.

Acara digelar di sekitar pusat kota merupakan festival rakyat tahunan diisi dengan berbagai gerai atau stan penjualan makanan, minuman, permainan, kerajinan tangan, dan pertunjukan seni budaya dari berbagai daerah di Jerman. Meskipun hujan gerimis namun tidak menghalangi penonton menyaksikan penampilan kesenian Indonesia yang tampil pertama pada acara pembukaan yang mendapat sambutan meriah pengunjung.

Penampilan Indonesia diawali dengan tari Tempurung dan tari Badinding yang dibawakan Sanggar Seni Ananda dari Brauschweig, yang dilanjutkan dengan tari Jaipong, tari Topeng dan tari Merak oleh Sanggar Seni Margi Budoyo KJRI Hamburg. Busana daerah yang dikenakan penari dan alunan khas musik tradisional serta gerakan yang mempesona menjadikan tari-tarian tersebut menjadi kombinasi yang unik, yang menarik perhatian pengunjung festival.

Seusai tari-tarian, penampilan dilanjutkan dengan penampilan lagu "Ungaro" dari Batak dan daerah lain yang dinyanyikan beberapa penari. Nada dan irama lagu-lagu sangat menarik pengunjung yang turut menari dan mengikuti irama musik membuat para penonton terkesan dengan penampilan dengan spontan berteriak meminta agar penari terus bernyanyi. Pejabat Pemerintah Kota Braunschweig dan panitia penyelenggara sangat menghargai keikutsertaan Indonesia dalam acara tersebut dan mengharapkan pada tahun mendatang juga dapat ikut berpartisipasi.

Pada acara pembukaan, Konjen RI Hamburg, Teuku Darmawan, menyampaikan informasi tentang pariwisata dan seni budaya Indonesia yang memiliki berbagai keanekaragaman dan tempat tujuan wisata menarik wisatawan. Teuku Darmawan mengatakan, acara tersebut merupakan salah satu cara KJRI Hamburg dalam memelihara dan meningkatkan kerja sama sister city Bandung- Braunschweig yang terjalin sejak 1960. Keikutsertaan Indonesia dalam berbagai festival seni budaya seperti Magnifest ini dalam memperkenalkan seni budaya dan pariwisata Indonesia diharapkan akan dapat menarik minat masyarakat untuk berkunjung ke Indonesia. (antara)

Lima Bunga Raflesia Siap Mekar

Bengkulu - Sebanyak lima calon bunga Raflesia siap mekar di kawasan hutan Cagar Alam Taba Penanjung I register 79, tepatnya di Km 40 Jalan Raya Kepahiang-Kota Bengkulu. Dari pantauan, Rabu, lima calon bunga atau biasa disebut knop tersebut sudah diberi pagar oleh masyarakat setempat agar terlindung dari gangguan binatang liar dan manusia. "Ada lima knop dan kami sudah beri pagar agar aman dan tidak terinjak," kata Apri, warga setempat yang menemukan lima calon bunga tersebut.

Menurutnya dalam 10 hari atau 14 hari mendatang, salah satu dari lima kenop itu akan mekar karena bentuknya lebih besar. Sementara yang lainnya akan menyusul sehingga para pengunjung tidak bisa melihat lima kembang tersebut mekar bersamaan. Sebelumnya, satu bunga Raflesia juga mekar di lokasi yang sama namun saat ini sudah berubah warna menjadi hitam dan mulai membusuk. "Warna awalnya kuning kemerahan, kemudian merah cerah lalu berubah menjadi hitam dalam tempo 10 sampai 14 hari," katanya.

Anggota Tim Peduli Puspa Langka Tebat Monok Kabupaten Kehapiang, Holidin, mengatakan kawasan Cagar Alam Taba Penanjung I dan II serta kawasan hutan di sekitarnya merupakan habitat asli bunga Raflesia. Kelompok tersebut sudah melakukan pemagaran terhadap lokasi yang banyak ditumbuhi inang bunga Raflesia yaitu jenis Liana (Tetra stigma). "Karena bunga itu hanya mucul melalui tumbuhan inangnya, jenis Liana ini, tanpa inang Raflesia tidak bisa tumbuh,"katanya. Lokasi tumbuhnya inang yang berdekatan membuat pihaknya tidak kesulitan melakukan pemeliharaan dan penjagaan jika bunga sudah muncul. (antara)

Masjid Al Mubarok Miliki Daya Magis Saat Ramadan

Nganjuk, Jawa Timur - Masjid Al Mubarok di Desa Kacangan, Kecamatan Brebek, satu diantara sejumlah peninggalan bersejarah di Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur. Terdapat beberapa keunikan pada bangunan tersebut, di antaranya arsitektur menyerupai bangunan pura serta kemunculannya yang tidak diketahui oleh warga sekitar. Bangunan Masjid Al Mubarok diketahui berdiri sejak tahun 1745 M. Saat itu Kabupaten Nganjuk dipimpin bupati pertamanya Raden Tumenggung Sosro Kusuma Kantjeng. Tidak diketahui secara pasti, siapa yang mendirikan bangunan masjid. "Makanya masjid ini disebut tiban. Wallohualam, siapa yang membangun sampai sekarang juga tidak ada yang tahu," kata Anggota Takmir Masjid Al Mubarok Sofwan saat ditemui di serambi masjid, Rabu (9/9/2009).

Selain memiliki daya tarik, Masjid Al Mubarok juga mempunyai sejumlah keunikan lainnya. Diantaranya, arsitektur bangunan menyerupai pura, ornamen ukiran yang tidak didominasi oleh kaligrafi tulisan arab, melainkan gambar-gambar naga dan ciri khas ukiran pura lainnya. "Kalau soal itu, cerita dari sesepuh karena dulunya mayoritas warga di sini menganut agama Hindu. Mungkin juga, pendiri masjid ini ingin penyebaran agama Islam menjadi mudah," ujar Sofwan.

Tak hanya ornamen ukiran, kemiripan Masjid Al Mubarok dengan pura juga tampak dengan adanya sebuah lingga yoni di bagian depan pelataran masjid. Meski berbeda dengan fungsi semestinya dari lingga yoni, saat ini di pelataran Masjid Al Mubarok, bebatuan itu dijadikan alat bantu penentu datangnya waktu salat. Masjid Al Mubarok diakui juga memiliki daya magis yang tidak dapat dinalar oleh akal sehat manusia. Diantaranya keberadaan bedug yang pernah dipindahkan ke Alun Alun Nganjuk, namun kembali dengan sendirinya. "Memang pernah dulu seperti itu dan sejak saat itu tidak pernah lagi dipindahkan. Jadi saat itu dipindahkan untuk disimpan dan dilestarikan, tapi tidak tahunya baru 2 hari dipindahkan langsung kembali ke tempatnya," jelas Imam Muslim, salah satu anggota takmir lainnya.

Daya magis lain yang terdapat di Masjid Al Mubarok yakni padatnya jumlah jamaah iktikaf di setiap malam bulan Ramadan. Serambi dan halaman masjid selama ini diakui menjadi tempat mujarab memanjatkan doa dan menemukan malam lailatul qodar. "Kalau soal itu bukan cerita lagi, tapi sudah banyak yang membuktikan. Coba nanti kalau sudah masuk maleman, sampeyan ke sini dan lihat, jamaahnya tidak hanya dari Nganjuk, tapi sampai Madiun dan Ponorogo juga ada," pungkas Imam. (fat/fat)

Pemandian Karang Anyer Simalungun Ramai Dikunjungi

Simalungun, Sumut - Bila hari libur, objek wisata pemandian Karang Anyer di Nagori Karang Anyer, Kecamatan Gunung Maligas, Kabupaten Simalungun, Sumatra Utara, selalu ramai dikunjungi masyarakat. Dari inti Kota Pematangsiantar, obyek wisata tersebut dapat ditempuh dengan mengendarai sepeda motor maupun roda empat dengan jarak tempuh lebih kurang 18 Km. Sebelum sampai di lokasi, para pengunjung diwajibkan membayar retribusi sesuai dengan Perda No 13 tahun 2001 dengan tarif untuk anak-anak Rp 800, dewasa Rp 1500, roda dua Rp 1000 dan bus umum 2000. Demikian disampaikan Pairan selaku petugas pengutip uang retribusi ketika ditemui para wartawan, Jumat (4/9).

Sementara menurut salah seorang pedagang, bagi masyarakat yang hendak menikmati sejuknya air di pemandian karang anyer boleh menggunakan ban. Karena masyarakat disekitar lokasi ada yang menyediakan jasa ban dengan membayar uang Rp 3000 dan tikar untuk tempat santai dengan harga Rp 5000. Di lokasi pemandian tersebut masyarakat dapat menikmati berbagai makanan dan minuman, tidak perlu repot-repot untuk membawa makanan karena tempat tersebut telah tersedia, katanya. (BS/y)

Dua Cagar Budaya di Magetan Terancam Punah

Magetan, Jawa Timur - Dua cagar budaya berupa masjid tua di Magetan, Jawa Timur, kian terancam, karena tidak dapat perhatian dari pemerintah. Salah satu masjid tersebut diberi nama At-Taqwa pada 1970-an. Masjid ini dipercaya memiliki nilai sejarah yang sangat tinggi. Masjid dengan kubah batu tersebut dibangun oleh salah seorang punggawa Magetan, H Imam Nawawi. Hingga saat ini, masjid tersebut masih dipercayakan kepada salah satu menantunya, H Hamid (65).

H Hamid mengisahkan, masjid cagar budaya At-Taqwa berdiri sejak 1850 di Dusun Badegan, Desa Tegal Arum, Kecamatan Parang, Magetan ini dibangun dengan luas sekitar 8x20 meter. Masjid ini diangun dengan delapan kayu jati yang menopang berdirinya atap masjid. Empat berada di depan dan empat penyokong lagi di belakang. Desainnya mirip rumah adat Jawa, Joglo.
"Sebelum dibangun oleh Badan Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Trowulan, Mojokerto, dulu masjid ini berdinding gedhek atau anyaman bambu. Masjid ini juga dibangun dengan satu pintu, berbeda kebanyakan masjid kuno lainnya yang dibangun dengan tiga pintu," ujar H Hamid. "Pada 1997 lalu, masih lengkap 30 kitab kuno tersebut. Karena dimakan usia, terkena hujan dan dimakan hewan rengat, sekarang tinggal 17 kitab kuno yang kondisinya sudah sangat memprihatinkan. Apalagi kami tidak tahu cara merawat kitab-kitab tersebut," ujar Hamid.

Lain di At-Taqwa lain pula di Masjid Wakaf Kyai Haji Abdul Rohman yang terletak di Dusun Tegalrejo, Desa Semen, Kecamatan Nguntoronadi, Magetan. Di masjid dengan usia lebih tua sekitar 15 tahun atau dibangun sekitar tahun 1835, ini tak menyisakan satu pun kitab. Masjid ini malah menyisakan belasan pusaka yang dikisahkan berasal dari Kerajaan Majapahit. Masjid cagar budaya dengan kubah batu dengan delapan kayu penopang ini, sama dengan At-Taqwa, juga mempunyai sumur yang dipercaya bisa menambah semangat hidup. Menurut sejumlah ahli air, dari sumur ini mengandung banyak mineral.

"Memang dari segi arsitektur, hampir sama dengan masjid yang ada di Parang. Yang membedakan, masjid ini dibangun dengan tiga pintu dan dua tingkat pada atap. Mengenai kubah masjid, dibangun sama dengan Masjid At-Taqwa, yaitu dari batu," ujar salah satu anak turun Kyai Haji Abdul Rohman, H Gunawan Hanafi (60). Masjid ini juga tak dibangun dengan kayu jati, namun dibangun dan ditopang dengan Kayu Sono yang pengerjaannya belum menggunakan penghalus. Jadi, beberapa kayu masih terlihat kasar. Tetapi tidak mengurangi kesan kokoh dari masjid yang dibangun di atas tanah seluas 20 meter pesegi. (AG/OL-04)

Resmikan Menara Bosowa, Wapres Malu Hati

Makassar, Sulsel - Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla mengaku merasa malu hati ketika harus meresmikan beroperasinya Menara Bosowa yang dimiliki adik iparnya, Aksa Mahmud, yang juga Wakil Ketua MPR. Apalagi, sebelumnya, ia juga harus meresmikan wahana rekreasi kelas dunia, yang diberi nama Trans Studio Theme Park, yang juga merupakan kerja sama bisnis perusahaannya, Kalla Group, dengan Para Group di kawasan Tanjung Bunga, dekat Pantai Losari, Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel).

Bahkan, ia juga menyebutkan rencana peresmian Kalla Tower di Jalan Sam Ratangi, Makassar, yang berlantai 15, termasuk koridor. "Karena ini seperti acara keluarga saja. Akan tetapi, saya mau berbicara secara profesional," kata Wapres sebelum meresmikan gedung Menara Bosowa, Rabu (9/9) siang. Peresmian kedua proyek itu dilakukan Wapres Kalla pada Rabu pagi dan siang waktu Indonesia bagian tengah (Wita). Acara dihadiri Presiden Direktur Group Bosowa Erwin Aksa dan pendiri Bosowa, yang adalah ayahanda Erwin sendiri, serta sejumlah pimpinan BUMN.
Gedung Menara Bosowa yang merupakan gedung tertinggi di Kota Makassar, berjumlah 23 lantai itu, terletak di jantung Kota Makassar, yakni persis di depan Lapangan Karebosi. Saat wawancara dengan pers di rumah pribadinya semalam, Wapres menegaskan, meskipun keluarganya ikut berbisnis, mereka tidak melibatkan pemerintah dan menggunakan uang negara. Diakuinya, 95 persen bisnisnya murni bisnis sendiri.

Dalam kesempatan itu, Wapres juga menyinggung keberadaan gedung Menara Bosowa yang harus sesuai dengan keindahan kota dan fungsi Kota Makassar yang harus bisa melayani kebutuhan ekonomi masyarakat di kawasan Indonesia Timur. "Makassar sebagai kota yang melayani kawasan Indonesia timur sudah dicanangkan sejak 25 tahun yang lalu," kata Wapres. (sripos)

Cagar Budaya untuk Lapangan Basket Teladan Tanjungpinang

Tanjungpinang, Kepri - Komunitas basket di Kota Tanjungpinang yang berada di bawah naungan Persatuan Basket Seluruh Indonesia (Perbasi), bertekad mempertahankan Lapangan Basket Teladan di Jalan Ketapang. Tekad ini dilaksanakan bukan hanya untuk menjadikan lapangan itu sebagai sarana pembinaan generasi muda melalui olahraga basket, tapi juga karena lapangan yang berusia di atas 50 tahun ini akan dijadikan sebagai sebuah benda cagar budaya yang harus dilindungi.

Hal ini disampaikan Ketua Perbasi Tanjungpinang, Johny, dan Sekretaris Perbasi, Mihd Hedari SH, yang didampingi Ketua PSMTI, Mrs Jenny, Pembina Perbasi Desmond, Goh, dan sejumlah tokoh lainnya, kemarin. Tekad tersebut disampaikan menyusul adanya surat agar segera mengosongkan lapangan itu oleh pengusaha yang sudah melakukan ruislag dengan Pemkab Kepri tahun 1997.

Lapangan itu akan dibongkar dan dijadikan tempat usaha. Namun, karena lapangan pengganti belum disediakan, maka Perbasi belum bersedia melaksanakan. Apalagi, mereka sama sekali tidak pernah melihat dokumen ruislag dimaksud mengingat sejarah lapangan tersebut yang berasal dari penyitaan oleh pemerintah pasca gejolak politik tahun 1966.

”Lapangan itu awalnya milik Sekolah Toean Poen, yang kemudian diambil-alih Kosional (lembaga keamanan ketika itu, red) sekitar tahun 1966. Sekitar tahun 1972 diserahkan ke Perbaki (nama lama Perbasi, red) untuk dikelola dan digunakan dan oleh Pemda dibuatkan tribun yang oleh Bupati Kepri kemudian diserahkan ke Perbasi,” kata Johny. (git)

Giliran Singapura `Jual` Pulau Bintan di Australia

Brisbane, Australia - Pariwisata Pulau Bintan Provinsi Kepulauan Riau dipasarkan majalah Infinity Holidays sebagai bagian dari daerah tujuan wisata Singapura lewat berbagai biro perjalanan utama Australia. Dilaporkan bahwa majalah Infinity Holidays 2009: 10 Asia itu menjadi bagian dari sumber informasi wisata andalan biro-biro perjalanan, seperti Flight Center dan Student Flights. Pulau Bintan, yang terletak sekitar 40 kilometer dari Singapura, dipasarkan sebagai daerah tujuan tambahan bagi para wisatawan mancanegara yang berlibur di negara kota tersebut.

Pariwisata bahari dan sejarah di pulau terbesar di gugusan pulau yang ada di Provinsi Kepulauan Riau itu dimasukkan sebagai satu dari 10 tempat atraktif bagi para wisatawan asing yang mengunjungi Singapura. Di Bintan, para wisatawan tidak hanya disuguhi keindahan pantai pasir putih eksotis, air laut yang jernih, aneka warna batu karang laut, dan berbagai olahraga bahari, tetapi juga resor istirahat yang menawan.

Operator pariwisata Singapura menjual Bintan sebagai tempat berlibur yang tepat bagi para wisatawan yang mengunjungi berbagai daerah wisata Asia dengan kapal pesiar SuperStar. Di areal resort wisata Pulau Bintan seluas 23.000 hektare itu setidaknya ada lima resort yang ditawarkan Singapura, yakni Mayang Sari, Nirwana Gardens, Bintan Lagoon, Angsana, dan Banyan Tree dengan tawaran harga menginap per malam 101-325 dolar Australia. Sepanjang 2008, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata RI menargetkan 380.000 wisatawan Australia datang ke Indonesia, atau meningkat dibandingkan tahun 2007, yang tercatat berjumlah 314.432 orang. (kcp/ila)

Batik Resmi Jadi Warisan Budaya Dunia

Bogor, Jawa Barat - Badan PBB untuk pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan (UNESCO) akhirnya memasukkan batik dalam UNESCO representative list of intangible cultural heritage of humanity atau warisan budaya bukan benda dari Indonesia. Pengakuan itu akan dianugerahkan kepada Indonesia pada 28 September hingga 2 Oktober 2009 di Abu Dhabi. Menko Kesra Aburizal Bakrie dan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik melaporkan prestasi dunia itu kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di Istana Bogor, Senin (7/9). Presiden mengimbau seluruh masyarakat untuk mengenakan batik pada 2 Oktober 2009 sebagai penghormatan atas capaian tersebut.

“Presiden mengatakan bahwa pada 2 Oktober yang akan datang, kepada seluruh masyarakat Indonesia, diminta menggunakan batik sebagai penghargaan terhadap batik itu sendiri. Juga, sebagai penghargaan atas diberikannya batik sebagai daftar representasi budaya tak benda warisan manusia, dari UNESCO,” kata Ical, sapaan Aburizal. Masuknya batik dalam daftar warisan dunia ini mengikuti sukses wayang kulit dan keris yang lebih dulu meraih pengakuan yang sama pada 2003 dan 2005. Ical mengatakan, batik dianggap sebagai ikon budaya bangsa yang unik, memiliki simbol, dan tradisi dan hidup di masyarakat. Batik juga memiliki filosofi yang mendalam menyangkut siklus kehidupan manusia. Kain tradisional itu juga dikembangkan turun-temurun. Sejumlah kriteria itu lah yang membuat batik ditetapkan sebagai warisan dunia dari Indonesia.

Syarat lain yang ditetapkan UNESCO adalah adanya perlindungan dari pemerintah atas warisan budaya ini. Diantaranya dengan memasukkan pelajaran batik dalam buku-buku sekolah. “Kita punya masyarakat batiknya, kita punya industrinya, kita punya pemakainya, kita punya budayanya, kita punya sejarahnya. Berdasar itulah maka, syukur Alhamdulillah, kita telah diberitahu, bahwa batik telah disetujui menjadi warisan budaya tak benda manusia dari UNESCO,” ujar Ical. Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik mengatakan, setelah wayang kulit, keris, dan batik, Indonesia juga tengah memasukkan angklung dalam warisan budaya dunia. “Jadi, terus-menerus kita memperjuangkan satu per satu karya budaya kita ke seluruh dunia,” ujar Jero. (sof/jpnn)

Pemahaman Pariwisata Masih Sebatas Jual Obyek Wisata

Yogyakarta - Ketua Yayasan Widya Budaya Yogyakarta, Widi Utaminingsih, menilai, sebagian pelaku pariwisata hingga kini masih memahami pengembangan pariwisata hanya terbatas pada upaya menjual obyek maupun produk wisata. "Jadi, upaya pengembangan pariwisata sampai saat ini masih dipahami sebatas menjual objek wisata bahkan keberhasilan pariwisata hanya diukur dari banyaknya jumlah wisatawan mancanegara (wisman) yang berkunjung ke objek wisata," katanya di Yogyakarta, Senin (7/9).

Menurut dia, jika dasar keberhasilan pariwisata nasional adalah banyaknya jumlah wisman yang berkunjung ke negeri ini, berarti kepariwisataan yang dibangun menjadi rapuh dan mudah tumbang. "Mestinya ukuran keberhasilan pariwisata harus diubah, yaitu seharusnya pariwisata dilihat dari sejauh mana mampu mengentaskan masyarakat dari kemiskinan dan kebodohan," kata Widi yang yayasannya bergerak di bidang penelitian dan pengembangan wisata berwawasan budaya berbasis potensi lokal.

Menurut dia, angka yang menunjukkan banyaknya jumlah wisman yang berkunjung ke negeri ini merupakan bonus atas keberhasilan dalam mengentaskan kemiskinan di bidang pariwisata. "Karena itu untuk membangun kepariwisataan yang kokoh, tidak rapuh dan mudah tumbang oleh berbagai isu, harus dicari solusinya," kata dia. Ia mengatakan, membangun pariwisata memerlukan seni pergaulan yang simpatik karena rasa simpatik membuat orang senang dan menumbuhkan minat berkunjung ke sebuah objek wisata. Karena itu masyarakat di sekitar obyek wisata harus mengembangkan rasa simpatik kepada wisatawan.

Sementara seni sebagai bagian dari budaya merupakan sesuatu yang menyentuh rasa sehingga rasa itulah yang dijual di bidang pariwisata. "Karena itu menyampaikan pesan pariwisata melalui seni dan budaya adalah solusi tepat membangun pariwisata," katanya. Menurut dia, potensi pariwisata di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) cukup besar dan beragam sehingga diharapkan mampu mengentaskan kemiskinan masyarakat di sekitar objek wisata. Karena itu, pemerintah setempat perlu menggali potensi seni dan budaya lokal yang berkembang di tengah kehidupan masyarakat tersebut. Dengan demikian, potensi seni dan budaya dapat menjadi daya tarik wisata sehingga diharapkan dapat meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan mancanegara maupun nusantara. Meningkatnya jumlah wisatawan diharapkan mampu memperbaiki tingkat kesejahteraan masyarakat setempat, katanya. (Ant/OL-7)

Wisatawan Minati Kerupuk Ikan

Karimun, Kepri - Kerupuk ikan buatan masyarakat Moro, Kabupaten Karimun, Kepri, yang enak dan gurih ternyata diminati wisatawan dari Singapura dan Malaysia. Salah seorang pengelola kerupuk ikan di Moro, Atek menyebutkan, kerupuk ikan asal Kecamatan Moro ini kerap dibeli warga Singapura dan Malaysia yang datang mengunjungi saudaranya di Karimun. ”Saat pulang ke negara mereka, kerupuk ikan inilah yang mereka bawa sebagai oleh-oleh,” ujarnya.

Ditambahkan Atek, saat Ramadan ini, kerupuk ikan mulai mengalami kenaikan harga dari Rp30 ribu menjadi harga Rp40 ribu per kilogram. Kenaikan harga kerupuk ikan ini tak lepas dari naiknya harga tengiri dari Rp30 ribu per kilo menjadi Rp40 ribu per kilo. Juga diiringi dengan kenaikan harga tepung terigu serta minyak goreng. Namun, naiknya harga kerupuk ikan ini, tidak menyurutkan minat wisatawan asing membeli kerupuk dari daerah ini. Bagi Atek, biarlah harga mahal seiring dengan mahalnya harga tengiri. ”Yang terpenting, kualitas kerupuk Moro harus terus dipertahankan dan ditingkatkan,” imbuhnya. (pst)

Keanekaragaman Jenis Burung Di Kawasan Tesso Nilo - Riau

Kawasan Tesso Nilo termasuk dalam propinsi Riau yang memiliki hutan pamah terluas yang tersisa di pulau Sumatera. Hutan pamah ini sudah sangat terancam karena penebangan yang dilakukan oleh perusahaan kayu yang memiliki izin dan adanya penebangan liar yang dilakukan penduduk disekitar kawasan. Untuk melindungi hutan pamah yang tersisa, kawasan Tesso Nilo akan diusulkan sebagai kawasan lindung. Tetapi informasi keanekaragaman hayati di kawasan ini termasuk keragaman burung masih sangat terbatas. Informasi yang tersedia hanya berasal dari survei singkat yang dilakukan bersamaan dengan survei vegetasi pada tahun 1992 (Gillison 2001). Survei ini bertujuan untuk mengumpulkan data dasar mengenai keragaman burung di Tesso Nilo dan menghitung indeks keragaman jenisnya.

Survei burung ini dilakukan dengan metode tangkap lepas menggunakan jaring kabut,pengamatan tambahan dan wawancara. Pengambilan data dengan menggunakan jaring kabut diutamakan pada jenis burung semak atau yang hidup dilantai hutan karena mereka termasuk yang sangat rentan terhadap dampak penebangan atau fragmentasi hutan (Ford dan Davison 1995 dalam Lambert dan Collar 2002).
1. Metode tangkap lepas dengan jaring kabut sekitar 9 buah jaring kabut dipasang pada tiga lokasi yaitu dua lokasi di kawasan bekas PT Hutani Sola Lestari (0008.898' LS, 101034.281' BT, 133 m dpl) dengan jarak antar titik 0.5 km dan satu lokasi di kawasan Nanjak Makmur (0010.227' LS, 101040.725' BT, 133.3 m dpl). Ukuran jaring kabut yang digunakan adalah: tinggi 2.6 m, panjang 12 m dan mata jaring berukuran 30 dan 36 mm. Jaring dipasang secara memanjang dengan panjang seluruhnya mencapai 108 m pada setiap lokasi. Pemasangan jaring dilakukan antara pukul 06.00 pagi sampai pukul 18.00 WIB. Lama pemasangan pada lokasi 1 dan 2 masing-masing 25 jam dan pada lokasi 3 selama 26 jam . Jaring dipantau/diperiksa setiap 30 menit atau 60 menit sekali. Burung yang tertangkap jaring diidentifikasi, diukur dan diberi penanda sebelum dilepaskan kembali ke hutan. Koleksi spesimen dilakukan bila jenis yang tertangkap belum dimiliki Museum Zoologicum Bogoriense (MZB) atau tidak langsung teridentifikasi. Pengumpulan data dilakukan selama kurang lebih 3 hari untuk setiap lokasi yang terpilih.

2. Metode Pengamatan tambahan untuk melengkapi data keragaman jenis burung dilakukan pengamatan tambahan yang tidak berstruktur. Burung yang teramati selama pemasangan jaring dan pada saat tidak melakukan pemasangan jaring dicatat jenis dan jumlahnya.

3. Metode Wawancara dilakukan pada tiga orang penduduk lokal yang berpengalaman dalam menangkap burung atau pun berburu serta memelihara burung. Sebagai panduan dalam melakukan wawancara digunakan buku Burung-burung di Kalimantan, Sumatera, Jawa dan Bali (MacKinnon dkk. 1992).

Hasil metode tangkap lepas dengan jaring kabut, pengamatan tambahan dan wawancara mencatat 107 jenis burung dari 27 famili yaitu Ardeidae, Accipitridae, Phasianidae, Turnicidae, Columbidae, Psittacidae, Strigidae, Cuculidae, Trogonidae, Alcedinidae, Bucerotidae, Capitonidae, Picidae, Eurylaimidae, Pittidae, Apodidae, Pycnonotidae, Aegithalidae, Timaliidae, Sylviidae, Rhipiduridae, Dicaeidae, Nectariniidae, Ploceidae, Sturnidae, Dicruridae dan Corvidae. Pengamatan awal yang dilakukan oleh Rasfianto (dalam Gillison 2001) di kawasan Tesso Nilo mencatat 22 jenis burung dari 17 famili, namun dua jenis diantaranya yaitu Halcyon cyanoventris dan Copsychus delivura diragukan kehadirannya. Halcyon cyanoventris merupakan burung endemik pulau Jawa dan Bali (MacKinnon dkk. 1992). Bila hasil survei ini digabungkan dengan hasil pengamatan Rasfianto (dalam Gillison 2001) maka keragaman burung di kawasan ini mencapai 114 jenis atau 29% dari jumlah jenis burung yang ada di Sumatera.

Bila dilihat dari statusnya, 16 jenis burung yang terdapat di kawasan Tesso Nilo yaitu Elang ular Spilornis cheela, Alap-alap capung Microchierax fringillarius , kuau (Argusianus argus), Burung udang punggung merah (Ceyx rufidorsa), Cekakak batu (Lacedo pulchella), Cekakak cina (Halcyon pileata), Julang jambul hitam (Aceros corrugatus), Enggang belukar (Anorrhinus galeritus), Kangkareng hitam (Anthracoceros malayanus), Rangkong badak (Buceros rhinoceros), Rangkong papan (Buceros bicornis), Burung madu polos (Anthreptes simplex), Burung madu kelapa (Anthreptes malaccensis), Burung madu rimba (Hypogramma hypogrammicum), Pijantung kecil (Arachnothera longirostra) dan Pijantung kampung (Arachnothera crassirostris) dilindungi undang-undang. Sedangkan Empidan merah (Lophura erythropthalma), Sempidan biru (Lophura ignita) dan Empuloh berkait (Setornis criniger) walaupun statusnya sudah diduga rentan (Holmes dan Rombang 2001) tetapi masih belum dilindungi.

Hasil pengamatan tambahan mencatat kehadiran seekor burung Beo Sumatra Gracula religiosa yang terancam punah. Burung beo tersebut sudah dipelihara selama dua tahun oleh seorang penduduk. Burung tersebut berasal dari anakan yang diambil dari sarang burung di hutan Tesso Nilo. Tetapi pada waktu survei tidak dijumpai seekor pun di alam. Diharapkan dapat dilakukan survei burung yang lebih lama dan meliputi kawasan yang lebih luas untuk mengetahui populasi Beo sumatera di kawasan Tesso Nilo sebelum dinyatakan 'punah'.

Secara keseluruhan indeks keragaman burung di kawasan Tesso Nilo sangat tinggi .Masih dijumpainya burung pemangsa puncak seperti Elang ular dan jenis-jenis burung pemakan buah yang mencari makan pada tajuk pohon seperti berbagai jenis rangkong dan pergam (Ducula aenea) serta burung pelatuk yang hidup dan mencari makan pada batang pohon menunjukkan bahwa kondisi kawasan hutan Tesso Nilo masih cukup baik.
Hampir semua jenis burung yang tertangkap di hutan Tesso Nilo merupakan burung yang umum dijumpai di dataran rendah, kecuali burung kipas Rhipidura albicollis. Jenis ini biasanya dijumpai pada ketinggian antara 900 dan 2400 m (MacKinnon dkk. 1992). Karena hutan Tesso Nilo tempat pemasangan jaring terletak pada ketinggian 133.3 m, maka kehadirannya merupakan catatan baru bagi daerah sebaran jenis tersebut.
Hasil wawancara dengan penduduk mencatat 16 jenis burung yang dimanfaatkan yaitu untuk dikonsumsi dan untuk dipelihara atau dijual sebagai satwa piaraan (Table 5). Perburuan burung untuk dijual sebagai satwa piaraan terutama untuk beo Sumatra, nuri, betet dan serindit diinformasikan pernah marak. Pengambilan dari alam yang intensif ini diduga menjadi penyebab kelangkaan jenis-jenis tersebut terutama beo Sumatra.
Dapat disimpulkan bahwa:

1. Kondisi kawasan Tesso Nilo masih baik untuk mendukung kehidupan berbagai jenis burung yang ditunjukkan oleh nilai indeks keragaman yang tinggi.
2. Keberadaan 16 jenis burung langka dan dilindungi menunjukkan bahwa kawasan Tesso Nilo mempunyai nilai konservaso yang tinggi.
3. Kerusakan hutan, fragmentasi hutan dan perburuan intensif menjadi ancaman utama bagi kelestarian burung di Tesso Nilo.

Madu dari Pohon Sialang; Alternatif Pendapatan Masyarakat di Sekitar Hutan Tesso Nilo

Oleh : Syafrizal & Dani

Madu sialang di Logas Tanah Darat merupakan adalah satu sumber penghasilan bagi masyarakat sekitar hutan meskipun potensi ini belum memberikan kontribusi yang besar bagi perkonomian masyarakat di Kecamatan Logas Tanah Darat. Di sisi lain potensi tersebut sangat tergantung kepada kondisi hutan di sana, dimana diantaranya merupakan habitat pohon sialang yang merupakan pohon tempat bersarangnya lebah madu hutan.

Salah satu upaya melestarikan pohon sialang tersebut adalah melakukan pendataan keberadaan dan sebaran pohon sialang di kawasan tersebut. Masyarakat di Logas Tanah Darat telah melakukan upaya tersebut yang kemudian dilanjutkan dengan rencana pengelolaan pohon sialang. Antara lain dengan membuat aturan adat mengenai pengelolaan hutan yang berkaitan dengan keberadaan pohon sialang dan pengaturan pemanenan madu.

Kepunahan pohon sialang akan berdampak kepada produksi madu hutan yang merupakan kegiatan ekonomi masyarakat yang sudah berljalan secara turun temurun. Jika pohon sialang ini punah maka masyarakat yang selama ini memanfaatkan madu hutan akan kehilangan pendapatan minimal Rp. 569,380,000,- per-tahun yang diperoleh dari 154 pohon sialang dengan jumlah sarang sekitar 2.044.

Untuk menghindari kerugian tersebut rambu-rambu larangan menebang untuk pohon yang sudah disarangi oleh lebah, sudah ada lama, namun sangsi itu berlaku untuk perusahaan dengan denda Rp. 25.000.000,- tapi jika ditebang oleh masyarakat kampung (anak dan keponakan) sangsi dalam aturan adat itu tidak pernah ditegakkan.

Untuk mengetahui potensi madu sialang ini dan guna membantu mempercepat laju perekonomian Kecamatan Logas Tanah Darat, WWF Indonesia memfasilitasi registrasi pohon sialang yang terdapat di Logas. Inventarisasi dilakukan dari 8 Oktober 2003 sampai 14 Nopember 2003, dilaksanakan di 4 wilayah ulayat persukuan; Mandailing, Piliang, Melayu dan Kampung Salapan.

Di wilayah masyarakat adat Logas Tanah Darat penyebaran pohon Sialang terdapat di hutan perlandangan (Hutan Getah/karet), hutan akasia (HTI PT. RAPP), hutan alam (HPH PT. Hutani Sola Lestari dan HPH Nanjak Makmur). Pohon sialang ini batangnya dibersihkan oleh masyarakat menurut sukunya. Untuk memudahkan mengambil madu sialang yang 99 % dijual, dipasaran harganya berkisar Rp. 7000/Kg.

Di Kecamatan Logas Tanah Darat itu sendiri madu ini potensial untuk dikembangkan, dengan bahan baku yang cukup (lihat tabel 2) dengan masa panen 2 kali dalam 1 tahun. Namun secara tradisional hasil yang diperoleh masyarakat kurang berdampak bagi peningkatan kesejahteraan, karena aktifitas pemanfaatan pengelolaannya dilakukan perorangan, belum terorganisir. Untuk meningkatkan hasil yang diperoleh pada tanggal 15 September 2003, dibentuk kelompok usaha "SIALANG LESTARI", dengan harapan kelompok ini menjadi andalan masyarakat petani madu untuk meningkatkan penghasilan.

Tabel 1. Potensi Pengembangan Usaha Madu Sialang di Kecamatan Logas Tanah Darat
SUKU JUMLAH
BATANG JUMLAH
BARANG PRODUKSI
MADU/Kg/Thn NILAI JUAL MADU
(Rp.7000/Kg)
Maidailing 38 668 26.720 187.040.000
Pilian 78 1.057 42.280 295.960.000
Melayu 27 304 12.040 84.280.000
Kampung Salapan 11 15 600 4.200.000
Jumlah 154 2.044 81.640 571.480.000

Kelompok usaha ini diarahkan menjadi sebuah industri kecil masyarakat, yang mampu menopang perkembangan ekonomi. Untuk mewujudkannya perlu fasilitasi peningkatan SDM pengurus dalam meningkatkan keterampilan usaha dan mutu madu, penyerahan bantuan mesin penurun kadar air, alat pengukur kadar air, serta drum pengumpul madu dan persiapan pra produksi pengolahan madu diantaranya Izin produksi Depkes dan izin usaha industri dari Deperindag Kabupaten Kuantan Singingi, produksi pengolahan madu, peluncuran produksi usaha madu sialang, memfasilitasi batuan kredit usaha. Diupayakan fasilitasi oleh WWF tersebut untuk memberikan dukungan moril dan memberikan daya saing dipasaran, sehingga kelompok ini dapat mandiri.

Disamping fasilitasi yang perlu dikembangkan adalah peluang pasar,yang kemungkinan dapat dijajagi beberapa permintaan distributor madu dibeberapa daerah seperti Pekanbaru, Batam, Jakarta, Medan dan kemungkinan juga dari luar Indonesia yakni Malaysia.

Palang Pintu, Pelengkap Pernikahan ala Betawi

Oleh : Jodhi Yudono

Perkawinan, adalah salah satu perjalanan manusia yang dianggap sakral oleh masyarakat Betawi. Saking sakralnya, maka ada beberapa prosesi yang harus dilalui kedua mempelai menjelang pernikahannya. Salah satunya adalah Palang Pintu.

Upacara pernikahan diawali dengan arak-arakkan calon pengantin pria menuju ke rumah calon istrinya. Dalam arak-arakan itu, selain iringan rebana ketimpring juga diikuti barisan sejumlah kerabat yang membawa sejumlah seserahan mulai dari roti buaya yang melambangkan kesetiaan abadi, sayur-mayur, uang, jajanan khas Betawi, dan pakaian.

Selain itu, perlengkapan kamar pengantin yang berat seperti tempat tidur serta lemari juga dibawa dalam prosesi arak-arakkan. Tradisi Palang Pintu ini merupakan pelengkap saat pengantin pria yang disebut “tuan raja mude” hendak memasuki rumah pengantin wanita atawa “tuan putri”. Nah, saat hendak masuk kediaman pengantin putri itulah, pihak pengantin wanita akan menghadang.

Awalnya, terjadi dialog yang sopan. Masing-masing saling bertukar salam, masing-masing saling mendoakan. Sampai akhirnya pelan-pelan situasi memanas lantaran pihak pengantin perempun ingin menguji kesaktian dan juga kepandaian pihak pengantin laki-laki dalam berilmu silat dan mengaji.

Baku hantam pun terjadi. Sudah pasti, akhirnya pihak lelakilah yang menang. (He he he… kalau pihak lelaki tak menang, tentu gak akan terjadi pernikahan bukan?). Usai memenangi pertarungan, pengantin perempuan pun biasanya meminta pihak lelaki untuk memamerkan kebolehannya dalam membaca Al Quran. Dan sudah pasti lagi, ujian ini pun mampu dilewatinya.

Adu Pantun
Berikut adalah drama satu babak ketika acara Palang Pintu berlangsung yang diwakili oleh pihak pengantin Perempuan (P) dan pihak penganti Laki (L).
P: Eh … bang-bang berenti, bang budeg ape luh…Eh… bang nih ape maksudnye nih … selong-selonong di kampung orang, Emangnye lu kagak tahu kalo nih kampung ade yang punye?…
Eh… Bang, rumah gedongan rumah belande, pagarnya kawat tiangnya besi, gue kaga mao tau nih rombongan datengnye dari mane mau kemane, tapi lewat kampung gue kudu permisi.
L: Oh… jadi lewat kampung sini kudu permisi, bang.
P: Iye emangnye lu kate nih tegalan.
L: maafin aye bang, kalo kedatangan aye ama rombongan kage berkenan di ati sudare-sudare…Sebelomnye aye pengen ucapin dulu nih Bang…Assalamu, alaikum.
P: Alaikum salam…
L: Begini bang…makan sekuteng di Pasar Jum,at, mampir dulu di Kramat Jati, aye dateng ama rombongan dengan segala hormat, mohon diterime dengan senang hati.
P: Oh … jadi lu uda niat dateng kemari…eh…Bang, kalo makan buah kenari…, jangan ditelen biji-bijinye…kalo ku udeh niat dateng kemari…gue pengen tahu ape hajatnye?…
L:Oh… jadi Abang pengen tahu ape hajatnye…emang Abang kage di kasih tau ame tuan rumehnye…Bang, ade siang ade malam, ade bulan ade matahari, kalo bukan lantaran perawan yang di dalam, kaga bakalan nih laki gue anterin ke mari.
P: Oh… jadi lantaran perawan Abang kemari?…Eh… Bang, kage salah Abang beli lemari, tapi sayang kage ade kuncinye, kage salah abang datang kemari, tapi sayang tuh… perawan ude ade yang punye.
L: Oh…jadi tuh perawan ude ade yang punye, eh …Bang crukcuk kuburan cine, kuburan Islam aye nyang ngajiin, biar kate tuh perawan udeh ade yang punye, tetep aje nih laki bakal jadiin.
P: …Jadi elu kaga ngerti pengen jadiin, eh … bang kalo jalan lewat kemayoran, ati-ati jalannye licin, dari pada niat lu kage kesampaian, lu pilih mati ape lu batalin.
L: Oh… jadi abang bekeras nih…eh …Bang ibarat baju udah kepalang basah, masak nasi udah jadi bubur, biar kate aye mati berkalang tanah, setapak kage nantinye aye bakal mundur.
P: Oh… jadi lu sangke kage mau mundur, ikan belut mati di tusuk, dalam kuali kudu masaknye, eh… nih palang pintu kage ijinin lu masuk, sebelum lu penuin persaratannye
L: Oh…jadi kalo mao dapet perawan sini ade saratnye, Bang…?
P : Ade…, jadi pelayan aje ada saratnye… apa lagi perawan…
L: Kalo begitu… sebutin saratnye… Bang…
P: Lu pengen tau ape saratnye…kude lumping dari tangerang, kedipin mate cari
menantu, pasang kuping lu terang-terang, adepin dulu jago gue satu-persatu
L: Oh… jadi kalo mao dapet perawan sini saratnye bekelai Bang…
P: Iye … kalo lu takut, lu pulang…
L: bintang seawan-awan, aye itungin beribu satu, berape banyak Abang punya
jagoan, aye bakal adepin satu-persatu.
Adu Jurus
Setelah adegan di atas, pemain palang pintu biasanya melanjutkan dengan
kembangan. Berikut adalah petikannya.
L: bang, lu tau dalemnye rawe, pasti lu tau kali semanan, kalo mau tau namenye jaware, nih lu liat gue punye maenan (jalanin jurusnye ). Nih ….baru kembangnye …. Bang…ntar buahnye…
P: Kelape ijo ditusuk belati naek, perahu lurus jalannye, udeh banyak jago yang mati, nih jurus pukulannye (jalanin jurusnye)
kalo elu buahnye…
nih bijinye….
Adu Ngaji
Beradu jurus pun berakhir. Pihak pengantin lelaki keluar sebagai pemenang.
Perbincangan pun dilanjutkan kembali.
L: Gimane Bang…rase-rasenye jagoan Abang udeh pade rontok semua nih…
ape aye ame rombongan udah boleh masuk?…ape masih ade saratnye lagi Bang?…
P: Ntar dulu Bang, enak aje… pan lu tau…
buah cereme jangan diasinin
makan nasinye di kandang kude
sarat pertame emang lu ude penuin…
tapi masih ade sarat yang kedue…
L: Sebutin udah bang jangan lame-lame
P: Tukang lakse dagangnye malam
jalannya muter ke pasar kranji
gue minta elu jangan cume bise berantem
tapi gue pengen denger lu bise ngaji
L: Tumbuk ketan jadinye uli
ulinye juge kudui ditapeni
betaun-taun anak kampung gue bisa ngaji
lagu yang Abang minta aye bawain
(baca sikeh)
Gimane Bang… soal berantem aye udah ladenin, soal ngaji abang udah dengerin
ape aye ame rombongan udah boleh masuk, ape masih ade saratnye lagi,
Bang?…
P: Cukup-cukup dah Bang…rase-rasenye kage sie-sie aye bebesanan ame Abang
soal silat Abang jago…soal ngaji Abang bise…aye Cuma bisa bilang…
buah mangga bukan sembarang mangga
buahnye satu tulung petikin
aye bangga bukan sembarang bangga
mantu yang begini yang aye arep-arepin
ahlan wasahlan buat Abang ame rombongan…
Assalamu, alaikum…
==
jodhi yudono
silatindonesia@yahoogroups.com

Ibrahim Syukri dan Represi yang Abadi

Oleh : Maruli Tobing

"Kar’ena Patani terpencil dari dunia luar, maka orang-orang Melayu tidak dapat dan tidak berupaya menentang pemerintahan yang kejam dan ganas ini. Teguran-teguran yang sederhana saja dianggap sebagai membahayakan keselamatan negeri. Oleh Kerajaan Siam ditindas dengan hukum bunuh atau disiksa.’’

Ibrahim Syukri dalam bukunya Sejarah Kerajaan Melayu Patani mengutip laporan perjalanan wartawan Inggris, Barbara Wittingham-Jones, yang dimuat di surat kabar Strait Times, Singapura, 1 Desember 1947.

Sejarah Kerajaan Melayu Patani ditulis dalam bahasa Jawi Melayu dan tanpa tahun diterbitkan. Ibrahim Syukri adalah nama samaran. Hingga sekarang tidak ada orang yang tahu apa dan siapa dia.

Kalangan ilmuwan sosial Barat melihat karya Ibrahim Syukri sebagai bentuk penulisan sejarah Patani yang pertama. Center for International Studies, Ohio University (AS) menerjemahkannya dalam bahasa Inggris tahun 1985.

Dalam pengantar dijelaskan, naskah asli buku tersebut diperkirakan diterbitkan tahun 1950-an di Pasir Putih, perbatasan Kelantan-Patani. Beberapa kopinya sempat diselamatkan keluar.

Di Malaysia dan Thailand, setelah sempat lama dilarang diedarkan, buku tersebut akhirnya diterbitkan dalam bahasa setempat.

Maruli Tobing
Sejarah Kerajaan Melayu Patani adalah masa lalu suatu kerajaan Melayu yang pernah berjaya. Tamat selamanya setelah Kerajaan Siam menganeksasi Patani tahun 1902. Inggris mengakui kedaulatan Siam atas Patani tahun 1906. Sebagai imbalannya, Siam menyerahkan Kelantan, Perlis, Kedah, dan Trengganu kepada Inggris.

Kini wilayah Kerajaan Patani berubah menjadi Provinsi Patani, Narathiwat, Yala, dan Songkhla di Thailand Selatan. Tiga provinsi pertama berpenduduk 80 persen Muslim keturunan Melayu.

"Bagi orang-orang Melayu, perubahan dalam sistem pentadbiran ini adalah suatu penjajahan atas negeri dan bangsa mereka,’’ tulis Nik Anuar Nik Mahmud dalam bukunya Sejarah Perjuangan Patani, 1784-1954 (1999).

Maka, sejak saat itu pergolakan menggelinding mirip bola salju. Tiga tahun terakhir merupakan rekor paling berdarah dan bertahan paling lama. Lebih dari 2.100 orang dilaporkan tewas dan ribuan lainnya cedera sejak maraknya aksi kekerasan, Januari 2004. Ratusan gedung sekolah milik pemerintah hangus dibakar.

Akibat gawatnya masalah keamanan, semua sekolah pemerintah (lebih kurang 950 sekolah) di Provinsi Patani, Narathiwat, dan Yala diliburkan pertengahan November lalu hingga batas waktu yang belum ditentukan. Sejauh ini lebih dari 60 guru tewas ditembak. Bahkan, ada yang dieksekusi saat mengajar di depan kelas.

Kini, hampir tidak ada hari yang berlalu tanpa mayat, ledakan bom, dan letusan senjata api di Provinsi Patani, Narathiwat, dan Yala. Militer Thailand menuding kelompok militan dan Jemaah Islamiyah berada di balik aksi kekerasan.

Sebelum digulingkan, PM Thaksin Shinawatra menyebut pelakunya kelompok kriminal dan jaringan narkoba. Belakangan, ia mengatakan, rencana penyerangan dimatangkan di Malaysia. Kelompok militan Islam ini mengikuti pendidikan agama dan militer di Indonesia (The Standard, 20/12/2004).

Baru-baru ini, Juru Bicara AD Thailand Kolonel Acra Tiproch kembali melontarkan tuduhan. Ia mengatakan, berdasarkan pengakuan mereka yang ditangkap, warga Indonesia melatih militan Melayu Patani cara memenggal leher korbannya (bangkokpost.com, 14/5/2007).

Namun, Joseph Chinyong Liow, asisten profesor di Institute of Defence and Strategic Studies, Singapura, meragukannya. "Faktanya belum seorang pun warga Melayu Muslim yang dihukum karena melakukan kekerasan. Tidak satu pun organisasi militan Islam yang dinyatakan oleh pengadilan sebagai dalang kekerasan.’’ (International Jihad and Muslim Radicalism in Thailand? Asian Policy, July 2006).

Dr Nidhi Aeusrivongse, sejarawan terkemuka Thailand, berpendapat hampir sama. "Jaringan militan internasional hanya ada dalam fantasi pemerintah Thailand,’’ tulisnya (Understanding the Situation in the South as a Millenarian Revolt, Review Essay, Maret 2005).

Tidak banyak berubah
Pemerintah Thailand agaknya sedang mencoba memproduksi isu untuk mengalihkan perhatian dari masalah sebenarnya. Lebih dari setengah abad silam Ibrahim Syukri menulis, untuk menyiamkan rakyat Melayu Patani, penguasa di Bangkok memberlakukan undang-undang (UU) wajib belajar di sekolah pemerintah, tahun 1921.

Masyarakat Melayu Patani menolaknya karena khawatir anak-anak mereka akan dibuddhakan. Lagi pula, selama ini mereka hanya mengenal pondok pesantren sebagai satu- satunya institusi pendidikan. Bentrokan bersenjata pecah tahun 1923.

Rezim militer Thailand memberlakukan UU yang lebih keras tahun 1941, isinya antara lain melarang mengenakan pakaian tradisional di tempat-tempat umum. "Sering kali baju jubah dan serban orang-orang haji diseret oleh polis-polis Siam. Orang-orang perempuan sewaktu berjual beli di pekan-pekan ditendang kerana memakai baju kebaya dan ber-kelubung,’’ tulis Ibrahim Syukri.

Setengah abad kemudian, represi tidak banyak berubah. Laporan Amnesty International (4/1/2006) mengungkapkan, banyak kasus penangkapan sewenang-wenang, penyiksaan, penculikan, dan pembunuhan warga desa. Namun, tidak seorang pun pelaku diproses secara hukum.

Menurut Dr Thanet Aphornsuvan, Direktur Southeast Asia Program, Thammasat University, menyusul peristiwa 28 April 2004 yang menewaskan 105 orang, polisi menciduk lebih dari 200 warga desa. Mereka lenyap selamanya (Origins of Malay Muslim "Separatism" in Southern Thailand, 2004).

Hal yang sama terjadi dalam peristiwa Tak Bai yang menewaskan 90 demonstran di tangan militer (25/10/2004). Tidak seorang pun pelaku dihukum.

Lantas, inikah yang disebut sebagai aksi kelompok militan? Jika Pemerintah Thailand menganggapnya demikian, maka siksa dan derita rakyat Melayu Patani akan tetap abadi.

Sastra dan Interaksi Lintas Budaya

Oleh : Melani Budianta (Universitas Indonesia)

Saat ini kita berada dalam suatu masa ketika lalu lintas antarbangsa meningkat kecepatan dan intensitasnya. Kontak lintas batas antarnegara, bangsa, dan bahasa bukan hanya terjadi melalui perjalanan, pertukaran jasa, dan komoditas, melainkan juga melalui jalur elektronik yang terjadi dalam hitungan detik dari satu pelosok ke pelosok lain di dunia. Dalam dunia sastra, misalnya, muncul komunitas-komunitas internet yang memungkinkan anggotanya saling berdiskusi dan berbagi karya tanpa urusan visa.

Di Indonesia pada awal abad ke-21 ini interaksi lintas budaya yang terjadi dalam proses globalisasi beriringan dengan suatu krisis dalam tubuh negara-bangsa, baik dari segi ekonomi maupun dalam keutuhan negara-bangsa itu sendiri secara sosial, budaya, dan geopolitik. Walaupun isu separatisme dan “kebangkitan daerah” bukan hal yang baru dalam sejarah Indonesia, gugatan dari Aceh, Papua, dan sebelumnya Timor Timur, sebagai sekadar contoh, cukup menggoncangkan eksistensi negara kesatuan Republik Indonesia. Di samping itu, proses pembentukan nasion yang belum selesai ini terus terusik pula oleh konflik antarkelompok dalam berbagai tataran. Dalam konteks Asia Tenggara, berbagai persoalan yang berkaitan dengan interaksi lintas bangsa dalam konteks lokal ataupun global mewarnai bebagai negara-bangsa dengan kekhususan masalahnya masing-masing. Pada saat yang sama globalisasi yang dimotori oleh kapitalisme global Amerika Serikat menimbulkan kebutuhan bagi sejumlah negara-bangsa untuk membentuk kerja sama lintas nasion untuk mencari alternatif perimbangan yang lain.

Di mana posisi dan peran sastra dalam berbagai persoalan dan dimensi lintas batas ini? Dalam hal ini sastra tidak dilihat hanya dalam pengertian mimetik, sebagai cermin bagi hubungan lintas budaya yang pernah atau sedang terjadi. Sastra di sini, baik teks maupun aktivitas sastra, adalah juga suatu praksis budaya, sosial, atau bahkan politik yang ikut membentuk atau bermain dalam interaksi lintas budaya tersebut.

Lokal-Nasional-Regional-Global
Kumpulan cerita pendek dan sajak Riau Satu, yang diterbitkan “sebagai tonggak perlawanan pegiat sastra Riau” (2000) diawali oleh sebuah cerpen yang mengusik hubungan kekuasaan di berbagai tingkatan. Cerpen Azmi R. Fatwa “Karena Generasi Kakek” diceritakan oleh tokoh Aku, Tajul, orang Sumatra Timur yang pulang ke desanya setelah 30 tahun hijrah di Jakarta. Setiba di desa, Tajul dikejutkan dengan kenyataan bahwa semua orang di desanya, dari budak ingusan sampai nenek-nenek, nelayan sampai anak sekolah, berbahasa Inggris dan bahasa mancanegara lainnya. Padahal, terakhir kali ia pulang, Tajul sempat dilempari batu karena berbicara dengan logat Jakarta. Kini tak seorang pun sudi berbicara bahasa Melayu dengannya. Di akhir cerita, Tajul mendapat penjelasan dari seorang Nenek: Bahasa Melayu maupun bahasa Indonesia sudah tak ada artinya bagi kami, Tajul … Penguasa negeri sudah merampasnya dari kami sehingga kami tak dapat bangga lagi, bahasa persatuan itu berasal dari bahasa kami. Biar sajalah mereka memakainya … toh persatuan itu tidak termasuk kami di dalamnya. Selama puluhan tahun berada di bawah kekuasaan negara kesatuan, kami tak pernah mendapat apa-apa. … Sawit, batu bara, batu granit, gas alam, hasil hutan … semua habis dipunggah (dikeruk habis-habisan) dan dijual oleh pemerintah negara kepada negara asing, tak setitik pun dapat dirasa oleh rakyat sini.
(7) Dengan menggunakan bahasa-bahasa mancanegara, masyarakat desa itu, seperti halnya semua “bekas orang terbelakang” “Sakai, Talang Mamak, Montai, dan Duanu”, telah mengubah posisi mereka menjadi “warga dunia”. Bahasa Melayu telah dikuburkan karena “bahasa itu hanya membangkitkan ingatan kami terhadap luka masa lalu … pada masa-masa dijajah oleh bangsa sendiri,” sedangkan bahasa-bahasa mancanegara menjadi simbol “kemerdekaan yang ada pada kami”

(8). Dua macam penggunaan kata “asing” dalam tuturan Nenek di atas menunjukkan dua sikap dan posisi berbeda terhadap kekuatan nasional dan global. Dengan nada pedih dipersoalkan peran negara-bangsa sebagai “penguasa” yang mengeruk kekayaan lokal kepada pihak “asing” demi kepentingannya sendiri dengan mengorbankan yang lokal.. Pada sisi yang lain, dengan humor yang mengandung sindiran, cerpen itu menunjukkan bagaimana yang “asing” dipakai sebagai sarana membalikkan posisi keterpinggiran di tingkat nasional dengan cara bergabung ke tataran global melalui “bahasa asing.”

Cerpen itu memposisikan diri dengan kritis menghadapi dua kekuatan yang lebih besar, kekuatan nasional dan global. Sebuah negara-bangsa dalam hal ini berfungsi sebagai perantara, yang menyeleksi, mengatur, menarik pajak, dan mempertemukan kepentingan global, regional, dan lokal. Hal itu dilakukan terutama guna memantapkan eksistensi negara-bangsa yang dapat bersifat menguntungkan, tetapi bukan tanpa kemungkinan dapat menyisihkan atau merugikan kepentingan

lokal. Pada sisi yang sama, kekuatan global atau regional dapat dipakai untuk memfasilitasi kepentingan lokal dalam menghadapi atau bahkan menggerogoti eksistensi negara bangsa-itu sendiri. Cerpen Azmi berbeda dengan kelaziman untuk memakai bahasa Inggris sebagai simbol gaya hidup atau pengaruh “Barat” yang dirasakan mengancam atau melindas identitas lokal atau nasional. Dalam semua pola interaksi ini kita melihat bahwa yang asing, yang nasional, ataupun yang lokal dapat saling bertaut tanpa batas yang terlalu jelas.

Membangun Kesadaran Komunitas
Dalam kumpulan Riau Satu ataupun berbagai publikasi yang memposisikan diri sebagai “marjinal” atau sebagai gugatan terhadap kekuatan pusat, nada kecewa, gusar, dan risau menjadi warna dominan. Tetapi, lebih dari penyaluran aspirasi sosial politis masyarakat, karya sastra yang mewakili suara “daerah” membangun kesadaran akan kebersamaan – dalam kondisi susah atau senang – pada suatu wilayah budaya yang sama.

Sastra memegang peran penting, misalnya, dalam proses pembangunan kesadaran sebagai suatu komunitas yang mempunyai kesatuan, baik komunitas lokal, komunitas negara-bangsa, maupun komunitas dalam satu kawasan regional. Kesamaan pengalaman sejarah, kesamaan visi dan kepentingan, adalah sebagian dari begitu banyak kemungkinan penyatuan menjadi satu komunitas, yakni komunitas budaya ataupun komunitas geopolitik. Tetapi, kesamaan dan berbagai macam alasan itu perlu secara terus- menerus diingatkan dan dibangun untuk merekat kesatuan dalam suatu wilayah yang pada dasarnya sangat beragam penduduk dan budayanya. Seperti yang diuraikan oleh Anderson, Hobsbawm, dan Brenan, pembentukan suatu entitas kelompok seperti itu memerlukan upaya terus-menerus untuk ‘membayangkan’ serta mengukuhkan eksistensinya, termasuk ciri-ciri budaya, tradisi, mitos, dan ritualnya. Sastra berfungsi dalam membayangkan dan mengkonstruksikan citra komunitas – negara-bangsa, daerah, maupun kawasan regional– secara tekstual dan mensosialisasikannya dalam masyarakat menjadi suatu yang dimiliki bersama.

Usaha membangun nasion secara terus-menerus bisa kita telusuri dari karya-karya pengarang Indonesia asal Sumatera, Muhamad Yamin. Muncul sebagai ketua Jong Sumatranen Bond di tahun 1926, konsep “tanah air” bagi Yamin bergeser dari Sumatra menjadi Indonesia. Pada tahun 1928 Yamin merupakan salah satu penggerak Sumpah Pemuda. Karya-karyanya kemudian mencerminkan semangat yang berkobar-kobar untuk membangun kesatuan. Ia menggali sejarah untuk memberikan landasan dan pembenaran akan nilai historis Indonesia sebagai wilayah negara-bangsa. Ditulisnya sejarah bendera merah-putih dan riwayat “pahlawan persatuan Nusantara”, Gajah Mada. Di sini terlihat fungsi sastra sebagai sarana untuk membangun dan mengimajinasikan negara-bangsa yang tidak serta merta ada begitu saja.

Pada titik yang lain karya Muslim Burmat Puncak Pertama dapat dilihat melakukan hal yang sama untuk Brunei Darussalam. Dalam novel itu keluarga Ahmad dan Urai yang tergusur karena pembangunan mesjid besar di daerah pesisir Kampung Ayer, terpaksa pindah ke Seria, “pekan yang menjadi ramai dengan terbukanya telaga-telaga minyak.” Di tempat “mencari wang” itulah keluarga Melayu ini hidup di rumah “berek” sepuluh pintu, berjiran dengan beraneka bangsa. Ahmad harus menyesuaikan diri hidup berdampingan dengan jiran Cina yang bau minyak masakannya, diduga berasal dari yang diharamkan agama, menyengat pernapasannya setiap hari dan bersabar hati terhadap jiran orang Iban yang kokok ayam-ayamnya selalu membangunkannya terlalu dini. Setting waktu tiga puluhan tahun sampai tahun 70-an melatari suka duka keluarga Ahmad melewati berbagai fase sejarah, berinteraksi dengan orang Inggris di perusahaan maupun sebagai pimpinan militer, berurusan dengan iparnya yang terlibat pemberontakan, orang India dan Singapura berideologi kiri yang menjadi supervisor perusahaan, orang Iban yang menjadi gurunya berburu, jiran Cina tetangganya, dan pendeta Kristen bangsa Kenyah. Walaupun disampaikan dengan perspektif Melayu Muslim yang kuat, novel ini berperan dalam membayangkan serta mengkonstruksikan suatu komunitas “antarkaum” yang menjadi cikal bakal Brunei Darussalam.

Dalam skala yang lain, proyek-proyek penerbitan antologi bersama yang dikelola oleh ASEAN dalam bahasa Inggris dan program-program Majelis Sastra Asia Tenggara dalam bahasa Melayu bisa dilihat sebagai upaya membayangkan suatu komunitas lintas bangsa yang lebih besar di tingkat kawasan.

Representasi Antarkelompok: Mencitrakan dan Dicitrakan
Identitas sebagai suatu komunitas atau kelompok sering kali dikukuhkan dengan memerikan siapa yang berhak memilikinya. Konsep “asli,” “pendatang”, “orang asing” dan seterusnya secara hierarkis menunjukkan hak kepemilikan terhadap suatu komunitas, baik dalam tataran lokal maupun nasional. Selain itu, proses pembentukan identitas kelompok sering kali dilakukan dengan mengontraskan identitas kelompok tersebut dengan yang dianggap bukan termasuk di dalamnya (“mereka” vs “kita”). Jika menyangkut entitas kelompok lokal, identitas tersebut dapat dikontraskan dengan entitas yang lebih besar (nasional), regional, atau global, dengan dimensi hubungan kekuasaan yang berbeda-beda. Edward Said telah menunjukkan bagaimana sastra berfungsi untuk mencitrakan “Yang Lain”, sering kali dengan kecenderungan menggeneralisasi, seperti terlihat dalam citraan tentang “Timur” dalam karya sastra “Barat”. Pencitraan stereotipis semacam ini juga merupakan salah satu bentuk perwujudan interaksi antarkelompok yang mengkristal dalam generalisasi. Stereotip etnis tentang orang Jawa, Cina, Dayak, Irian, menyebar di berbagai produk budaya, seperti iklan, film, termasuk dalam karya sastra.

Sastra dalam hal ini dapat berfungsi mengukuhkan kecenderungan dominan, misalnya melalui stereotip atau cara pandang yang esensialis. Sebaliknya, sastra dapat mempertanyakan konstruksi-konstruksi sosial yang ada secara kritis dan menawarkan perspektif yang berbeda. maupun untuk memberikan representasi diri sendiri yang berbeda dari stereotip-stereotip yang ada. Di sini identitas budaya muncul bukan sekadar sebagai “warna lokal”, melainkan sebagai suatu ekspresi budaya yang menggugat atau menawarkan alternatif terhadap citraan yang beredar di masyarakat.

Di masa lalu pemerintah Orde Baru di Indonesia mengupayakan kontrol terhadap representasi masa lalu, dengan mensyakralkan satu versi sejarah yang berpusat dan memberi pembenaran terhadap status quo. Wacana yang dominan pada waktu itu merepresentasikan apa dan siapa yang dianggap musuh dengan cap-cap yang dibangun dengan konotasi yang buruk. Bagi mereka yang lahir dan dibesarkan di zaman Orde Baru, kata-kata “komunis” “kiri” serta merta membangkitkan berbagai konotasi yang menakutkan, sama halnya dengan istilah, “kelompok subversif”, “GPK”. Yang muncul bukan sosok-sosok manusia, melainkan simbol kejahatan yang boleh dimusnahkan atau dibasmi seperti hama.

Pada masa sesudah kejatuhan Soeharto, keterbukaan memungkinkan sejarawan dan sastrawan untuk melihat masa lalu dengan perspektif yang berbeda-beda. Novel seperti karya Putu Oka Sukanta, Merajut Harkat atau Martin Aleida, Layang-layang itu Tak Lagi Mengepak Tinggi-tinggi memberikan penawar bagi konstrukti verbal yang menghakimi di masa Orde Baru. Di novel-novel itu tokoh-tokoh yang pernah ditahan karena afiliasi politiknya atau karena kekeliruan yang tak pernah diakui dimunculkan secara manusiawi. Tapol atau mereka yang dicap “antek komunis” itu tampil sebagai orang yang mencintai negaranya, yang menekuni profesinya, dan sebagai pribadi yang bisa menyayangi, membenci, punya cita-cita, rasa sakit, lapar, dan kesepian. Dalam novel Larung karya Ayu Utami, di balik stereotip-stereotip “Gerwani”, “PKI”, “Penimbun beras” ditunjukkan orang-orang kecil yang tak tahu apa-apa, seperti ayah tokoh Larung, seorang tentara yang mengatasi gaji kecilnya dengan menjual sisa beras jatah bersama sobatnya pedagang kelontong orang Cina. Keduanya dibunuh, yang satu dicap oknum PKI ketika sesama tentara terpaksa menyebut kawannya untuk menyelamatkan nyawa, dan sang pedatang dibantai sebagai “penimbun beras.”

Empati, Solidaritas, Pemahaman Lintas Budaya
Di tengah meningkatnya primordialisme dan konflik antarkelompok, sastra dapat berfungsi, bukan saja untuk mendobrak stereotip, melainkaan juga untuk menekankan tema solidaritas dan empati. Simak puisi yang membangkitkan empati dan solidaritas, yang ditulis oleh sastrawan negara Usman Awang empat dekade silam, tujuh tahun sebelum kerusuhan Mei 1969: Anak Jiran Tionghua Begitu kecil ia berdiri di tepi pagar kilat matanya memanggil Iskandar siapa lalu siapa berkaca melihat keduanya bergurau senda Anak Tionghua kelahirannya di sini di bumi hijau lading-ladang getah dan padi ia bisa bercerita untuk siapa saja di sini tanahnya dan ibunya bersemadi Lihat mereka sedang berebutan pistol mainan he, jangan berkelahi ah, anak-anak dengan caranya murni berkelahi untuk nanti bermain kembali Lihat mereka tertawa riang Ah Chew tak punya gigi sebatang Iskandar mengesat hingus ke baju sekarang mereka menuggu aiskrim lalu Bumi tercinta resapkan wahyumu jantung mereka adalah langitmu darah mereka adalah sungaimu nafas mereka adalah udaramu (1962)

Seperti yang terlihat pada puisi Usman Awang di atas, sastra sebagai seni dengan medium kata mempunyai peluang kuat untuk membukakan wawasan, terutama untuk memahami dunia dari perspektif yang lain. Pada desarnya sebuah cerita rekaan bertumpu pada penghayatan terhadap sosok-sosok tokoh yang diciptakan. Kemampuan menghayati dan melihat perspektif sesuai dengan penokohan dengan demikian menjadi suatu kemampuan yang penting bagi seorang pengarang. Lepas dari bias-bias subjektif yang mau tak mau akan mewarnai setiap pengarang, sastra mempunyai potensi yang sangat besar sebagai medium imajinasi untuk pemahaman lintas budaya. Salah satu novel yang paling terkenal dalam sejarah Amerika ditulis oleh seorang perempuan kulit putih yang mampu menyelami dan menghidupkan penderitaan seorang budak bernama Paman Tom.

Di Indonesia praksis lintas budaya yang sangat mengesankan adalah penciptaan kisah Si Doel Anak Jakarta oleh Aman Datuk Majoindo di tahun 1940-an. Pengarang dari Sumatra Barat ini pergi merantau ke Jakarta ketika berumur 23 tahun, dan hidup sebagai pekerja kasar (pegawai toko, kuli di Tanjung Priok) yang bergaul dengan berbagai kalangan, termasuk masyarakat Betawi. Barangkali kehidupannya yang keras di Jakarta membuat ia bersimpati kepada masyarakat Betawi yang pada waktu itu belum sempat menikmati buah-buah modernitas dan melahirkan karya sastra pertama yang ditulis dalam dialek Betawi. Cerita anak-anak ini menjadi populer, dijadikan bacaan wajib di sekolah-sekolah, dan pada masa-masa berikutnya, yakni di tahun 1970-an dan 1990-an, diangkat menjadi film dan sinetron yang menyedot penonton. Si Doel kini identik dengan orang Betawi dan diterima baik oleh sejumlah kalangan Betawi sendiri sebagai simbol identitas masyarakat Betawi. Tidak banyak yang menyadari atau mengingat kembali bahwa tokoh si Doel adalah hasil sebuah penghayatan lintas budaya. Karya Aman Datuk Madjoindo menunjukkan bahwa representasi yang penuh empati dan menyentuh tentang suatu budaya tertentu dapat ditulis oleh bukan “pemilik asli” budaya.

Mencari Solusi: Hibriditas dan Kemajemukan
Selain memberi peluang untuk memasuki perspektif “orang lain”, karya sastra mempunyai potensi untuk menawarkan solusi terhadap permasalahan lintas budaya dengan membuat terobosan berpikir atau cara memandang. Kenyataan yang terjadi di tahun 1998, seperti kerusuhan berikut penjarahan dan pembakaran tempat usaha, ketegangan rasial terhadap etnis Tionghoa dan berbagai kekerasan antarkelompok terus- menerus menjadi sumber pembicaraan dan tulisan. Tetapi, berbeda dengan pendekatan yang mengangkat permasalahan-permasalahan tersebut sebagai suatu permasalahan yang serius, melalui kajian sosial politik, atau yang membangkitkan reaksi emosional yang keras, sejumlah cerpen dalam antologi Cerpen Mini Inhoa melihat persoalan dengan kacamata yang santai, kreatif, dan penuh humor.

Salah satu solusi lain dalam menghadapi primordialisme dan fanatisme kelompok adalah jalan tengah. Bersamaan dengan maraknya wacana multikultural yang mulai berkembang di mancanegara sejak tahun 1980-an, sejumlah karya sastra memajukan hibriditas dan kemajemukan untuk merobohkan sekat-sekat identitas. Nukila Amal menyusun mozaik Kepulauan Halmahera dengan dimensi hibrid: …leluhurku pelaut Makassar yang datang berniaga. Leluhurku saudagar Cina yang jatuh cinta pada tanjung dan seorang perempuan tanjung dan tinggal bersamanya di tanjung menatap ombak bergulung. Generasi demi generasi, berganti datang dan pergi,lahir dan mati. Di suatu waktu, muncul kakekku.(17)

Betawi yang ditampilkan oleh Zeffry J. Alkatiri dalam antologi puisi Dari Batavia Sampai Jakarta 1616-1999 adalah gado-gado berbagai unsur budaya: Belanda, Arab, Cina, Betawi, Sunda, Portugis, Jawa yang saling meminjam dan bercampur. Meskipun masih memanfaatkan stereotip-stereotip, gambaran tiap etnis yang meramaikan Batavia yang dibayangkan Zeffry tidak tunggal. Belanda tidak tampil hanya dengan bedil dan anggur, tetapi juga suster yang kehabisan perban di rumah sakit, dua noni dan sinyo Belanda yang terpenjara oleh sekat kelas dan ras, menonton anak-anak Betawi menyanyikan lagu dolanan. Di perkampungan Cina Benteng-Tangerang, enci-enci berkebaya dan sengau dari kandang babi mengiringi pesinden, penari cokek dan pemain rebab. Dengan perspektif yang lebih toleran dan terbuka, karya sastra berperan menawarkan alternatif terhadap primordialisme dan esensialisme yang terus- menerus membuahkan kekerasan dalam masyarakatnya.

Aktvitas Sastra, Politik Bahasa, dan Kebijakan Budaya
Ketika krisis ekonomi berkembang menjadi krisis yang penuh kekerasan, terutama kekerasan antarkelompok di Indonesia di tahun-tahun akhir menjelang abad ke-21, beberapa penulis mengaku kehilangan daya untuk mengangkat penanya. Kekerasan fisik yang melampaui batas kemanusiaan memang bisa melumpuhkan, tetapi untunglah, tidak mematikan. Pada kurun periode yang sama memasuki masa Reformasi yang tak kalah hingar bingarnya, dunia tulis-menulis di Indonesia menyaksikan produktivitas tekstual yang tinggi. Lepasnya sensor yang ketat terhadap penerbitan memungkinkan pembaca Indonesia memilih karya yang majemuk dari segi orientasi dan ideologi. Kebijakan budaya yang mematok sejarah versi tunggal dan penyeragaman sudah beralih pada kebangkitan keragaman. Sebuah teror sweeping buku Marksis yang dilancarkan di awal tahun 2000 sempat menciutkan nyali sejumlah toko buku untuk beberapa lama, tetapi kecenderungan untuk mempertahankan kebebasan berekspresi tampaknya masih bertahan.

Bagi para penulis, salah satu cara membebaskan diri dari trauma kekerasan adalah menghadapinya dengan pena atau melalui aktivitas sastra yang menjawab permasalahan yang ada. Penyair Afrizal Malna menggabungkan keseniannya dengan aktivisme lingkungan dan aktivisme untuk membela rakyat miskin di perkotaan. Sastrawan di sejumlah daerah “menjembatani” hubungan yang bermasalah antarkelompok melalui pembacaan puisi dan kolaborasi sastra lainnya. Salah satu di antara aktivitas tersebut adalah pembacaan karya pengarang Indonesia dalam bahasa Mandarin dan karya pengarang Komunitas Sastra Indonesia, antara lain dari kalangan buruh di akhir tahun 1998. Itulah pemunculan sastra Mandarin yang pertama sejak masa Orde Baru.

Tampaknya peran karya sastra dalam interaksi sosial memang tidak dapat dipisahkan dari kondisi penciptaan yang melingkupinya, yang mau tak mau berkait dengan kebijakan budaya yang berlaku. Cerpen dari Riau yang dikutip sebelumnya menunjukkan konsekuensi dari kebijakan bahasa yang menghasilkan nilai dan posisi bahasa Melayu dan Inggris yang berbeda konteksnya di empat dari sepuluh negara Asia Tenggara. Di Indonesia, ketika bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia, kemelayuannya lebur dengan perpaduan kosakata bahasa-bahasa lainnya, dipakai dengan berbagai logat dan dialek oleh para penuturnya. Akibatnya, berbeda dengan posisi bahasa Melayu di Malaysia yang masih erat berasosiasi dengan identitas Melayu, sumber ke-Melayu-annya memang cenderung terlupakan. Ditambah dengan komposisi penduduk, sejarah, dan berbagai faktor lainya, keterbukaan ini menyebabkan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional tidak tersaingi oleh bahasa-bahasa lainnya di wilayah publik. Ini berbeda dengan konteks di Malaysia, yang ruang publiknya ramai dengan bahasa Inggris sebagai bahasa yang diwariskan sejarah kolonial, Cina dan Tamil, dengan penutur yang cukup besar presentasinya. Nilai dan kedudukan bahasa “Inggris” sebagai yang masih harus ‘digalakkan’ di Indonesia, sedangkan di Malaysia sudah de facto menjadi bahasa pergaulan antarkaum.

Dalam perkembangan globalisasi yang ada, penulisan karya sastra di Asia Tenggara yang menggunakan bahasa Inggris bahkan di wilayah yang bukan bekas koloni negara berbahasa Inggris sekali pun, tampaknya akan terus berkembang. Dari Indonesia, misalnya, muncul pengarang seperti Richard Oh, yang menulis novel berlatar kerusuhan 1998 dalam bahasa Inggris, penyair Saraswati Sunindyo, yang sajak-sajak bahasa Inggrisnya mulai dikenal di Amerika Serikat. Kekayaan budaya milik siapakah karya-karya tersebut, kekayaan ‘nasional’ negaranya masing-masing, kekayaan kawasan Asia Tenggara, atau sastra global yang tidak berkebangsaan? Padahal, teks-teks berbahasa Inggris tersebut dengan kritis menyoal hubungan lintas budaya kekuatan lokal dan global.

Berbicara dalam konteks Asia Tenggara yang kesatuan komunitasnya mau tak mau harus bertumpu pada bahasa Inggris, (selain bahasa Melayu di sejumlah kawasannya), ekspresi sastra dalam berbagai bahasa selain bahasa Melayu penting untuk dirangkul. Penerjemahan lintas bahasa seperti yang telah dilakukan di Malaysia, Indonesia, dan di berbagai negara Asia Tenggara lainnya merupakan suatu aktivitas yang seyogianya terus-menerus dilakukan untuk membantu membayangkan komunitas Asia Tenggara. Selain itu, pembahasan silang antara teks-teks nasional yang berbahasa Melayu dan yang berbahasa lain akan sangat memperkaya wawasan lintas budaya. Praksis budaya lintas bahasa semacam itu akan sangat bermanfaat bahkan dalam konteks Mastera sekali pun, yang tujuannya untuk mengembangkan bahasa Melayu di kawasan Asia Tenggara.

Penutup
Proses globalisasi menunjukkan interaksi lintas budaya yang kompleks. Di satu pihak terjadi peningkatan yang sangat tajam, bukan saja pada kuantitas dan kecepatan interaksi, melainkan juga pertautan yang kompleks dan menyebar antara yang global dan yang lokal. Muncul kecenderungan dari yang lokal untuk bergabung pada kelompok yang lebih besar, seperti pada Uni Eropa atau dari kekuatan global untuk menyerap yang local, seperti pada kapitalisme global. Di pihak lain, globalisasi juga diikuti oleh pemecahan entitas geopolitik yang besar menjadi komunitas-komunitas kecil, yang tak jarang dicirikan oleh pengentalan identitas budaya, ras, etnisitas, atau agama. Dalam berbagai pola interaksi tersebut, sastra mempunyai fungsi yang signifikan. Ia dapat berfungsi sebagai pembangun kesadaran satu kelompok, dari yang paling kecil hingga yang regional dan global. Ia dapat menyuarakan aspirasi masyarakatnya untuk menggugat atau mengubah posisi dalam hubungan kekuasaan antara yang lokal – nasional – regional maupun global. Sastra berpotensi baik untuk menunjukkan adanya masalah dalam hubungan antarkelompok –dari prasangka yang dimunculkan melalui stereotip dan penggambaran konflik yang ada– maupun untuk membukakan pemahaman lintas budaya dengan penekanan pada solidaritas, empati, dan kebersamaan. Karya sastra juga berperan untuk menawarkan perspektif alternatif dengan memandang persoalan dari sudut yang tidak lazim atau dengan memecahkan kebekuan antarkelompok melalui konsep hibriditas dan kemajemukan. Dalam semua perannya itu, sebuah karya sastra tidak muncul begitu saja dari keadaan vakum. Ia lahir dari suatu masyarakat yang menciptakan ruang gerak tertentu bagi kesusasteraan melalui kebijakan budaya, politik bahasa, dan birokrasi kesenian. Ia bisa didukung atau dihambat oleh kekuatan negara-bangsa dan mendapatkan daya hidupnya dari aktivitas para pengarang berikut komunitas-komunitas sastra yang hidup pada zamannya. Dinamika yang pesat dalam hubungan lokal-nasional-regional-dan global dalam era globalisasi menuntut semua pihak yang berkepentingan dalam kesusasteraan untuk senantiasa mengkaji ulang kebijakan budaya yang selama ini dianutnya. Perkembangan lintas budaya di abad ke-21 menuntut ruang gerak yang luas untuk menghargai keragaman sambil tetap meneguhkan kebersamaan untuk hidup di dunia yang semakin sempit dan semakin ramai.

Upacara Aruh Ganal

Oleh : Anak Sultan

Upacara Aruh Ganal ini merupakan upacara adat yang terdapat pada suku Dayak Bukit di Pegunungan Meratus. Suku Bukit yang sering melaksanakan upacara ini antara lain daerah Mancabung, Harakit, Balawaian, Batung, Danau Darah, dan Ranai.

Aruh Ganal artinya Kenduri Besar (aruh = kenduri, ganal = besar). Jadi upacara ini dilaksanakan secara besar-besaran oleh seluruh warga kampung dan dihadiri undangan dari kampung lainnya. Dinamai aruh ganal karena ada juga tradisi aruh kecil yang disebut baatur dahar. Baatur dahar ini biasanya hanya dilakukan di lingkungan keluarga. Kemeriahan aruh ganal yang dilakukan tergantung keadaan ekonomi warga di kampung tersebut, sebagai ukurannya adalah hasil panen padi, kacang, dan tanaman pokok lainnya. Apabila hasil tanaman tersebut banyak dan bagus maka akan diadakanlah upacara aruh ganal, sebaliknya jika panen kurang berhasil maka cukup diadakan aruh kecil atau bahkan tidak diadakan sama sekali.

Tujuan diadakannya aruh ganal ini sebagai ungkapan rasa syukur atas karunia yang dilimpahkan oleh Yang Maha Kuasa, sekaligus memohon agar hasil tahun yang akan datang mendapat panen yang melimpah, dijauhkan dari mara bahaya dan mahluk perusak tanaman.

Waktu Penyelenggaraan

Aruh ganal pada dasarnya dilakukan setahun sekali, namun apabila dalam musyawarah adat menganggap bahwa penduduk banyak yang kurang penghasilannya, maka aruh ganal tidak dilaksanakan pada tahun itu. Waktu penyelenggaraan sesudah panen yang biasanya jatuh pada bulan Juli dan Agustus. Untuk menetapkan hari dan tanggalnya diputuskan dalam musyawarah desa yang dipimpin oleh Kepala Adat dibantu oleh Kepala Kampung. Dalam menentukan tanggal diperhatikan bulan muda , berkisar antara tanggal 1 sampai 15, hal ini berhubungan dengan simbol bahwa rejeki akan naik apabila dilaksanakan pada tanggal-tanggal tersebut.

Persiapan Upacara
Tempat dilaksanakannya upacara adalah di dalam Balai Adat. Persiapan aruh dimulai dengan hari batarah sehari sebelum upacara dimulai. Hari batarah maksudnya hari memulai pekerjaan, mempersiapkan segala sesuatu, membuat perlengkapan upacara, menyiapkan sesaji. Pekerjaan itu harus selesai dalam satu hari.

Perlengkapan upacara yang paling penting adalah langgatan. Langgatan merupakan induk ancak dan sesaji. Untuk menghias langgatan dilakukan pada keesokan harinya setelah malam pembukaan. Langgatan dibuat bersusun lima tingkat, ancak yang terbesar terletak di bawah, makin ke atas makin kecil. Langgatan itu nantinya digantung di tengah balai dengan menggunakan tali rotan yang diikat di empat sudutnya.

Langgatan ini namanya bermacam-macam sesuai dengan isi dan tujuannya. Ada yang bernama Ancak ka gunung (tidak bertingkat), Ancak Balai Raden (berbentuk perahu)

Jenis perlengkapan lainnya adalah Kelangkung, dibuat sebanyak tiga buah. Yang pertama disebut Kelangkung Mantit (nama nenek moyang burung), Kelangkung Nyaru (Dewa Petir), Kelangkung Uria (dewa yang memelihara segala mangsa dan bala yang merusak tanaman)

Pelaksana Upacara
Untuk menyelenggarakan kegiatan upacara yang bersifat khusus mulai awal sampai selesai dilakukan oleh Balian. Balian ini mempunyai pengetahuan yang luas mengenai seluk beluk adat dan tradisi yang dipercayai. Pengetahuan ini diperoleh dengan cara berguru kepada Balian Tuha dan balampah (melakukan semacam semedi untuk bersahabat dengan berbagai jenis roh halus untuk memperoleh kesaktian tertentu).

Dalam upacara ini Balian yang melakukan tugas ada beberapa orang. Sebagai pimpinan dari Balian ini adalah Pangulu Adat (penghulu adat).

Setiap Balian selalu didampingi oleh Panjulang. Panjulang adalah wanita yang selalu memperhatikan pembicaraan Balian atau dapat pula mengajukan permohonan atas kehendak masyarakat. Segala permintaan oleh Balian dilayani oleh Panjulang.

Upacara yang dilakukan oleh Balian ini akan berlangsung dalam lima hari berturut-turut sampai acara Aruh Ganal selesai.

Budaya Melayu & Bhinneka Tunggal Ika

Mengenai orang Melayu yang ada di Indonesia, diperkirakan mereka berasal dari daratan benua Asia mengikuti suatu gelombang migrasi yang berlangsung pertama kali pada sekitar 2500-1500 SM. Gelombang migrasi ini datang ke Indonesia sebagian melalui Semenanjung Melayu masuk ke Sumatera, Kalimantan, Jawa; dan lainnya melalui Filipina masuk ke Sulawesi. Para migran ini disebut kelompok Melayu Tua (Proto Melayu).

Pada akhirnya kelompok Melayu Tua ini tersebar di berbagai bagian wilayah Indonesia dan sekarang dikenal sebagai kelompok-kelompok etnis atau sukubangsa. Beberapa di antaranya adalah sukubangsa Gayo, Alas, Batak, Nias, Talang Mamak, Orang Laut, Batin, Kerinci, Mentawai dan Enggano, yang semuanya berada di pulau Sumatera dan sekitarnya; Dayak di Kalimantan; Badui dan Tengger di pulau Jawa; dan beberapa kelompok etnis di pedalaman Sulawesi.

Gelombang migrasi berikutnya dari daratan Asia yang juga melalui Semenanjung Melayu dan Filipina disebut Melayu Muda (Deutero Melayu). Ini terjadi sekitar 300 SM. Sukubangsa yang termasuk Melayu Muda ini, antara lain orang Aceh, Tamiang, Melayu Deli, Melayu Riau, Minangkabau, Melayu Jambi, orang Penghulu, Melayu Bengkulu, Palembang, Melayu Pontianak, Kutai, Berau, Minahasa, Bugis, Makassar, Bali, Sasak dan lain-lain. Beberapa sukubangsa lainnya yang juga masih mengidentifikasikan diri sebagai “orang Melayu”, adalah Melayu Biliton, Melayu
Betawi, dan sebagainya.

Kelompok sosial lainnya tidak secara langsung mengidentifikasi diri sebagai orang Melayu, tapi menggunakan salah satu dialek dari bahasa Melayu. Sebagai contoh, di Minahasa ada sejumlah sub-sukubangsa Minahasa yang masing-masing menggunakan dialek tersendiri. Sedangkan sebagai sarana komunikasi antara anggota sub- sukubangsa tersebut digunakan bahasa Melayu Manado. Beberapa sub-sukubangsa Minahasa, seperti orang Tonsea, Tombulu, Toulor dan Tontemboan diperkirakan sebagai bagian dari arus migrasi Melayu Muda. Sejumlah sukubangsa di pulau Bangka, seperti orang Darat, Sekah dan Lom menggunakan bahasa Melayu Bangka dalam percakapan sehari-hari. Sedangkan orang Muyu di Irian Jaya menjadikan kemampuan berbahasa Melayu sebagai salah satu syarat untuk bisa mengangkat seseorang sebagai kepala suku.

Sejak 400 tahun yang lalu di Jakarta terjadi asimilasi kebudayaan dari beberapa sukubangsa dan bangsa, seperti Melayu, Jawa, Sunda, Bali, Bugis, Portugis, China, Arab, India, serta belanda, yang kemudian melahirkan sukubangsa dan kebudayaan Betawi. Orang Betawi menggunakan bahasa Melayu Betawi sebagai alat komunikasi.

Masyarakat Bugis di Sulawesi Selatan, merupakan sukubangsa yang dianggap termasuk kelompok Melayu-muda. Orang Melayu menetapkan identitas ke-Melayu-annya dengan tiga ciri pokok, yaitu berbahasa Melayu, beradat istiadat Melayu, dan beragama Islam. Berdasarkan ciri-ciri pokok tersebut, masyarakat Indonesia yang tergolong sebagai orang Melayu baik dilihat sebagai ras atau sukubangsa, dipersatukan oleh adanya kerjaan-kerjaan Melayu pada masa lampau. Kebesaran kerajaan-kerajaan Melayu telah meninggalkan tradisi-tradisi dan simbol-simbol kebudayaan Melayu yang menyelimuti berbagai suasana kehidupan hampir sebagian besar masyarakat di Indonesia.

Kerjaan-kerajaan besar Melayu bukan saja terpusat di pulau Sumatera, persebarannya mencapai sebagian besar wilayah nusantara. Hal ini dapat saja terjadi karena adanya beberapa penguasa beserta pengikutnya dari kerajaan-kerajaan tersebut yang melarikan diri karena berbagai faktor, dan kemudian mendirikan kerajaan Melayu baru di daerah lain. Simbol-simbol yang berasal dari kebudayaan Melayu, yang berlaku di tempat-tempat umum serta yang digunakan untuk menjembatani berbagai sukubangsa dan golongan etnis yang berbeda sehingga dapat saling berinteraksi adalah bahasa Melayu dan etika Melayu (antara lain keramahtamahan dan kerterbukaan). Dapat dikatakan, bahwa kebudayaan Melayu memiliki ciri-ciri utama yang bersifat dan fungsional dalam mengakomodasi perbedaan-perbedaan.

Ciri-ciri seperti yang dimiliki kebudayaan Melayu muncul dari pengalaman sejarah kebudayaan Melayu yang selama berabad-abad telah mengalami kontak dengan berbagai kebudayaan asing, baik yang hanya mampir karena hubungan dagang maupun yang menetap di Indonesia. Karena itu kebudayaan Melayu juga memiliki kesanggupan yang besar dalam mengambil alih unsur-unsur kebudayaan non-Melayu.

Kebudayaan Melayu yang diterima oleh semua golongan masyarakat tumbuh dari sejarah perkembangan kebudayaan Melayu itu sendiri, yang selalu berkaitan dengan tumbuh, berkembang, dan runtuhnya kerajaan-kerajaan Melayu, dengan agama Islam, perdagangan internasional, serta penggunaan bahasa Melayu. Oleh karena itu simbol-simbol kebudayaan Melayu yang sampai sekarang diakui sebagai identitas Melayu adalah bahasa Melayu, agama Islam, serta kepribadian yang terbuka dan ramah.

-

Arsip Blog

Recent Posts