Pantai Suci Karma Kandara

Karma Kandara terletak di Desa Ungasan, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung. Jarak tempuh ke lokasi ini kira kira 27 km dari kota Denpasar dan lebih kurang 30 menit perjalanan dari Bandara Ngurah Rai bila menggunakan kendaraan bermotor. Ada juga yang menyebut Pantai Karma Kandara dengan nama Pantai Nammos. Karma Kandara adalah salah satu tempat wisata favorit di Uluwatu selain Pantai Dreamland.

Kawasan pantai ini dulunya merupakan lahan yang tidak produktif. Sejak dibangun hotel Karma Kandara dan kebetulan lokasi pantai ini berada di bawahnya, untuk gampang mengingatnya pantai ini juga dinamakan pantai Karma Kandara. Pantai Karma Kandara masih bersih dan tidak seperti beberapa pantai yang ada di Bali. Ini dikarenakan lokasi pantai ini belum banyak yang orang yang tahu dan dikelola oleh swasta seperti Pantai Indrayanti di Yogyakarta.

Pantai Karma Kandara merupakan kawasan Karma Kandara Resort dan sebagai pantai khusus (private beach) untuk tamu yang menginap di Karma Kandara Resort. Jika anda ingin mengunjungi pantai karma kandara dan tidak menginap di Karma Kandara Resort, maka akan dikenakan biaya masuk Rp. 250.000/orang serta mendapat deposit Rp. 100.000/orang untuk makan/minum. Hotel ini membuat dekorasi dengan dekor yang sangat menarik dengan pantai terletak dibagian bawah sehingga akses menuju pantainya kita ahrus menggunakan semacam lift dengan desain unik.

Untuk anda yang ingin gratisan tak perlu khawatir. Pantai Karma Kandara masih bisa diakses hanya memang memerlukan tenaga lebih. Untuk memasuki area pantai terlebih dahuluberjalan kaki melewati lorong sempit diantara tembok pagar pura dan hotel hingga sampai di bibir tebing yang tingginya kira-kira 150 meter. Dari sini akan terlihat panorama pantai Karma Kandara yang eksotic, lalu menuruni 340 anak tangga yang berkelok kelok.

Pantai Karma kandara mempunyai pemandangan yang sungguh menakjubkan, tersembunyi di balik tebing karang, berpasir putih bersih lembut dengan air laut sebening kristal berwarna hijau kebiruan. Para wisatawan lokal banyak yang belum tahu keberadaan pantai ini. Dengan kondisi ini, keuntungannya adalah pantainya masih bersih dan boleh dibilang Pantai Suci Karma Kandara.

Pengunjung pantai ini adalah wisatawan manca negara yang meginap di Hotel Karma Kandara. Salah satu daya tarik pantai ini adalah pasirnya yang putih dan juga airnya yang jernih, sangat cocok untuk bersantai sama keluarga maupun teman. Bagi anda yang menyukai ketenangan sebaiknya berkunjung kesini. Berbagaikegiatan bisa dilakukan di pantai ini seperti snorkeling, selancar, berenang, berjemur dan bersantai.

Pantai Karma Kandara bahkan sudah terkenal hingga Hollywood. Seperti Julia Robert yang pernah ke Pantai Kuta, bintang film Hollywood Lindsay Lohan juga pernah menginap di Karma Kandara Resort. Oleh karenanya, ada juga yang menyebut pantai ini dengan Pantai Lilo, singkatan dari Lindsay Lohan.

Akhir kata, selamat menikmati liburan ke Bali dengan mengunjungi Pantai Karma Kandara. Jaga kebersihannya agar tempat wisata ini senantiasa ramai dan terkenal di seluruh dunia.

***

Danau Toba adalah warisan wisata dunia

Danau Toba adalah sebuah danau vulkanik raksasa berukuran panjang 100 kilometer dan lebar 30 kilometer dan terletak di Propinsi Sumatera Utara, Indonesia. Danau ini merupakan danau terbesar di Indonesia dan Asia Tenggara. Tepat di tengah danau ini terdapat sebuah pulau vulkanik yang bernama Pulau Samosir.

Danau Toba melengkapi daftar objek tempat wisata menarik di Sumatera Utara selain Bukit Lawang, Berastagi dan Nias. Sangat banyak wisatawan domestik maupun mancanegara yang telah mengunjungi tempat-tempat wisata eksotis ini.

Danau Toba memiliki wisata alam yang luar biasa, seperti spiritual, sejarah, atau pun arsitektur dan kuliner. Di lingkupi suasana yang sejuk dan menyegarkan, hamparan air yang jernih, serta pesona pemandangan pegunungan hijau melengkapi daftar keindahan Danau Toba yang mengagumkan.

Berdasarkan data sejarah, Danau Toba terbentuk akibat letusan supervolkano (Gunung Toba) sekitar 73.000-75.000 yang lalu. Diperkirakan sekira 2.800 km3 material vulkanik dimuntahkan dari perut bumi melalui gunung tersebut saat meletus. Saat itu debu vulkanik yang ditiupkan angin telah menyebar ke separuh wilayah Bumi. Letusannya terjadi selama tujuh hari dan lontaran debunya mencapai 10 km di atas permukaan laut. Menurut perkiraan para ahli, letusan supervolkano ini menyebabkan kematian massal dan kepunahan pada beberapa spesies mahluk hidup, termasuk manusia. Letusan Gunung Toba mempengaruhi peradaban dunia dengan terjadinya perubahan cuaca bumi dan mulainya zaman es.

Pasca letusan tersebut, terbentuklah kaldera yang kemudian terisi oleh air dan menjadi danau raksasa yang sekarang dikenal sebagai Danau Toba. Tekanan ke atas oleh magma yang belum keluar menyebabkan munculnya Pulau Samosir.

Danau Toba kini menjadi salah satu keajaiban wisata alam yang menakjubkan di Nusantara. Danau Toba adalah danau berkawah yang sangat besar dimana pusat pulaunya hampir menyamai luas negara Singapura. Dengan luas 1.145 km2, Danau Toba sebenarnya lebih menyerupai lautan daripada danau. Danau Toba adalah danau terluas di Asia Tenggara dan terdalam di dunia yaitu sekira 450 meter. Danau bertipe vulkanik ini merupakan danau terbesar kedua di dunia sesudah Danau Victoria di Afrika.

Objek Wisata di Danau Toba

Di tengah Danau Toba terdapat sebuah pulau vulkanik bernama Pulau Samosir yang berada di ketinggian 1.000 meter dpl. Di tengah Pulau Samosir ini terdapat dua danau indah yaitu Danau Sidihoni dan Danau Aek Natonang. Daerah sekitar Danau Toba memiliki hutan-hutan pinus yang tertata asri. Di pinggiran Danau Toba terdapat beberapa air terjun yang sangat memesona. Di pinggiran Danau Toba terdapat satu objek wisata bernama Tanjung Unta karena daratan yang menjorok ke danau ini memang menyerupai punggung unta. Di sekitar Danau Toba akan Anda temukan pula tempat pemandian air belerang yang dipercaya bermanfaat untuk menyehatkan kulit.

Danau Toba adalah tempat yang cocok untuk bersantai dan menikmati pemandangan sambil bersepeda dan menikmati pemandangan gunung yang permai. Rasa penat Anda akan hilang saat menyambangi keindahan tempat ini. Danau Toba berada 900 meter dpl sehingga udara sejuknya sangat menyegarkan.

Sulit ditemukan ada tempat yang lebih indah untuk dikunjungi selain Danau Toba, karena di sini Anda dapat melakukan berbagai macam hal yang menyenangkan untuk menikmati keindahan alam seperti mendaki gunung, berenang dan berperahu layar yang sanggup membius Anda dalam keindahan pemandangan yang menakjubkan. Udara bersih dan sejuk harmonis dengan suasana santai masyarakatnya yang ramah membuat wisatawan akan datang kembali setelah mengunjungi danau ini.

Jika Anda cukup bernyali, cobalah memberanikan diri ke Pulau Samosir di tengah danau dan anda akan menemukan pegunungan yang curam dengan kabut yang sejuk, air terjun yang jernih untuk berenang, dan masyarakat setempat yang sedang menggiring kerbau ke ladang. Inilah tempat yang patut Anda kunjungi dan nikmati keramahan masyarakatnya.

Di pulau induknya, terdapat akomodasi di Kota Parapat. Parapat berada di semenanjung berbatu yang kecil dan menonjol ke danau. Dalam perjalanan ke Parapat Anda akan melihat pemandangan spektakuler. Parapat dihuni masyarakat Batak Toba dan Batak Simalungun yang dikenal ramah mudah bergaul. Masyarakat Batak terkenal menyukai lagu-lagu romantis yang riang dan penuh perasaan.

Banyak wisatawan lebih memilih tinggal di Pulau Samosir yang berlokasi di tengah danau raksasa ini. Sebagai tempat tinggal asli masyarakat Batak Toba, Pulau Samosir memiliki peninggalan zaman purbakala berupa kuburan batu dan desa tradisional. Di Tomok (Pulau Samosir) juga terdapat Makam Raja Sidabutar, yang usianya sudah 500 tahun. Juga terdapat Patung Sigale-Gale (Patung yang bisa menari). Di pulau ini Anda dapat menemukan kebudayaan Toba yang unik dan kuno.

Meskipun menjadi tempat tujuan wisata sejak lama, Samosir merupakan keindahan alam yang belum terjamah seperti objek wisata Bali yang kental dengan perpaduan alam-religi. Beranikan diri keluar dari desa kecil Tuk-Tuk dan Tomok. Di sana Anda akan menikmati suasana pedesaan yang damai dan permai dikelilingi ladang dan kuburan eksotik yang memenuhi lahan.

Akses

Parapat berjarak 176 km dari Medan dan terdapat dua alternatif transportasi umum, yakni bus umum dan taksi. Dengan bus umum setidaknya diperlukan waktu tempuh enam jam melalui dua rute, yakni melalui Berastagi dan Parapat, ongkosnya sekitar Rp30.000,-. Dan jika Anda memilih menaiki taksi ber-AC dari Medan ke Parapat, perlu ongkos sebesar Rp65.000,- satu kali jalan. Dengan taksi bisa menghemat waktu dua jam dibanding baik bus umum. Jika ingin menyewa mobil, ada banyak pilihan agen wisata yang meyediakan lengkap dengan sopir. Adapun jika memilih dari Bukittinggi atau Tarutang, ada bus yang langsung menuju Danau Toba.

Sedang dari Medan yang merupakan salah satu pintu gerbang internasional Indonesia, ada banyak penerbangan setiap hari Medan ke semua kota besar di Indonesia serta penerbangan internasional dari Medan ke Malaysia, Singapura dan Thailand.

Setiba di Parapat, sebuah kapal ferri telah siap menyeberangkan Anda ke Pulau Samosir. Kapal ferri beroperasi setiap satu jam setengah dari pukul 9 pagi sampai 5 sore. Dua dermaga di Samosir adalah desa tradisional Tomok dan Tuk Tuk. Kedua lokasi ini juga menjadi pusat hotel dan restoran yang terdapat di pulau.

Legenda Danau Toba

Ada versi lain dari terbentuknya Danau Toba ini. Sumbernya adalah cerita turun-temurun penduduk Toba. Seperti daerah lain di Indonesia, Danau Toba juga punya legenda sendiri sebagai berikut:

Tersebutlah seorang pemuda yatim piatu yang miskin. Ia tinggal seorang diri di bagian Utara Pulau Sumatra yang sangat kering. Ia hidup dengan bertani dan memancing ikan.

Suatu hari, ia memancing dan mendapatkan ikan tangkapan yang aneh. Ikan itu besar dan sangat indah. Warnanya keemasan. Ia lalu melepas pancingnya dan memegangi ikan itu. Tetapi saat tersentuh tangannya, ikan itu berubah menjadi seorang putri yang cantik! Ternyata ia adalah ikan yang sedang dikutuk para dewa karena telah melanggar suatu larangan. Telah disuratkan, jika ia tersentuh tangan, ia akan berubah bentuk menjadi seperti makhluk apa yang menyentuhnya. Karena ia disentuh manusia, maka ia juga berubah menjadi manusia.

Pemuda itu lalu meminang putri ikan itu. Putri ikan itu menganggukan kepalanya tanda bersedia.

“Namun aku punya satu permintaan, kakanda.” katanya.

“Aku bersedia menjadi istri kakanda, asalkan kakanda mau menjaga rahasiaku bahwa aku berasal dari seekor ikan.”

“Baiklah, Adinda. Aku akan menjaga rahasia itu.” kata pemuda itu.

Akhirnya mereka menikah dan dikaruniai seorang bayi laki-laki yang lucu. Namun ketika beranjak besar, si Anak ini selalu merasa lapar. Walapun sudah banyak makan-makanan yang masuk kemulutnya, ia tak pernah merasa kenyang.

Suatu hari, karena begitu laparnya, ia makan semua makanan yang ada di meja, termasuk jatah makan kedua orang tuanya. Sepulang dari ladang, bapaknya yang lapar mendapati meja yang kosong tak ada makanan, marahlah hatinya. Karena lapar dan tak bisa menguasai diri, keluarlah kata-katanya yang kasar.

“Dasar anak keturunan ikan!”

Ia tak menyadari, dengan ucapannya itu, berarti ia sudah membuka rahasia istrinya.

Seketika itu juga sang anak sambil menangis pergi menemui ibunya dan menanyakan apakah benar dirinya adalah anak keturunan ikan.
Mendengar hal tersebut, sang ibu pun terkejut karena suaminya telah melanggar sumpah mereka terdahulu.
Setelah itu si ibu memutuskan untuk kembali ke alamnya. Lalu tiba tiba langit berubah gelap dan petir menyambar kemudian turunlah hujan dengan derasnya.
Sang ayah menjadi sedih dan sangat menyesal atas perbuatannya. Namun nasi sudah menjadi bubur. Ia tak pernah bisa bertemu kembali dengan istri dan maupun anaknya yang disayanginya itu.

Di tanah bekas pijakan istri dan anaknya itu, tiba-tiba ada mata air menyembur. Airnya makin lama makin besar. Lama-lama menjadi danau. Danau inilah yang kemudian kita kenal sampai sekarang sebagai Danau Toba. Sumber cerita: Seri Mengenal Indonesia – Cerita Rakyat 33 Provinsi dari Aceh sampai Papua (Dea Rosa, 2007)

***

Lestarikan Budaya Lewat Lomba Cerita

Barabai, Kalsel - Kantor Perpustakaan dan Arsip Daerah Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan, menggelar lomba bercerita menggunakan bahasa Banjar untuk tingkat SMP dan SMA sederajat, sebagai upaya melestarikan budaya lokal, pada 25 September 2012.

Kepala Seksi Pengembangan Perpustakaan dan Arsip Daerah Zainurrahmi, Rabu, mengatakan, salah satu tujuan lomba tersebut untuk menumbuhkembangkan minat dan kegemaran membaca melalui berbagai bahan bacaan.

Lomba bercerita ini di ikuti sekitar 48 peserta, terdiri dari 30 peserta dari siswa SMP dan 18 peserta dari siswa SMA sederajat di 13 kecamatan di Hulu Sngai Tengah. "Satu orang peserta mewakili sekolahnya masing-masing," jelasnya.

Tujuan lainnya, untuk menanamkan cinta kebudayaan daerah, menarik minat baca anak melalui buku cerita lokal budaya daerah dan meningkatkan rasa kecintaan terhadap bahasa daerah.

Zainurrahmi mengungkapkan, saat ini pemerintah sedang menghadapi problema rendahnya minat baca dalam mencerdasakan anak bangsa, khususnya dikalangan siswa dan siswi SMP dan SMA. "Maka perlu diberikan stimulant untuk menumbuhkembangkan kebiasaan dan gemar membaca," paparnya.

Zainurrahmi mengatakan, kriteria penilaian diantaranya, penampilan peserta, teknik bercerita, penguasaan materi, dan kemampuannya (skill) dalam bercerita.

Juri akan menilai penampilannya dimana peserta harus mempunyai rasa percaya diri dan meyakinkan.

Teknik bercerita para peserta akan dinilai volume suaranya, artikulasi, diksi, tempo dan penguasaan panggungnya, sedangkan penguasaan materi para peserta di tuntut untuk menguasai isi cerita, penghayatan, improvisasi, dan imajinasi yang terintegrasi dengan cerita.

Peserta lomba bercerita tingkat SMP sederajat akan membawakan cerita yang berjudul "Si Utuh Cangkal Manuntut Ilmu".

Sedangkan peserta tingkat SMA akan membawakan kisah dengan judul ¿Iwak Baung Jadi Raja Sinding Alam¿ dengan juri sebanyak tiga orang yang diminta dari Dinas Pariwisata, Guru SMP bidang bahasa Indonesia dan dari Kantor Perpustakaan dan Arsip Daerah Hulu Sungai Tengah.

Ratusan Pemuda Islam Indonesia-Malaysia akan Berkemah di Banyuasin Sumsel

Palembang, Sumsel - Ratusan pemuda Indonesia dan Malaysia akan mengikuti kegiatan Dunia Melayu Dunia Islam (DMDI) ke-13 di Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan. Mereka menempati 155 rumah warga Desa Pulau Harapan Kecamatan Banyuasin 3.

Menurut Kadis Pariwisata, Seni Budaya, Pemuda dan Olahraga, Sumatera Selatan Kosarudin melalui Kabid Pemuda, Amir Hamzah, kepada wartawan, Rabu (26/9/2012), tujuan dari penggunaan rumah penduduk sebagai homestay (rumah tinggal) adalah untuk mempererat tali silahturahmi sekaligus tukar-menukar informasi antara tamu dengan warga setempat.

Yang mana, setiap rumah akan dihuni 5 peserta. "Biaya penginapan yang diberikan pemerintah kepada pemilik rumah sebesar Rp 3,5 juta yang digunakan untuk penginapan, makan, dan minum," katanya.

Dijelaskan Hamzah, DMDI merupakan kegiatan pertukaran pemuda Islam termasuk budaya Melayu. Acara ini akan dibuka Gubernur Sumsel Alex Noerdin pada 29 September 2012 pukul 19.30 WIB di Lapangan SMA PGRI Desa Pulau Harapan, Kabupaten Banyuasin.

Para peserta DMDI ke-13 berasal dari Malaysia yang berjumlah 32 orang, kemudian dari Kepri, Riau, Siak, Kabupaten Pelalawan Riau, Kepulauan Natuna, Bengkalis, dan Sumatera Barat.

Perwakilan Sumatera Selatan berasal dari Lubuklinggau, Lahat, Muaraenim, OKU, Pagaralam, Prabumulih, Muba, OKI dan Palembang. Yang tidak mengirimkan peserta dari Empatlawang, Ogan Ilir, OKU Timur, dan Mura. Jumlah peserta yang sudah hadir hingga hari ini sebanyak 426 peserta dari keseluruhan 850 peserta.

Film Upin dan Ipin jadi Alat Propaganda Malaysia

Jambi - Ketua Lembaga Sensor Film (LSF) Indonesia, Mukhlis PaEni meyakini film kartun Upin dan Ipin menjadi alat propaganda kebudayaan Malaysia. Menurutnya, film animasi itu mengemban visi dan misi untuk menularkan paham dan pemikiran ras Melayu ke pelosok nusantara.

Mukhlis mengatakan strategi politik kebudayaan Malaysia sebagai bentuk dari apa yang disebut Malay World atau Dunia Melayu. "Tanpa kita sadari sesungguhnya sistem pertahanan budaya negeri Jiran Malaysia telah merasuk ke generasi masa kini. Salah satu contohnya adalah, Upin dan Ipin," kata Mukhlis pada acara Seminar Nasional Asosiasi Tradisi Lisan di Hotel Ratu, Kota Jambi, Kamis (27/9).

Mukhlis mengungkapkan bahwa film Upin dan Ipin sangat efektif menjadi dijadikan alat propaganda kebudayaan. Apalagi kata dia, yang ditularkannya adalah semangat persahabatan multi etnis.

"Saat ini bisa kita lihat sendiri, betapa generasi kita, anak-anak kita, cucu-cucu kita telah begitu terbius dengan tokoh Upin-Ipin itu," ujarnya.

Pria yang juga menjabat sebagai Ketua Sejarawan Indonesia itu mengatakan pihaknya tidak bisa mencegah kehadiran film Upin dan Ipin karena tidak ada pelarangan atas penayangannya. Beda dengan film animasi lainnya seperti film Sincan dan Doraemon, Upin dan Ipin muatannya sangat positif.

Festival Teluk Palu Resmi Dimulai

Palu, Sulteng - Festival Teluk Palu 2012 resmi dibuka oleh Wali Kota Palu Rusdy Mastura di Anjungan Teluk Palu, Sulteng, Kamis sore.

Pembukaan festival itu dilakukan oleh Rusdy Mastura dengan cara memukul drum di atas panggung dan diakhiri dengan memukul simbal.

Ratusan penonton yang memadati Anjungan Teluk Palu segera memberikan tepuk tangan meriah usai alat musik itu digebuk oleh Wali Kota Palu.

Sebenarnya acara pembukaan itu ditandai dengan pemukulan gong, namun alat musik pukul tersebut tidak ada di atas panggung sehingga Rusdy Mastura mengambil inisiatif dengan menggebuk drum.

Setelah pembukaan tersebut, sejumlah pawai budaya yang diwakili oleh sejumlah tokoh adat memasuki bagian tengah anjungan Teluk Palu yang memang sengaja dikosongkan.

Selain itu terdapat sejumlah kelompok pemain alat musik tiup bambu yang dipimpin oleh empat orang wanita berpakaian unik.

Keunikan pakaian tersebut berupa sanggul yang tingginya mencapai satu meter, pakaian yang dililit daun dan melingkari tubuh, serta aksesoris beraneka ragam.

Sebelumnya juga terdapat seratusan pawai dokar hias yang dinaiki perwakilan dari satuan kerja perangkat daerah dan sekolah yang berpartisipasi dalam Festival Teluk Palu 2012.

Festival Teluk Palu sendiri berlangsung 27--29 September 2012.

Kegiatan yang meramaikan acara itu adalah pawai budaya nusantara, pameran UMKM, ekonomi perdagangan dan industri kreatif, serta pemilihan putra-putri Teluk Palu.

Kemudian lomba rebana di atas dokar hias, kompetisi perahu tradisional, festival musik, penampilan seni kontemporer, serta pameran foto wisata, bedah pariwisata, voli pantai, festival film Palu, dan sepeda santai mengitari Teluk Palu.

Rusdy Mastura berharap Festival Teluk Palu bisa meningkatkan jumlah wisatawan di Ibu Kota Sulawesi Tengah ini.

Kegiatan itu diharapkan juga bisa melestarikan tradisi lokal masyarakat yang berada di sekitar Teluk Palu.

Festival Sriwijaya Tampilkan Budaya Daerah

Palembang, Sumsel - Festival Sriwijaya yang berlangsung di Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan pada 15--21 Oktober 2012 akan menampilkan kebudayaan khas daerah provinsi setempat.

Gubernur Sumsel H Alex Noerdin kepada wartawan di Palembang, Kamis mengatakan, penampilan kebudayaan daerah itu supaya seni dan budaya Sumsel semakin dicintai masyarakat.

Selain itu dengan ditampilkannya kebudayaan daerah tersebut salah satu bentuk promosi wisata, kata dia.

Namun, yang lebih penting lagi dengan adanya Festival Sriwijaya itu untuk melestarikan kebudayaan khas daerah khususnya Sumsel.

Itu hal yang penting karena kebudayaan merupakan salah satu daya tarik wisatawan untuk berkunjung ke berbagai daerah, kata dia.

Sebelumnya Ketua Panitia Pelaksana Festival Sriwijaya Novrial mengatakan, pihaknya siap menyelenggarakan kegiatan kebudayaan tahunan tersebut.

Bahkan, pihaknya telah melaporkan kepada gubernur mengenai kesiapan penyelenggaraan Festival Sriwijaya tersebut.

Mengenai peserta sendiri selain dari berbagai provinsi juga negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura yang telah menyatakan siap, ujar dia.

Pembukaan Festival Sriwijaya itu akan dimeriahkan artis ibu kota seperti diantaranya Mulan Jamila dan Arie Laso.

Singkawang Tuan Rumah Kongres Kebudayaan Kalbar

Pontianak, Kalbar - Kota Singkawang akan menjadi tuan rumah Kongres Kebudayaan Provinsi Kalimantan Barat yang rencananya digelar pada 15 - 18 Oktober.

Menurut Ketua Panitia, Poltak Johansen di Pontianak, Rabu, kongres tersebut merupakan yang ketiga kalinya dengan fasilitasi dari Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Pontianak Wilayah Kalimantan. "Tema tahun ini, membangun karakter dan memperkokoh ketahanan budaya masyarakat multikultur," kata dia.

Ia menambahkan, kongres kebudayaan dimaksudkan untuk merumuskan strategi kebudayaan dalam menggali potensi modal kultural kearifan dan pengetahuan lokal bagi masa depan Kalbar. "Ini mengacu kepada hasil kesepakatan dari rekomendasi kongres sebelumnya," kata Poltak Johansen.

Ia berharap, melalui kongres itu nantinya akan terekplorasi wujud dan makna serta fungsi kearifan lokal. "Selain itu, juga fungsi dari pengetahuan lokal dalam membangun masyarakat multikultur di Kalbar," kata dia.

Ia mengingatkan, hal itu merupakan bagian dari pembangunan karakter dan ketahanan budaya pada masyarakat Kalbar yang beragam.

Menurut rencana, akan dihadirkan tiga narasumber tingkat nasional dan 9 pembicara tingkat lokal.

Ia juga mengajak peserta untuk menyiapkan pokok-pokok pikiran atau wacana yang dianggap penting agar didiskusikan di kongres tersebut. "Sekaligus untuk menjaga efektivitas proses sidang komisi dan pencapaian hasil akhir dari kegiatan kongres ini," katanya menegaskan.

Nara sumber yang akan hadir diantaranya Ketua Kongres Kebangkitan Nasional Mukhlis Pa’eni, Budayawan Romo Muji Sutrisno, dan Mantan Menteri Pariwisata I Gede Ardhika.

Sementara dari pembicara lokal ada sejumlah nama diantaranya Rubini, Pabali Musa, Jhon Bamba, Gusti Suryansyah, Christianus Atok, Aswandi.

Malaysia Siap Mengikuti Festival Sriwijaya

Palembang, Sumsel - Utusan negara Malaysia menyatakan siap berpartisipasi dalam Festival Sriwijaya di Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan, pada 15-21 Oktober 2012.

Panitia Pelaksana Festival Sriwijaya Novrial seusai menghadap Gubernur H Alex Noerdin kepada wartawan di Palembang, Senin mengatakan, kesiapan negara tetangga itu mengikuti Festival Sriwijaya berdasarkan laporan yang diterima pihaknya.

Selain Malaysia juga akan berpartisipasi dalam Festival Sriwijaya yang pertama dilaksanakan di luar Kota Palembang itu yakni Singapura, ujar dia.

Menurut dia, mudah-mudahan negara lain akan berpartisipasi pada festival yang akan mengangkat budaya daerah itu.

Festival Sriwijaya antara lain akan menampilkan budaya khas Sumsel karena melalui kegiatan tersebut juga sebagai bentuk promosi kebudayaan daerah, kata dia.

Selain menampilkan budaya daerah, serangkaian festival juga akan dipamerkan kerajinan khas daerah.

Gubernur Sumsel menyambut baik atas dilaksanakan Festival Sriwijaya di Kabupaten Lahat tersebut karena itu sebagai sarana mempromosikan kebudayaan daerah.

Apalagi festival tersebut lebih mengutamakan menampilkan kebudayaan daerah sehingga masyarakat nantinya semakin mengenal budaya yang ada di daerah itu.

Oleh karena itu Festival Sriwijaya itu harus didukung bersama sehingga lebih meriah, kata dia. Festival Sriwijaya akan dibuka Gubernur Sumsel dan dimeriahkan artis Jakarta.

Sempurnalah Korupsi di Indonesia

Oleh: Jabir Alfaruqi

HASIL survei Political and Economic Risk Consultancy (PERC) 2010 yang memosisikan Indonesia sebagai negara terkorup di Asia-Pasifik dengan nilai 9,07 semestinya bukan sesuatu yang mengejutkan. Tahun ini peringkat Indonesia pertama (sebelumnya 7,69). Dengan skor 9,07 itu, PERC menyimpulkan bahwa korupsi di Indonesia semakin parah, terjadi di semua lembaga dan semua level.

Kesimpulan PERC tersebut bukan dianggap aneh, melainkan hal yang biasa, karena Indonesia memiliki kultur yang aneh. Pejabat negara dan para koruptor tidak ada yang jera. Bahkan, orang yang belum memiliki kesempatan untuk korupsi pun bercita-cita -bila suatu saat ada peluang- akan melakukan hal itu. Budaya seperti itu yang menjadikan penangkapan banyak pejabat, politisi, dan pihak swasta oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak menimbulkan efek jera. Filosofi yang berkembang di kalangan koruptor adalah ditangkap KPK atau penegak hukum yang lain hanya karena sial.

Fenomena tersebut sama dengan fenomena tenaga kerja Indonesia di luar negeri. Banyak kenistaan dan penderitaan yang dialami para tenaga kerja wanita (TKW) di luar negeri. Namun, minat untuk menjadi TKW tidak berkurang, tapi malah bertambah.

Lebih jauh, para koruptor berprinsip, kalau toh mereka tertangkap, pikiran di benaknya adalah bagaimana bisa lolos dari jerat hukum. Jika terpaksa belum bisa lolos, setidaknya hukumannya diperingan dan dendanya rendah. Karena itu, mafia hukum tumbuh subur di Indonesia dan pendapatan mereka jauh lebih tinggi daripada gaji resmi penegak hukum. Dan perlu diingat bahwa perilaku tindak pidana korupsi adalah perilaku yang kalkulatif. Artinya, tindak tersebut sudah dipikirkan matang-matang sehingga saat tertangkap tidak akan bangkrut.

Katidaktegasan karakter bangsa Indonesia dalam menghadapi masalah-masalah penting bangsa menjadikan segala masalah diselesaiakan di tingkat permukaan saja. Kasus-kasus besar korupsi menjadi sulit dijamah dengan mudah karena ada upaya-upaya proteksi dari pemilik kekuasaan.

Sempurnalah Korupsi

Dengan skor 9,07 dari 10 poin tertinggi, itu bisa dikatakan hampir sempurnalah korupsi di Indonesia. Dan, kesimpulan PERC ini semakin meyakinkan publik bahwa sia-sia saja pemberantasan korupsi dilakukan. Inpres-inpres tentang pemberantasan korupsi menjadi tidak bermakna karena tidak diimplementasikan di lapangan. Izin-izin pemeriksaan kepala daerah yang mestinya dikeluarkan presiden hingga kini masih banyak yang tidak tahu rimbanya.

Bangsa ini sebaiknya tidak berharap akan berhasil memberantas korupsi apabila kultur yang ada tidak mampu diubah. Berharap agar korupsi bisa diberantas atau jumlahnya ditekan sebenarnya adalah mimpi buruk di siang bolong. Sebab, bangsa ini semakin hari semakin kehilangan karakternya.

Awalnya bangsa ini menambatkan harapan pemberantasan korupsi kepada sosok Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Dia adalah seorang yang dibesarkan di dunia ketentaraan sehingga memiliki kedisiplinan tinggi. Selain itu, sosoknya dianggap relatif bersih jika dibandingkan dengan figur-figur yang lain.

Pada tahab awal kepemimpinannya, pemberantasan korupsi lebih beraroma dan bergemuruh jika dibandingkan dengan keterlibatannya dalam korupsi. Namun, sejak awal periode kedua memimpin, ternyata aroma dan gurita korupsi semakin menerpa.

Puncak pencitraan antikorupsi rontok dari rezim SBY sejak mencuatnya kasus Bank Century. Meskipun kesimpulan akhir sudah disampaikan dalam rapat paripurna DPR, permasalahan itu belum berarti selesai. Permasalahan terus berkembang hingga muncul istilah “tukar guling” dan “barter” kasus korupsi untuk menyelamatkan masalah-masalah krusial yang lebih besar.

Munculnya istilah-istilah tersebut menandakan bahwa bangsa ini tidak malu-malu mempertontonkan perilaku korup di depan publik. Itu mencerminkan arah pemberantasan korupsi semakin tidak jelas. Roh dan semangatnya menjadi hilang tanpa bekas.

Bila hasil survei PERC yang dirilis baru-baru ini dikontekskan dengan realitas Indonesia akhir-akhir ini, sesungguhnya tidak ada yang dilebih-lebihkan. Korupsi begitu menggurita, mulai pemegang kebijakan hingga implementasi di tingkat yang paling bawah.

Sementara gebrakan pembenahan sektor pelayanan publik dengan berbagai inovasi untuk memudahkan dan mempermurah biaya pelayanan terus dikampanyekan. Ending-nya adalah bagaimana mengurangi korupsi di sektor pelayanan publik. Namun, semua itu belum benar-benar dirasakan semua lapisan masyarakat. Dan, inovasi pelayanan publik tersebut belum menyentuh masalah-masalah vital yang dibutuhkan masyarakat.

Kinerja pelayanan di dunia kepolisian belum beranjak ke arah yang dicita-citakan. Dunia kejaksaan dan kehakiman (pengadilan) juga masih jauh dari memadai sebagai tempat mencari keadilan. Bahkan, perlakuan di lembaga pemasyarakatan juga sarat dengan mafia korupsi.

Dunia pendidikan kita hancur karena gagal menumbuhkan sikap kejujuran. Ujian negara yang mengejar nilai kuantitatif sering mendorong dunia pendidikan menghalalkan segala cara, yang penting nilainya bagus dan lulus terbanyak. Jadi, yang ujian sekarang itu bukan para siswa melainkan para kepala sekolah, guru, dan orang tua. Itu adalah awal pertumbuhan korupsi di jiwa bangsa Indonesia.

Program-program prorakyat, baik yang disalurkan lewat departemen maupun langsung ke masyarakat, di sana sini mengalami penyunatan yang tidak bisa diatasi lewat penegakan hukum. Semua dilakukan dengan tanpa beban dan rasa berdosa.

Sebaliknya, pihak-pihak yang ingin memperbaiki situasi dengan mengurangi tingkat korupsi akan dipinggirkan. Kasus buaya v cicak menandakan bahwa kelompok-kelompok yang ingin memperbaiki situasi akan mengalami kendala, tantangan, dan bahkan ancaman yang serius sehingga eksistensinya sewaktu-waktu bisa terancam. Oleh karena itu, semua penyelenggara negara harus sama-sama mau berjamaah korupsi agar tidak dikeluarkan dari habitatnya. Itulah yang menjadikan korupsi semakin hari malah menggurita.

Jabir Alfaruqi, Koordinator Komite Penyelidikan dan Pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KP2KKN) Jawa Tengah

Sumber : Jawa Pos, Rabu, 10 Maret 2010

KPK Pasca Tumpak

Oleh: Adnan Topan Husodo

PENGAJUAN Peraturan Pengganti UU (Perpu) No 4 Tahun 2009 tentang penunjukan tiga pimpinan sementara KPK sebagai UU ditolak DPR. Konsekuensinya, Tumpak Hatorangan yang selama ini menjabat Plt ketua KPK secara cepat atau lambat harus hengkang dari KPK. Karena itu, pasca penolakan tersebut, praktis kendali langsung KPK berada di tangan empat pimpinan KPK yang masih ada.

Penolakan DPR tersebut pada hakikatnya bisa diterima karena memiliki tiga dimensi kebenaran. Yakni, dalam kondisi sekarang, argumentasi yuridis terbitnya perpu sudah berbeda dari konteks awal terbitnya perpu. Alasan utama bagi Presiden SBY untuk menunjuk tiga pimpinan sementara KPK waktu itu adalah karena persoalan krisis kepemimpinan KPK.

Kala itu, Bibit dan Chandra, dua pimpinan KPK, tengah ditetapkan sebagai tersangka. Sementara itu, kondisi sekarang tidak memungkinkan lagi perpu tersebut berlaku. Mengingat, Bibit dan Chandra telah kembali menjabat pimpinan KPK. Dengan demikian, kondisi mendesak dan darurat yang menyokong perpu sudah kehilangan konteks dan relevansinya.

Alasan berikutnya adalah persoalan indepedensi KPK. Bagaimanapun, ketika presiden dapat menunjuk langsung ketua KPK, posisi KPK sebagai lembaga independen akan dipertanyakan. Meski ada garansi politik bahwa penunjukan itu tidak akan mengganggu indepedensi KPK, secara faktual wewenang presiden yang bisa menunjuk langsung ketua KPK menjadi satu hal yang bisa mengancam indepedensi tersebut.

Terakhir, jika tetap digunakan sebagai dasar mempertahankan Plt ketua KPK, perpu yang sudah kehilangan konteks dan relevansinya itu akan menabrak UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK yang di dalamnya mengatur soal mekanisme seleksi calon pimpinan KPK. Pasal 29, 30, dan 31 UU KPK mengatur bahwa seleksi calon pimpinan KPK dilakukan melalui dua tahap. Yakni, tahap seleksi di panitia seleksi yang ditunjuk presiden serta tahap fit and proper test di DPR.

Dampak terhadap KPK

Sebenarnya, tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari hengkangnya Plt ketua KPK jika pimpinan KPK yang tersisa bisa membangun sebuah mekanisme kerja yang solid serta nyali yang memadai untuk menghadapi kasus-kasus korupsi besar. Selama ini, yang kerap dikhawatirkan adalah menurunnya kinerja KPK karena komposisi pimpinan KPK tidak lengkap.

Jika kita merujuk pada kasus pencopotan Antasari Azhar sebagai ketua KPK, ternyata KPK justru dipandang lebih tampil meyakinkan, khususnya ketika menangani kasus-kasus korupsi politik yang melibatkan anggota DPR. Kasus dugaan suap pemilihan Deputi Gubernur Senior BI Miranda Goeltom justru ditingkatkan ke penyidikan pasca Antasari dinonaktifkan presiden.

Mungkin yang mengkhawatirkan sekarang ini, apakah kasus kriminalisasi terhadap Bibit dan Chandra beberapa waktu lalu bisa menciutkan nyali pimpinan KPK? Empat sektor yang menjadi prioritas KPK pada 2010, yakni pendidikan, kesehatan, kehutanan, serta pertambangan dan tidak menyinggung sama sekali wilayah politik, barangkali cukup menjelaskan adanya “keengganan” pimpinan KPK untuk menjamah anggota DPR.

Jika pilihan tersebut merupakan imbas kriminalisasi KPK yang sempat menerpa Bibit dan Chandra, usaha sebagian kelompok untuk meredam kerja pemberantasan korupsi oleh KPK bisa dikatakan berhasil. Di sisi lain, pimpinan KPK juga bisa dianggap telah melepaskan secara sadar tanggung jawabnya sebagai aparat penegak hukum karena lebih “nyaman” dan “aman” bermain serta berkutat pada isu pencegahan.

Kalaupun ada pembagian fungsi pada bidang kerja di KPK, yakni penindakan dan pencegahan, pimpinan KPK yang mengurus bidang pencegahan juga merupakan penyidik dan penuntut umum yang melekat di dalamnya tanggung jawab untuk memeriksa serta menangani kasus-kasus korupsi. Pada tingkat tertentu, tiadanya keberanian yang cukup pada pimpinan KPK tidak akan relevan dengan jumlah pimpinan KPK.

Pendek kata, jika pun pimpinan KPK lengkap, tapi semua lebih senang untuk berada pada zona nyaman pencegahan, isu mengenai jumlah pimpinan KPK sudah tidak berpengaruh apa pun bagi kinerja KPK.

Perlukah Pengganti Tumpak?

Wacana yang berkembang saat ini adalah desakan DPR agar Presiden SBY segera menetapkan panitia seleksi untuk memilih calon ketua baru KPK. Jika merujuk latar belakang partai yang menyokong ide untuk segera memilih ketua baru KPK, yakni Golkar, PDI Perjuangan, PKS, Hanura, dan Gerindra, dua partai besar yang pertama bisa dikatakan memiliki konflik kepentingan dengan KPK.

Sebab, banyak di antara anggota DPR dari dua partai itu yang tersangkut kasus korupsi di KPK. Desakan tersebut pada akhirnya justru mengkhawatirkan posisi KPK ke depan seandainya arena pemilihan ketua KPK dijadikan sarana untuk memasukkan calon titipan. Skenarionya tentu sudah jelas. Yakni, bagaimana ketua baru KPK mampu “meredam” berbagai kasus korupsi yang tengah ditangani KPK.

Sebagaimana kita ketahui, KPK saat ini masih berjibaku dengan proses hukum kasus Miranda Goeltom, kasus Bank Indonesia, kasus suap proyek di Kementerian Kehutanan, kasus hutan lindung, dan sebagainya yang semua terkait dengan anggota DPR. Jika kemudian proses hukum atas kasus-kasus tersebut mengalami banyak kemajuan, bisa dipastikan tampilnya ketua baru KPK justru akan menjadi ancaman nyata bagi kinerja KPK.

Perlu digarisbawahi, usaha untuk melemahkan KPK tetap berlangsung, meski Bibit dan Chandra telah bebas. KPK akan semakin sulit memainkan perannya dalam memberantas korupsi karena faktanya pembusukan dari internal KPK mulai terjadi. Jika kemudian DPR memilih ketua baru KPK dengan motif untuk mengamankan para kadernya, itu merupakan ancaman yang sangat serius bagi mereka.

Karena itu, pilihan satu-satunya yang sekarang harus diambil adalah membiarkan pimpinan KPK yang tersisa menyelesaikan pekerjaannya hingga masa tugas mereka berakhir. Sebab, meski pimpinan KPK hanya empat orang, tidak ada kendala yuridis yang prinsipiil sekalipun. Keputusan pimpinan KPK dalam memproses kasus korupsi tetap akan memiliki kekuatan hukum yang sah di mata pengadilan. (*)

Adnan Topan Husodo, wakil koordinator ICW

Sumber : Jawa Pos, Sabtu, 6 Maret 2010

Menolak Perppu ”Kuda Troya“

Oleh: Febri Diansyah

KOMISI III Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan menolak Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Pimpinan Sementara Komisi Pemberantasan Korupsi. Alasannya, Perppu Nomor 4 Tahun 2009 tersebut tidak punya nilai guna atau tidak lagi urgen saat ini. Apalagi pasca-kembalinya Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah ke KPK.

Namun, di sisi lain, fraksi Partai Demokrat tetap bersikukuh bahwa perppu bertujuan untuk menyelamatkan KPK (Kompas, 2/3). Dengan demikian, siapa pun yang menolak sama artinya sedang menggembosi KPK. Mana yang benar?

Sayangnya, dua pandangan yang berkembang di rapat Komisi III DPR tersebut dinilai gagal menyentuh akar masalah. DPR sepatutnya tahu persis latar belakang sosial politik penerbitan perppu sehingga bisa mempertanyakan apakah benar presiden menjalankan kewenangannya secara berlebihan dalam penerbitan perppu?

Atau, jika mau, DPR bisa masuk lebih dalam, dengan membuktikan penerbitan perppu adalah sebuah agenda yang sesungguhnya berseberangan dengan pemberantasan korupsi. Jika saja DPR mampu dan mau membangun argumentasi yang lebih mendasar, tentunya penolakan Perppu Nomor 4 Tahun 2009 ini akan lebih bermakna.

Subyektivitas Presiden

Kritik keras yang berkembang saat perppu diterbitkan adalah salah satu contoh yang tidak boleh dilupakan. Alih-alih bertujuan menyelamatkan KPK, publik justru yakin produk hukum ini rentan menggerogoti makna independensi KPK. Apalagi, kewenangan subyektif presiden menerbitkan peraturan darurat (Noodverordeningsrecht) rentan terjebak pada otoritarianisme. Terutama karena norma Pasal 22 UUD 1945 tentang kondisi darurat juga relatif kabur (blanket norm) dan hampir tak terukur. Yang jauh lebih berperan adalah sisi subyektif presiden.

Selain itu, perppu diterbitkan ketika kosmos politik-hukum saat itu dilanda gelombang corruptor fight back. Penetapan dua pemimpin KPK sebagai tersangka dengan fondasi hukum yang lemah menjadi sorotan publik. Apalagi kemudian diketahui dugaan rekayasa proses hukum semakin meyakinkan kita bahwa kriminalisasi dua pemimpin KPK berkontribusi serius terhadap pelemahan KPK. Dalam kondisi inilah perppu diterbitkan. Maka, wajar publik khawatir, beleid ini adalah alat pembenar kriminalisasi KPK.

Persinggungan antara lemahnya argumentasi “keadaan darurat” dan dugaan perppu sebagai alat legitimasi kriminalisasi KPK setidaknya melahirkan dua peringatan serius. Pertama, jangan sampai presiden mengobral perppu hanya karena definisi “keadaan darurat” bersifat subyektif dan, kedua, jangan bajak KPK dengan memusatkan kewenangan menunjuk pimpinan KPK hanya dari eksekutif.

Argumentasi poin kedua ini tergambar jelas pada Pasal 33A Ayat (1) Perppu bahwa presiden berwenang mengangkat anggota sementara sejumlah jabatan yang kosong di KPK. Padahal, UU KPK memberikan syarat yang rinci dan proses silang pemilihan antara eksekutif dan legislatif. Maksud proses seleksi UU KPK agaknya menekankan pada konsepsi kelembagaan KPK yang memang harus dipastikan benar-benar tidak tunduk pada kepentingan politik pihak yang memilihnya.

Bandingkan dengan klausul perppu yang memusatkan kekuasaan pada presiden. Bayangkan jika suatu saat presidennya tidak berkomitmen dengan pemberantasan korupsi. Padahal, pasal itu rentan memosisikan KPK sebagai subordinat di bawah kekuasaan presiden. Hal ini tentu akan melemahkan menyandera KPK dalam kepentingan politik partisan.

Kuda Troya

Akan tetapi, meskipun dengan argumentasi yang sangat lemah, faktanya Komisi III DPR telah menolak Perppu No 4/2009. Sikap tersebut akan segera disampaikan dalam forum paripurna DPR, Kamis (4/3). Konsekuensi substantifnya, perppu batal. Dengan demikian, cepat atau lambat materi perppu tidak mengikat secara hukum. Meskipun harus diakui secara teoretis, akibat hukumnya masih diperdebatkan. Apakah harus menunggu pengesahan RUU pencabutan perppu atau otomatis tidak mengikat sejak Rapat Paripurna DPR menyatakan tidak menerima?

Yang terpenting adalah penolakan perppu harus diarahkan pada kepentingan penyelamatan KPK. Ketua KPK (sementara) yang terpilih berdasarkan perppu sudah selayaknya tidak perlu terjebak pada debat konstitusional apakah harus menunggu prosedur formal pencabutan perppu hingga keppres pemberhentian. Ketua KPK diminta lebih menggunakan mekanisme pengunduran diri yang diatur di Pasal 32 Ayat (1) huruf (e) UU KPK bahwa pimpinan berhenti karena “mengundurkan diri”.

Apakah perlu dilakukan seleksi untuk mengisi satu kursi KPK itu? Saya kira tidak perlu. Karena seleksi ulang, dalam kondisi politik hukum dengan kepentingan yang silang sengkarut dengan KPK, justru akan membuka kemungkinan penyusupan “agen” kuda troya baru di lembaga ini. Penyelesaian kasus Bank Century, misalnya. Bagaimana mungkin, KPK bisa memproses aktor utama kasus Century jika salah satu pimpinannya ditanam oleh pihak yang tidak steril dari kasus tersebut. Pasalnya, dominannya pemerintah dalam proses seleksi akan membuat warna pimpinan terpilih lebih potensial sama dengan warna si pemilih.

Inilah yang disebut dengan kemungkinan penyusupan kuda troya jilid II ke KPK. Seleksi ulang jelas harus ditolak karena segala upaya penempatan virus trojan itu harus dipatahkan. Apalagi, pengambilan keputusan oleh empat pemimpin KPK tidaklah inkonstitusional. Dan, secara empiris, kinerja empat pemimpin KPK minus Antasari lebih baik dibandingkan dengan setelah tiga pimpinan sementara mulai bekerja di KPK.

Febri Diansyah, Peneliti Hukum, Anggota Badan Pekerja ICW

Sumber : Kompas, Kamis, 4 Maret 2010

Pansus Century, Kemajuan Demokrasi

Oleh: Adnan Buyung Nasution

HARI ini akan digelar Sidang Paripurna DPR untuk mendengar laporan akhir Panitia Khusus Bank Century, sebelum DPR mengambil keputusan akhir besok. Sebelum mencapai kesimpulan akhir, belum terlambat bagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyelesaikan persoalan ini.

Ia bisa hadir di DPR memberikan amanat lebih dulu sebagai kepala eksekutif mengenai kebijakan pemberian dana talangan (bail out) kepada Bank Century. Pidato dilakukan sebelum pemungutan suara untuk menentukan sikap DPR. Yudhoyono secara langsung dan serta merta menyatakan secara terbuka bahwa kebijakan penalangan adalah kebijakan murni pemerintah demi mengatasi bahaya atau potensi ekonomi di dalam negeri yang bisa menjerumuskan Indonesia dalam pusaran krisis global.

Setelah Presiden mengucapkan sikapnya mengambil alih tanggung jawab di depan rakyat, sesuai dengan sistem presidensial, presiden melakukan penyelesaian politik secara komprehensif, yaitu dengan menyatakan akan meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan proses hukum terhadap semua pejabat yang bertanggung jawab.

Buat saya tak soal apakah Pansus menyebutkan nama dalam laporannya karena saat ini tren dunia tidak lagi menutupi nama mereka yang diduga melakukan pelanggaran hukum. Kecuali Inggris yang sampai saat ini masih menggunakan inisial nama. Boediono atau Sri Mulyani Indrawati baru dapat dikatakan bersalah kalau ia mengetahui atau melakukan silent approval atas larinya uang talangan itu kepada pihak-pihak yang akan diuntungkan secara melanggar hukum.

Kemajuan Demokrasi

Saya anggap penggunaan hak angket DPR ini adalah suatu kemajuan dalam proses demokrasi. Kedudukan DPR menjadi kuat dan berimbang dengan pemerintah. Presiden Yudhoyono pun mengakui secara implisit sikap dan inisiatif DPR ini tepat, dengan mendukung upaya Pansus. Posisi Partai Demokrat yang semula menolak kemudian mendukung 100 persen dengan jargon “Bukalah semuanya agar terang benderang.”

Memang di balik inisiatif yang wajar dan tepat ini ada kemungkinan motivasi lain atau agenda terselubung, atau secara apriori mencari kesalahan pemerintah untuk menjatuhkan Presiden melalui proses pemakzulan. Hal itu mungkin saja dalam politik dan perlu menjadi peringatan dan kewaspadaan kita ke depan. Namun, sekarang, ketika Pansus hampir tiba di garis finis, kita menyaksikan munculnya praktik politik kotor untuk mengamankan kekuasaan presiden. Sejumlah “orang dalam” Istana berkeliling menebarkan intimidasi, insinuasi ataupun teror terhadap inisiator Pansus dan sejumlah tokoh partai/masyarakat yang berpengaruh untuk mengubah keputusan Pansus yang dianggap memojokkan pemerintah.

Manuver politik seperti ini mengesankan gaya feodalisme dan mirip muslihat Orde Baru dalam menyelesaikan masalah. Presiden Soeharto dulu diam seribu bahasa, tetapi antek-anteknya bergerilya ke sana kemari mengancam agar pemerintah tidak diganggu. Staf Presiden Bidang Hukum Denny Indrayana mendatangi Kantor KPK dan setelahnya mengumbar pernyataan bahwa sejumlah partai meminta barter kasus hukum.

Utusan yang lain, Staf Khusus Bidang Bencana Andi Arief yang kurang jelas rekam jejaknya, amat tidak etis bila mengatasnamakan Presiden menemui tokoh-tokoh politik nasional sekaliber Sjafii Maarif, Amien Rais, dan Akbar Tandjung. Kalau ini menjadi landasan moral dan politik pemerintah dalam mengelola kekuasaannya, sungguh suatu tindakan yang ceroboh. Terlalu naif bila mengatakan bahwa Presiden tidak mengetahui sama sekali perbuatan anak buahnya di tengah keterbukaan media informasi saat ini.

Andaikan Presiden adalah orang yang berani mengambil risiko, cara yang lebih terhormat adalah ia sebagai kepala negara mengundang elite politik ke istana. Tujuannya untuk bermusyawarah dan mencari solusi guna meredakan eskalasi politik di babak akhir kerja Pansus.

Soeharto juga tetap anteng ketika Petisi 50 mengkritisi jalannya pemerintahan. Padahal, penanda tangan petisi tersebut, HR Dharsono, Burhanuddin Harahap, Ali Sadikin, M Natsir, Sjafruddin Prawiranegara, merupakan tokoh-tokoh terhormat. Namun, antek-antek Soeharto bekerja di bawah tanah mematikan hak perdata tokoh-tokoh tersebut. The King can do no wrong, raja tidak pernah salah, yang salah adalah anak buah.

Tumbuhkan Kepercayaan

Sebenarnya Yudhoyono tidak perlu khawatir. Ia dipilih secara langsung oleh rakyat dengan kemenangan 61 persen suara. Oleh karena itu, Yudhoyono sebaiknya hadir di Gedung DPR untuk mengambil alih tanggung jawab agar masyarakat tenang dan tenteram kembali. Dengan demikian, pemerintah dapat berjalan lagi dengan wajar.

Andaikata ini jalan yang ditempuh Presiden, selanjutnya, Presiden perlu melakukan perombakan total kabinetnya. Supaya membuka harapan baru dan menumbuhkan kembali kepercayaan (trust) terhadap pemerintahan yang dipojokkan oleh temuan Pansus. Caranya: bentuk kabinet presidensial yang baru dengan menghapuskan koalisi, dan semua kementerian yang tidak efektif dan menyusun struktur pemerintahan yang baru, tetapi tetap bersifat presidensial.

Untuk keperluan ini, kita patut mencontoh sejarah politik dan ketatanegaraan di Indonesia periode transisi dari demokrasi parlementer tahun 1950-an ke demokrasi terpimpin Orde Lama Soekarno. Pada saat itu, Presiden Soekarno masih tetap dipercaya rakyat sebagai pemimpin besar meskipun ia tidak dipilih secara langsung oleh rakyat seperti Yudhoyono.

Presiden Yudhoyono memerlukan seorang atau lebih pendamping dalam menjalankan roda pemerintahan supaya efektif dan efisien. Saat berdampingan dengan Jusuf Kalla, Yudhoyono memiliki eksekutor yang berani melakukan terobosan to get things done.

Ke depan, dalam kabinet baru, Yudhoyono menjabat Presiden/Kepala Negara/Kepala Pemerintahan, tetapi ia perlu didampingi tiga wakil pelaksana harian yang lebih menyerupai wakil perdana menteri, yang berasal dari Indonesia Barat, Tengah, dan Timur. Sebagaimana dulu Soekarno mengangkat Chaerul Saleh dari Indonesia Barat, Juanda dari Indonesia Tengah, dan Leimena dari Indonesia Timur.

Ini pilihan agar pemerintah kuat dan mampu kerja secara nyata. Masyarakat akan menatap lima tahun ke depan dengan lebih pasti, mengingat baru 100 hari pemerintah bekerja, posisinya sudah oleng karena sikap pemimpin tertinggi yang terlalu banyak pertimbangan dan terlalu hati-hati, kalau tak mau dikatakan ragu-ragu.

Tentu saja hal ini membawa implikasi pada pemahaman ataupun interpretasi terhadap UUD 1945 yang menurut saya bisa disesuaikan menurut konvensi ketatanegaraan karena masih dalam kerangka sistem presidensial. Agar bangsa dan negara ini selamat dan mencapai cita-cita luhur kemerdekaan bangsa

Partai Demokrat tidak perlu takut kehilangan mitra koalisi. Karena kalau mereka kecewa dan terus digoyang melalui lembaga parlemen, rakyatlah yang akan menjadi pembela pemerintah.

Adnan Buyung Nasution, Ahli Hukum Tata Negara

Sumber : Kompas, Selasa, 2 Maret 2010

Kemuliaan dan Kehinaan Jabatan

Oleh: Yudi Latif

KEDAPATAN bermain golf ketika terjadi pemogokan buruh, (mantan) Menteri Tenaga Kerja Korea Selatan menuai kritik publik yang pedas. Tanpa menunggu pembuktian kesalahannya secara legal-formal, ia secara sukarela meletakkan jabatan.

Bermain golf bukan sesuatu yang salah. Apalagi, ia tak menyadari akan adanya pemogokan buruh. Secara legal-formal tidak ada hal yang ia langgar yang memaksanya harus mundur. Namun, ia sadar jabatan publik adalah suatu amanah, kepercayaan publik. Bukan hanya karena pelanggaran hukum seorang pejabat harus mundur, tetapi juga karena alasan etis ketidakmampuan menjaga kepercayaan publik. Kegagalan merawat kepercayaan publik ini tidak selalu karena kesengajaan atau ketidakmampuan, tetapi bisa juga karena kelalaian atau bahkan kesialan.

Publik tidak selalu identik dengan rakyat seluruhnya. Ruang publik adalah ranah diskursif, tempat opini kritis diungkapkan. Seorang pejabat boleh jadi dipilih mayoritas rakyat, tetapi dalam banyak kasus, bisa jatuh karena opini publik segelintir orang.

Tentu tak semua kritik harus dijawab dengan pengunduran diri. Pokok pikiran keempat Pembukaan UUD 1945, “Ketuhanan yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab”, mewajibkan pemerintah dan penyelenggara negara lain untuk memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur. Pejabat negara harus memasang radar kepekaan etis secara internal dan eksternal. Secara internal, ia harus jujur kepada hati nurani. Secara eksternal, harus mampu membaca ayat publik untuk bisa menakar otentisitas aspirasi massa kritis. Dengan itu, ia bisa menentukan jenis kelalaian dan tuntutan publik yang pantas direspons dengan meletakkan jabatan.

Dengan kepekaan etis seperti itu, keputusan mengundurkan diri tak perlu diratapi sebagai kekalahan atau kehinaan, sebaliknya adalah pertanda kemuliaan budi pekerti. Pejabat tinggi, dalam bahasa Wakil Presiden Boediono, adalah suatu “dedikasi kepada bangsa dan negara”. Pusat perhatiannya bukan pada kepentingan sendiri, tetapi pada kemaslahatan bagi pengabdian. Tak sepantasnya jabatan dipertahankan, dengan dalih pengabdian, sekiranya justru berdampak negatif bagi pemerintahan dalam upayanya memulihkan kepercayaan publik. Seperti kata Lord Acton, “There is no worse heresy than that the office sanctifies the holder of it.”

Jabatan bukan segala-galanya. Jika masih dipercaya mengembannya, tunaikan secara bertanggung jawab. Jika sudah tak dipercaya, lepaskanlah dengan penuh tanggung jawab. Meletakkan jabatan secara elegan, tanpa perlu menunggu prosedur formal atau ongkos sosial-politik yang mahal, adalah bagian dari tata krama demokrasi.

Demokrasi Indonesia kontemporer bukan tak memiliki contoh. Setelah pidato pertanggungjawaban Presiden BJ Habibie ditolak MPR, ia mengundurkan diri dari pencalonan dalam pemilihan presiden. Akbar Tandjung mencoba membujuk dengan menjanjikan untuk mengonsolidasi suara Golkar. Habibie tetap bergeming, dengan alasan rakyat sudah tidak memercayai. Padahal, sekiranya bertahan, ia mungkin saja memenangi pemilihan.

Apalah artinya mempertahankan jabatan jika hal itu menimbulkan konflik sosial yang berkepanjangan serta menyulitkan pemulihan kepercayaan publik atas pemerintah. Di sinilah kualitas kenegarawanan seseorang diuji. Sosok demokrat seseorang dibuktikan.

Tes terakhir seorang negarawan demokrat (di Indonesia) bukan dalam kesediaan untuk memangku jabatan, melainkan kesediaan untuk meletakkan jabatan. Di sini, problem utama kenegaraan terletak pada surplus pemburu jabatan. Jabatan dicoba diraih dan dipertahankan dengan berbagai cara, yang merusak tatanan kenegaraan dan demokrasi. Hanya sedikit perkecualian orang yang memiliki jiwa asketis, yang tidak tergoda kekuasaan atau bisa mengendalikan diri secara etis dalam meraih kekuasaan serta mau melepas jabatan secara sukarela.

Intelektual dalam kekuasaan dituntut memberikan keteladanan di tengah kegersangan etis jagat politik Indonesia. Dalam perspektif Weberian, kaum intelektual diidealkan mampu mempertahankan jarak dan perspektif kritisnya terhadap kekuasaan. Namun, keterlibatan intelektual dalam dunia politik dan pemerintahan bisa ditoleransi sejauh mampu mempertahankan otonomi individunya untuk tak terperosok dalam keguyuban malapraktik politik dan menjaga agar dunia politik tak menjadi kuburan bagi nilai etis dan kebebasan individu.

Penguatan etika politik adalah pertaruhan masa depan demokrasi di Indonesia. Masalah korupsi dan kelemahan pertanggungjawaban publik di negeri ini bukanlah karena defisit hukum, tetapi terutama karena erosi etika politik. Padahal, etika politik yang menghubungkan hukum dengan ideal kehidupan sosial-politik, kesejahteraan bersama, dan keadilan sosial. Seperti kata Paul Ricoeur, etika politik adalah kekuatan reflektif untuk membongkar argumen yang melegitimasi kebijakan publik dengan menempatkan diri dalam posisi dan dimensi moral orang lain.

Dalam panggung politik, klaim etis sering dipakai untuk memojokkan pengkritik tanpa kemampuan refleksi diri untuk menginsafi kelalaian etis pejabat negara. Loyalitas partai koalisi dituntut dengan klaim etis, tetapi melalaikan prinsip etis yang fundamental menurut demokrasi konstitusional, loyalitas tak dibenarkan untuk tujuan keburukan dan pelanggaran hukum. Gotong-royong hanya dibenarkan dalam kebajikan dan takwa, tidak dalam kesesatan dan keburukan!

Yudi Latif, Pemikir Kenegaraan dan Keagamaan

Sumber : Kompas, Selasa, 2 Maret 2010

Potensi Korupsi pada Pilkada 2010

Oleh: Emerson Yuntho

TAHUN 2010 dapat dikatakan sebagai tahun pemilihan kepala daerah (pilkada). Sebanyak 246 pilkada, yang terdiri atas 7 pemilihan di tingkat provinsi, 204 pemilihan di tingkat kabupaten, dan 35 pemilihan di tingkat kotamadya, digelar di beberapa daerah di Indonesia. Jumlah tersebut merupakan yang paling banyak dalam sejarah pesta demokrasi di negeri ini.

Meskipun belum bergulir, berbagai masalah krusial mulai muncul. Ketidakcukupan anggaran, konflik komisi pemilihan umum (KPU) dan badan pengawas pemilu (Bawaslu), serta minimnya persiapan di tingkat daerah merupakan potensi kegagalan pilkada yang harus disikapi sejak dini.

Selain itu, persoalan korupsi dalam pilkada akan menjadi isu penting yang perlu mendapat perhatian semua pihak. Dalam hal ini Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat setidaknya terdapat 3 (tiga) potensi rawan korupsi yang terjadi dalam pelaksanaan pilkada nanti.

Pertama, politik uang (money politic). Praktik politik uang di dalam pilkada muncul sejak penentuan nominasi kandidat oleh partai politik pendukung hingga proses pencoblosan. Pola politik uang pada saat pilkada relatif sama dengan praktik politik uang Pemilu 2009 lalu. Pembagian uang secara langsung terjadi pada masa kampanye. Praktik ini dilakukan untuk memobilisasi pemilih dalam menghadiri rapat akbar yang dilakukan setiap kandidat.

Di daerah pedesaan praktik politik uang terjadi dalam bentuk pemberian sembako, pembagian uang dalam forum pengajian, serta dana bantuan desa. Praktik ini dilakukan untuk memengaruhi pemilih agar memilih calon tertentu pada hari pencoblosan.

Namun, temuan kasus-kasus politik uang pada saat pilkada juga terancam tidak dapat ditindaklanjuti ke proses penegakan hukum. Hal ini disebabkan tidak adanya batasan yang jelas mengenai politik uang.

Kedua, potensi manipulasi dana kampanye. Hal ini akibat dari longgarnya pengaturan dana kampanye pilkada. Potensi manipulasi diperkirakan sama dengan yang terjadi pada saat pemilu presiden 2009 lalu. Lemahnya aturan akan memudahkan masuknya aliran dana dari sumber-sumber haram ke rekening pemenangan kampanye pasangan kepala daerah. Kondisi ini akan diperparah dengan lumpuhnya pengawasan atas dana kampanye.

Regulasi yang berkaitan dengan pilkada, yaitu UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, misalnya, tidak memberikan batasan jumlah sumbangan dari pasangan calon. Selain itu, tidak ada kewajiban pencatatan pengeluaran, tidak dijelaskan secara rinci identitas penyumbang (apa saja keterangan penyumbang yang harus dicantumkan) dan kategori penyumbang yang tidak jelas identitasnya serta tidak ada sanksi terhadap temuan hasil audit jika bermasalah.

Di lapangan, batasan yang jelas mengenai politik uang masih menjadi perdebatan. Pembagian uang pada saat kampanye masih dianggap sebagai ongkos politik, bukan praktik politik uang meski dari segi nominal jauh di atas kebutuhan wajar untuk transportasi dan konsumsi.

Ketiga, penggunaan anggaran publik untuk kepentingan kampanye. Penyalahgunaan fasilitas jabatan dan kekuasaan juga diperkirakan marak pada pilkada. Hal ini telah terlihat marak terjadi dan sarat mewarnai fenomena pelanggaran Pemilu 2009.

Dari hasil pemantauan ICW dan jaringan kerja di empat daerah (Jakarta, Semarang, Surabaya, dan Jogjakarta) ditemukan setidaknya 54 indikasi pelanggaran ketentuan tentang fasilitas jabatan. Modus penggunaan jaringan birokrasi dalam bentuk mobilisasi pengawai negeri sipil (PNS) menjadi modus yang paling sering ditemukan. Hal ini sangat krusial karena pelanggaran terkait jabatan sudah mengarah pada indikasi korupsi.

Pemantauan ICW juga menemukan adanya modus-modus penggunaan anggaran pembangunan dan belanja daerah (APBD) untuk pemenangan pilkada. Misalnya, penggunaan program-program populis seperti alokasi dana bantuan langsung tunai, program kesehatan gratis, sembako murah, beras untuk masyarakat miskin, bantuan sosial, dan sebagainya. Bentuk lain adalah program-program titipan di dinas/instansi pemerintah dan proyek sosialisasi di KPUD dan dinas pemerintah daerah. Kondisi demikian menyebabkan potensi korupsi pilkada, terutama akan sangat marak terjadi di daerah yang diikuti calon pasangan yang berasal dari kepala daerah yang masih menjabat (incumbent).

Kebanyakan modus korupsi pilkada akan sangat sulit diusut karena lemahnya pengaturan dan banyaknya lubang penyiasatan (legal loopholes) dalam undang-undang dan peraturan pemerintah yang ada. Juga karena lemahnya pengawasan lembaga pengawas pemilu dan pengawasan publik (masyarakat dan media).

Potensi korupsi anggaran pada saat pilkada terjadi karena tidak adanya aturan pelarangan yang tegas terkait dengan penggunaan uang negara untuk kepentingan pilkada. Ini terlihat dari maraknya program populis di saat pelaksanaan pilkada sehingga memudahkan penggunaannya oleh calon yang memiliki akses ke kekuasaan. Lemahnya pengawasan dan tindak lanjut atas indikasi korupsi pilkada adalah salah satu kelemahan di institusi penyelenggara yang terkesan membiarkan terjadinya korupsi pilkada.

Seharusnya pemerintah dapat mengambil tindakan untuk menutup peluang terjadinya korupsi dalam pilkada. Harus ada larangan tegas tentang penggunaan fasilitas dan anggaran instansi untuk kepentingan pilkada. Pemerintah dan penyelenggara pemilu perlu didorong agar segera membuat standar anggaran pilkada dalam rangka membatasi penggunaan dana APBD untuk kepentingan pelaksanaan pilkada.

Komisi Pemberantasan Korupsi juga dapat dilibatkan dalam menyosialisasikan potensi korupsi dalam masa kampanye sampai pemungutan suara. Sedangkan aparat penegak hukum dan KPK perlu bertindak tegas terhadap temuan praktik korupsi yang terjadi selama dan sesudah pilkada. (*)

Emerson Yuntho, wakil Koordinator Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch

Sumber : Jawa Pos, Rabu, 24 Februari 2010

Petani dan Kasus Century

Oleh: Mufid A. Busyairi

KATA “rakyat” begitu ampuh “mengharubirukan” suasana batin publik. Dengan itu pula, seorang petani, yang jangankan punya rekening, untuk makan saja masih susah, ikut-ikutan puyeng. “Itu kan uang rakyat yang dirampok,” katanya merujuk pada dana bailout sebesar Rp 6,7 triliun untuk Bank Century. Tetapi sesungguhnya ada kegundahan lain. Jika Rp 6,7 triliun itu kembali, apakah ia dinikmati oleh rakyat atau lagi-lagi cuma berputar untuk kelompok konglomerat. Entah siapa lagi yang tertular. Ini pertanyaan penting di balik kegigihan penyelesaian kasus Century. Ya, sebuah pertanyaan tentang masa depan.

Hari ini semua menanti-nanti kesimpulan akhir Panitia Khusus Century. Publik tentu berharap koalisi partai bukanlah persekutuan jahat yang abai pada kebenaran, seberapa pun pahit kenyataan itu. Tapi kita juga tentu mengharapkan ada pelajaran berharga dari kasus ini, bukan semata-mata menyangkut fungsi pengawasan terhadap perbankan, baik melalui Bank Indonesia maupun otoritas jasa keuangan yang sedang diwacanakan. Ada hal penting yang patut dipikirkan, yaitu reorientasi perbankan terhadap masyarakat kecil.

Hal terakhir memang tidak termasuk dalam output Pansus Century. Tetapi ia menjadi pelajaran penting. Sangat disayangkan jika para politikus hanya memanfaatkan rakyat untuk berdemo agar Rp 6,7 triliun itu kembali. Padahal kembali itu bukanlah kembali dalam arti yang sesungguhnya untuk rakyat. Keberpihakan perbankan kepada masyarakat kecil masih jauh. Padahal, saat krisis, uang rakyatlah digunakan untuk mengambil alih sekitar 80 persen beban yang mestinya ditanggung pemilik bank.

Tapi bagaimana kontribusi perbankan bagi rakyat yang sebagian besar petani? Selama lima tahun terakhir, penyaluran kredit perbankan pada sektor pertanian tidak beranjak pada angka 6 persen dari total penyaluran kredit nasional. Tahun ini Bank Indonesia mengumumkan portofolio kredit pertanian hanya 5,5 persen dari total kredit. Padahal merekalah the real investor bagi sektor pangan. Kebun karet, misalnya, seluas 3,5 juta hektare merupakan investasi murni masyarakat, kebun kelapa 3,7 juta hektare, dan jutaan hektare komoditas perkebunan lain. Lihat juga para petani yang mencetak sawah lebih dari 7 juta hektare dengan produksi sekitar 50 juta ton gabah. Investasi yang nilainya triliunan rupiah ini tanpa suntikan BLBI atau bailout.

Catatan tahun 2004, perkebunan rakyat mendominasi dengan luas area 12 juta ha (80 persen), sementara perkebunan swasta besar dan BUMN hanya 3,4 juta ha. Itu pun tak luput dari kebijakan pemerintah, dari penyediaan lahan hingga subsidi lewat Program Perkebunan Besar Swasta Nasional (PBSN). Ketika PBSN dihentikan, percepatan investasi menurun. Ini tentu berbeda dengan para petani, yang terus menanam meski tanpa bantuan modal pemerintah.

Sadarkah pemerintah bahwa membiarkan kondisi ini sama artinya merancang kemiskinan yang lebih parah di masa depan? Badan Pusat Statistik pada 2009 melansir angka kemiskinan mencapai 32,5 juta jiwa (14 persen): 11,87 juta jiwa di kota dan 20,62 juta di desa (63,4 persen). Pada 1976, jumlah penduduk miskin pedesaan mencapai 44,2 juta (81,5 persen dari penduduk miskin). Artinya, meski lebih dari 30 tahun menggenjot produksi pertanian, kemiskinan tidak beranjak jauh dari desa, yang menurut BPS, angka kemiskinan di sektor pertanian mencapai 56,1 persen, jauh di atas industri (6,77 persen). Sektor permodalan adalah salah satu dari sekian perkara yang mempengaruhi sulitnya petani memperbaiki nasib mereka. Bahkan, di pedesaan, tidak sedikit petani terpaksa menjeratkan dirinya pada rentenir.

Selama ini memang ada beberapa program permodalan untuk masyarakat pedesaan dan kelompok tani/nelayan, seperti bantuan Program Usaha Agribisnis Pedesaan (PUAP), program Lembaga Mandiri yang Mengakar di Masyarakat (LM3), dan sebagainya. Tahun ini, sasaran penerima PUAP mencakup 10 ribu gapoktan/desa dengan total anggaran Rp 1,18 triliun serta pemberdayaan 1.538 LM3 dengan total anggaran Rp 306,74 miliar. Dengan model bantuan, ada persoalan inefisiensi dan rendahnya akuntabilitas. Anggaran seperti ini juga sangat rawan dikorupsi oleh oknum-oknum tertentu. Laporan sejumlah kalangan menyebutkan, dana PUAP yang seharusnya mereka terima Rp 100 juta hanya sampai sekitar Rp 70 juta.

Selain perlu berbagai pembenahan terhadap model bantuan di atas, pemerintah perlu mengembangkan model lain melalui sebuah bank khusus. Cobalah lihat negara tetangga, Malaysia, misalnya, mendirikan Bank Pertanian Malaysia untuk memajukan pertanian, khususnya bagi penduduk Melayu yang mengalami ketertinggalan ekonomi pada 1960-an. Di Cina, ada Agricultural Bank of China (1949), yang menjadi bank terbesar di dunia dengan nilai penerimaan lebih dari US$ 250 miliar pada 2002. Di Belanda, ada Rabobank (1890) dan di Prancis ada Agricole Banque, yang keduanya masuk ranking 500 besar Fortune 500. Di Indonesia, BRI awalnya merupakan bank koperasi, petani, dan nelayan, namun mengubah diri menjadi bank umum yang concern ke usaha kecil/menengah. Padahal sektor pertanian sesungguhnya sangat memerlukan sebuah lembaga permodalan, terlebih dengan dimulainya perdagangan bebas dengan Cina.

Bank pertanian perlu dirancang secara khusus, tidak bisa mengikuti standar konvensional. Studi Asian Development Bank pada 2004 menyebutkan ada internal problem pada perbankan atau rural financial institution, seperti analisis kredit, penilaian dan supervisi terhadap usaha calon nasabah (petani) terlalu hati-hati dan rigid, terlalu takut kepada risiko pasar dan alam, serta tidak sesuainya antara periode kredit yang ditetapkan bank dan periode kegiatan pertanian sehingga akses petani terhadap lembaga kredit sangat sulit. Sebagai sebuah lembaga perbankan, bisa jadi ada trade off, yaitu ukuran minimal dari suatu usaha. Dalam konteks ini, lahan tentu menjadi faktor penting. Ini mengingatkan kita pada janji Program Pembaharuan Agraria Nasional Susilo Bambang Yudhoyono, yang tak kunjung tiba. Tetapi, jika berkaca pada Grameen Bank ala Muhammad Yunus, keterbatasan lahan bukanlah persoalan.

Studi tersebut juga menemukan faktor-faktor lain yang off farm, ketika pemerintah memiliki andil besar. Masalah tersebut berupa physical access (tidak ada atau jauhnya lembaga kredit di pedesaan) dan business opportunities (kesempatan bisnis dan akses ke perbankan yang rendah karena buruknya infrastruktur). Singkat kata, mengondisikan sektor pertanian agar bankable tidak semata membenahi on farm, tapi juga hal-hal menyangkut akses dan pengubahan persepsi di kalangan bankir itu sendiri. Ia tidak bisa disamakan dengan cara berpikir perbankan konvensional bahwa sebuah usaha baru bisa disebut bankable jika bernilai nominal besar. Mari belajar dari Thailand, yang mendirikan Bank for Agricultural and Agricultural Cooperatives pada 1966. Sederhana targetnya: memajukan perorangan yang melakukan usaha tani padi, palawija, dan sayuran; ternak ikan dan ulat sutera; garam; bunga; buah; pinus; hutan; lebah madu; lak; jamur; atau usaha tani lain.

Dan satu hal yang mutlak dibenahi adalah menciptakan mekanisme pengawasan publik terhadap bank sentral yang lebih kuat, bukan semata pengawasan bank sentral terhadap perbankan. Sebab, sejumlah kasus perbankan memberi pelajaran bahwa bank sentral berpotensi menjadi aktor terhadap kejahatan perbankan. Ini problem yang harus diselesaikan agar wacana membangun bank pertanian sebagaimana diungkapkan dua Menteri Pertanian pada era SBY, yang juga merupakan amanah Undang-Undang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, benar-benar dapat bermanfaat bagi petani, bukan menjadi jalan perampokan uang rakyat oleh konglomerat dan para pejabat. Bagi petani, sebuah bank yang bersedia membiayai usaha padi, palawija, dan sayur-mayur jauh lebih berarti ketimbang seribu bank seperti Century.

Mufid A. Busyairi, Anggota Komisi IV DPR RI 2004-2009

Sumber : Koran Tempo, Rabu, 24 Februari 2010

Delik Korupsi untuk Mafia Pajak

Oleh: Febri Diansyah

SATUAN Tugas Pemberantasan Mafia Hukum (Satgas) terlihat bergerak masuk ke sektor mafioso pajak. Lapas Narkotika, Cipinang, tempat Vincentius Amin menjalani hukuman atas tuduhan pencucian uang PT Asian Agri, bahkan sempat disafari oleh tim bentukan presiden itu. Mereka masuk dari dugaan praktik mafia hukum di balik sejumlah kejanggalan penjatuhan vonis terhadap Vincent. Ditenggarai, hal itu berhubungan dengan posisi Vincent sebagai whistle blower. Sejumlah dokumen yang sempat dibuka mengarah ke dugaan penggelapan pajak hingga Rp 1,3 triliun.

Banyak pihak menilai, itu adalah serangan balik terhadap manuver panitia khusus Pansus Angket Bank Century yang bergerak cepat dan nyaris mengancam eksistensi pemerintahan SBY. Namun, satgas membantah. Bahkan, mereka menyatakan bahwa para pengemplang pajak itu memang harus digertak. Seriuskah mereka? Atau, hanya sebatas “gertak sambal”?

Pertanyaan dan syak wasangka tersebut mudah ditepis jika satgas berhasil mendorong penuntasan skandal pajak hingga ke jalur hukum. Dalam artian, ia tidak semata menjadi komodifikasi politik murahan atau semacam alat meningkatkan posisi tawar pemerintah kepada partai koalisi di pansus Century.

Dugaan penggelapan pajak Asian Agri, misalnya. Terutama karena kasus itu sudah diajukan penyidik Dirjen Pajak kepada Kejaksaan Agung April 2008 dengan tuduhan penggelapan pajak. Dan, akan lebih baik jika satgas juga berani mendorong penggunaan delik korupsi untuk memerangi mafia pajak.

Kerah Putih

Kejahatan pajak merupakan salah satu varian di antara kejahatan “kerah putih” (white-collar crimes). Ia memiliki kerumitan tersendiri. Karena itulah, pendekan konvensional yang hanya menggunakan regulasi perpajakan, tanpa melapisi dengan undang-undang tindak pidana korupsi, diperkirakan tidak akan berhasil.

Khusus polemik perpajakan di Asian Agri bermula dari informasi yang diberikan ke KPK oleh Vincentius, Dirjen pajak sebenarnya sudah memeriksa, menyita dokumen, hingga akhirnya menetapkan 12 tersangka. Perusahaan yang berada di bawah payung Grup Raja Garuda Mas (RGM) itu diduga melakukan pidana pajak pada 2002-2006. Hingga, pada pertengahan 2008 (25/4), Tim Pajak menyerahkan setumpuk alat bukti kepada Kejaksaan Agung. Harapannya, kejaksaan menuntaskan tugasnya menyeret pelaku ke tingkat penuntutan di pengadilan.

Sayang, hampir tiga tahun berselang informasi penanganan skandal pajak itu nyaris tenggelam. Kemudian, itu muncul kembali melalui sidak Satgas ke lapas Vincent. Karena itulah, Satgas seharusnya tidak hanya berbicara tentang praktik mafia hukum dalam proses peradilan Vincent, tetapi juga masuk lebih dalam ke jantung persoalan. Mungkin, mafia peradilan di balik penanganan kasus kasus Asian Agri jauh lebih penting.

Konstruksi Hukum

Kacamata paling sederhana yang perlu digunakan adalah pasal 39 ayat (1) butif (d) dan (f) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum Perpajakan (UU KUP). Poin yang perlu dibuktikan adalah surat pemberitahuan Asian Agri tidak benar dan ada upaya pemalsuan dokumen.

Dengan logika bahwa pajak merupakan sumber penerimaan negara, manipulasi data surat pemberitahuan akan merugikan negara. Mafia pajak biasanya bermain di manipulasi data/pembukan agar tidak menyetorkan sejumlah biaya pajak kepada negara.

Ada lima modus utama yang bisa digunakan untuk membaca kasus tersebut. Pertama, transfer pricing. Pengertian yang sederhana adalah upaya mengalihkan penghasilan kena pajak dari suatu negara dengan tarif pajak tinggi (Indonesia) ke negara lain dengan tarif pajak rendah atau negara Tax Haven (Misalnya: Singapura, Hongkong, dan Swiss). Pemindahan tersebut dilakukan dengan cara penjualan perusahaan lintas negara, padahal perusahaan sebenarnya dimiliki atau dikuasasi orang yang sama.

Dalam modus tersebut, Indonesia sangat dirugikan karena pajak yang seharusnya diterima negara dilarikan ke negara-negara tax haven. Padahal, sumber daya yang digunakan, sampah yang dibuang, dan bahkan sarana dan prasarana yang digunakan berasal dari uang rakyat Indonesia.

Kedua, transaksi hedging fiktif. Tujuan yang sederha, perusahaan tercatat rugi sehingga tidak ada kewajiban membayar pajak. Penyiasatan seperti itulah yang dapat dibidik oleh tim pajak dan kejaksaan dimulai dari indikasi adanya upaya penipuan data keuangan.

Sama halnya dengan poin kedua, tiga modus lain adalah dugaan management fees yang fiktif, mark up pembelian aset, dan tambahan biaya fiktif lainnya. Tujuan dari tiga modus terakhir, agar seolah-olah perusahaan mengeluarkan sejumlah biaya sehingga keuntungan/penghasilan menurun jauh. Konsekuensi logis sederhana dari ini bahwa jumlah pajak yang harus dibayarkan berkurang drastis.

Delik Korupsi

Adanya kerugian negara seperti disebutkan di atas menjadi dasar kasus manipulasi pajak dapat dijerat dengan korupsi. Karena itulah, ICW menyarankan penggunaan UU Tindak Pidana Korupsi (UU 31/1999 jo 20/2001) untuk menjerat pihak yang diduga mafia pajak secara berlapis. Hal itu bertujuan nanti pelaku tidak dibebaskan di pengadilan karena berlindung di balik sejumlah kelemahan Undang-Undang Perpajakan. Sangat memungkinkan sebuah kasus pidana pajak dialihkan ke sekadar pertanggungjawaban administratif dan perdata.

Penegak hukum dapat menggunakan hasil rakernas Mahkamah Agung pada 2007 di Makasar, yang menyatakan bahwa sepanjang sebuah kejahatan atau bahkan pelanggaran administrasi memenuhi unsur UU Korupsi, maka ia bisa dijerat dengan delik korupsi. Setidaknya, unsur kerugian keuangan negara, melawan hukum, dan menguntungkan pihak lain diduga sangat mungkin terpenuhi dalam kasus Asian Agri tersebut.

Satgas sepatutnya secara serius menempatkan analisis hukum tindak pidana korupsi untuk membongkar skandal pajak. Baik untuk kasus Asian Agri maupun perkara lain yang merugikan keuangan negara secara signifikan. Kemudian, mengawal dan memastikan penggelapan pajak atau korupsi pajak diajukan ke persidangan. Setidaknya untuk membuktikan kepada publik bahwa Satgas tidak main-main. Satgas bukan sekadar “dayang-dayang” dan “pentungan politik” kekuasaan untuk membungkam kekuatan yang kritis terhadap pemerintah. Itulah indikator apakah Satgas patut dipercayai, atau sebaliknya disimpan di dalam laci.(*)

Febri Diansyah, peneliti hukum, anggota Badan Pekerja ICW

Sumber : Jawa Pos, Senin, 22 Februari 2010
-

Arsip Blog

Recent Posts