3 Video Mesum Siswi SMP dan Kuli Bangunan Menyebar di Garut

Garut - Belum tuntas gegeran Bupati Aceng HM Fikri, Garut kembali heboh. Kali ini dipicu beredarnya video mesum. Tak tanggung-tanggung: ada 3 video yang beredar. Pelakunya, siswi SMP dengan kuli bangunan. Polisi pun kemudian turun tangan. Siapa yang mengedarkan?

Durasi masing-masing video mesum itu berkisar 2 menitan. Dari hasil penyelidikan polisi, pemeran video adalah siswi SMP berusia 15 tahun dan pemuda berusia 22 tahun. Keduanya sengaja merekam aksi mesum itu dengan menggunakan ponsel. Belum diketahui bagaimana video itu bisa tersebar ke khalayak umum.

Kanit Reskrim Polsek Malangbong Aipda Sumika mengatakan, pihaknya masih mendalami kasus video mesum tersebut. Pemeran sudah diketahui dan orangtua pemeran perempuan sudah diperiksa. "Tapi pelaku perempuan belum bisa diminta keterangan karena masih shock," kata Aipda Sumika ketika dihubungi melalui telepon, Selasa (5/2/2013).

Celakanya, kata Sumika, pemeran prianya justru kabur ke Jakarta. Polisi pun berusaha memburu sang "aktor" yang berprofesi sebagai kuli bangunan itu.

SMP tempat pemeran perempuan bersekolah, belum memberikan keterangan. Namun menurut informasi ABG tersebut sudah mengundurkan diri sejak videonya mulai ramai menyebar.

Video mesum itu menyebar sejak tiga minggu terakhir. Hanya saja, baru 1-2 minggu menjadi ramai diperbincangkan. Itu pun setelah diketahui, pelakunya adalah siswi SMP. "Untuk pelaku penyebaran video, masih kami kejar," tutup Aipda Sumika. (try/bdi)

Selingkuh Bisa Turunkan Berat Badan, Diet Kalah!

Percaya atau tidak, berselingkuh sebenarnya bisa menurunkan berat badan lebih baik dibandingkan harus berdiet. Survei menunjukkan, berselingkuh menjadi salah satu cara yang paling efektif untuk menurunkan berat badan.

Seperti dikutip DailyBhaskar, Jumat (22/2/2013), pria yang berselingkuh bisa menurunkan berat badannya 2 kg, sedangkan wanita telah turun berat badan sekitar 4,5 kg.

Para ahli melakukan survei kecil yang dilakukan situs kencan UndercoverLovers.com. Para psikolog merasa, ada beberapa alasan fisiologis sehingga menurunkan berat badan.

"Terlibat dalam perselingkuhan menempatkan sejumlah tekanan pada individu. Berbohong, menghindari konfrontasi langsung dan menyelinap di sekitar seseorang bisa menyebabkan stres," ujar Profesor Psikologi di Birmingham City University
Craig Jackson.

"Anda menghasilkan adrenalin dan hormon stres kortisol, denyut jantung Anda naik, Anda bernapas lebih cepat, dapat meningkatkan tekanan dan tingkat serotonin. Semua ini bisa membakar kalori," tambahnya.

Menurut Craig, ketika seseorang berselingkuh maka ia tidak selera makan dan minum. Itulah alasan utamanya terjadinya penurunan berat badan karena mempunyai masalah.(Mel/Igw)

Mesum di Kuburan, Oknum Pol PP Digerebek

MERANGIN - Salah seorang anggota Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kabupaten Merangin berinisial IR (32), Kamis (21/2) digerebek warga desa Mentawak Kecamatan Nalo Tantan. Warga menemukan IR tengah mesum dengan kekasihnya di pekuburan umum.

Kejadian Berawal ketika warga Desa mentawak mencurigai gelagat IR (32) dan kekasihnya NR (29) yang berduaan masuk ke perkuburan umum desa setempat. Warga yang mulai curiga langsung melakukan pengintaian. Pada saat keduanya sedang berbuat mesum, warga yang telah melakukan pengintaian langsung menggrebek keduanya secara beramai.

"Pada awalnya kami curiga gerak gerik keduanya, kami langsung mengintai. Tapi ternyata benar, mereka melakukan perbuatan senonoh di kuburan desa. Bersama warga, kami langsung menangkap keduanya," kata warga yang tidak mau disebutkan namanya.

Dari keterangan warga, keduanya berdalih bahwa mereka merupakan suami isteri yang berasal dari Lubuk Linggau Sumatera Selatan. Selain itu menurut warga setempat, karena desa mereka telah dikotori oleh perbuatan tidak senonoh, keduanya diwajibkan membayar denda dan melakukan cuci kampung.

"Pada saat kami tangkap, mereka berdalih suami isteri, tapi nyatanya bukan. Lalu si pria mengaku sebagai anggota Pol PP," ucapnya.

Terkait hal itu, Kepala Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Merangin, Hardi yang dikomfirmasi membenarkan bahwa memang ada anggotanya berinisial IR yang digrebek mesum oleh warga Mentawak.

Dirinya menegaskan bahwa telah memerintahkan untuk pembentukan tim dalam penyelidikan. Jika memang benar, anggota Satpol PP tersebut akan diproses melalui sidang kode etik.

“Atas kejadian tersebut, saya telah memerintahkan untuk dibentuknya tim. Nanti tim yang telah dibentuk tersebut akan melakukan penyelidikan, apabila terbukti benar, kita akan proses melalui sidang kode etik,” pungkas Ardi. (bjg)

Upacara Kematian Suku Muyu dan Sikap Terhadap Orang Mati

Segera sesudah seorang Muyu meninggal, kerabat dekatnya diberitahu meskipun bila mereka tinggal di permukiman lain. Mereka itu mungkin orang tua atau saudara laki-laki istri, atau (Ra)SaMa, (Ra)SiPa, dan juga kerabat jauh, namun yang mempunyai hubungan baik.

Kalau mereka tidak tinggal terlalu jauh, mereka akan datang untuk memberi penghormatan terakhir kepada almarhum, dan wanita-wanita di antara mereka akan ikut dalam ratapan. Ratapan dilakukan dengan cara meneriakkan panggilan- panggilannya, dengan demikian dalam teriakan wanita-wanita itu terdengar segala macam istilah kekerabatan nímonopé, nimonopo; atau nambangé, nambangó; atau nambé, nambó. Setiap wanita menggunakan panggilannya sendiri, diikuti seruan seperti e! dan a!

Dengan cara itu banyak kerabat dekat, khususnya orang tua atau anak-anak menyatakan sungguh-sungguh rasa duka mereka. Bahkan berbulan-bulan sesudah penguburan, kalau sekonyong-konyong diingatkan kepada almarhum entah kapan, pada waktu siang atau malam hari, mereka mungkin menangis keras-keras.

Untuk kerabat yang lebih jauh, itu semua kadang-kadang tidak lebih dari sekadar suatu formalitas, atau suatu pernyataan ikut berduka cita untuk menghindari tuduhan telah menyebabkan kematiannya.

Sebagai pernyataan duka cita mereka, kerabat dekat juga dapat memberikan kepada almarhum beberapa ot atau barang berharga lain untuk dibawa. Juga dapat dilihat adanya alat-alat di atas kuburannya, seperti genderang yang sengaja dirusak.

Kebun atau beberapa pohon sagu yang menjadi milik almarhum kadang-kadang dibiarkan tidak terurus, untuk menunjukkan bahwa almarhum selalu diingat. Sebagai tanda duka atas kematian suami, saudara laki-laki atau perempuan, anak, ayah atau ibu, — wanita memakai rok jerami panjang. Untuk memperingati almarhum, orang mungkin memakai bagian tertentu dari alat-alat yang menjadi milik almarhum, seperti kotekanya, atau sepotong kecil dari rok jerami almarhumah.

Ada bermacam-macam cara untuk mengurus orang mati. Tubuhnya dapat dikubur, dikeringkan di atas api, atau dibungkus dan dibiarkan kering dengan sendirinya. Dalam cara yang terakhir ini jenazah biasanya diletakkan di atas rak di dekat rumah. Cara pengeringan itu digunakan kalau almarhum sangat dicintai, atau kerabat dekatnya tidak sampai hati untuk berpisah dengannya. Mereka bahkan mungkin membawa tubuh kering itu kalau mereka pindah, tidak hanya sekali, tetapi berkali-kali.

Kedua cara itu juga ada hubungannya dengan kemungkinan untuk akhirnya mengubur tubuh itu di dalam awonbon, atatbon, atau yawatbon — meskipun baru dapat makan waktu bertahuntahun sebelum ada kesempatan semacam itu. Ada kalanya, sebelum ia meninggal, almarhum mewasiatkan kepada anak lakilakinya untuk menguburnya dengan salah satu dari cara-cara itu. Namun, kerabat dekatnya juga dapat mengambil inisiatif.

Tulang belulangnya digosok dengan lemak babi, dan digelar tarian ketmon di tempat tulang belulang itu dikubur — dalam atatbon tempat itu akan tepat di depan rumah upacara (Den Haan 1955:181—182).

Motivasi dari perlakuan ini tidak sekadar kecintaan mereka kepada almarhum, tetapi juga ketakutan kepada tawatnya (arwahnya). Kalau arwah itu tidak puas, ini akan ada akibatakibatnya dalam usaha pemeliharaan babi dan perkebunan: babi akan tetap agak kecil atau lari menghilang, sedangkan kebun tidak akan menghasilkan panen terlalu banyak. Bahkan anak-anak tidak akan tumbuh, dan kemudian meninggal. Oleh karena itu, sebelum almarhum akhirnya dikubur, kepadanya disampaikan yang berikut: “Kamu tidak boleh mengganggu atau menakutnakuti kita, jangan mengganggu saya dalam memelihara anak-anak dan babi, dan dalam memelihara kebun saya”. Dan mungkin ada yang menambahkan: “Kalau ada musuh, jangan lupa langsung memberitahukannya kepada kita”. Ini mengandung gagasan bahwa arwah dalam pemahaman umum kebudayaan di Indonesia itu dapat berkontak dengan mereka yang masih hidup.

***

Sumber : wacananusantara.org

”Kematian Sempurna” pada Masyarakat Batak

Masyarakat Batak begitu percaya bahwa kematian merupakan sebuah peristiwa yang tak kalah istimewa dengan peristiwa kelahiran. Mereka percaya bahwa orang yang mati hanya raga, sedangkan jiwanya berjalan terus menempuh perjalanan ke alam lain—alam yang sangat gaib dan tak terjanggau oleh mereka yang masih hidup. Orang yang masih hidup menganggap, perjalanan jiwa orang mati menuju alam lain itu memerlukan perlakuan khusus agar rohnya merasa “tenteram” dan “dihargai” oleh keturunannya.

Dalam tradisi Batak, orang yang mati disebut saur dan akan disembah dalam upacara saur matua, setidaknya oleh semua anaknya. Penyembahan yang diterima roh orangtua alias si mati melalui upacara saur matua dan upacara mangongkal holi dari para keturunannya, akan menambah kekuatan sahala (kekuatan) roh bersangkutan di alam lain, sementara keturunannya mendapatkan berkat sahala dari roh bersangkutan. Konsep kepercayaan awal dari hanya mengantarkan si mati ke alam barunya, berkembang menjadi keinginan untuk tetap dapat berinteraksi dengan si mati melalui ritual pemanggilan, penghormatan, hingga pada akhirnya pemujaan terhadap roh si mati. Saking istimewanya, perlakuan terhadap jasad si mati tentunya sangat spesial; begitu pula setalah upacara penguburan usai maka keluarga yang ditinggalkan masih merasa perlu mengekspresikan kesedihan mereka yang ditinggal oleh si mati.

Kini, masyarakat Batak masih mengekspresikan pemujaan si mati dalam sebuah upacara penguburan sekunder yang disebut mangongkal holi. Disebut sekunder, karena sebelumnya telah dilakukan upacara penguburan (primer) si mati. Upacara penguburan sekunder dilalukan melalui penggalian tulang-belulang si mati dari kubur awal (primer), untuk dikuburkan kembali ke dalam kubur sekunder.

Pada masyarakat Batak, kematian (mate) di usia yang sudah sangat tu—terutama telah menikahkan semua anaknya dan memiliki cucu—merupakan kematian yang paling diinginkan. Dalam tradisi budaya masyarakat Batak (khususnya Batak Toba), kematian seperti ini disebut sebagai mate saur matua. Upacara adat kematian ini diklasifikasi berdasar usia dan status si mati. Untuk yang mati ketika masih dalam kandungan (mate di bortian) maka ia belum mendapatkan perlakuan adat (langsung dikubur tanpa peti mati). Bila mati ketika masih bayi (mate poso-poso), mati saat anak-anak (mate dakdanak), mati saat remaja (mate bulung), dan mati saat sudah dewasa namun belum menikah (mate ponggol), keseluruhan kematian tersebut mendapat perlakuan adat: mayatnya ditutupi selembar ulos (kain tenunan khas Batak) sebelum dikuburkan. Ulos penutup mayat untuk mate poso-poso berasal dari orang tuanya, sedangkan ulos untuk mate dakdanak dan mate bulung berasal dari tulang (saudara laki-laki ibu) si orang mati.

Mate saur matua-lah yang menjadi tingkat tertinggi dari klasifikasi upacara, karena mati saat semua anaknya telah berumah tangga. Sebenarnya, masih ada tingkat kematian yang lebih di atasnya, yaitu mate saur matua bulung yakni mati ketika semua anak-anaknya telah berumah tangga dan bahkan telah bercicit dari anaknya laki-laki dan dari anaknya perempuan). Baik mate saur matua maupun mate saur matua bulung keduanya dianggap sama sebagai konsep kematian ideal karena meninggal saat tidak memiliki tanggungan anak lagi.

Ketika seseorang masyarakat Batak mati saur matua, sudah seharusnya pihak-pihak kerabat segera mengadakan musyawarah keluarga (martonggo raja), membahas persiapan pengadaan upacara saur matua. Pihak-pihak kerabat terdiri dari unsur-unsur dalihan natolu. Dalihan natolu adalah sistem hubungan sosial masyarakat Batak, terdiri dari tiga kelompok unsur kekerabatan: pihak hula-hula (kelompok orang keluarga marga pihak istri), pihak dongan tubu (kelompok orang-orang yaitu teman atau saudara semarga), dan pihak boru (kelompok orang-orang dari pihak marga suami dari masing-masing saudara perempuan kita, keluarga perempuan pihak ayah). Pihak masyarakat setempat (dongan sahuta) turut hadir sebagai pendengar dalam rapat yang membahas penentuan waktu pelaksanaan upacara, lokasi pemakaman, acara adat sesudah penguburan, dan keperluan teknis upacara dengan pembagian tugas masing-masing.

Pada hari yang sudah ditentukan, upacara saur matua dilaksanakan pada siang hari, di ruangan terbuka yang cukup luas (idealnya di halaman rumah duka). Ketika seluruh pelayat dari kalangan masyarakat adat telah datang (idealnya sebelum jamuan makan siang). Setelah jamuan makan, dilakukan ritual pembagian jambar (hak bagian atau hak perolehan dari milik bersama). Jambar terdiri dari empat jenis berupa: juhut (daging), hepeng (uang), tor-tor (tari), dan hata (berbicara). Masing-masing pihak dari dalihan natolu mendapatkan hak dari jambar sesuai ketentuan adat. Pembagian jambar hepeng tidak wajib, karena pembagian jambar juhut dianggap menggantikan jambar hepeng. Bagi keluarga status sosial terpandang, jambar hepeng biasanya ada. Selepas itu, dilanjutkan ritual pelaksanaan jambar hata berupa kesempatan masing-masing pihak memberikan kata penghiburan kepada anak-anak orang yang mati saur matua (pihak hasuhuton). Urutan kata dimulai dari hula-hula, dilanjutkan dengan dongan sahuta, kemudian boru / bere, dan terakhir dongan sabutuha. Setiap pergantian kata penghiburan, diselingi ritual jambar tor-tor, yaitu ritus manortor (menarikan tarian tor-tor).

Pada kesempatan manortor pihak tulang (saudara laki-laki ibu almarhum), menyelimutkan ulos ragi idup langsung ke badan mayat. Selain itu bona tulang (hula-hula dari pihak marga saudara laki-laki nenek almarhum) dan bona ni ari (hula-hula dari pihak marga ibu kakek almarhum) juga memberikan ulos (biasanya ulos sibolang). Ulos dikembangkan di atas peti mayat, sebagai tanda kasih sayang yang terakhir. Kemudian pihak hula-hula secara khusus mangulosi (menyematkan ulos) kepada pihak boru dan hela (menantu) sebagai simbol pasu-pasu (berkat) yang diucapkannya. Pihak hula-hula memberikan ulos sibolang sebagai ulos sampetua kepada istri / suami yang ditinggalkan, dengan meletakkan di atas bahu. Apabila orang yang mati telah lebih dahulu ditinggalkan istri / suaminya, tentunya ulos tidak perlu lagi diberikan). Kemudian hula-hula memberikan ulos panggabei kepada semua keturunan, dengan menyampirkan ulos (sesaat secara bergantian) di bahu masing-masing anak laki-laki yang tertua sampai yang paling bungsu (terakhir diberikan kembali ke anak lelaki tertua disertai kata-kata berkat).

Setelah jambar tor-tor dari semua pelayat selesai, selanjutnya adalah kata-kata ungkapan sebagai balasan pihak hasuhuton kepada masing-masing pihak yang memberikan jambar hata dan jambar tor-tor tadi. Selanjutnya, salah seorang suhut mengucapkan jambar hata balasan (mangampu) sekaligus mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu terlaksananya upacara. Setiap peralihan mangampu dari satu pihak ke pihak lain, diselingi ritus manortor. Manortor dilakukan dengan sambil menghampiri dari tiap pihak yang telah menghadiri upacara tersebut, sebagai tanda penghormatan sekaligus meminta doa restu.

Sepulang dari pekuburan pun biasanya dilakukan ritual adat ungkap hombung. Adat ungkap hombung adalah ritus memberikan sebagian harta yang ditinggalkan si mendiang (berbagi harta warisan) untuk diberikan kepada pihak hula-hula. Namun mengenai adat ungkap hombung ini, telah memiliki variasi pengertian pada masa kini. Idealnya tanpa diingatkan oleh pihak hula-hula, ungkap hombung dapat dibicarakan atau beberapa hari sesudahnya. Apapun yang akan diberikan untuk ungkap hombung, keluarga yang kematian orang tua yang tergolong saur matua hendaklah membawa rasa senang pada pihak hula-hula.

Sebagian masyarakat Batak dewasa ini lebih memahami upacara saur matua bukan untuk menyembah si orang tua agar kekuatan sahala diberikan kepada anak-cucunya, tetapi sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan atas anugerah umur panjang kepada orang yang mati saur matua. Namun, konsep saur matua sebagai “kematian sempurna” tetap dipertahankan, karena orientasi sosial budaya masa kini juga menganggap mati di usia yang sangat tua adalah kematian yang paling baik.

(Yusandi)

***

Sumber : wacananusantara.org

Merapu: Ajaran dan Kepercayaan Leluhur Masyarakat Sumba

Sumba ternyata bukan sekadar pulau dengan hamparan bukit-bukit dan padang sabana yang akrab dengan ringkikan kuda sandel dan terlihat hijau, subur selama musim hujan. Juga, bukan sekadar tempat yang menawan mata ketika kaum pria mempertontonkan kemahiran berkuda, dengan tubuh duduk tegap di punggung kuda mengiring ternak gembalaannya. Pulau seluas ± 11.500 km2 ini dihuni oleh sekitar 350.000 orang, menyimpan warisan budaya dari zaman megalitikum dan kepercayaan mereka yang mengagumkan.

Kepercayaan Marapu adalah “keyakinan hidup” yang masih hidup dan dianut oleh orang Sumba di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur. Masyarakat Sumba yang masih menganut kepercayaan Merapu atau “ajaran para leluhur” senantiasa melakukan upacara dan perayaan ritual untuk mengiringi berbagai sendi kehidupan mereka. Kepercayaan ini dilambangkan dengan ritual, perayaan upacara, dan pengorbanan untuk penghormatan kepada sang pencipta juga arwah para leluhur mereka. Merapu dalam bahasa Sumba berarti “Yang dipertuan atau dimuliakan” terutama untuk menyebut arwah-arwah para leluhur mereka.

Soeriadiredja seorang ‘ethnographer’ yang memiliki perhatian pada budaya Sumba menjelaskan bahwa secara Hirarki, Merapu terbagi menjadi dua golongan, yaitu Merapu dan Merapu Ratu. Merapu yang pertama merupakan arwah leluhur yang didewakan dan dianggap menjadi cikal-bakal dari suatu kabihu (keluarga luas, clan), sedangkan merapu Ratu ialah merapu yang dianggap turun dari langit dan merupkan leluhur dari para Merapu lainnya. Kehadiran para marapu bagi masyarakat sumba di dunia nyata diwakili dan dilambangkan dengan lambang-lambang suci yang berupa perhiasan mas atau perak (ada pula berupa patung atau guci) yang disebut Tanggu Marapu. Lambang-lambang suci itu disimpan di Pangiangu Marapu, yaitu di bagian atas dalam menarauma bokulu (rumah besar, rumah pusat) suatu kabihu. Walaupun mempunyai banyak Marapu yang sering disebut namanya, dipuja dan dimohon pertolongan, tetapi hal itu sama sekali tidak menyebabkan pengingkaran terhadap adanya Yang Maha Pencipta. Tujuan utama dari upacara pemujaan bukan semata-mata kepada arwah para leluhur itu sendiri, tetapi kepada Mawulu Tau-Majii Tau (Pencipta dan Pembuat Manusia), Tuhan Yang Maha Esa.

Pengakuan adanya Yang Maha Pencipta biasanya dinyatakan dengan kata-kata atau kalimat kiasan, itu pun hanya dalam upacara-upacara tertentu atau peristiwa-peristiwa penting saja. Dalam keyakinan Marapu, Yang Maha Pencipta tidak campur tangan dalam urusan duniawi dan dianggap tidak mungkin diketahui hakekatnya sehingga untuk menyebut nama-Nya pun dipantangkan. Sedangkan para Marapu itu sendiri dianggap sebagai media atau perantara untuk menghubungkan manusia dengan Penciptanya. Kedudukan dan peran para Marapu itu dimuliakan dan dipercaya sebagai lindi papakalangu – ketu papajolangu (titian yang menyeberangkan dan kaitan yang menjulurkan, sebagai perantara) antara manusia dengan Tuhannya.

Hampir seluruh segi-segi kehidupan masyarakat Sumba diliputi oleh rasa keagamaan. Bisa dikatakan agama Marapu sebagai inti dari kebudayaan mereka, sebagai sumber nilai-nilai dan pandangan hidup serta mempunyai pengaruh besar terhadap kehidupan masyarakat yang bersangkutan. Orang Sumba juga percaya bahwa manusia merupakan bagian dari alam semesta yang tak terpisahkan. Hidup manusia harus selalu disesuaikan dengan irama gerak alam semesta dan selalu mengusahakan agar ketertiban hubungan antara manusia dengan alam tidak berubah. Selain itu manusia harus pula mengusahakan keseimbangan hubungan dengan kekuatan-kekuatan gaib yang ada di setiap bagian alam semesta ini. Bila selalu memelihara hubungan baik atau kerja sama antara manusia dengan alam, maka keseimbangan dan ketertiban itu dapat dipertahankan. Hal tersebut berlaku pula antara manusia yang masih hidup dengan arwah-arwah dari manusia yang sudah mati.

Manusia yang masih hidup mempunyai kewajiban untuk tetap dapat mengadakan hubungan dengan arwah-arwah leluhurnya. Mereka beranggapan bahwa para arwah leluhur itu selalu mengawasi dan menghukum keturunannya yang telah berani melanggar segala nuku-hara sehingga keseimbangan hubungan antara manusia dengan alam sekitarnya terganggu. Untuk memulihkan ketidakseimbangan yang disebabkan oleh perbuatan manusia terhadap alam sekitarnya dan mengadakan kontak dengan para arwah leluhurnya, maka manusia harus melaksanakan berbagai upacara.

Tradisi leluhur yang diwariskan selama berabad-abad bersamaan dengan pandangan hidup orang Sumba, dewasa ini mulai dipengaruhi oleh kehidupan yang berasal dari luar kehidupan mereka. Generasi muda Sumba kini telah memperoleh cara pandang yang baru dan berbeda dengan tradisi serta ajaran yang telah leluhur mereka wariskan. Kendati demikian generasi muda Sumba masih menyimpan hormat dengan menjalankan nilai-nilai kepercayaan Merapu dalam kehidupannya. (_soedi)

***

Sumber: wacananusantara.org

Foto: wacananusantara.org

Kepercayaan Magis pada Etnik Dayak Selako

Alam roh atau dunia roh merupakan kepercayaan yang melekat dengan orang Dayak Selako. Menurut kepercayaan orang Dayak Selako sendiri, alam roh dihuni oleh para roh yang bukan manusia tetapi diyakini ada di sekitar kehidupan mereka yang mempunyai tugasnya masing-masing. Roh ini biasa dikenali juga sebagai makhluk halus yang bertempat tinggal di langit, di bumi, di air, dan sebagainya.

Alam Roh yang hidup di alam yang tidak dapat dilihat, namun mereka mempunyai keperluan yang sama dengan manusia. Hubung kait kehidupan manusia dengan roh dalam konteks kepercayaan tradisional terjalin rapat. Jalinan yang rapat inilah yang oleh etnik Dayak Selako diyakini sebagai dunia Ilmu Magis (bandingkan, Madrah, 1997: 2-4). Hal ini juga selaras dengan yang dikatakan oleh Clark Chilson and Peter Knecht bahwa …

as repressive, ideologies and political sistems started to dissolve, many ethnic groups in Asia and elsewhere began to reflect on their distinctive cultural proparties in order to reconnect themselves with their tradition and their cultural roots. This led to a new appretiation and revival of folklore in various fields such us oral traditions, music, and religion.

Masyarakat etnik Dayak Selako percaya bahawa kepatuhan dan kesetiaan manusia terhadap roh akan mendatangkan berkah dan mendapatkan imbalan dalam berbagai bentuk daripada para roh. Sebaliknya akan terjadi kemurkaan roh yang dapat menimbulkan kemalangan atau mara bahaya. Oleh sebab itu, manusia berusaha untuk dapat berkomunikasi dengan roh-roh tersebut melalui suatu ilmu, yang sering kali tidak dapat diterima oleh akal manusia. Tetapi memang terjadi.

Menurut kepercayaan Mereka, Ilmu magis ini dapat diperolehi dengan beberapa cara seperti betapa (bertapa), mimpi, rajaki (keberuntungan), baguru (belajar) dan ilmu magis warisan sejak lahir. Ilmu Magis ini dapat dibahagi kedalam dua jenis iaitu : ilmu magis panas dan ilmu magis dingin. Ilmu magis panas bermakna bahwa ilmu ini dapat digunakan untuk mencelakakan orang lain (membunuh orang). Racun, dawak, dan polong termasuk dalam kumpulan ini, sedangkan ilmu magis dingin bermakna ilmu magis untuk antisipasi, menangkal atau untuk mengobati akibat dari ilmu magis panas. Misalnya azimat dan mantra-mantra.

Di Kecamatan Sajingan besar, kedua macam ilmu magis ini dapat dijumpai tetapi bilangan pemiliknya semakin berkurang karena usia lanjut dan pengaruh agama Kristian. Di Kampung Batu Itapm, misalnya, masih ada beberapa orang yang memiliki racun. Keberadaan orang yang memiliki racun di kampung tersebut sangat dikenal di berbagai kampung di Kecamatan ini. Penulis selalu diingatkan bilamana akan berkunjung ke kampung tersebut supaya jangan sembarangan minum atau makan. Di Kampung Sasak juga dijumpai 14 orang yang memiliki azimat dan kemampuan membaca mantra serta ada pula dua orang yang memiliki racun di kampung ini.

Secara tradisional, orang Dayak Selako percaya kepada Tuhan yang mereka sebut sebagai Jubata, ada juga yang menyebutnya Dervata (Roth, 1968: 7). Gould (1909: 38) mengatakan, “Dewata is the Land Dayak name of a God from Sanskrit word dewata divinity, deity, gods.” Seterusnya Roth (1968: 216) menulis, “we may recall the fact that Land Dayaks have a kind of Hindu Trimurti, viz-Tapa or Yang, the Preserver (Vishnu or Dewa-dewa of Hindus), Jirong-Brama, the creator (Brahma of the Hindus), Triyuh-Kamang, the destroyer (Shiva of the Hindus).”

***

Sumber: wacananusantara.org

Ritual Adat Panibas

Masyarakat Dayak percaya bahwa bumi selain dihuni oleh mahluk hidup yang kasat mata seperti manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan, ada juga mahluk halus yang dipercaya berdiam di tengah hutan, di pohon-pohon besar, tempat-tempat yang dikeramatkan atau bahkan dirumah yang dikosongkan oleh penghuninya dan biasa ini pasti berada sangat dekat dengan kehidupan sekitar kita.

Sadar atau tidaknya kita sebagai mahluk Tuhan yang paling mulia, bahwa keberadan mahluk halus, hantu, jin atau apa saja namanya kadang membuat kita terganggu dan merasa tidak nyaman, umumnya akan mengakibatkan penglihatan akan objek yang menakutkan dari mahluk halus tersebut yang menyeruapai berbagai bentuk yang menyerampak, seperti yang dialami beberapa siwwi SDN No. 08 Kelurahan Nyarumkop yang dalam beberapa hari ini mengalami kemasukan atau kesurupan karena diganggu oleh mahluk halus yang dianggap tersesat di sekitar sekolah mereka. Salah seorang murid bahkan hingga berhari-hari masih merasakan melihat mahluk menyerupai seorang wanita cantik dengan rambut panjang dalam penglihatannya, tidak hanya disekolah terebut dia masih melihat mahluk tersebut namun hingga pulang kerumahnya pun masih terbayang dipenglihatannya pada sosok misterius tersebut.

Kejadian-kejadian seperti ini sudah biasa dan sangat familiar kita lihat di berita-berita Televisi Swasta di tanah air adanya kesurupan masal disebuah sekolah yang dialami oleh para muridnya yang umumnya menyerang para siswi/murid perempuan. Lain lubuk lain ikannya demikian pepatah mengatakan, lain daerahnya lain pula cara penanganannya untuk mengusir roh halus yang kerap mengganggu para siswi tersebut.

Masyarakat Dayak di Singkawang atau Dayak Salako mempunyai suatu Ritual Adat yang dikenal dengan nama Panibas atau ritual adat pengusiran setan dan mahluk halus. Ritual tersebut dilakukan disekitar penampakan mahluk yang dianggap sering menggangu, dan dilaksanakan pada sore hari harus selesai menjelang matahari terbit. Ritual dipimpin seorang Panyangohot yang dibantu oleh beberapa asistennya untuk mempersiapkan bahan-bahan yang dibutuhkan selama ritual. Panibas membutuhkan banyak syarat dan kebutuhan ritual yang harus disiapkan. Ada 31 macam bahan yang diperlukan seperti: kemenyan, manyang pinang, tempayan laki lengkap dengan mangkuk, ayam jantan bulu merah baru tumbuh taji, ayam angsa, air tongkor, air balu, air 3 tikungan, bunga 7 macam, daun jengkol, daun petai, dan berbagai macam daun-daunan yang disenangi oleh hantu. Setelah semua kebutuhan siap maka ritual baru bisa dilaksanakan.

Ritual Adat Panibas bertujuan untuk mengusir Mahluk Halus atau roh yang dianggap jahat yang suka mengganggu manusia. Dalam ritual tersebut semua roh-roh yang dianggap mendiami tempat-tempat keramat dipanggil untuk diperingatkan agar jangan lagi menggangu manusia dan mereka secara simbolis dikasih makanan yang sudah disiapkan panyangohot yaitu berupa darah ayam jantan yang sudah dicambur dengan bahan yang sudah dipersiapkan, dengan harapan agar mahluk yang mengganggu tersebut tidak datang kembali dan mengganggu manusia.

Oleh: Andreas Aan

***Sumber:http://palingindonesia.com***

Tangkitn Senjata Dayak Salako

Tangkitn merupakan parang sub suku dayak Salako (sub suku dayak yang berdiam di sebelah Utara Provinsi Kal-bar, dan di Lundu Malaysia), yang menyerupai Mandau, namun perbedaannya terletak pada gagang dimana Mandau memiliki gagang yang terbuat dari kayu ataupun dari tulang maupun tanduk binatang, sedangkan tangkitn gagangnya cukup dililit dengan kain merah dan digantung aksesoris berupa samoop (batu manik yang memiliki lubang ditengahnya) dan rambe yang menyerupai untaian-untain benang seperti rambut.

Berbeda dengan Mandau yang dihiasi dengan rambut hasil dari mengayo. Selain itu parang tangkitn tidak memiliki sarung/biado karena pada penggunaannya dimusim bakayo (headhunting) orang-orang dayak salako hanya menunggu musuh datang kekampung mereka jadi tidak melakukan penyerangan sehingga orang-orang dayak tersebut hanya berdiri siaga dengan memikul tangkitn pada bahunya untuk menunggu musuh datang dan siap menebas kepala musuh.

Tangkitn adalah sejenis parang yang hanya digunakan khusus untuk bakayo (headhunting) dan keberadaannya dipercaya lebih tua dari pada mandau. Selain itu biasa juga digunakan dalam upacara-upacara ritual lainnya seperti upacara pengobatan yaitu baliatn (baiotn), badukun/balenggang. Sedangkan parang yang digunakan untuk sehari-hari atau pertanian oleh sub suku dayak salako adalah isok (parang yang memilki gagang) Tangkitn tidak diasah dengan batu asah pada umumnya tapi cukup dilumuri dengan jeruk nipis pada mata tangkitn untuk membuat tajam mata tangkitn tersebut, Tangkit memiliki goresan-goresan disekitar pangkalnya yang menandakan jumlah keturunan keberapa yang memegangnya berdasarkan jumlah goresan yang pada tangkitn tersebut.

Didalam tangkitn biasanya juga ditanam kuningan atau tembaga dan yang lebih sakral lagi ditanam besi kuning yang dipercaya menambah kekuatan magis dalam tangkit tersebut dan selain itu besi kuning yang ditanamkan pada tangkitn berdampak kebal senjata tajam pada si pemegangnya/empunya.

***

Sumber:http://palingindonesia.com

Museum Dara Juanti

Sebagai salah satu peninggalan sejarah di Kota Sintang, Istana Al Mukarramah yang sekarang ini menjadi Museum Dara Juanti, menyimpan banyak cerita. Istana yang terletak tidak jauh dari Pusat Kota itu tepatnya di Kelurahan Kapuas Kiri Hilir, menyimpan banyak bukti rekam jejak peradaban Sintang masa lalu.

KABUPATEN Sintang merupakan bekas kerajaan dengan istana sebagai peninggalannya yang sampai sekarang masih utuh. Bekas Istana Kerajaan Sintang itu kini dikelola Pemkab Sintang untuk menyimpan benda-benda peninggalan sejarah.

Asal-usul Kerajaan Sintang bermula dari kedatangan seorang tokoh penyebar agama Hindu bernama Aji Melayu yang datang ke Nanga Sepauk (Sekarang Kecamatan Sepauk) pada abad ke-4. Bukti-bukti kedatangan Aji Melayu dapat dilihat dari temuan arkeologis berupa Arca Putung Kempat dan batu berbentuk phallus yang oleh masyarakat setempat disebut Batu Kelebut Aji Melayu.

Putung Kempat adalah istri Aji Melayu yang kemudian menurunkan raja-raja di Sintang. Di daerah ini juga ditemukan batu yang menyerupai lembu serta makam Aji Melayu.

Pendirian Kerajaan Sintang dilakukan Demong Irawan, keturunan kesembilan Aji Melayu, pada sekitar abad ke-13. Demong Irawan mendirikan keraton di daerah pertemuan Sungai Melawi dan Sungai Kapuas yaitu di Kampung Kapuas Kiri Hilir sekarang. Mulanya daerah ini diberi nama Senetang, yaitu kerajaan yang diapit oleh beberapa sungai.

Lambat laun penyebutan Senetang berubah menjadi Sintang. Sebagai lambang berdirinya kerajaan itu, Demong Irawan yang memakai gelar Jubair Irawan I menanam sebuah batu yang menyerupai buah kundur. Batu itu kini berada di halaman Istana Sintang.

Sampai saat ini, kompleks Istana Sintang masih terawat dengan baik. Bahkan menjadi kediaman Sultan Sintang, yaitu Pangeran Ratu Sri Negara H.R.M Ikhsan Perdana.

Dari teras bangunan utama, wisatawan dapat memandang taman rumput yang cukup luas di halaman depan istana, juga dermaga kecil, serta pertemuan aliran Sungai Kapuas dan Sungai Melawi yang lazim masyarakat di Sebut Saka Tiga.

Dengan menunjungi Istana Kesultanan Sintang, pengunjung akan melihat berbagai benda sejarah. Seperti gundukan tanah yang berasal dari kerajaan Majapahit, Meriam Raja Suka, Meriam Anak Raja Suka sebanyak 7 buah, Meriam Raja Beruk, Kampak Batu, Alat Musik Suku Dayak yaitu Kecapi dan lain-lain.

Selain itu, pengunjung juga dapat menyaksikan berbagai macam benda-benda bersejarah di istana ini. Di halaman istana, Anda dapat menyaksikan sebuah meriam dan situs batu kundur, yaitu sebuah batu peninggalan Demong Irawan sebagai lambang berdirinya Kerajaan Sintang.

Di serambi depan istana, para turis dapat melihat salinan Undang-undang Adat Kerajaan Sintang, serta silsilah raja-raja yang pernah memerintah Kerajaan Sintang. Ada pula koleksi meriam dalam berbagai ukuran, peralatan-perlatan dari logam seperti talam, kempu, dan bokor, koleksi senjata seperti tameng dan tombak, naskah Al-Quran tulisan tangan pada masa Sultan Nata, berbagai macam stempel dan surat-surat kerajaan, serta foto-foto dan lukisan Raja-raja Sintang.

Istana ini juga masih menyimpan barang-barang hantaran Patih Logender (seorang perwira dari Majapahit) ketika meminang Putri Dara Juanti (putri Demong Irawan—pendiri Kerajaan Sintang), antara lain seperangkat gamelan, patung garuda dari kayu, serta gundukan tanah dari Majapahit.

Untuk mencapai istana pengunjung dapat menggunakan bus atau mobil sewaan dari Kota Pontianak (Ibukota Provinsi Kalbar) menuju Kota Sintang. Dari Kota Sintang, tepatnya di Terminal Pasar Durian, wisatawan dapat menumpang perahu motor untuk menyeberang Sungai Kapuas menuju istana. Selain itu, bisa langsung menggunakan kendaran darat melewati jembatan Sungai Kapuas dengan menggunakan sepeda motor.

***

Sumber :http://disbudpar.kalbarprov.go.id

Museum Provinsi Kalimantan Barat

Sejarah Singkat
Museum Provinsi Kalimantan Barat dirintis sejak tahun 1974 oleh Kantor Wilayah Depdikbud Provinsi Kalimantan Barat melalui Proyek Rehabilitasi dan Perluasan Permuseuman Kalimantan Barat.

Fungsionalisasinya diresmikan pada tanggal 4 Oktober 1983 oleh Direktur Jenderal Kebudayaan Depdikbud, sejak itu Museum Provinsi Kalimantan Barat dibuka untuk umum.

Visi
Terwujudnya Museum sebagi Lembaga Pelestarian dan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata Kalimantan Barat.

Misi
Membina dan mengembangkan kebudayaan dan pariwisata di Kalimantan Barat sebagai sarana:

Membina budaya lokal/daerah untuk memperkaya kebudayaan nasional.
Melestarikan budaya lokal/daerah sebagai aset pariwisata daerah dan nasional.
Menjadikan museum sebagai pusat pendidikan, penelitian, dan pengembangan kebudayaan.
Menanamkan nilai-nilai luhur budaya bangsa untuk memperkokoh semangat persatuan.
Menyebarluaskan informasi budaya sebagai sarana komunikasi mempererat semangat persatuan dan kesatuan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Gedung Pameran Tetap
Ruang Pameran Tetap dibagi atas tiga ruangan, yaitu:

1. Ruang Pengenalan, terdapat tujuh jenis koleksi yaitu:

Koleksi Geografika/Geologika berupa peta dan jenis batu-batuan.
Koleksi Biologika berupa tengkorak atau rangka manusia, tumbuhan, dan binatang.
Koleksi Arkeologika berupa benda yang merupakan hasil peninggalan budaya sejak masuknya budaya Barat seperti kapak perimbas (masa paleolitik), serpih dan mata panah (masa mesolitik), beliung, kapak persegi dan gerabah (masa neolitik), manik-manik, nekara (masa perundagian).
Koleksi Historika, benda-benda ini pernah digunakan untuk hal-hal yang berhubungan dengan suatu peristiwa sejarah seperti negara, tokoh, dan kelompok yakni berupa Pakaian Sultan Pontianak, Pistol VOC, dll.
Koleksi Numismatika berupa mata uang.
Koleksi Heraldika berupa tanda jasa, mata uang, pangkat resmi, dan cap/stempel.
2. Ruang Budaya Kalimantan Barat, meliputi tujuh unsur kebudayaan: religi dan upacara kebudayaan, mata pencaharian hidup, organisasi kemasyarakatan, teknologi dan peralatan, pengetahuan, kesenian, bahasa.

3. Ruang Keramik, terdapat jenis koleksi yaitu jenis koleksi keramologika berupa tempayan, piring, mangkuk, sendok, dll. yang berasal dari China, Vietnam, Jepang, Eropa, dan keramik lokal Singkawang.

Selain menampilkan koleksi yang ada di Ruangan Pameran Tetap I, Museum Provinsi Kalimantan Barat juga menampilkan koleksi replika dan miniatur yang berada di plaza (note: halaman belakang sebenarnya), antara lain:

Jangkar kapal dagang asing
Miniatur Rumah Lanting
Miniatur lumbung padi/dangau
Miniatur Perahu Lancang Kuning
Miniatur Tungku Naga
Miniatur rumah kopra
Press karet
Replika Batu Pahit
Gazebo, dll.
Aktivitas Museum
Aktivitas Museum meliputi pameran, bimbingan kepada pengunjung, karya tulis, konservasi/preparasi koleksi, survei, pengadaan koleksi, ceramah, sarasehan, sosialisasi, diskusi, penelitian, lomba lukis, cerdas cermat, dll.

Sumber: Brosur ‘Museum Provinsi Kalimantan Barat’

Alamat:
MUSEUM PROVINSI KALIMANTAN BARAT
Jalan Jenderal Ahmad Yani
Pontianak 78121
Kalimantan Barat

Telp. 0561-734 600
Fax. 0561-747 518

http://www.museumkalbar.net

Jam Kunjungan:
Selasa-Minggu 08.00-14.00
Jumat 08.00-11.00 dan 12.30-14.00
Hari Senin dan libur nasional tutup

Tiket:
Rp 1.000,00

***

Sumber :http://www.museumindonesia.com

Pesona Durian Gunung Poteng

Tidak seperti pada bulan-bulan sebelumnya, Gunung Poteng dalam bulan November dan awal desember ini begitu ramai. Ada satu pesona menarik yang bisa dijumpai di sekitar kaki gunung poteng, yaitu Durian. yup durian, buah berduri dengan isinya yang menggugah selera peminatnya dan memiliki aroma khas tersebut saat ini begitu banyak dijumpai di kaki gunung poteng.

Sepanjang jalan kecil yang melalui rumah-rumah penduduk bisa dijumpai buah durian tergeletak menumpuk di teras-teras rumah penduduk menunggu untuk di “lamar” oleh calon pembeli. semakin naik ke atas di penghujung kampung kita bisa menjumpai banyak pondok-pondok sederhana berdiri di sekitar batang durian yang berbuah lebat diatasnya. hutan disekitar batang durian menjadi lapang, tak sedikitpun tampak suasana angker kaki gunung poteng yang sudah jarang terjamah oleh wisatawan tersebut.

Durian poteng begitu terkenal dari dulu, berbagai macam spesies durian tumbuh disana, berbagai nama durian yang diberikan oleh pemilik batang durian atas buah duriannya menjadi kan cirikhas atau perbedaan dengan buah durian lainnya. jadi bisa di istilahkan bahwa setiap buah durian masing-masing memiliki nama yang diberikan oleh pemiliknya. Nama pada durian menjadikan pembeda pada masing-masing jenis durian yang ada, umumnya nama-nama pada durian tersebut diberikan oleh orang-orang tua sebelumnya yang lebih dulu menanam batang durian disekitar kaki gunung poteng, dan sampai turun menurun hingga sekarang.

Durian Poteng jika berbuah menjadi daya tarik bagi masyarakat di kota singkawang dan sekitarnya untuk berkunjung ke sana, pondok-pondok penunggu durian menjadi sasaran perburuan buah durian untuk di beli yang kemudian dimakan ditempat atau dibawa pulang. masyarakat lebih yakin jika langsung membeli di pondok, karena buah pasti lebih bagus sesuai keinginan, berbeda jika membeli buah durian di pasar, seperti pasar di kota singkawang yang selalu banjir buah durian jika musim durian. alasan warga karena buah durian di pasar kota Singkawang tidak semuanya berasal dari Gunung Poteng namun juga berasal dari daerah-daerah lain yang belum tentu memiliki rasa dan kualitas seperti buah durian yang berasal dari gunung poteng dan sekitarnya. Berburu buah berduri ini langsung pada pondok pemiliknya juga merupakan perjalanan yang menyenangkan, suasana hijau pegunungan dengan udaranya yang segar menjadikan perburuan durian begitu menyenangkan.

Ditambah lagi keramahan pemilik pondok yang biasanya memberikan tambahan bonus dengan membelahkan buah durian kepada calon pembeli untuk dimakan dipondok tanpa harus dibayar.

***

Sumber: http://palingindonesia.com

Foto: www.facebook.com

Lemang, Kue Khas Pontianak

Lemang merupakan makanan yang tidak setiap hari ada di Pontianak. Lemang hanya bisa dinikmati pada bulan Ramadan dan Idul Fitri. Lemang menjadi makanan khas Melayu Pontianak yang dinikmati setahun sekali. Saya teringat masa-masa kecil di sebuah kampung Melayu di Kecamatan Mukok, Sanggau. Saya menikmati lemang setahun dua kali, yaitu saat hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Di Pontianak lemang menjadi panganan khas Ramadan. Bagi masyarakat Kota Pontianak setiap bulan puasa lemang hadir sebagai menu pilihan yang nikmat. Menurut keterangan Imam (penjual) lemang yang saya temui, masyarakat bukan Melayu justru pembeli terbanyak pangan khas Melayu dan Dayak Kalimantan Barat ini.

Krek… krek… krek… suara lemang bambu yang dibelah terdengar. Imam sang penjual lemang tampak cekatan melucuti bambu yang telah terbelah dengan ujung-ujung jarinya. Sebelum melucuti pecahan bambu lemang, Imam memecahkan bambu dengan tangan terlebih dahulu pada ujung bambu yang terbuka, seperti orang memecah buah manggis. Hasil pecahan kecil itulah yang kemudian dilucuti sehingga “menelanjangi” lemang.

Saya terus mengamati Imam yang sibuk memotong satu ruas lemang dengan panjang sekitar 1 meter menjadi beberapa bagian. Lemang berukuran kecil dijual dengan harga per potong lima ribu rupiah. Lemang berukuran besar (ruas bambu besar) dengan panjang sekitar 1 meter juga dipotong dalam empat potong setengah. Potongan-potongan itu dijual dengan harga sepuluh ribu per potong. Lemang berukuran besar diisi dengan kacang merah sedangkan lemang berukuran kecil tanpa kacang merah.

Lemang merupakan beras ketan yang dilapisi daun pisang dengan air santan kelapa terkadang diisi kacang merah dengan memanfaatkan bambu sebagai wadah. Bambu berisikan beras ketan ini kemudian dimasak dengan cara dibakar. Di Pontianak Lemang dibakar selama 5 jam. Dalam varian Melayu Sanggau, lemang dipandok/mandok (bakar) dengan menjajarkannya secara vertikal dalam beberapa baris ruas bambu.

Lemang menjadi panganan favorit multietnik orang-orang di Pontianak selama Ramadan. Bersilih ganti para pembeli yang menyambangi lapak kecil Imam ternyata didominasi orang-orang Cina. Dalam benak saya fenomena ini agak mengherankan juga, bukan? Pembeli Cina begitu dominan menikmati panganan khas Melayu dan Dayak. Mungkin orang Melayu kurang begitu suka memakan lemang untuk berbuka puasa karena sama mengenyangkan dengan nasi? Menurut Imam kalau dipersentase, pembeli lemang dari kalangan orang Cina sekitar 90%. “Pelangan saye banyak Cine Bang, 90% lah” ujar Imam. Satu keluarga Cina yang membeli lemang tampak tawar-menawar harga dengan Imam saat ingin membeli satu ruas panjang utuh. Pembeli dari kalangan Cina ini memilih lemang yang hangus. “Yang hangus enak,” kata si pembeli.

Ternyata lemang bukan baru kali ini dinikmati keluarga Cina ini. Mereka sudah terbiasa memakan lemang saat masih di kampung (kawasan Sungai Ayak, Sekadau). Imam sang penjual lemang merupakan mata rantai penting yang menyelamatkan makanan tradisional Kalimantan Barat dari kepunahan. Lemang sebagai simbol makanan pribumi Kalimantan Barat yang disenangi oleh orang-orang bukan pribumi mudah-mudahan terus menjadi panganan yang dicari di Kota Pontianak.

Penulis: Dedy Ari Asfar

***

Sumber: Borneotribune

Upacara Perkawinan Adat Aceh

Tahapan Melamar (Ba Ranub)

Untuk mencarikan jodoh bagi anak lelaki yang sudah dianggap dewasa maka pihak keluarga akan mengirim seorang yang bijak dalam berbicara (disebut theulangke) untuk mengurusi perjodohan ini. Jika theulangke telah mendapatkan gadis yang dimaksud maka terlabih dahulu dia akan meninjau status sang gadis. Jika belum ada yang punya, maka dia akan menyampaikan maksud melamar gadis itu.

Pada hari yang telah di sepakati datanglah rombongan orang2 yang dituakan dari pihak pria ke rumah orang tua gadis dengan membawa sirih sebagai penguat ikatan berikut isinya seperti gambe, pineung reuk, gapu, cengkih, pisang raja, kain atau baju serta penganan khas Aceh. Setelah acara lamaran iini selesai, pihak pria akan mohon pamit untuk pulang dan keluarga pihak wanita meminta waktu untuk bermusyawarah dengan anak gadisnya mengenai diterima-tidaknya lamaran tersebut.

Tahapan Pertunangan (Jakba Tanda)

Bila lamaran diterima, keluarga pihak pria akan datang kembali untuk melakukan peukeong haba yaitu membicarakan kapan hari perkawinan akan dilangsungkan, termasuk menetapkan berapa besar uang mahar (disebut jeunamee) yang diminta dan beberapa banyak tamu yang akan diundang. Biasanya pada acara ini sekaligus diadakan upacara pertunangan (disebut jakba tanda)

acara ini pihak pria akan mengantarkan berbagai makanan khas daerah Aceh, buleukat kuneeng dengan tumphou, aneka buah-buahan, seperangkat pakaian wanita dan perhiasan yang disesuaikan dengan kemampuan keluarga pria. Namun bila ikatan ini putus ditengah jalan yang disebabkan oleh pihak pria yang memutuskan maka tanda emas tersebut akan dianggap hilang. Tetapi kalau penyebabnya adalah pihak wanita maka tanda emas tersebut harus dikembalikan sebesar dua kali lipat.

Persiapan Menjelang Perkawinan

Seminggu menjelang akad nikah, masyarakat aceh secara bergotong royong akan mempersiapkan acara pesta perkawinan. Mereka memulainya dengan membuat tenda serta membawa berbagai perlengkapan atau peralatan yang nantinya dipakai pada saat upacara perkawinan. Adapun calon pengantin wanita sebelumnya akan menjalani ritual perawatan tubuh dan wajah serta melakukan tradisi pingitan. Selam masa persiapan ini pula, sang gadis akan dibimbing mengenai cara hidup berumah tangga serta diingatkan agar tekun mengaji.

Selain itu akan dialksanakan tradisi potong gigi (disebut gohgigu) yang bertujuan untuk meratakan gigi dengancara dikikir. Agar gigi sang calon pengantin terlihat kuat akan digunakan tempurung batok kelapa yang dibakar lalu cairan hitam yang keluar dari batok tersebut ditempelkan pada bagian gigi. Setelah itu calon pengantin melanjutkan dengan perawatan luluran dan mandi uap.

Selain tradisi merawat tubuh, calon pengantin wanita akan melakukan upacara kruet andam yaitu mengerit anak rambut atau bulu-bulu halus yang tumbuh agar tampak lebih bersih lalu dilanjutkan dengan pemakaian daun pacar (disebut bohgaca) yang akan menghiasi kedua tangan calon pengantin. Daun pacar ini akan dipakaikan beberapa kali sampai menghasilkan warna merah yang terlihat alami.

Setelah itu, acara dilanjutkan dengan mengadakan pengajian dan khataman AlQuran oleh calon pengantin wanita yang selanjutnya disebut calon dara baro (CBD).Sesudahnya, dengan pakaian khusus, CBD mempersiapkan dirinya untuk melakukan acara siraman (disebut seumano pucok) dan didudukan pad asebuah tikaduk meukasap.

Dalam acara ini akan terlihat beberapa orang ibu akan mengelilingi CBD sambil menari-nari dan membawa syair yang bertujuan untuk memberikan nasihat kepada CBD. Pada saat upacara siraman berlangsung, CBD akan langsung disambut lalu dipangku oleh nye’wanya atau saudara perempuan dari pihak orang tuanya. Kemudian satu persatu anggota keluarga yang dituakan akan memberikan air siraman yang telah diberikan beberapa jenis bunga-bungaan tertentu dan ditempatkan pada meundam atau wadah yang telah dilapisi dengan kain warna berbeda-beda yang disesuaikan dengan silsilah keluarga.

Upacara Akad Nikah dan Antar Linto

Pada hari H yang telah ditentukan, akan dilakukan secara antar linto (mengantar pengantin pria). Namun sebelum berangkat kerumah keluarga CBD, calon pengantin pria yang disebut calon linto baro(CLB) menyempatkan diri untuk terlebih dahulu meminta ijin dan memohon doa restu pada orang tuanya. Setelah itu CLB disertai rombongan pergi untuk melaksanakan akad nikah sambil membawa mas kawin yang diminta dan seperangkat alat solat serta bingkisan yang diperuntukan bagi CDB.

Sementara itu sambil menunggu rombongan CLB tiba hingga acara ijab Kabul selesai dilakukan, CDB hanya diperbolehkan menunggu di kamarnya. Selain itu juga hanya orangtua serta kerabat dekat saja yang akan menerima rombongan CLB. Saat akad nikah berlangsung, ibu dari pengantin pria tidak diperkenankan hadir tetapi dengan berubahnya waktu kebiasaan ini dihilangkan sehingga ibu pengantin pria bisa hadir saat ijab kabul. Keberadaan sang ibu juga diharapkan saat menghadiri acara jamuan besan yang akan diadakan oleh pihak keluarga wanita.

Setelah ijab kabul selesai dilaksanakan, keluarga CLB akan menyerahkan jeunamee yaitu mas kawin berupa sekapur sirih, seperangkat kain adat dan paun yakni uang emas kuno seberat 100 gram. Setelah itu dilakukan acara menjamu besan dan seleunbu linto/dara baro yakin acara suap-suapan di antara kedua pengantin. Makna dari acara ini adalah agar keduanya dapat seiring sejalan ketika menjalani biduk rumah tangga.

Upacara Peusijeuk

Yaitu dengan melakukan upacara tepung tawar, memberi dan menerima restu dengan cara memerciki pengantin dengan air yang keluar dari daun seunikeuk, akar naleung sambo, maneekmano, onseukee pulut, ongaca dan lain sebagainya minimal harus ada tiga yang pakai. Acara ini dilakukan oleh beberapa orang yang dituakan(sesepuh) sekurangnya lima orang.

Tetapi saat ini bagi masyarakat Aceh kebanyakan ada anggapan bahwa acara ini tidak perlu dilakukan lagi karena dikhawatirkan dicap meniru kebudayaan Hindu. Tetapi dikalangan ureungchik (orang yang sudah tua dan sepuh) budaya seperti ini merupakan tata cara adat yang mutlak dilaksanakan dalam upacara perkawinan. Namun kesemuanya tentu akan berpulang lagi kepada pihak keluarga selaku pihak penyelenggara, apakah tradisi seperti ini masih perlu dilestarikan atau tidak kepada generasi seterusnya.

***

Sumber: http://acehmagazine.com/?p=495

Kenduri Apam, Tradisi Masyarakat Aceh

Khanduri Apam (Kenduri Serabi) adalah salah satu tradisi masyarakat Aceh berupa pada bulan ke tujuh (buleun Apam) dalam kalender Aceh. Buleun Apam adalah salah satu dari nama-nama bulan dalam “Almanak Aceh” yang setara dengan bulan Rajab dalam Kalender Hijriah. Buleun artinya bulan, dan Apamadalah sejenis makanan yang mirip serabi.

Sudah menjadi tradisi bagi masyarakat Aceh untuk mengadakan Khanduri Apam pada buleun Apam. Tradisi ini paling populer di kabupaten Pidie sehingga dikenal dengan sebutan Apam Pidie. Selain di Pidie, tradisi ini juga dikenal di Aceh Utara, Aceh Besar dan beberapa kabupaten lain di Provinsi Aceh.

Kegiatan toet apam (memasak apam) dilakukan oleh kaum ibu di desa. Biasanya dilakukan sendirian atau berkelompok. Pertama sekali yang harus dilakukan untuk memasak apam adalah top teupong breuh bit (menumbuk tepung dari beras nasi). Tepung tersebut lalu dicampur santan kelapa dalam sebuah beulangong raya (periuk besar). Campuran ini direndam paling kurang tiga jam, agar apam yang dimasak menjadi lembut. Adonan yang sudah sempurna ini kemudian diaduk kembali sehingga menjadi cair. Cairan tepung inilah yang diambil dengan aweuek/iros untuk dituangkan ke wadah memasaknya, yakni neuleuek berupa cuprok tanoh (pinggan tanah).

Dulu, Apam tidak dimasak dengan kompor atau kayu bakar, tetapi dengan on ‘ue tho (daun kelapa kering. Malah orang-orang percaya bahwa Apam tidak boleh dimasak selain dengan on “ue tho ini. Masakan Apam yang dianggap baik, yaitu bila permukaannya berlubang-lubang , sedang bagian belakangnya tidak hitam dan rata(tidak bopeng).

Apam paling sedap bila dimakan dengan kuahnya, yang disebut kuah tuhe, berupa masakan santan dicampur pisang klat barat(sejenis pisang raja) atau nangka masak serta gula. Bagi yang alergi kuah tuhe mungkin karena luwihnya (gurih), kue Apam dapat pula dimakan bersama kukuran kelapa yang dicampur gula. Bahkan yang memakan Apam saja (seunge Apam), yang dulu di Aceh Besar disebut Apam beb. Selain dimakan langsung, dapat juga Apam itu direndam beberapa lama ke dalam kuahnya sebelum dimakan. Cara demikian disebut Apam Leu’eop. Setelah semua kuahnya habis dihisap barulah Apam itu dimakan.

Apam yang telah dimasak bersama kuah tuhe siap dihidangkan kepada para tamu yang sengaja dipanggil/diundang ke rumah. Dan siapapun yang lewat/melintas di depan rumah, pasti sempat menikmati hidangan Khanduri Apam ini. Bila mencukupi, kenduri Apam juga diantar ke Meunasah (surau di Aceh) serta kepada para keluarga yang tinggal di kampung lain. Begitulah, acara toet Apam diadakan dari rumah ke rumah atau dari kampung ke kampung lainnya selama buleuen Apam(bulan Rajab) sebulan penuh.

Sejarah Khanduri Apam

Tradisi Khanduri Apam ini adalah berasal dari seorang sufi yang amat miskin di Tanah Suci Mekkah. Si miskin yang bernama Abdullah Rajab adalah seorang zahid yang sangat taat pada agama Islam. Berhubung amat miskin, ketika ia meninggal tidak satu biji kurma pun yang dapat disedekahkan orang sebagai kenduri selamatan atas kematiannya. Keadaan yang menghibakan/menyedihkan hati itu; ditambah lagi dengan sejarah hidupnya yang sebatangkara, telah menimbulkan rasa kasihan masyarakat sekampungnya untuk mengadakan sedikit kenduri selamatan di rumah masing-masing. Mereka memasak Apam untuk disedekahkan kepada orang lain. Itulah ikutan tradisi toet Apam (memasak Apam) yang sampai sekarang masih dilaksanakan masyarakat Aceh.

Selain pada buleuen Apam (bulan Rajab), kenduri Apam juga diadakan pada hari kematian. Ketika si mayat telah selesai dikebumikan, semua orang yang hadir dikuburan disuguhi dengan kenduri Apam. Apam di perkuburan ini tidak diberi kuahnya. Hanya dimakan dengan kukuran kelapa yang diberi gula (dilhok ngon u)

Khanduri Apam juga diadakan di kuburan setelah terjadi gempa hebat– seperti gempa tsunami, hari Minggu, 26 Desember 2004. Tujuannya adalah sebagai upacara Tepung Tawar (peusijuek) kembali bagi famili mereka yang telah meninggal. Akibat gempa besar; boleh jadi si mayat dalam kubur telah bergeser tulang-belulangnya. Sebagai turut berduka-cita atas keadaan itu; disamping memohon rahmat bagi si mati, maka diadakanlah khanduri Apam tersebut.

Selain itu, ada juga yang mengatakan bahwa latar belakang pelaksanaan kenduri apam pada mulanya ditujukan kepada laki-laki yang tidak shalat Jum’at ke mesjid tiga kali berturut-turut, sebagai dendanya diperintahkan untuk membuat kue apam sebanyak 100 buah untuk diantar ke mesjid dan dikendurikan (dimakan bersama-sama) sebagai sedekah. Dengan semakin seringnya orang membawa kue apam ke mesjid akan menimbulkan rasa malu karena diketahui oleh masyarakat bahwa orang tersebut sering meninggalkan shalat jumat.

Berikut ini nama-nama bulannya:
Muharram –> Asan Usén
Safar –> Sapha
Rabi’ul –> Awal Molôt
Rabi’ul Akhir –> Adoë Molôt
Jumadil Awal –> Molôt Keuneulheuëh
Jumadil Akhir –> Khanduri Boh Kayèë
Rajab –> Khanduri Apam
Syakban –> Khanduri Bu
Ramadhan –> Puasa
Syawal –> Uroë Raya
Zulkaidah –>Meu-apét
Zulhijjah –> Haji

Sumber | Aceh Pedia

Foto: iloveaceh.tumblr.com

Permainan Geudeu-Geudeu

Geudeu-geudeu merupakan olah raga keras. Kisah kelahirannya berawal dari usaha mengasah ketahanan mental dan jiwa laskar kerajaan. Lamat-lamat olah raga adu fisik jadi tontonan umum.

Di Pidie, dahulunya, ketika masa luah blang (pasca panen-red) atau saat purnama, geode-geude kerap dipertandingkan. Pemuda berbadan kejar berbondong-bondong mengikutinya, meski tak ada hadiah selain badan yang lembam.

Hadiahnya nyatanya sering tak berwujud, hanya sebuah kebanggaan belaka yang jadi pemuas bagi petarung yang menang. Adu fisik ini hanya sekedar pleh bren alias mengendurkan otot-otot yang tegang melalui pertarungan. Kebangkaan lainnya, sering pula dianggap perkasa dan menjadi lirikan ujung mata para gadis kampung.

Sebagai olah raga keras, petarung geude-geude harus memiliki ketahanan fisik dan mental yang kuat, tahan pukul dan bantingan lawan. Selain itu petarung geudeu-geude juga dituntut kesabaran dan ketabahan. Di sinilah emosi diolah. Bila emosi petarung tidak stabil, maka bisa berujung pada kematian.

Kesabaran para pemain diuji dengan berbagai lontaran kata-kata kasar dari para penonton. Karena itu pula, sepanjang sejarah pertarungan geudeu-geude, belum pernah terjadi pertarungan di luar arena. Artinya, sikap sportif para pemain sangat tinggi. Meski di arena mereka babak belur dan bonyok, tapi di luar arena itu dianggap sebagai sebuah kewajaran.

Akhir tahun 1980-an, geudeu-geudeu masih sering dipertunjukkan di Beuracan, Kecamatan Meureudu, Kabupaten Pidie Jaya. Biasanya pertarungan ini dibagi dalam dua katagori, yakni antar pribadi dan antar perwakilan kampung. Siapa pun boleh ikut, syaratnya berani dan mampu menahan pukulan serta hempasan lawan.

Sistimnya, para petarung terlebih dahulu diundi untuk memilih lawan tanding. Petarung pertama tampil ke arena untuk menantang dua petarung lainnya. Arena biasanya terbuat dari jerami yang berfungsi sebagai matras. Hal ini untuk mencegah cedera para petarung saat dibanting dan dihempas lawan.

Petarung pertama yang menentang dua lawan disebut ureung tueng (orang yang menantang-red). Sedangkan petarung yang ditantang yang berjumlah dua orang tadi, disebut sebagai ureug pok (orang yang menyerang-red). Ketika diserang, petarung pertama akan memukul dan menghempas dua petarung lain yang menyerangnya.

Pada babak ke dua, posisi pemain dibalik. Posisi tueng akan berlaih ke pok, begitu juga sebaliknya. Hal ini terus berlangsung dalam limit waktu tertentu (ronde-red). Sampai salah satu pihak menang.

Lazimnya sebuah pertandingan, geudeu-geudeu juga dipimpin oleh beberapa orang wasit, yang disebut sebagai ureung seumeugla (juri pelerai-red) yang biasanya berjumlah empat atau lima orang. Para juri tersebut juga merupakan orang orang yang tangkas dan kuat, sehingga mampu melerai para petarung.

Biasanya yang menjadi ureung seumegla tersebut merupakan para mantan petarung geudeu-geudeu itu sendiri, yang memiliki pengalaman dan insting soal geudeu-geudeu.

Seorang wasit geudeu-geude bisa melihat apakah petarung itu memukul dengan sikap profesionalisme atau emosional. Karena antara professional dan emosional petarung itulah wasit berperan menentukan kapan sebuah pertarungan harus dihentikan.

Sebagai sebuah olah raga keras, adalah hal yang lumrah, jika para petarung geudeu-geudeu banyak mengalami luka atau lembam dan memar akibat pukulan dan bantingan lawan. Tak aneh, bila olah raga ini hanya diperuntukkan bagi orang-orang berbadan kekar.

Zaman dahulu, sebelum pejuang Aceh menuju medan perang, mereka memainkan geude-geude sebagai hiburan sekaligus pemicu semangat juang. Dewasa ini, geudeu-geudeu, nyaris tidak pernah dipertunjukkan lagi, terakhir hanya digelar pada Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) bulan Agustus 2004 lalu, di Stadion Lampineung, Banda Aceh, itu pun hanya simulasi untuk menarik pengunjung semata. Padahal geudeu-geudeu merupakan olah raga keras yang telah menjadi tradisi di Aceh.

Baru pekan lalu Pemerintah Kabupaten Pidie, kembali menggelar pertandingan geudeu-geudeu di Lapangan Bola Blang Paseh, Kota Sigli, setelah belasan tahun terkubur konflik. Dalam hadih maja, orang Aceh mengenal istilah peunajoh timphan, piasan rapai. Bagaimana kerasnya tabuhan rapai, begitulah kerasnya budaya Aceh. Dan geudeu-geude salah satunya.

***

Sumber: http://acehmagazine.com/?p=167

Penulis | Iskandar Norman | Photo | Joel Gebe

Upacara Turun Tanah Pada Masyarakat Aceh

Peutron Aneuk/Turun Tanah, Peucicap/suatu ritual untuk menginginkan anak sesuai yang diharapkan, seperti dengan bercukur, bercermin supaya cantik/ganteng, memberikan madu dengan meletakkan dibibir, agar sianak menjadi manis.

1. Asal-usul
Masyarakat Aceh, sebagaimana masyarakat lainnya di Indonesia, mempercayai bahwa masa peralihan dari kehidupan seseorang (dari kelahiran sampai kematian) adalah masa-masa yang krisis. Untuk itu, perlu adanya suatu usaha menetralkannya. Wujud dari usaha itu adalah berbagai bentuk upacara di lingkaran hidup individu, seperti upacara: kehamilan, kelahiran, turun tanah, perkawinan dan kematian.

Dalam artikel ini hanya akan diuraikan salah satu upacara di lingkaran hidup individu yang dilakukan oleh masyarakat Aceh, yaitu upacara turun tanah. Uraian meliputi: asal-usul, peralatan, tata laksana, dan nilai budaya yang terkandung dalam upacara turun tanah.

2. Peralatan dan Perlengkapan

Peralatan dan perlengkapan yang diperlukan dalam upacara turun tanah pada masyarakat Aceh adalah: tangga, sehelai kain putih, sebuah kelapa, sapu, tampi, cangkul, parang, pulut kuning, madu lebah, dan gunting rambut. Tangga digunakan untuk menurunkan anak yang akan diturun-tanahkan. Sehelai kain putih digunakan untuk memayungi anak dengan cara setiap orang memegangi sudutnya. Sebuah kelapa untuk dipecahkan di atas tudung. Sapu digunakan untuk menyapu tanah ketika anak diturunkan dari anak tangga yang satu ke anak tangga lainnya. Tampi digunakan untuk menampi beras.

Cangkul digunakan untuk mencangkul tanah. Parang digunakan untuk mencincang batang pisang atau tebu. Pulut kuning, khususnya pada masyarakat Aceh-Gayo, digunakan untuk menutupi daun telinga anak. Madu lebah digunakan untuk mengolesi bibir sang anak. Gunting, khususnya pada masyarakat Aceh-Temiang, digunakan untuk menggunting rambut anak yang akan diturun-tanahkan.
3. Tata Laksana

a. Persiapan Upacara

Upacara Turun Tanah tidak hanya melibatkan kerabat ibu dan ayah Sang jabang bayi, tetapi juga para tetangga dan handai taulan. Seorang yang baik budi pekertinya (terpandang) dan seorang alim ulama (tuan guru marhaban) yang biasanya memimpin jalannya marhabanan. Untuk itu, sebagai persiapan, semua yang akan terlibat itu (diberitahu bahwa pada hari tertentu2)), diminta kehadirannya untuk menyaksikan dan sekaligus mendoakan bayi yang akan diturun-tanahkan. Selain itu, pihak penyelenggara juga mempersiapkan bahan dan peralatan yang dibutuhkan dalam upacara tersebut. Besar-kecilnya atau mewah-sederhananya upacara bergantung pada kemampuan pihak penyelenggara. Biasanya anak pertama, baik laki-laki maupun perempuan, diperlakukan secara khusus dibandingkan dengan anak kedua atau ketiga, sehingga pelaksanaannya seringkali disertai dengan penyembelihan kerbau atau sapi. Jadi, lebih besar atau lebih meriah ketimbang anak kedua atau ketiga yang cenderung lebih sederhana (tanpa penyembelihan kerbau atau sapi).

b. Jalannya Upacara
Upacara diawali dengan penggendongan bayi (anak) oleh seorang yang terpandang dalam masyarakatnya. Anak tersebut dibawa ke sebuah tangga3) yang dibuat khusus untuk upacara ini, kemudian diturunkan dari anak tangga yang satu ke lainnya. Ketika penurunan dilakukan, anak tersebut dipayungi dengan sehelai kain yang setiap sudutnya dipegangi oleh seseorang. Lalu, sebuah kelapa dibelah di atasnya. Maksud yang terkandung dalam makna simbolik dari pembelahan kelapa ini adalah agar anak di kemudian hari tidak takut terhadap suara petir. Sementara itu, jika anak yang akan diturun-tanahkan itu adalah perempuan, maka salah seorang anggota keluarganya bergegas menyapu tanah dan salah seorang anggota keluarga lainnya menampi beras. Menyapu tanah dan menampi beras adalah simbol dari kerajinan. Artinya, anak perempuan yang diturun-tanahkan itu kelak menjadi seorang perempuan yang rajin. Namun, jika yang diturun-tanahkan adalah anak laki-laki, maka seorang anggota keluarganya bergegas mencangkul tanah dan salah seorang anggota keluarga lainnya mencincang batang pisang atau batang tebu. Makna simbolik dari ritual itu adalah kesatriaan. Artinya, kelak anak lelaki itu dapat menjadi seorang lelaki yang bermoral kesatria.

Ketika penurunan anak sudah sampai ke tanah, maka anak tersebut dibiarkan sejenak di atas tanah, kemudian dibawa keliling rumah atau masjid. Dan, ketika akan memasuki rumah, disertai dengan ucapan: Assalamu Alaikum.
Dengan masuknya anak ke dalam rumah, maka berakhirlah upacara turun tanah ini. Sejak saat itu anak sudah diperbolehkan menyentuh tanah. Sementara itu, sebagai ungkapan terima kasih dari shohibul hajah, bidan yang dalam upacara ini juga masih berperan sebagai penjaga dari gangguan gaib hingga Sang bayi melalui upacara turun tanah, diberi sejumlah uang (ala kadarnya).

Sebagai catatan, pada masyarakat Gayo upacara diawali dengan pembacaan doa yang dipimpin oleh seorang Imam. Isi doa itu pada dasarnya adalah memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa (Allah) agar anak berumur panjang, banyak rezeki, dan menjadi seorang yang taqwa. Setelah pembacaan doa, anak dipangku oleh ralik (salah seorang kerabat dari pihak ibu anak). Kemudian, daun telinganya dilekati pulut kuning dan bibirnya diolesi dengan madu lebah disertai dengan ucapan: Mudahlah rezekimu, taat dan beriman serta berguna bagi agama. Selanjutnya, anak diserahkan kepada semua yang hadir (peserta upacara) secara bergantian (bergiliran) dengan mengucapkan kata-kata yang sama. Setelah itu, baru anak diturun-tanahkan melalui sebuah tangga yang khusus.

Pada masyarakat Tamiang lain lagi. Sebelum upacara turun tanah dilakukan, mereka melakukan upacara menyangke rambut budak (cukur rambut) dan sekaligus memberi nama. Upacara diawali dengan pengayunan anak sesuai dengan irama marhaban. Kemudian, anak diambil dari ayunan oleh salah seorang kerabatnya dan ditepung-tawarinya oleh tuan guru marhaban serta digunting rambutnya (sedikit). Guntingan rambut dimasukkan dalam kelapa muda yang terukir. Selanjutnya, setiap peserta marhaban diberi kesempatan untuk mengguntingnya4). Setelah semuanya mendapat gilirannya, maka barulah upacara turun tanah dilakukan.

4. Nilai Budaya
Turun tanah adalah salah satu upacara tradisional masyarakat Aceh. Upacara yang sangat erat kaitannya dengan lingkaran hidup individu ini, jika dicermati secara seksama, di dalamnya mengandung nilai-nilai yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan, baik di dunia maupun akherat (alam baqa). Nilai-nilai itu, antara lain: kerajinan, kesatriaan, keberanian, dan ketaqwaan.
Nilai kerajinan tercermin dalam makna simbolik dari ritual menyapu halaman dan menampi beras yang dilakukan oleh dua orang kerabat sang bayi. Nilai kesatriaan tercermin dari ritual mencangkul tanah dan mencincang batang pisang atau batang tebu. Kemudian, nilai keberanian tercermin dari pemecahan buah kelapa. Dan, nilai ketaqwaan tercermin dari pelekatan pulut kuning pada telinga anak dan pengolesan bibir dengan madu lebah yang disertai dengan ucapan: Mudahlah rezekimu, taat dan beriman serta berguna bagi agama. (AG/bdy/67/10-07)
Sumber :

Hidayah, Z. 1996. Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia. Jakarta: LP3ES.
Syamsuddin, T. dkk.1994. Adai Istidat Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

1) Dalam ilmu antropologi, masa-masa dalam lingkaran hidup individu (dari kelahiran hingga kematian) dianggap sebagai masa-masa krisis karena mengandung banyak bahaya yang dapat mengancam keselamatan individu. Untuk itu, sebagian besar sukubangsa di Indonesia maupun di dunia selalu mempunyai usaha-usaha untuk menetralkannya dalam bentuk suatu upacara, agar individu yang mengalaminya dapat terbebas dari segala mara bahaya.

2) Ada ketidak-seragaman tentang waktu pelaksanaan turun tanah. Pada masyarakat Gayo misalnya, mereka melaksanakannya pada hari ke-7 (setelah kelahiran) bersamaan dengan upacara cukur rambut, pemberian nama, dan hakikah. Kemudian, masyarakat Aneuk Jamee dan masyarakat Aceh, umumnya melaksankannya pada hari ke-44 (setelah kelahiran) bersamaan dengan pemberian nama. Lepas dari masalah waktu berbeda, yang jelas urut-urutan pelaksanaan turun tanah pada dasarnya sama.
3) Tangga terbuat dari bambu dengan ketinggian sekitar 1 meter dan anak tangganya berjumlah 5 buah.
4) Untuk meneruskan pengguntingan rambut agar rata diserahkan kepada bidan.

***

Sumber | acehforum.or.id | Photo | Fachrul Razi
-

Arsip Blog

Recent Posts