Slank Pukau Penggemar di Pekanbaru

Pekanbaru, Riau - Grup band terkemuka Slank memukau ratusan penggemar fanatiknya dalam konser yang dilangsungkan di hotel Pangeran, Pekanbaru, Jumat malam.

Kaka yang menggunakan kaos berwarna hitam ini memulai konsernya dengan mars Slank yang diikuti penggemar fanatiknya. Grup band yang digawangi Kaka (vokal),Bim-bim (drum), Ridho (Gitar), Ivanka (bass) dan Abde (gitar) ini berhasil menghipnotis penonton dengan lagu-lagu kritik sosialnya.

"Konser ini merupakan lepas kangen personel Slank dengan penggemar di Pekanbaru, karena sudah lama tidak menghibur penggemar di sini," ujar Kaka.

Dalam konser yang digelar PT HM Sampoerna ini, tak ada jarak antara idola dan penggemar. Kaka, sang vokalis dengan leluasa bernyanyi di tengah penggemarnya. Bahkan tak jarang penggemar menjabat dan memeluk idolanya.

Dalam konser ini, selain memuaskan hasrat penggemarnya dengan membawakan 14 lagu, Slank mengajak penggemarnya untuk tetap terus menjaga perdamaian baik di bumi lancang kuning maupun Indonesia.

Manager Areal Marketing PT HM Sampoerna Pekanbaru, Rofii Hasnan mengatakan, program musik ini dirancang sebagai bentuk apresiasi perusahaan tersebut atas kesetiaan para konsumen di kota Pekanbaru.

Dalam acara tersebut, ia mengajak para penonton untuk bisa lebih mengekspresikan musik mereka sesuai dengan semangat persatuan dan persaudaraan.

"Untuk Pekanbaru mempunyai tema Release the spirit dikarenakan sesuai dengan pengemar musik Pekanbaru yang agresif," katanya.

"Kita memberikan suatu apresiasi kepada konsumen dewasa untuk menikmati musik sesuai dengan keinginan mereka sendiri," tambahnya.

Konser kali merupakan, konser ke-26 ini, dari 35 konser yang diselenggarakan di 25 kota di Indonesia. (T.KR-IND/R009)

Konferensi Bahasa Indonesia Untuk Penutur Asing

Depok, Jabar - Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB UI) akan menggelar Konferensi Internasional Pengajaran Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing ke-7 (KIPBIPA VII).

"Kegiatan ini untuk memperkuat peran bahasa Indonesia dalam era globalisasi," kata Kepala Kantor Komunikasi UI, Vishnu Juwono, di Depok, Rabu.

Konferensi ini akan mengambil tema Memperkuat Posisi Bahasa Indonesia Di Era Globalisasi Melalui Peningkatan Kualitas Manajemen Pengelolaan dan Pengajaran BIPA.

Konferensi ini digelar pada 29 - 31 Juli 2010 di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI, Depok.

Ia mengatakan konferensi ini antara lain untuk memperkuat peran Bahasa Indonesia dalam era globalisasi, memperkuat strategi pengembangan dan pengajaran BIPA, dan mengintegrasikan budaya dalam pengajaran BIPA.

Konferensi akan menghadirkan beberapa narasumber dalam dan luar negeri, antara lain Karen Bailey, Ph.D (Departemen Pendidikan Australia Barat), Philip Mahnken, Ph.D. (Sunshine Coast University, Queensland), dan para pakar pengajaran bahasa Indonesia untuk penutur asing dari berbagai daerah di Indonesia.(*)

Bupati Sergai akan Dianugrahi Gelar Kehormatan “Pangeran”

Tebingtinggi, Sumut - Meski berbagai anugrah penghargaan diberikan pemerintah telah diterima Bupati Serdang Bedagai Ir.H.Tengku Erry Nuradi, atas kinerja yang dicapainya dalam memimpin dan menggerakkan roda pemerintahan di Kabupaten Serdang Bedagai, namun kali ini warga adat kerajaan Negeri Bedagai, juga akan menganugrahkan gelar kehormatan "Pangeran" kepada Bupati Sergai.

Gelar kehormatan "Pangeran" akan diserahkan langsung Kepala Masyarakat Adat Kerajaan Negeri Bedagai Ir.Tengku Achmad Syafei Gelar Tengku Pangeran Nara Kelana Wajir Negeri Deli beserta ke empat datuknya, ujar Ir.Tengku Achmad Syafei ketika dikonfirmasi Analisa berkaitan gelar kehormatan, Rabu (28/7) di kediamannya Jalan Negara Desa Firdaus Sergai.

Dikatakan Ir.Tengku Achmad Syafei, Wajir Negeri Deli beserta ke Empat Datuknya masing masing Datuk Amar Asmara Mubasshirun, Datuk Perdana Raja Ir.Syaiful Muhajiddin, Datuk Setia Raja OK.Benyamin SH, Datuk Pemegang Rencana, Maulana Yokaika Barus SE, telah membubuhkan tanda tangannya dan melayangkan surat pemberitahuan kepada Seri Peduka Sultan Deli XIV Tuanku Mahmud Lamantjiji Perkasa Alam, agar Ir.HT.Erry Nuradi dapat diberi gelar sesuai dengan adat Melayu, dan dapat diterima sebagai orang besar Kerajaan Negeri Bedagai Wajir Negeri Deli, berdasarkan tilikan pihaknya atas kepemimpinan H.T. Erry Nuradi di Kabupaten Serdang Bedagai.

Menurut Tengku Acmad Syafei, Penganugrahan gelar kehormatan "Pangeran" dijadwalkan Minggu 8 Agustus 2010, pagi bertempat di Istana Maimoon Medan, dengan kepemimpinannya wajarlah Ir. H.T Erry Nuradi sebagai salah seorang tokoh Melayu di Sumatera Utara apalagi Erry Nuradi merupakan Kepala Asosiasi Bupati Kabupaten wilayah pemekaran se Indonesia.

Berdasarkan duet kepemimpinan Ir. HT. Erry Nuradi dan Ir. H. Soekirman melalui motto Serdang Bedagai "Tanah Bertuah Negeri Beradat" dan agamais, melakukan Tablig Akbar secara berkala di tiap kecamatan se daerah ini, pemersatu segala etnis yang ada di Serdang Bedagai, peduli terhadap masyarakat Melayu serta lembaga adatnya, dengan dibangunnya Balairung Adat Kerajaan Serdang di Fortuna, juga berpartisipasi aktif dalam acara penabalan Kepala Masyarakat Adat Kerajaan Negeri Bedagai, Wajir Negeri Deli pada Bulan Maret lalu, maka tidak terlalu berlebihan jika anugrah kehormatan ini diberikan padanya.

Diharapkan dengan penganugrahan gelar kehormatan ini pada Bupati Sergai, warga melayu akan bangkit kembali dan tetap komit dalam mendukung tata pemerintahan yang baik di wilayah kabupaten pemekaran ini, dimana Kabupaten Serdang Bedagai dapat dikatakan merupakan basisnya Melayu sebagai perekat semua suku, sehingga mampu mewujudkan visi dan misi sergai, harapnya seraya menambahkan komposisi kepengurusan Forum Komunikasi Masyarakat Melayu (FKMM) Sergai dewan pembina Muspida Plus, didukung dewan penasehat, serta Ketua Drs. Haris Fadillah M.Si, (Sekdakab Sergai) wakil ketua dr. Tengku Amri Fadly, (Direktur RSU Sultan Sulaiman) dan Sekretaris Nazwir Sulong. (fel)

Budaya, Benteng Kokoh Besarkan Melayu dan Disegani Dunia

Pantailabu, Sumut - Pembangunan bukan saja harus berorientasi kepada fisik semata. Adat dan budaya juga perlu dan harus dibangun, karena budaya merupakan benteng kokoh yang membesarkan resam melayu dan disegani dunia.

Demikian dikatakan Ketua Pengurus Daerah Majelis Adat Budaya Melayu Indonesia (PD MABMI) Deliserdang Drs Tengku Akhmad Talaa pada pelaksanaan Workshop Kesenian Tari Melayu, Rabu (28/7) di Pantai Putra Deli, Desa Denai Kuala, Kecamatan Pantailabu.

Budaya merupakan ciri khas Melayu yang identik dengan Islam dan membedakan dengan bangsa lainnya sehingga jangan sampai budaya ditinggalkan orang melayu terlebih generasi muda.

Menurut Akhmad Talaa yang akrab disapa Amek, bangsa Indonesia perlu belajar dari negara Cina yang pecah akibat penjajahan. Namun, negeri tersebut bisa bangkit dan besar serta disegani dunia karena masyarakatnya masih mempertahankan budayanya.

"Jadi, jangan tinggalkan budaya. Mari tumbuh dan kembangkan budaya masing-masing" tandas Amek yang juga Timbalan Adat Kesultanan Serdang.

Terobosan Baru

Amek yang juga Ketua DPD Golkar Deliserdang menilai, pelaksanaan workshop kesenian tari melayu yang digagas Sanggar Pusaka Serumpun Pantailabu merupakan terobosan baru yang sangat membanggakan dan sangat positif.

Menurutnya, workshop sangat berperan untuk memperbaiki kesenian tari melayu agar budaya melayu yang kaya akan nilai-nilai luhur dapat digali, dikaji, diperbaiki, ditata dan disempurnakan.

Diharapkannya, workshop tersebut mampu membahas dan memberikan rekomendasi positif serta penting bagi pelestarian seni tari melayu itu sendiri. Selanjutnya, rekomendasi tersebut bisa disampaikan kepada MABMI Deliserdang yang akan diperjuangkan agar menjadi cikal bakal untuk ‘ditularkan’ kepada kecamatan lain.

Ketua Asosiasi Kepala Desa Kecamatan Pantailabu Mahmurad memaparkan, budaya melayu saat ini nyaris tenggelam terlebih di daerah pedesaan. Penyebabnya, banyak masyarakat melayu tidak lagi mengenal kebudayaannya sendiri karena kurang dilestarikan.

"Untuk itu, budaya-budaya melayu ini harus dilestarikan dengan menampilkannya ke tengah-tengah masyarakat" ujarnya.

Ketua Sanggar Pusaka Serumpun Pantailabu Bahriyun selaku penggagas workshop kesenian tari melayu menjelaskan, kegiatan dilaksanakan selama sehari sebagai rangkaian penutupan latihan menjelang bulan ramadan.

Workshop bertujuan menggali potensi dan meningkatkan kualitas para pegiat kesenian tari tergabung dalam Sanggar Pusaka Serumpun sehingga ke depan memiliki keterampilan hidup dan bisa pula dikembangkan di masyarakat.

Pusaka Serumpun katanya, sudah berkiprah dalam pengembangan dan pembinaan kesenian tari daerah khususnya tari melayu sejak 7 tahun lalu dan pegiatnya mencapai 100 orang.

"Kendala kami sampai saat ini terkait pembiayaan dan managemen promosi" tandasnya seraya berharap workshop yang dilaksanakan bisa pula memberikan solusi dan memajukan Sanggar Pusaka Serumpun di masa mendatang.

Untuk membantu pengembangan Sanggar Pusaka Serumpun, Ketua MABMI Deliserdang Tengku Akhmad Talaa yang turut didampingi Wakil Sekretaris Drs Syarifuddin Nong, Wakil Ketua MABMI Pantailabu Drs M Nasir dan unsur pengurus lainnya serta dihadiri Sekcam Pantailabu Drs Zulkifli Tanjung memberikan bantuan dana pembinan senilai Rp 1 juta. (ak)

Wayang Betawi Dorong Jakarta Bersaing

Jakarta - Wayang Betawi yang merupakan salah satu produk dan aset budaya bagi Daerah Khusus Ibukota(DKI) Jakarta harus dikembangkan untuk memenangkan persaingan sebagai kota global.

"Modernitas, teknologi, dan infrastruktur yang canggih tidak cukup bersaing dengan kota-kota besar di dunia tanpa pengembangan budaya," kata Ketua Persatuan Pedalangan Indonesia (PEPADI) Provinsi DKI Jakarta Rohmad Hadiwijoyo, kepada pers di Jakarta, Rabu.

Rohmad, yang ditemui dalam acara seminar "Kontribusi Wayang Betawi Dalam Rangka Mewujudkan Jakarta Berbudaya", mengatakan, PEPADI memiliki tanggung jawab moral untuk melestarikan kearifan budaya lokal sehingga mampu berkontribusi untuk Jakarta berbudaya.

"Para dalang Betawi juga harus inovatif dalam mendalang dan harus bisa melakukan terobosan-terobosan dalam mengemas cerita, sehingga bisa meningkatkan minat penonton," ungkap Rohmad.

Kata Igo, dengan alokasi Anggaran Pendapatan Belanja Daerah(APBD) DKI Jakarta sebesar ratusan milyaran rupiah belum mampu menunjang kepentingan budaya daerah.

Igo mengatakan, jumlah 100 pendalang di Jakarta terlalu sedikit untuk menghibur sekitar 9 juta penduduk Jakarta berdasar sensus penduduk 2010 sehingga juga perlu ada pembinaan dan regenerasi dalang.

Rohmad juga mengungkapkan, pembinaan penonton juga menjadi aspek yang tidak kalah penting karena penonton menjadi indikator keberhasilan dalam perkembangan wayang betawi.

Wakil Ketua Komisi E Dewan Perwakilan Rakyat Daerah(DPRD) Provinsi DKI Jakarta Igo Ilham mengatakan, melalui modal budaya yang cukup dimiliki oleh masyarakat seharusnya Jakarta menjadikannya sebagai aset daerah.

"Wayang betawi dan produk budaya lain harus dikembangkan dan dikapitalisasi agar mampu berkontribusi positif untuk menggerakan roda investasi, pariwisata. Dan produk jasa lainnya," kata Igo.

Menurut Igo, sekesil apapun modal budaya yang dimiliki DKI Jakarta sedapat mungkin harus mendapat perhatian dan dijadikan peluang untuk terus dikembangkan.

Igo mengungkapkan, dengan strategi yang berorientasi kepada pengembangan sumder daya manusia(SDM) budaya, produk biaya dan tempat budaya yang representatif.

"Produk-produk budaya harus bisa menjadi bahan bakar pendorong DKI Jakarta dalam memenangkan persaingan antar kota-kota besar di dunia," ungkap Igo.

Maros Pilot Project Pelestarian Adat Istiadat dan Budaya

Maros, Sulsel - Masyarakat Kabupaten Maros patut berbangga karena daerah penyangga Kota Makassar ini terpilih sebagai pilot project pelestarian adat istiadat dan budaya.

Program ini dicanangkan pemerintah pusat melalui Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat dan Desa. Program ini dilaksanakan sebagai upaya pelestarian adat istiadat dan pengembangan nilai sosial budaya di daerah untuk memperkokoh jati diri individu dan masyarakat dalam mendukung kelancaran penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan.

Hal ini terungkap pada acara pelepasan Kelompok Kerja (Pokja) Pelestari Budaya Salewangang Maros di Kantor Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa (BPMD) Kabupaten Maros, Jumat (23/7) lalu.

Ketua Pokja Pelestarian Adat Istiadat dan Budaya Maros, Aris, mengungkapkan lokasi pilot project itu tersebar di sejumlah desa yang ada di Kabupaten Maros. Desa tersebut, diantaranya Desa Minasa Baji di Kecamatan Bantimurung, Desa Jenetaesa di Kecamatan Simbang), Desa Bonto Manurung dan Desa Bonto Somba di Kecamatan Tompobulu, Desa Pettanyamang di Kecamatan Camba, Desa Pattontongan di Kecamatan Mandai, Desa Botolempangan di Kecamatan Bontoa.

Selanjutnya, Desa Temmapaduae di Kecamatan Marusu, Desa Bonto Marannu di Kecamatan MoncongLoe, Desa Mattirotasi di Kecamayan Maros Baru, Desa Mattampapole di Kecamatan Mallawa, Desa Allaere di Kecamatan Tanralili, Desa Bontomarannu di Kecamatan Lau dan Desa Labuaja di Kecamatan Cenrana.

"Ini adalah kebanggaan tersendiri jika Maros terpilih sebagai salah satu kabupaten pilot project tersebut," katanya.(ink)

Seniman "Mr Rubbish" ajak masyarakat hargai sampah

Denpasar, Bali - Seniman patung asal desa seni Ubud Nyoman Subandi yang biasa dipanggil "Mr Rubbish" mengajak masyarakat untuk menghargai sampah dengan tidak membuang atau membakar secara sambarangan.

"Sampah itu memiliki nilai tinggi juga kalau didaur ulang. Kebetulan saya sendiri mendaur ulang sampah untuk menghasilkan karya seni dalam berbagai bentuk," kata Nyoman Subandi di Ubud, pagi ini.

Alumni Akademi Bahasa Asing Yogyakarta itu mengemukakan, selain berkarya, dirinya juga membuka kelas singkat bagi siswa dan masyarakat yang ingin belajar mendaur ulang sampah untuk dibuat menjadi karya seni, seperti patung gajah, kura-kura, dan lainnya.

Ia mengaku ingin mendidik masyarakat untuk peduli lingkungan lewat karya seni. Meskipun masyarakat di dalam negeri belum banyak yang mau mengapresiasi karya seni hasil sampah daur ulang, namun dirinya terus berkarya.

"Selama ini yang banyak mengapresiasi karya saya adalah wisatawan asing dari Australia, China dan Jepang. Mereka sangat apresiatif karena tahu bahwa karya saya ini dibuat dari bahan sampah sehingga mendukung upaya pelestarian lingkungan," ujarnya.

Menurut dia, sebetulnya berkarya dengan menggunakan sampah sangat menguntungkan karena dirinya tidak perlu membeli bahan. Ia cukup mencari kertas bekas di tempat sampah atau membeli kepada pelanggan koran dengan harga murah.

"Dengan biaya murah, bahkan sama sekali tanpa biaya, karya seni ini bisa dijual mahal. Saya menjual hasil karya ini bisa Rp200 ribu atau Rp350 ribu. Untuk masyarakat Indonesia, memang terbilang mahal, tapi bagi wisatawan justru menarik," katanya.

Seiring perjalanan waktu semakin sadarnya masyarakat akan pentingnya pelestarian lingkungan, ia yakin karyanya semakin mendapat tempat di masyarakat lokal dan bukan hanya di kalangan warga asing.

Menurut dia, berkarya dengan kertas daur ulang tidak membutuhkan pengerjaan rumit karena hanya mengandalkan cuaca untuk menjemur karyanya yang terbuat dari kertas yang ditumbuk. Ia bersama satu asistennya setiap hari berkarya.

"Meskipun cuaca mendung, tidak akan mengurangi kualitas patung-patung ini. Cuma waktu keringnya saja yang lebih lama, tapi kualitasnya sama," katanya. (dat07/ann)

29 Juli, Festival Musik Aceh Dimulai

Banda Aceh, NAD - Pemerintah provinsi dan seniman Aceh menggelar festival musik tradisional Aceh 2010 sebagai upaya menyelamatkan dan menggali kembali warisan budaya itu dari ancaman kepunahan.

"Festival musik Aceh 2010 yang akan diikuti ratusan pekerja seni tradisional itu bertujuan menggali dan memperkenalkan kembali musik-musik tradisi yang pernah ada dan berkembang di seluruh Aceh ratusan tahun lalu," kata Koordinator festival Dindin Ahmad Najmuddin, malam ini.

Festival yang melibatkan 17 grup dari kabupaten/kota se-Aceh itu digelar selama tiga hari terhitung sejak 29 Juli 2010.

"Kegiatan tersebut terselenggara atas kerja sama seniman dengan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Aceh, dan juga merupakan rangkaian memperingati hari kesenian daerah (2 Agustus)," katanya menambahkan.

Ia mengatakan, festival musik tradisional itu berlangsung di Taman Budaya Aceh di Banda Aceh. "Kami berharap masyarakat berbondong-bondong menyaksikan perhelatan seni dan musik tradisi khas daerah ini," kata Dindin menambahkan.

Festival itu dimaksudkan sebagai ajang eksebisi dan berkreasi bagi para seniman dan musisi Aceh baik dalam musik tradisi maupun yang berminat terhadap bentuk-bentuk musik kreasi (kolaborasi musik tradisi dan modern), kata Dindin.

Untuk jenis musik tradisi diselenggarakan dalam bentuk eksibisi dan panitia akan memberikan penghargaan bagi penyaji terbaik dengan kriteria penilaian meliputi kekompakan, penampilan, harmonisasi dan keunikan khas musik asal daerah masing-masing.

"Kalau karya musik kreasi diselenggarakan dalam bentuk kompetisi dan diberikan pengharagaan dengan sistem peringkat. Kriteria penilaian meliputi harmoniasasi, komposisi, penampilan, konsep garap, muatan khas atau karakteristik musik tradisi daerah asal," tambahnya.

Selain itu, kata dia, kegiatan festival dan eksebisi musik tradisi dan kreasi itu juga akan menampilkan para musisi muda Aceh, orkestra, perkusi Aceh oleh komunitas drumer dan perkusi Aceh. Sarasehan dan diskusi dengan tema "Musik tradisi diantara industri musik modern".

Musik Dambus Khas Bangka

Pangkalpinang, Babel - Musik tradisional ’dambus’ khas Kabupaten Bangka, Provinsi Bangka Belitung (Babel), kurang diminati generasi muda karena kurangnya sosialisasi.

A. Ziwar Dahlan, budayawan Babel di Sungailiat, Senin, mengatakan, musik tradisional ’dambus’ kurang disosialisasikan kepada generasi penerus, sehingga dikhawatirkan kurang menyentuh dan bahkan tidak diminati generasi muda sekarang.

"Para pemuda kebanyakan tidak tertarik dengan musik budayanya sendiri, Mereka lebih tertarik pada musik-musik modern, padahal musik dambus adalah warisan kebudayaan yang mesti terpelihara," ujarnya.

Ia mengatakan, seharusnya untuk mempertahankan keberadaan musik dambus, pemerintah daerah tidak hanya mengadakan sebatas festival dambus saja, melainkan bagaimana cara melestarikan dambus sendiri dengan memberikan pelajaran musik dambus ke sekolah-sekolah.

Menurut dia, untuk kemajuan dan tetap menjaga eksistensi musik dambus, para pelajar sedini mungkin dapat dibina, sehingga dapat mengganti para pelaku seni musik dambus yang sudah lanjut usia.

"Sekarang, pelaku seni musik dambus kebanyakan sudah lanjut usia, sehingga perlu pembinaan lebih kepada generasi muda terutama para pelajar," ujarnya.

Ia menjelaskan, pemerintah daerah seharusnya membuat semacam peraturan daerah untuk mengembangkan serta melestarikan musik dambus dan menyosialisasikannya kepada para pelajar, dengan memberlakunan pelajaran muatan lokal seni musik dambus, sehingga pembinaan bisa terarah.

Kotagede Kembangkan Kampung Wisata

Yogyakarta - Masyarakat Kelurahan Purbayan, Kotagede, Yogyakarta, berniat mengembangkan kampung wisata. Berbekal potensi budaya dan seni yang berlimpah, warga yakin perekonomian terangkat.

"Wilayah yang akan dikembangkan adalah di RW 10. Inisiatif dari masyarakat sendiri," kata Camat Kotagede Rumpis Trimintarta, Selasa (2/3).

Latar belakang pengembangan kampung wisata karena Kotagede memiliki potensi pariwisata besar, khususnya di wilayah Purbayan. Purbayan merupakan salah satu dari tiga kelurahan di kawasan Kotagede, selain Rejowinangun dan Prenggan.

Di Purbayan terdapat 67 rumah joglo dari total 127 rumah joglo dan bangunan kuno yang tersisa. Selain itu, tersebar perajin-perajin perak, yang tersohor.

"Banyak wisatawan asing mengunjungi Kotagede. Selain kerajinan perak, mereka mengagumi arsitektur joglo dan struktur kampung dengan jalan-jalan kecil dan sempit. Dari situ muncul ide kampung wisata," kata Rumpis.

Untuk rencana awal, lima rumah joglo di RW 10 akan diubah menjadi rumah tinggal bagi wisatawan. Beberapa acara seni akan digelar reguler, seperti srandul (sendratari ketoprak), adat mantenan, dan kasidahan.

"Sekitar April mudah-mudahan kelembagaan kampung wisata ini sudah terbentuk. Realisasinya paling lambat akhir tahun," ujar Rumpis.

Ditemui terpisah di Balaikota, Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Yogyakarta Yulia Rustiyaningsih mengatakan, ide pengembangan diri menjadi kampung wisata merupakan hal luar biasa. "Kalau hal itu sudah berjalan, Pemkot siap membantu promosinya," kata Yulia.

Tren kampung wisata di Yogyakarta tidak semarak seperti di Sleman dan Bantul yang memiliki puluhan desa wisata. Saat ini di Yogyakarta baru terdapat satu kampung wisata, yakni Dipowinatan di Kecamatan Mergangsan.

Selain Purbayan, pada tahun ini terdapat dua kampung lain yang berencana mengembangkan diri menjadi kampung wisata, yakni Pandean (Umbulharjo) dan Cokrodiningratan (Jetis). (ENG)

Watu Gilang, Singgasana Mataram Islam?

Oleh Perwiro Haryo Mukti

Menginjakkan kaki di Kotagede, Kota Yogyakarta, terasa berada di masa Kerajaan Mataram Islam pada abad ke-16. Kotagede, wilayah kecil di selatan Kota Yogyakarta itu, dulu merupakan bekas pusat pemerintahan Kerajaan Mataram Islam.

Tak heran, banyak situs sejarah beserta mitos-mitosnya yang masih terpelihara sampai sekarang. Satu yang menarik dari sejumlah situs bernilai sejarah itu, adalah Watu Gilang.

Menurut cerita yang dipercayai penduduk setempat, batu tersebut merupakan singgasana raja pertama Mataram Islam Panembahan Senopati. Sekilas batu ini tidak tampak istimewa, hanya berupa batu andesit hitam berbentuk segi empat ukuran 140x119x12,5 cm dalam sebuah bangunan segi empat yang terlihat usang.

Namun, batu ini menjadi barang "keramat" yang menarik perhatian orang untuk melihatnya secara langsung. Mereka tidak hanya sekadar melihat-lihat, tetapi juga mencari berkah.

"Orang yang datang ke tempat ini biasanya untuk menjalankan ’lelaku’ atau semacam ritual terkait dengan kepercayaan tertentu," kata juru kunci yang diserahi tugas pihak Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat untuk merawat Watu Gilang, Hastono Utomo.

Ia mengatakan, Watu Gilang di zaman itu pernah digunakan oleh Panembahan Senopati untuk membunuh menantunya, yang sekaligus musuh bebuyutannya, Ki Ageng Mangir.

"Saat itu Ki Ageng Mangir datang menghadap sebagai seorang menantu. Ketika dia sedang sungkem, Panembahan Senopati membenturkan kepala menantunya ke Watu Gilang," katanya. Bekas benturan kepala tersebut, menurut Hastono, meninggalkan bekas di Watu Gilang berupa cekungan dan retakan di salah satu sisi batu besar itu.

Masih teka-teki
Ada dua versi mengenai riwayat Watu Gilang. Versi yang berkembang di masyarakat, dan versi arkeologis. Anggapan masyarakat bahwa Watu Gilang merupakan bekas singgasana Panembahan Senopati, dibantah secara arkeologis oleh para ahli.

Sambung Widodo dari Balai Arkeologi Yogyakarta belum berani memastikan bahwa Watu Gilang pernah dipakai sebagai singgasana Panembahan Senopati. "Tidak ada data tertulis dari Kerajaan Mataram yang menyebutkan bahwa batu tersebut pernah digunakan sebagai singgasana raja. Fungsi batu itu sampai sekarang masih menjadi teka-teki," kata arkeolog Sambung Widodo.

Namun, Sambung tidak menampik kemungkinan bahwa Watu Gilang memang ada kaitannya dengan Kerajaan Mataram Islam, karena kawasan di sekitar batu tersebut diperkirakan pernah berdiri istana raja.

"Meskipun demikian, tidak dapat dipastikan bahwa itu adalah singgasana. Semuanya merupakan legenda turun-temurun yang mungkin telah berbelok dari kenyataan yang sebenarnya," katanya.

Ia mengatakan, sampai sekarang belum pernah ada penelitian secara arkeologis yang terfokus pada Watu Gilang, sehingga belum dapat dibuktikan kebenaran sejarahnya.

Kurang perhatian
Meski sejarahnya masih simpang siur, Watu Gilang tetap merupakan bagian dari warisan budaya, karena masyarakat masih menganggapnya sebagai peninggalan budaya yang harus dijaga.

"Setiap memperingati hari kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus, warga di sini mengecat ulang bangunan tempat Watu Gilang itu," kata salah seorang penduduk di sekitar Watu Gilang, Surajan.

Sementara itu, Ketua Yayasan Kanthil Muhammad Natsir yang menaruh perhatian besar terhadap cagar budaya Kotagede, mengatakan, Watu Gilang kurang mendapat perhatian dari pemerintah.

"Kalau pun ada pemugaran, itu selalu berhenti di Masjid Agung Kotagede dan Makam Panembahan Senopati. Sedangkan Watu Gilang yang juga merupakan warisan budaya tidak pernah dipugar," katanya.

Padahal, menurut dia, seluruh warisan budaya di Kotagede, termasuk Watu Gilang, bukan hanya milik warga Kotagede, Yogyakarta, atau warga Indonesia semata, tetapi juga milik dunia. "Kami mau bangga dengan Kotagede dari apanya kalau situs budayanya tidak terawat," katanya.

Pedrosa Kenal Indonesia Sejak Kecil

Jakarta - Pebalap utama dari tim Repsol Honda, Dani Pedrosa, mengaku sudah mengenal Indonesia sejak masih duduk di bangku sekolah. Namun, pengetahuannya sebatas mata pelajaran Geografi.

"Saya sebenarnya sudah tahu, dan sering ke Kuala Lumpur dan Singapura. Tapi, baru kali ini benar-benar datang ke Indonesia, dan menyenangkan," akunya saat jumpa pers dengan media nasional Indonesia di Hotel Mulia, hari ini.

Pria berpostur tinggi 1,59 meter dan bobot 52 kilogram ini mengaku kaget melihat banyaknya jumlah sepeda motor yang seliweran di jalan Ibu Kota. Kemacetan juga membuat pebalap asal Negeri Matador itu terheran-heran.

"Ternyata masyarakat Indonesia sangat menyukai sepeda motor. Dan Kepolisian Indonesia jago mengawal saya menuju tempat ini (karena macet)," ucapnya sambil tertawa.

Terkait postur tubuhnya yang bisa dikategorikan "kecil", Dani berhasil membuktikan bahwa dia bisa menjadi pebalap yang diperhitungkan di ajang bergengsi MotoGP.

"Memang postur saya berada di bawah rata-rata dan beberapa kali terasa berat untuk melakukan manuver. Saya beberapa kali merasakan ini, tapi hal tersebut bisa diatasi," ungkap Dani yang mengidolakan Mick Doohan, juara dunia 5 kali. (AGK)

Rossi Pergi? Spies Pasti Jadi Pengganti

Bos Yamaha MotoGP, Lin Jarvis, mengonfirmasikan bahwa Ben Spies akan menggantikan posisi Valentino Rossi jika pebalap Italia tersebut benar-benar hengkang ke Ducati. Jarvis juga mengungkapkan keinginannya agar line-up Yamaha untuk menghadapi balapan musim 2011 sudah mencapai titik terang pada bulan depan, tepatnya ketika lomba berlangsung di Brno, Ceko.

Rossi saat ini sedang mempertimbangkan diri untuk memperkuat Ducati pada musim depan, setelah tujuh tahun membela Yamaha. "The Doctor"—julukan Rossi—ditengarai akan mengumumkan kepastian masa depannya ketika tampil di GP Ceko pada 13-15 Agustus mendatang.

Menurut Jarvis, satu tempat di timnya hampir pasti tetap diisi oleh Jorge Lorenzo. Pebalap Spanyol yang kini memimpin klasemen sementara itu masih merasa sangat nyaman dengan pabrikan asal Jepang ini sehingga negosiasi bakal berlangsung cepat.

"Sudah ada proposal dan saya bisa pastikan bahwa negosiasi mengarah ke hal yang bagus," ujar Jarvis kepada Gazzetta dello Sport. "Kami berharap semuanya jelas saat di Brno, untuk mengumumkan tim pada musim 2011."

Sejauh ini, Yamaha belum menerima tanggapan resmi dari Rossi menyangkut posisinya pada musim depan. Namun, rumor yang santer beredar, juara dunia sembilan kali tersebut akan pindah ke Ducati setelah tak sepakat dengan bayaran Yamaha.

"Kami sudah mengajukan tawaran dan sekarang menanti jawabannya," ucap Jarvis.

"Saya tidak bisa memberikan detailnya tentang negosiasi itu. Namun, kami merasa penawaran tersebut pasti diterima; karena ini hasil evaluasi kami."

Jika Rossi pergi, Jarvis mengatakan bahwa Yamaha takkan mencari sosok yang jauh dari pabrikannya. Mereka akan mengontrak mantan juara dunia Superbike 2009 yang saat ini memperkuat tim satelit Tech 3 Yamaha, Spies.

"Kalau satu dari dua pebalap kami pergi, dia (Spies) akan masuk tim," ungkap Jarvis. "Kami yakin kami akan memiliki tim juara juga untuk 2011."

Jarvis juga mengonfirmasi, Fiat, yang sekarang menjadi sponsor, bakal mengikuti Rossi. Artinya, bila juara dunia tujuh kali MotoGP tersebut pergi, maka Yamaha tak lagi disponsori Fiat.

"Semuanya tergantung kepada jawaban Rossi," ucap Jarvis tentang masa depan Fiat dengan Yamaha.

"Kami sudah memiliki kontrak dengan Petronas untuk tahun 2011. Selain itu, kami juga sedang melakukan pembicaraan dengan perusahaan lain di luar dunia motor. Kami tidak khawatir, tetapi ini akan menjadi langkah ketiga. Tim tetap yang utama." (LOU)

Massa Tidak Mau "Mengalah" Lagi

Budapest - Pebalap asal Brasil, Felipe Massa mengatakan tidak akan membiarkan lagi Fernando Alonso melampauinya saat berlangsungnya GP Hungaria pekan ini.

Massa bahkan bertekad untuk meraih kemenangan sebagai ganti dari "kekalahan" yang dialaminya dari Fernando Alonso di GP Jerman di Hockenheim, pekan lalu.

Ferraro dijatuhi hukuman denda 100 ribu dolar AS setelah steward mengetahui tim Italia tersebut mengirim pesan melalui radio berisi pesan agar Massa membiarkan Fernando Alonso melampauinya dan meraih kemengan di lomba GP Jerman kali ini.

Massa mengalami kecelakaan tragis di sirkuit Hungaroring, Hungaria tahun lalu. Cedera ini memaksanya beristirahat selama sisa musim 2009.

Setelah berlomba kembali buat Ferrari, Massa sempat mengatakan ia akan memutuskan mudur bila dipandang sebagai pebalap nomor dua di tim Kuda Jingkrak. (cay)

Sejarah Watu Kosek, Wonogiri

Jika Anda pergi ke Wonogiri, akan ditemukan banyak sekali peninggalan terkait RM Said atau Pangeran Sambernyawa ataupun Mangkunegara I. Karena semangat pangeran itulah yang menjadi simbol dan semangat masyarakat Wonogiri, sehingga diketahui kapan berdirinya Kabupaten Wonogiri.

Berbagai peninggalan ditemukan di berbagai daerah di Wonogiri. Kecamatan Selogiri, merupakan daerah yang boleh dikata banyak ditemukan peninggalan tersebut. Salah satunya adalah Watu Kosek di Dusun Keloran, Desa Keloran, Kecamatan Selogiri, Wonogiri. Menurut Ketua Himpunan Kerabat Mangkunegaran Suryosumirat Cabang Selogiri, Mulyanto Skar, keberadaan Watu Kosek tidak bisa dilepaskan dari perjuangan RM Said.

Seperti namanya, Watu (batu) Kosek berarti batu tempat mengasah pusaka ataupun mata batin RM Said. Untuk melihat wujud Watu Kosek masyarakat masih bisa, karena dijadikan monumen oleh masyarakat setempat. Untuk ke lokasi, warga harus menempuh jarak sekitar 8 km arat barat laut atau sekitar 100 meter dari lokasi Sendang Sinangka. Konon, ujar Mulyanto yang kini sebagai pegawai di Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga (DKPPO) Wonogiri, di saat Pangeran Sambernyawa dikejar oleh tentara Belanda, karena berani memberontak, bersama pasukannya yang berjumlah 40 orang atau dikenal dengan sebutan Pasukan Kawan Dasa Jaya, berdiam di tempat tersebut.

Tempat itu oleh Pangeran Sambernyawa dinilai dari mata batin mempunyai aura tinggi. “Saat berhenti bersama pasukannya itu, Pangeran Sambernyawa melihat buah nangka. Karena lapar, buah itu akan dimakan bersama pasukannya. Tapi, keanehan terjadi. Saat akan dibelah dengan senjata apapun buah nangka itu tidak bisa. Akhirnya, Pangeran Sambernyawa dengan mata batinnya, menemukan batu yang bisa dipakai untuk mempertajam senjata.”

Akhirnya, senjata tersebut diasah di batu tersebut, sehingga semua senjata yang dibawa pasukannya berubah tajam. “Buah nangka yang tadinya susah dibelah, akhirnya mudah dibelah dengan senjata yang telah diasah atau di-kosek di batu tersebut. Atas kejadian itu, Pangeran Sambernyawa memberikan nama batu yang ada di sekitar sendang untuk mengasah senjata dengan nama Watu Kosek (batu tempat mengasah).”

Lebih lanjut Mulyanto menceritakan di tempat tersebut RM Said dan pasukannya berdiam diri agak lama, karena mendapatkan ketenangan hidup. Tempat tersebut, saat ini menjadi tempat berziarah di Wonogiri. bahkan, ujarnya, Waru Kosek juga dipercaya oleh masyarakat untuk mempertajam batin, sehingga bertambah tajam daya pikirannya.

Peninggalan Arkeologi di Wilayah Kabupaten Minahasa Tenggara

Oleh Irfanuddin

Kabupaten Minahasa Tenggara merupakan kabupaten baru pecahan dari Kabupaten Minahasa Induk di Propinsi Sulawesi Utara. Dengan luas wilayah 710,83 Km2 dan terdiri atas 6 kecamatan dengan ibukota Ratahan. Wilayah Minahasa Tenggara mempunyai tinggalan arkeologi yang sampai saat ini masih dipergunakan dalam upacara - upacara adat, khususnya hari jadi desa. Tinggalan yang terdapat di Minahasa Tenggara antara lain.

1. Menhir
Dalam masyarakat Minahasa batu menhir dikenal dengan nama batu baranak atau pasak wanua yang merupakan asal mula pendirian atau pentasbihan suatu desa. Menhir ditemukan di wilayah kecamatan Ratahan sebanyak 7 lokasi, sedangkan di kecamatan Tombatu 1 lokasi. Sebagian menhir masih digunakan dalam upacara hari jadi desa. Umumnya desa yang terdapat temuan menhir merupakan desa - desa tua di wilayah Minahasa Tenggara.

2. Lesung Batu
Ditemukan di 3 lokasi, yaitu di kecamatan Ratahan 2 lokasi dan satu di kecamatan Tombatu. Lesung batu di Kecamatan Tombatu sampai saat ini masih dipergunakan untuk upacara - upacara persembahan kepada arwah nenek moyang. Sedangkan yang ditemukan di kecamatan Ratahan sudah tidak insitu lagi karena didatangkan dari wilayah Belang dan sudah tidak berfungsi.

3. Bangunan Pertahanan (Pilboks)
Bangunan pertahanan sisa Perang Dunia II ditemukan di peisisir pantai Desa Buku Buku, Kecamatan Belang. Keadaan bangunan tidak terawat dan sebagian sudah rusak karena abrasi air laut. Masyarakat sekitar mengenal bangunan tersebut dengan istilah stelling.

4. Makam Tua
Makam tua ditemukan di Desa Borgo, Kecamatan Belang. Berupa 7 buah makam yang terletak pada suatu pulau kecil yang dikelilingi pagar dengan bahan batu karang yang dilapisi dengan lapisan kalero.Keadaan makam tidak terawat, dan banyak ditumbuhi semak belukar. Dilihat dari arah penguburan, kemungkinan merupakan makam orang Islam, karena berorientasi Utara - Selatan. Selain itu di Kecamatan Belang banyak pemeluk agama Islam sejak lama.

Dari observasi di lapangan, diketahui sebaran obyek yang paling dominan berupa menhir dan terdapat di beberapa desa yang merupakan desa - desa kuno. Umumnya terletak di dataran tinggi, sedang tinggalan yang di temukan di dataran rendah (pantai) hanya tinggalan bangunan pertahanan sisa PD II dan makam kuno. Dari sini dapat diambil suatu kesimpulan, bahwa tinggalan yang terdapat di wilayah dataran tinggi umurnya relatif lebih tua danmasih mendapat pengaruh megalithik, sedangkan yang di dataran rendah (pantai) umurnya relatif lebih muda dan merupakan pengaruh Islam dan kolonial.

Irfanuddin
abdi rendahan Balar Manado

Yong Dolah, Sang Abu Nawas Melayu

Oleh Samsul Nizar

Berbicara tentang sosok Yong Dolah, acapkali diposisikan sebagai sosok yang pandai membuat si pendengar celotehnya tak mampu menahan tawanya. Bahkan, Yong Dollah seringkali diplesetkan sebagai sosok yang banyak bualnya. Pandangan ini agaknya kurang tepat dalam menempatkan sosok Yong Dolah secara proporsional. Padahal, sosok Yong Dolah jauh dari sosok pembual. Pada masanya, Yong Dolah merupakan sosok yang memiliki status sosial yang baik dalam strata masyarakat Bengkalis pada waktu itu. Untuk itu, tak mungkin ia mengumbar cerita yang mustahil dan mengada-ada jika tidak memiliki makna di sebalik cerita yang disampaikannya tersebut.

Bila ditelaah kisah-kisah lisan yang disampaikan Yong Dolah dalam kabar kocaknya, terlihat ada pesan yang sangat tinggi yang ingin disampaikan Yong Dolah. Paling tidak, ada beberapa nilai yang ingin disampaikan Yong Dolah dalam cerita lisannya tersebut, antara lain: Pertama, Yong Dolah memperlihatkan tingginya sastra Melayu dengan menggunakan gaya bahasa hiperbola dalam cerita-ceritanya. Dalam pendekatan sastra Indonesia, penggunaan kata-kata hiperbola tidak dikategorikan sebagai ekspresi cerita yang berisi kebohongan. Dalam seluruh ceritanya, dominasi gaya hiperbola yang disuguhkan Yong Dolah justru menggunakan kata-kata yang tak lazim digunakan untuk mengekspresikan kata-kata hiperbola yang sering digunakan masyarakat pada umumnya. Dalam hal ini, Yong Dolah membuktikan diri sebagai sosok penutur cerita yang kaya dengan istilah kata hiperbola dan menunjukkan bahwa sastra Melayu memiliki gaya hiperbola yang luas dan dinamis. Untuk itu, sangatlah keliru bila banyak masyarakat yang menempatkan Yong Dolah sebagai sosok pembual yang mengisahkan cerita bohong. Hal ini dikarenakan kita tidak mengerti sastra sebagaimana yang ingin disampaikan Yong Dolah dalam cerita-ceritanya.

Kedua, bila ditelaah secara seksama dari cerita-cerita yang disampaikan Yong Dolah, memperlihatkan kualitas intelektual Yong Dolah. Ia mampu mengarang cerita yang membuat pembaca dan pendengar menguras intelektualitas dan imaginasi mereka. Intelektualitas Yong Dolah bukan hanya didekati secara filosofis, akan tetapi secara matematis. Lihatlah bagaimana kualitas intelektualitas Yong Dolah tatkala ia menceritakan tentang Kapal Tanker, Tangga Sakti, Madu Lebah, Ikan Bilis, Radio Philips, Lime Meter, dan sebagainya. Tidak mungkin penutur mampu membuat cerita yang demikian bila tidak memiliki kualitas intelektual yang baik.

Ketiga, pada beberapa ceritanya, Yong Dolah menitip pesan yang sangat tinggi kepada pembacanya. Pesan tersebut antara lain dapat dilihat pada beberapa cerita berikut, yaitu: Pertama, Kapal Tanker mengajak kita untuk aktif, pantang menyerah, berpikir matang, dan memanfaatkan alam secara seimbang. Kedua, Anak Ayam memberikan nilai bagaimana menjadi sosok pemimpin yang ideal. Ketiga, Keker memberikan pesan agar kita mengingat jasa kedua orang tua yang telah melahirkan dan membesarkan kita dan agar masyarakat Melayu memiliki cita-cita yang tinggi meski harus diraih dengan susah payah. Bahkan, hampir semua cerita Yong Dolah memiliki pesan-pesan universal dan filofis-kritis yang demikian tinggi untuk menjadi cermin bagi pembacanya. Pesan-pesan yang disampaikan dalam cerita-cerita humornya memiliki kekuatan intelektual dan pesan moral yang tinggi. Namun, karena keterbatasan daya intelektual dan ketidakmampuan pembaca memahami substansi pemikirannya, akhirnya cerita yang disampaikan Yong Dolah hanya lebih dominan dipahami sebatas gurauan belaka.

Keempat, Yong Dolah mampu menyuguhkan suatu cerita yang universal. Cerita yang disampaikannya bukan hanya dikonsumsi oleh anak-anak, akan tetapi juga orang tua, masyarakat yang berpendidikan rendah sampai intelektual di Bumi Lancang Kuning ini. Paling tidak, kehadiran bentuk sastra ala Yong Dolah merupakan media bacaan yang baik, terutama dalam kondisi masyarakat saat ini yang banyak disuguhkan bacaan-bacaan yang berkualitas rendah dan hanya mengumbar kekerasan dan seksualitas belaka.

Kelima, cerita-cerita Yong Dolah memiliki kualitas humor yang tinggi, baik gaya bahasa yang disampaikan maupun orisinalitas humor yang disampaikan. Sementara, bila dibandingkan dengan banyak cerita humor yang ada saat ini yang banyak memiliki kesamaan antara satu dengan yang lain dan kurang membuat pembaca rileks dan cerdas secara intelektualitas setelah membacanya. Tatkala secara cermat ditelusuri cerita-cerita yang disampaikan Yong Dolah pada zamannya, maka kita akan teringat dengan sosok Abu Nawas yang menghias cerita di negeri Seribu Satu Malam. Pada zamannya, Abu Nawas merupakan orang cerdas yang mampu membuat sejarah masa itu menjadi lebih hidup.

Mungkin, sosok Yong Dolah dapat dikatakan sebagai sosok Abu Nawas Melayu yang pernah lahir di Bumi Lancang Kuning ini. Apa yang diceritakannya merupakan model cerita yang genuine milik ala Yong Dolah. Apa yang diceritakannya senantiasa relevan sepanjang masa dan dapat dikonsumsi oleh semua usia. Untuk itu, tidaklah pantas tatkala cerita yang disampaikan Yong Dolah menjadi bahan cemoohan dan bernada negatif. Akan tetapi, cerita yang disampaikannya mencerminkan kualitas intelektual Yong Dolah sebagai sosok penutur salah satu bentuk sastra Melayu.

Jika memang demikian, maka berarti pada zamannya pendidikan dunia Melayu telah demikian maju. Sebab, tak mungkin lahir sosok Yong Dolah bila pendidikan dunia Melayu tidak maju. Bahkan, sampai hari ini, model cerita ala Yong Dolah tak mampu diproduksi kembali oleh intelektual budayawan dan pemerhati sastra modern. Jika memang demikian dan apa yang diceritakan Yong Dolah memiliki kualitas sastra dan nilai filosofi yang demikian tinggi, apakah tidak selayaknya negeri ini memberikan penghargaan atas hasil intelektualitas Yong Dolah sebagai sosok budayawan Melayu yang memiliki warna tersendiri dalam mengekspresikan salah satu bentuk sastra Melayu yang bernilai. Atau, mungkin kita belum mampu memahami universalitas dan keluasan sastra sehingga kurang menghargai bentuk sastra ala Yong Dolah? Kita tunggu.Wa Allahu `alam bi alshawwab.

__________

Prof Dr H Samsul Nizar MA, Guru Besar pada Fakultas Pendidikan dan Keguruan Islam UIN Suska Riau, Pemerhati dan Peminat Masalah-masalah Sastra dan Kebudayaan Melayu.

Keragaman Budaya dan Etnik

Oleh Ahmad Baedowi
Direktur Pendidikan Yayasan Sukma-Jakarta

Dalam buku Politics, Language, and Culture: A Critical Look at School Reform, Joseph Check (2004), mengajukan pertanyaan menarik tentang muatan kurikulum dalam sebuah sistem pendidikan. "Dapatkah sistem pendidikan sebuah negara melalui muatan kurikulumnya menghindari pertanyaan tentang isu ras, bahasa, dan budaya, serta dapat mencapai prestasi yang diharapkan?" Pertanyaan sangat serius ini mengundang kita untuk menjawab bahwa tidak mungkin rasanya kita menghindari isu-isu tersebut sejauh persoalan pemerataan (equity) pendidikan masih tetap tinggi, akses (access) dan kualitas (quality) pendidikan juga masih rendah.

Untuk mengatasi ketimpangan-ketimpangan itu salah satunya dengan membuat atau memasukkan agenda keragaman budaya dan etnik dalam kurikulum pendidikan nasional. Menurut Ronal Ferguson (2002), respons dan pendekatan budaya sangat besar pengaruhnya terhadap prestasi anak di sekolah, terutama menyangkut sikap dan perilaku siswa dalam memandang perbedaan.

Selain kebutuhan instingtif dari siswa dalam memandang perbedaan, kebutuhan muatan budaya dan etnisitas dalam kurikulum juga akan meminimalisasi pemahaman siswa terhadap monopoli kebenaran dalam beragama. Selain itu, alasan lainnya mengapa kita membutuhkan muatan keragaman budaya dan etnik dalam kurikulum adalah untuk mengubah dan menambah respons pedagogis guru dalam mengajar. Jika guru memiliki kepekaan budaya dan etnik yang kuat, respons pedagogis guru akan meningkat dengan sendirinya.

Melalui pendekatan muatan kurikulum berbasis budaya, respons pedagogis para guru terhadap siswa juga akan berbeda, dan hal tersebut dengan sendirinya akan membantu siswa dalam mengaksentuasinya keragaman budaya di lingkungan sekolah (Gordy & Pritchard, 1995).

Mencintai keragaman dapat berarti banyak hal bagi bangsa Indonesia. Apalagi di tengah mencuat dan menguatnya ancaman terorisme yang jelas sangat tidak pro terhadap fakta keragaman. Jelas sekali bahwa kebutuhan memasukkan muatan budaya dan etnik ke dalam kurikulum pendidikan akan menjadi tonggak penting dalam mereduksi paham-paham keagamaan yang salah. Kritik sekaligus pukulan dari para pelaku teror sesungguhnya menguatkan asumsi tentang kebutuhan akan muatan keragaman budaya dan etnik ke dalam kurikulum pendidikan kita.

Harus diakui bahwa acuan utama terwujudnya masyarakat yang damai dan kondusif adalah pemahaman tentang ragam budaya atau multikulturalisme, yaitu sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan, baik secara individual maupun secara kebudayaan (Fay 1996; Watson 2000).

Dalam konteks keragaman budaya, multikulturalisme sangat menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan. Paham multikulturalisme yang akan kita kembangkan melalui muatan keragaman budaya dan etnik ke dalam kurikulum di sekolah harus mampu mengulas berbagai permasalahan yang mendukung ideologi ini, yaitu pola pembelajaran yang demokratis, pendidikan dan pengembangan SDM yang mengakui kesederajatan (equity and equality), keadilan, dan penegakan hukum, juga memikirkan tema-tema tentang kesempatan kerja dan berusaha, HAM, hak budaya komunitas dan golongan minoritas, prinsip-prinsip etika dan moral, dan tingkat serta mutu produktivitas.

Sekolah yang ingin mengembangkan paham multikulturalisme juga harus mampu menyediakan buku dan bahan ajar yang akan digunakan serta ruangan pendukung sekolah sesuai dengan pola keragaman budaya, agama, dan suku bangsa seluruh siswa. Sementara itu, penilaian siswa dilakukan dengan mempertimbangkan asas sensitivitas kultural dan agama siswa sehingga secara proporsional mampu mengembangkan bakat dan minat siswa yang secara langsung juga dapat mendukung budaya sekolah dan kegiatan ekstrakurikuler yang juga merefleksikan keragaman budaya, agama, dan etnik.

Pendidikan multikultural berangkat dari konsep atau teori melting-pot, yakni satu proses seseorang atau kelompok dengan latar belakang etnik dan budaya berbeda berlebur dan menjadi bagian dari proses sosiologis yang lebih luas, suatu proses kompromi yang ditandai dengan saling menghargai dan menghormati di antara kelompok dan pada saat bersamaan menghargai identitas budaya lain dalam masyarakat. Pengertian semacam itu selanjutnya bisa dilihat dalam empat elemen berikut, yaitu (1) gerakan; (2) pendekatan kurikulum; (3) proses; dan (4) komitmen.

Dengan demikian, dalam pendidikan multikultural, aspek-aspek seperti sikap yang terbuka, inklusif, lebih mengedepankan dialog, saling memahami perbedaan ideologi, dan nilai di tengah masyarakat yang beragam (secara budaya dan agama), diakui sebagai modal penting bagi perkembangan dan kemajuan masyarakat, dengan semua perbedaan dan keragaman dalam masyarakat dilihat sebagai sumber kekuatan untuk pemberdayaan masyarakat.

Agen pertama yang akan menyampaikan paham dan ideologi keragaman budaya itu adalah para guru yang lebih dapat mengerti aspek kebutuhan pedagogis dalam mengajar. Artinya, tanggung jawab dan respons guru secara budaya juga akan memperkuat proses pemahaman siswa terhadap keragaman budaya dan etnik sebuah suku bangsa.

Lampost 27 Agustus 2009

Tionghoa Muslim di Indonesia

Oleh Tomy Su

Baru-baru ini dikisahkan betapa semaraknya Ramadan di Tiongkok yang penuh dengan kegiatan keagamaan, seperti diungkapkan Rizky Ramadhani Zamzam, remaja putri yang empat tahun ini belajar di Shanghai (Jawa Pos, 6 September 2009). Nah, informasi tersebut mengingatkan penulis pada sejarah masuknya Islam ke negeri kita. Selama ini, masuknya Islam ke Indonesia selalu diidentikkan dengan penyebaran agama oleh orang Arab, Persia, ataupun Gujarat. Itu tidak keliru. Namun, sejarah tidak lengkap tanpa menyebut Tiongkok. Jadi, Islam masuk ke Nusantara, di antaranya lewat Tiongkok, bersama masuknya armada dari Dinasti Ming ke Palembang pada 1407, yang dipimpin Cheng Hoo. Islamnya bermazhab Hanafi.

Komunitas Awal
Laksamana Cheng Hoo membentuk komunitas Tionghoa muslim di Palembang yang sejak zaman Sriwijaya banyak didiami orang Tionghoa. Itulah komunitas Tionghoa muslim pertama di Nusantara.

Dalam melaksanakan tugasnya mencari hubungan dagang dan politik, Laksamana Cheng Hoo banyak menggunakan orang-orang Tionghoa Islam dari Yunan. Dengan sendirinya, soal keislaman ikut terbawa. Demi keperluan salat bagi umat Islam, di berbagai tempat didirikan masjid.

Salah satu sosok Tionghoa muslim yang patut dicatat di sini adalah Raden Patah. Menurut dokumen berusia lebih dari 400 tahun di Kelenteng Sam Po Kong Semarang, diperoleh kepastian bahwa Raden Patah -pendiri Kasultanan Islam Demak yang bergelar Panembahan Djimbun- berdarah Tionghoa.

Menurut buku Babad Tanah Djawi Prabu Brawidjaja VII, raja Majapahit menikahi putri saudagar Tionghoa muslim kawan baik Sang Prabu dan memiliki anak. Selanjutnya, anak itu tidak dibesarkan di lingkungan keraton, melainkan dibesarkan dalam komunitas Tionghoa muslim di Palembang.

Jadi, kerajaan Islam Demak dibangun komunitas Tionghoa yang menetap di Semarang. Raden Patah atau Al Fatah menjadi Sultan Demak pertama (1475-1518) dengan julukan Senapati Djimbun Ngabdurrahman Panembahan Palembang Saidin Panata Agama.

Yang mengejutkan, malah ada informasi kemungkinan delapan di antara sembilan Wali Sanga juga berdarah Tionghoa. Orang Indonesia mengenal Wali Sanga sebagai sembilan orang sakti yang pertama menyebarkan agama Islam di Jawa. Delapan di antara sembilan wali itu merupakan orang Tionghoa dengan gelar Sunan. Arti "Su" dari Suhu atau dialek Fukien Saihu, Guoyu (Mandarin) Szefu dan "nan"= selatan. Tentu saja, bisa diperdebatkan kebenarannya.

Salah satu jejak para wali tersebut bisa dilihat di Gresik yang merupakan kawasan muslim tertua di Jatim. Ketika itu, belum ada anggota muslimin pribumi. Pada 1451, Bong Swee Ho yang berasal dari Champa mendirikan pusat Islam di Ngampel untuk orang-orang Jawa dan Madura. Bong Swee Ho selanjutnya dikenal sebagai Sunan Ngampel. Putra Bong Swee Ho adalah Bong Ang, salah seorang Wali Sanga dengan nama Sunan Bonang.

Yang paling menonjol dalam komunitas Tionghoa muslim sejak dulu hingga kini adalah sikap santun dan pemahaman keislaman yang moderat, artinya tidak ekstrem. Memang etnis Tionghoa, sebagaimana ajaran Yin-Yang, selalu lebih mengedepankan keseimbangan atau harmoni dengan siapa saja.

Sikap itu tentu senada dengan Alquran yang tidak melegitimasi sedikit pun perilaku dan sikap yang melampaui batas, seperti "irhab", yakni tindakan berlebihan karena dorongan agama atau ideologi, sehingga berujung pada sikap membenarkan kekerasan atas nama agama.

Tidak heran, kita umat Islam -baik yang Tionghoa maupun bukan- terkejut saat ada orang yang memakai bendera Islam, tetapi tega membunuh orang lain dan dirinya dengan bom. Padahal, Islam mengajarkan bahwa membunuh satu orang sama saja dengan membunuh seluruh manusia. Anehnya, belakangan justru ada "tren" bom bunuh diri.

Penulis sepakat dengan Kepala Badan Litbang dan Pendidikan dan Latihan Departemen Agama HM. Atho Mudzhar bahwa Islam sebagai rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil alamin) tidak hanya dipersempit dan direduksi, tetapi juga disimpangkan dan bahkan dibajak oleh beberapa orang Islam yang kerap mengklaim sebagai muslim sejati.

Akibatnya, kebenaran Islam sebagai agama yang santun dan damai tersisih oleh pemahaman keagamaan yang membenarkan kekerasan, ektremitas atau radikalisme.

Islam Itu Damai
Untuk itu, komunitas Tionghoa muslim tidak boleh tinggal diam. Bersama umat Islam lain serta elemen anak bangsa, kita harus proaktif memberikan pencerahan lewat beragam langkah deradikalisasi. Langkah seperti itu harus menjadi proyek nasional mengingat maraknya terorisme. Para agamawan tidak perlu menunggu diajak pemerintah karena kita harus proaktif bersinergi dengan berbagai kalangan untuk upaya deradikalisasi.

Deradikalisasi adalah upaya internal setiap penganut agama untuk masuk ke dalam dan setiap muslim yang meyakini radikalisme atau ekstremitas harus diajak dengan cara-cara yang santun untuk kembali bersikap mo­derat, sebagaimana mainstream umat Islam di dunia. Semakin banyak yang terlibat dalam proyek deradikalisasi itu, seperti para orang tua atau pendidik di sekolah atau lembaga pendidikan, akan semakin baik.

Ramadan sebagai bulan penuh berkah bisa kita jadikan momentum menunjukkan bahwa Islam itu rahmatan lil alamin. Islam itu damai (aslama) dan orang-orang lain harus merasakan rahmat dan damai tersebut.

(oleh Tomy Su, Koordinator Masyarakat Pelangi Pencinta Indonesia)

`Bakudapa` di Pasang Surut Kolintang

Oleh Nasrullah Nara

Bulu kuduk Hein Sorongan (55) merinding ketika musik kolintang mengalun di Stadion Maesa, Tondano, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara, Sabtu (31/10) sore. Mata Petrus Kaseke (67) bahkan berkaca-kaca menyaksikan persembahan massal kolintang dengan jumlah pemain dan alat mencapai 1.223.

Di tengah alunan lagu ”Tembo-temban” dan ”Minahasa Kina Toanku” yang dibawakan mendayu oleh dua gadis Minahasa, ingatan mereka terlontar ke masa kanak-kanak dahulu di Bumi Minahasa. Selain Hein dan Petrus, juga hadir ratusan penggiat kolintang, termasuk pelatih dan pembuat kolintang, baik yang bermukim di Minahasa maupun yang tinggal di sejumlah kota di Jawa.

Malang melintang di dunia seni tradisi, inilah kali pertama opa-opa itu menyaksikan kolintang dimainkan massal. Sebuah kerinduan akan bangkitnya kembali musik kolintang di tatar Minahasa membuncah di sanubari mereka.

Apalagi, pergelaran kolintang untuk dicatat dalam Guinness World Records itu juga dirangkai dengan pentas musik bambu yang dimainkan 3.011 orang. Kolintang dan musik bambu adalah seni tradisi yang tumbuh dan mengakar di tatar Minahasa sebelum kemudian menyebar ke daerah lain di Tanah Air.

Kolintang raksasa yang dipajang dalam acara itu terbuat dari kayu cempaka berukuran panjang 8 meter, lebar 2,5 meter, tinggi 2 meter, berat 3,168 kilogram, dan volume bahan 13,7 meter kubik. Adapun musik bambu berupa seng klarinet berukuran panjang lengkung/lingkar dalam-luar 4-32 meter, diameter mulut 6 meter, dan tinggi 8 meter.

Perwakilan Guinness World Records, Lucia Sinigagliesi, manggut-manggut takjub seraya berucap, ”Wow, it’s very nice….” Pencatatan seni tradisi Minahasa itu pada buku rekor dunia menutup ruang negara lain untuk mengklaimnya.

Diprakarsai Institut Seni Budaya Sulawesi Utara pimpinan Benny J Mamoto, pergelaran itu sarat misi primordialisme dan patriotisme. Diawali dengan seminar dan lokakarya, seluruh rangkaian kegiatan itu dihadiri perwakilan komunitas kolintang dari provinsi di Pulau Jawa. Tujuannya, selain menggapai pengakuan dunia agar tidak diklaim negara lain, juga untuk menyadarkan fenomena pasang surutnya kolintang di Tanah Air.

”Kami ingin membuktikan bahwa akar seni tradisi kolintang dan musik bambu berasal dari Minahasa sebelum kemudian menjadi medium perekat bangsa,” ujar Hendrik J Mantiri (62), penggiat kolintang sekaligus penerima pin maestro musik bambu dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tahun 2009.

Sebutan Minahasa mengacu kepada salah satu suku yang menghuni jazirah utara Pulau Sulawesi, di samping suku Sanger-Talaud, dan Bolaang Mongondow. Entitas budaya itu awalnya menghuni sebuah wilayah yang bernama Kabupaten Minahasa. Belakangan, seiring dengan era otonomi daerah, kabupaten itu mekar dari daerah induknya, yakni Kota Tomohon, Kabupaten Minahasa Utara, Minahasa Selatan, dan Minahasa Tenggara.

Bagi opa-opa penggiat kolintang itu, pulang ke tanah leluhur merupakan kesempatan langka. Biasanya mereka pulang ke kampung cuma dalam rangka Natal. Itu pun tidak rutin karena sudah dibalut kesibukan mengurus anak dan cucu serta aktivitas gereja. ”Torang (kita) bisa bakudapa (ketemuan) begini di Minahasa karena kolintang. Sayang sekali waktunya mepet. Torang nyandak bisa sama-sama keliling kampung halaman,” tutur Hein.

Di balik kegembiraan akan reuni seperti itu, tebersitlah galau. Gempuran budaya pop membuat kolintang tidak lagi rutin dilombakan. Lomba setingkat kabupaten paling banter sekali setahun. Belakangan, di pesta hajatan, kolintang sudah tergantikan organ tunggal (digital).

Redupnya kolintang juga bisa diukur dari kian jarangnya jumlah pembuat kolintang. Bengkel kolintang yang bertahan di wilayah Minahasa bisa dihitung dengan sebelah jari. Salah satunya adalah milik Joudy Aray di Tomohon, pembuat kolintang raksasa yang dipajang dalam pergelaran itu.

Namun, nilai plus dari hajatan itu terletak pada kehadiran putra-putra Minahasa yang merantau dengan bekal kecakapan bermain kolintang dan di tanah rantau konsisten menekuni bidang itu. Mereka telah meninggalkan Minahasa pada usia 20-25 tahun dengan predikat serba bisa: sebagai pemain, pelatih, dan pembuat kolintang.

Hendrik J Mantiri menegaskan, pemain dan pembuat kolintang sekaligus harus paham ukuran tebal-tipisnya serutan perut balok-balok kayu waru atau cempaka di atas peti resonator untuk mendeteksi nada ”tong” (nada rendah), ”ting” (tinggi), dan ”tang” (tengah). Irama-irama itulah yang muncul dari instrumen musik yang minimal terdiri atas enam unit, yakni satu melodi, satu benyo, satu juk, dua gitar, dan satu bas.

Bahasa Indolish

Oleh Wieke Gur.

Dalam bahasa percakapan informal sehari-hari mencampur kosakata asing, bahasa daerah dan bahasa slang ke dalam percakapan kita adalah sesuatu hal yang spontan, lumrah dan tidak perlu dipermasalahkan. Orang menyebutnya bahasa gado-gado. Simak saja ucapan seorang mahasiswi swasta di bawah ini:

“Tahu nggak? Ternyata si Susi diem-diem udah ‘married’ lho sama Benny. Soalnya kan si Benny musti ambil ‘Master’ ke Amrik dan dia mau Susi juga ikut. Daripada musti ‘long distance relationship’, takut Susi ‘cheating’ katanya. Mereka ‘take off’ besok malem soalnya ‘flight’ ke LA adanya hari itu dan jam segitu. ‘Stop over’ sekali di Hong Kong kayaknya. Sampe sana pasti pada ‘jet lag’. Tapi mereka sih enaklah, udah disiapin ‘apartment’ sama bokapnya Benny. Mudah-mudahan Susi nggak ‘boring’ tuh nemenin Benny di sana, soalnya dia nggak bakal ngapa-ngapain, paling-paling ‘shopping’. Gue mau ke rumah Susi nanti malem mau ‘say bye-bye’. Mau ikut?.”

Sejak runtuhnya pemerintah orde baru gejala menyelipkan kosakata asing sudah mulai mempengaruhi wacana lisan formal dan banyak dilakukan para intelektual seperti diucapkan Mohamad Sobari, seorang jurnalis, dalam suatu wawancara radio:

“Gus Dur memerlukan ‘transitional period’, saya kira ‘something like three years or so’ untuk itu … MPR yang anggota-anggotanya sangat ‘selfish’, sangat ‘group oriented’ dan berfikir tentang ‘short term projects’.” (Sumber: The Indonesian Language: Its History and Role in Modern Society, Dr. James Sneddon).

Pada acara “Temu Nasional 2009” pada tanggal 30 Oktober yang lalu ada seorang wartawan yang iseng-iseng menghitung jumlah kosa-kata bahasa Inggris yang digunakan oleh presiden Susilo Bambang Yudhoyono di dalam pidatonya. Dalam pidato sekitar 65 menit tersebut, tercatat ada 73 kosakata bahasa Inggris yang dilontarkannya.?Artinya setiap satu menit terlontarlah kosakata bahasa Inggris itu. Bahkan Presiden Yudhoyono juga memadukan kosakata Inggris dengan Indonesia sekaligus ketika menjelaskan adanya kemacetan dalam berbagai hal,"Banyak hal yang masih ada di-"debottlenecking" ini yang harus diselesaikan," katanya. Ada yang pro dan ada yang kontra.

Patutkah penggunaan kosakata bahasa Inggris di dalam pidato seorang presiden Republik Indonesia dipermasalahkan? Kelompok yang pro berpendapat bahwa menggandeng kosakata asing ke dalam wacana lisan formal tidak perlu dipermasalahkan karena bahasa Indonesia masih kekurangan kosakata yang mampu menjelaskan apa yang dimaksud dalam pidato tersebut. Lagi pula bahasa Inggris adalah bahasa komunikasi internasional. Sudah saatnya semua orang mampu berbahasa Inggris. Jadi jika saudara-saudara kita di Papua tidak mengerti isi pidato presidennya, salah sendiri. Mengapa tidak belajar bahasa Inggris. Kalau mau maju harus belajar bahasa Inggris.

Bagi kelompok yang kontra, penggandengan istilah asing di dalam banyak wacana formal dan resmi menunjukkan betapa bahasa Inggris pelan-pelan sudah menggeser posisi bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional.

Sebetulnya seberapa pentingkah peranan bahasa bagi suatu bangsa dan negara? Mungkin ada baiknya kita menegok sebentar sejarah bahasa Indonesia dan melihat sikap negara-negara lain terhadap bahasa nasionalnya.

Di jaman penjajahan Belanda, kesempatan pendidikan untuk rakyat Indonesia hanya diberikan pada anak-anak kalangan atas. Tujuannya adalah supaya kalangan kelas atas ini pada gilirannya mampu membantu pemerintah Belanda dalam hal pelayanan masyarakat. Akibatnya pada masa itu kalangan terdidik yang pandai berbahasa Belanda menjadi kalangan elite Indonesia. Bahasa Belanda digunakan oleh kaum elite pribumi sebagai sarana komunikasi antar mereka sehari-hari. Termasuk para nasionalis, calon-calon pemimpin bangsa seperti bung Karno dan bung Hatta. Bung Karno bahkan berkata, “Bahasa Belanda adalah bahasa yang saya gunakan jika saya berpikir, mengumpat bahkan berdoa”.

Namun para calon pemimpin ini menetapkan bahasa Indonesia – yang berakar dari bahasa Melayu dan merupakan bahasa yang sama sekali belum berkembang - sebagai bahasa persatuan bangsa Indonesia pada kongres Sumpah Pemuda tahun 1928. Mengapa bukan bahasa Belanda? Padahal bahasa Belanda sudah menjadi bahasa komunikasi modern yang sudah beratus-ratus tahun digunakan sebagai bahasa pengantar di dunia pendidikan. Banyak sekali buku-buku ilmu pengetahuan yang ditulis dalam bahasa Belanda. Dari segi struktur dan tata bahasa pun sudah mapan. Jawabannya jelas. Para calon pemimpin itu menyadari bahasa Belanda adalah simbol penjajahan Belanda terhadap Indonesia. Secara politis penggunaan bahasa Belanda dapat menghambat atau menghalangi kemerdekaan Indonesia yang justru sedang diperjuangkan. Bahasa Indonesia adalah lambang nasionalisme. Selain merupakan keputusan politis, bahasa Indonesia juga merupakan keputusan sosial karena hanya bahasa Indonesia yang dipercaya memiliki kekuatan untuk mempersatukan Indonesia. Walaupun bung Karno belum seratus persen merasa nyaman dengan bahasa Indonesia yang masih baru, namun jika harus berpidato di depan rakyat beliau selalu menggunakan bahasa Indonesia.

Hal serupa juga terjadi dengan bahasa Indonesia di Timor Timur. Ketika wilayah Timor Timur resmi memisahkan diri dari Republik Indonesia, pemerintah Timor Timur menetapkan bahasa Portugis sebagai bahasa nasional mereka. Padahal penelitian yang dilakukan oleh Asia Foundation pada tahun 2001 menunjukkan 63% rakyat Timor Timur lancar berbahasa Indonesia namun hanya 3% yang mendukung bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional Timor Timur. Hal ini karena bahasa Indonesia dianggap sebagai simbol penjajahan dan kebrutalan Indonesia terhadap rakyat Timor Timur. Sebuah reaksi emosional untuk menentang sesuatu yang berbau Indonesia. Jadi walaupun sebagian besar penduduk Timor Timur tidak mengenal bahasa Portugis dan merasa kesulitan harus mempelajari lagi bahasa yang baru, bagi rakyat Timor Timur bahasa Portugis adalah simbol kemerdekaan dan nasionalisme. Kini, walaupun bertetangga dengan Indonesia, mereka lebih suka belajar bahasa Inggris sebagai bahasa kedua ketimbang bahasa Indonesia.

Sebelum Mary Donaldson, wanita dari kalangan kebanyakan Australia, menikah dengan Pangeran Frederik dari Denmark, ia diharuskan mempelajari dulu budaya , bahasa dan etiket Denmark karena dalam acara-acara kenegaraan nantinya Mary harus mampu berbicara dalam bahasa Denmark. Padahal bahasa Inggris adalah bahasa kedua yang sangat dikuasai oleh sebagian besar rakyat Denmark.

Bahasa sesungguhnya adalah wacana dan sarana komunikasi budaya sebuah bangsa. Bahasa mencerminkan inti, karakter, ciri dan semangat sebuah budaya. Bahasa seperti sebuah gerbang yang memudahkan kita untuk masuk dan mengerti budaya suatu bangsa. Secara teknis memang mudah menterjemahkan suatu kalimat dari satu bahasa ke bahasa lain, namun untuk menterjemahkan sikap dan nilai budaya suatu bangsa tidaklah semudah itu. Karena kosakata bahasa suatu negara mencerminkan budaya bangsa tersebut yang tidak dapat diterjemahkan begitu saja ke bahasa lain.

Boyé Lafayette De Mente, jurnalis, penulis, dan editor yang pernah menjadi anggota agen intelejensia Amerika ini telah menulis lebih dari 50 buku tentang kaitan bisnis, budaya dan bahasa di Jepang, Cina, Korea dan Meksiko. Dalam bukunya “Japan Unmasked: The Character And Culture Of The Japanese” Boyé menulis bahwa pada awalnya bahasa Jepang digunakan sebagai benteng pertahanan untuk mencegah masuknya orang asing. Di jaman pemerintahan Tokugawa mengajarkan bahasa Jepang pada orang asing bahkan merupakan pelanggaran berat. Hingga kini, bahasa Jepang sangat berkaitan erat dengan proses berpikir dan tingkah laku orang Jepang. Sehingga jika ada orang asing yang fasih berbahasa Jepang tanpa bertingkah laku seperti orang Jepang akan dianggap tidak menghargai budaya Jepang dan tidak bisa dipercaya.

Dengan berakhirnya sistem monarki di Perancis, bahasa Perancis tidak hanya menjadi simbol identitas nasional bagi orang Perancis tapi juga lambang kejayaan budaya dan imperialisme di masa lalu. Presiden Perancis Georges Jean Raymond Pompidou (tahun 1969 hingga 1974) bahkan mengatakan bahwa, ”Karena bahasa Perancislah negara Perancis dipandang oleh dunia sebagai negara bukan sekedar suatu negara .” Anatole France, penyair Perancis pemenang hadiah Nobel sastra pada tahun 1921 mengumpakan bahasa Perancis sebagai sesosok wanita yang cantik, penuh percaya diri, rendah hati, berkepribadian kuat, luhur, hangat dan seksi, sehingga siapa pun yang mengenalnya akan jatuh cinta sepenuh hati.

Memang tidak bisa dipungkiri bahwa sebagai bahasa komunikasi internasional, bahasa Inggris semakin penting untuk dipelajari dalam era globalisasi saat ini. Presiden Perancis Nicolas Sarkozy kini bahkan mewajibkan anak-anak usia sekolah untuk mempelajari bahasa Inggris sebagai bahasa kedua. Indonesia pun tidak ketinggalan. Berbondong-bondongnya orang-orang Indonesia mendirikan sekolah dengan label internasional dengan pengantar bahasa Inggris adalah suatu fenomena yang menggembirakan. ?Karena kini, sekolah internasional tidak lagi menjadi monopoli orang asing. Ada kesetaraan akses bagi anak-anak Indonesia guna memperoleh pendidikan berkualitas internasional dengan harga yang lebih terjangkau. Kesempatan untuk belajar bahasa kedua yaitu bahasa Inggris kini terbuka lebar. Sayangnya, hal ini malah menghasilkan bahasa gado-gado.

Mencampur bahasa Indonesia dengan kosakata bahasa Inggris yang sepotong-sepotong sehingga menjadi bahasa gado-gado ke dalam wacana formal dan tulisan tidak akan membawa bangsa Indonesia menjadi masyarakat dwibahasawan yang terdidik. Jika hal ini dibiarkan maka akan makin sedikit orang Indonesia yang mampu berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Berkurangnya pengguna bahasa Indonesia pelan-pelan akan mengikis identitas bangsa dan menggerogoti kelestarian budaya Indonesia. Pada saat yang sama kemampuan masyarakat Indonesia berbahasa Inggris yang baik pun akan terhambat karena terbiasa menyelipkannya ke dalam percakapan bahasa Indonesia. Akibatnya berbahasa Indonesia yang baik dan benar tidak becus, berbahasa Inggris pun berantakan.

Bukan hal yang tidak mungkin jika suatu hari bahasa Indonesia menjadi bahasa gado-gado seperti bahasa Manglish di Malaysia, yaitu bahasa Inggris yang dicampur dengan bahasa Malaysia yang lazim digunakan di Malaysia. Jika di Malaysia ada Manglish, di Filipina ada Taglish, di Singapura ada Singlish, sebentar lagi mungkin ada Indolish. Bahasa yang mencampur bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris.

Bahasa adalah budaya bangsa. Almarhum WS Rendra pernah berkata bahwa sebuah bangsa tidak cukup hanya terdidik, tetapi juga harus berbudaya. "Karena kebudayaan merupakan tulang punggung peradaban bangsa," tambah pengamat masalah pendidikan, Arif Rahman.

Dr. James Sneddon, Associate Professor di Griffith University, Brisbane, Australia, dalam buku yang ditulisnya - The Indonesian Language: Its History and Role in Modern Society - mengatakan: “Masa depan bahasa Indonesia akan berkaitan erat dengan masa depan negara Indonesia. Jika Indonesia tetap bersatu dan makmur maka bahasa Indonesia pun akan tetap lestari. Jika Indonesia terpecah belah, bahasa Indonesia akan tetap ada namun akan mengarah kepada ketidak stabilan mengikuti jenis atau bentuk pemerintahan yang ada. Dengan demikian maka kelestarian bahasa Indonesia di masa depan akan tergantung pada kemampuan masyarakat yang berbahasa Indonesia dalam memecahkan masalah perbahasaan yang dialami saat ini. Bahasa Indonesia pernah menjadi elemen terpenting dalam mempersatukan negara kepulauan Indonesia; kini persatuan Indonesia akan menjadi sangat penting dalam menentukan masa depan bahasa Indonesia”.

Wieke Gur.
Pecinta Bahasa Indonesia
Penulis Lirik dan Pencipta Lagu

Tradisi Meugang

Oleh Sultan

Masyarakat Aceh memiliki tradisi unik yang mungkin tak ditemukan di daerah lain Indonesia, dalam menyambut datangnya bulan suci Ramadan, Idul Fitri, dan Idul Adha. Tradisi yang telah turun-temurun berlaku di tengah orang itu disebut meugang, yaitu membeli, memasak dan makan daging bersama keluarga.

Meugang dilakukan selama dua hari menjelang datangnya ketiga momentum itu. Selama dua hari itu, warga berbondong-bondong mendatangi pasar di seantero Aceh, untuk membeli daging sapi atau kerbau.

Dalam tahun ini, harga daging pada hari meugang melonjak drastis dari hari-hari biasanya, mencapai Rp 100.000 – Rp 120.000 perkilogram. Sedangkan pada hari-hari biasa, harga daging di Aceh berkisar Rp 70.000 – Rp 80.000 perkilogram.

Ameer Hamzah, seorang tokoh masyarakat Aceh, menyatakan, meugang berasal dari kata makmeugang. Gang berarti pasar, dimana terdapat para penjual daging yang menggantung dagangannya di sepotong kayu.

“Pada hari-hari biasa, tak banyak masyarakat mendatangi pasar. Tapi, dua hari menjelang Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha, dulu warga ramai-ramai datang ke pasar, sehingga ada istilah makmu that gang nyan (makmur sekali pasar itu). Maka, jadilah makmeugang. Tapi, seiring perkembangan bahasa kata itu menjadi meugang,” katanya, beberapa waktu lalu.

Meugang dianggap punya nilai religius karena dilakukan pada waktu-waktu yang dianggap suci bagi umat Islam. Bagi masyarakat Aceh, Ramadhan dianggap bulan untuk menyucikan diri. Masyarakat Aceh memegang teguh kepercayaan bahwa nafkah yang telah dicari 11 bulan dinikmati selama Ramadhan sambil beribadah, katanya.

Menurut kisah, kata Ameer, awalnya meugang itu dilakukan pada masa Kerajaan Aceh. Waktu itu, Sultan memotong hewan dalam jumlah banyak dan dagingnya dibagi-bagikan gratis kepada rakyat sebagai bentuk rasa syukur kemakmuran dan terima kasih kepada rakyatnya.

“Setelah Aceh dikalahkan Belanda, kerajaan bangkrut. Lalu, rakyat berpartisipasi sendiri dengan memotong sapi atau kerbau guna memeriahkan meugang. Tradisi itu tetap berakar di tengah masyarakat Aceh sampai sekarang,” kata Ameer yang merupakan mantan anggota DPR Aceh itu.

Menurut sejarah, meugang sudah sangat berakar dengan orang Aceh. Tradisi ini malah bisa membantu perjuangan pahlawan Aceh untuk bergerilya, yaitu daging yang diawetkan. Dengan daging awetan, pejuang Aceh dapat menjaga persediaan makanan yang tetap berkalori sehingga dapat bertahan selama perang gerilya.

Filosofi lain bisa dipetik dari tradisi meugang itu, katanya, jika dikaitkan dengan Islam yaitu bentuk syukur kepada Tuhan yang telah memberikan rezeki “karena orang Aceh sangat kental dengan nilai-nilai keislaman”.

Selain itu, tambahnya, pada hari meugang banyak dermawan membagi-bagikan daging untuk fakir miskin sehingga terbangun interaksi sosial dan kebersamaan. Dengan begitu, semua warga meski berasal dari keluarga tak mampu bisa menikmati masakan daging pada hari istimewa tersebut, kata Ameer.

Sudah jadi tradisi, setiap kepala rumah tangga membeli minimal dua atau tiga kilogram daging untuk disantap bersama seisi rumah. Pantang bagi satu keluarga kalau tidak memasak daging pada hari meugang, sementara dari rumah tetangga tercium aroma masakan kari daging, sehingga anak-anak dilarang keluar rumah untuk bermain pada hari meugang.

“Malah, bagi seorang pria yang baru menikah seperti diwajibkan untuk membeli daging minimal tiga kilogram untuk dibawa pulang ke rumah mertuanya. Kalau hal itu tak dilakukan, maka aib bagi mempelai pria dan keluarga tersebut, karena mereka akan malu kepada orang seisi kampung,” kata Ameer.

“Kalau di pedesaan yang masih kuat adatnya, mempelai pria itu bisa jadi tidak diterima lagi sebagai menantu kalau tak membawa pulang daging,” katanya menambahkan. []

Bukti Prasejarah yang Nyaris Jadi Sejarah

Oleh Ingki Rinaldi

Tidak mudah menemukan lokasi penemuan fosil Pithecanthropus modjokertensis yang kini masuk wilayah administratif Dusun Klagen, Desa Kepuhklagen, Kecamatan Wringinanom, Kabupaten Gresik, Jawa Timur. Tidak semua penduduk setempat tahu lokasi temuan yang ditandai oleh tugu dari beton cor dilapis batu marmer itu. Padahal, lokasinya hanya berjarak 3 kilometer dari perempatan Pasar Perning, Kecamatan Jetis, Kabupaten Mojokerto.

Dalam buku Sejarah Nasional Indonesia I, Zaman Prasejarah di Indonesia tulisan Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, terbitan Balai Pustaka tahun 2008, disebutkan bahwa temuan yang berasal dari formasi Pucangan di Kepuhklagen itu berada di sisi utara Desa Perning, Kecamatan Jetis, Mojokerto.

Fosil Pithecanthropus modjokertensis ditemukan tahun 1936 oleh R Tjokrohandjojo yang bekerja untuk geologis asal Belanda, Johan Duyfjes. Wujudnya tengkorak anak usia enam tahun. Umur fosil itu diperkirakan mendekati dua juta tahun. Bisa dikatakan, fosil itu adalah Pithecantropus tertua sekaligus fosil tertua di wilayah geografis kelautan masa silam (maritime paleogeographic).

Fosil itu sama pentingnya dengan fosil Situs Sangiran, Jawa Tengah, baik bagi kalangan paleoantropologis maupun kalangan geologis, untuk kepentingan survei kandungan minyak bumi.

Sukarto (58), seorang petani penggarap, menuturkan, sejak ia kecil, lokasi itu setiap tahun didatangi orang asing. ”Saya membantu orang-orang itu menggali di lahan di sebelah utara monumen. Banyak temuannya, tulang manusia maupun gigi,” katanya.

Menurut Sekretaris Desa Kepuhklagen Sidik Utomo, para peneliti Indonesia kebanyakan hanya menemani peneliti dari luar negeri.

Menurut Kepala Seksi Pelestarian dan Pemanfaatan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Timur (BP3) Prapto Saptono, monumen penanda lokasi temuan Pithecantropus diresmikan oleh perwakilan dari 11 negara pada tahun 1996. Hal itu sekaligus mengenang 100 tahun penemuan fosil.

Kini lapisan marmer di bagian atas tugu sudah ambrol dan menyisakan cor beton meruncing sekitar setengah meter. Di bagian bawah terdapat kotak berlapis marmer yang kusam termakan usia dan tak terawat. Di marmer tertulis nama R Tjokrohandjojo dan J Duyfjes, penemu Pithecanthropus modjokertensis.

Menurut Prapto, lahan itu kini di bawah penguasaan TNI Angkatan Laut. Hal itu menyulitkan BP3 Jatim untuk mengembangkan kawasan tersebut.

Sidik Utomo membenarkan bahwa lokasi itu kini menjadi milik TNI AL. ”Mereka (TNI AL) membeli tanah seluas 203 hektar itu tahun 1998-2004 dengan harga Rp 3.500-Rp 60.000 per meter. Sekarang dipakai sebagai tempat latihan,” katanya.

Kepala Dinas Penerangan Komando Armada RI Kawasan Timur Letnan Kolonel (KH) Toni Syaiful menyatakan, lahan itu rencananya digunakan sebagai lokasi perumahan TNI AL. Namun, belum bisa dipastikan kapan pembangunannya dimulai. ”Secara prinsip, kami memberikan keleluasaan (untuk melakukan penelitian),” kata Toni. Menurut dia, pihak yang hendak meneliti benda-benda prasejarah bisa menghubungi TNI AL.

Namun, saat ini kawasan penemuan itu terancam. Sisa aktivitas penambangan galian C ada di mana-mana. Jika kondisi ini dibiarkan, bukan mustahil kekayaan bukti prasejarah akan musnah.

-

Arsip Blog

Recent Posts