Antikorupsi, Bisa Didiagnosis, Bukan Utopia

Oleh Henry Siahaan

Anggota DPR dari Fraksi PAN, Abdul Hadi Djamal, ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bersama staf dari Departemen Perhubungan. Tidak lama kemudian, kepala Dinas Perhubungan dan Komunikasi Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, juga ramai diberitakan media melakukan korupsi serta pemerasan. Yang bisa dipotret dari contoh buruk tersebut, institusi pemerintahan belum cukup serius mengantisipasi terulangnya kasus korupsi. Institusi pemerintahan seolah terjebak dalam semangat formalisme untuk memerangi korupsi. Antikorupsi menjadi ungkapan pemanis bibir, tidak keluar dari lubuk hati terdalam. Belum terbangun sistem integritas.

Padahal, berbagai upaya, termasuk slogan dan deklarasi antikorupsi, dibuat di berbagai tempat. Tapi, korupsi tidak pernah habis. Sekadar membuka kembali ingatan kolektif bangsa ini bahwa pada peringatan Hari Antikorupsi 9 Desember 2008, hampir semua gubernur menyerukan slogan antikorupsi. Demikian pula, pada akhir Februari 2009, semua partai politik berikrar untuk tidak melakukan korupsi.

Karena itu, pertanyaan mendasarnya adalah mengapa pelaku (potensial pelaku) korupsi tidak pernah jera dan tiada habisnya terjadi di Indonesia? Tentu banyak pendapat dan analisis yang mampu menjelaskannya dan bahkan sudah diketahui publik.

Toh, menurut saya, dalam perspektif hukum dan pemerintahan belum banyak dibicarakan bagaimana mengangkat korupsi ke tataran aktual sekaligus implementatif. Sebab, bila tidak demikian, arahan dan strategi pemberantasan korupsi sangat mungkin berjalan di tempat.

Ada tiga alasan utama yang memperkuat pendapat tersebut. Pertama, pemahaman dan acuan yang beragam tentang korupsi dari partai politik dan antar penyelenggara negara. Hasil monitoring dan evaluasi (monev) Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara (Kempan) mengindikasikan bahwa Inpres No 5/2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi belum dipatuhi penyelenggara negara secara konsisten.

Bahkan, masih banyak departemen/daerah yang belum memiliki rencana aksi nasional/daerah pemberantasan korupsi (RAN/D-PK), apalagi menjalankannya. Diferensiasi seperti itu rentan terhadap berkembangnya bahaya laten korupsi.

Karena itu, hasil monev seperti ini perlu dijadikan rujukan untuk membangun kembali semangat antikorupsi dalam institusi pemerintahan dan tangan besi pemerintah seolah menjadi kebutuhan kontemporer pemberantasan korupsi dan keharusan sejarah bangsa ini untuk mewujudkan nilai-nilai konstitusi, khususnya kesejahteraan rakyat, sebagaimana mimpi para founding fathers dalam pembukaan UUD 1945.

Kedua, tidak adanya blue print pemberantasan korupsi yang komprehensif dan aplikatif yang melibatkan elemen-elemen masyarakat. Tidak ada penetapan status korupsi, sehingga seluruh agenda pemberantasan korupsi dianggap absah. Padahal, status korupsi akan menjadi titik tolak dalam melakukan berbagai kebijakan pemberantasan korupsi. Tidak mungkin semua rencana bisa dilakukan. Karena itu, perlu menentukan prioritas, sehingga aksi yang dilakukan efektif dan berdampak signifikan. Hal tersebut juga ditujukan untuk mempermudah evaluasi hasil upaya pemberantasan korupsi.

Ketiga, antarinstitusi penegak hukum terkesan saling mengabaikan bahkan menegasikan tindakan yang dilakukan salah satu institusi. Tidak ada sinergisitas yang bisa dijadikan best practice.

Contoh yang paling mudah dilihat sewaktu Jaksa Agung Hendarman Supandji mengangkat Kemas Yahya Rahman serta M. Salim sebagai koordinator dan wakil koordinator I Satuan Khusus (Satsus) Supervisi dan Bimbingan Teknis (Bimtek) Tuntutan Perkara Tipikor, Perikanan dan Ekonomi. Padahal, diduga kuat mereka terlibat skandal Urip yang ditangani KPK.

Berbagai realitas tersebut merupakan benang kusut kompleksitas persoalan korupsi yang patut diurai sebagai tantangan sekaligus peluang. Yakni, tantangan bagi institusi pemerintahan dan bangsa ini untuk menghambat laju korupsi dan membuat bangsa ini bermartabat serta peluang untuk membuat kesejahteraan rakyat bukan sebagai sesuatu yang utopis.

Karena itu, pertama, harus ada ruang yang lebih luas bagi masyarakat, baik nasional maupun lokal, untuk berpartisipasi. Partisipasi tersebut diwujudkan dengan terlibat dalam penyusunan kebijakan maupun pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan pemberantasan korupsi.

Kedua, perlu merumuskan dan menentukan status korupsi di Indonesia. Ibarat gunung api yang siap meletus, ada siaga satu, dua, tiga, dan seterusnya; ada early warning system; ada pelatihan evakuasi bagi masyarakatnya; dan sebagainya. Status itu penting untuk memperjelas strategi yang akan digunakan, instrumen yang diperlukan, dan mekanisme evaluasi yang akan dilakukan di berbagai sektor/bidang. Dengan demikian, target untuk meningkatkan peringkat CPI (corruption perception index) dan atau GCB (global corruption barometer) menjadi terukur.

Ketika itu semua dilakukan, sesungguhnya bangsa dan negara ini sedang terlibat dalam kesibukan substantif terhadap warganya dan sedang menganyam masa depan bangsa yang berpengharapan.

Antikorupsi bukan utopia, tapi bisa didiagnosis sebagaimana penyakit lainnya. Kalau negara-negara seperti di Skandinavia atau Swiss dapat melakukannya, mengapa kita tidak? Semoga jawabannya ada pada pemerintahan berikutnya.

Henry Siahaan, penggiat antikorupsi, bekerja di Kemitraan, Jakarta

Sumber: Jawa Pos, Kamis, 12 Maret 2009

Terkuaknya Misteri Gedung Dewan

Oleh Akhmad Zaini

Apa makna terpenting tertangkapnya politikus Partai Amanat Nasional (PAN) Abdul Hadi Djamal oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)? Salah satunya, semakin terkuaknya misteri yang ada di gedung perwakilan rakyat. Yakni, misteri bagaimana mereka yang masuk ke gedung itu sering bisa mendadak berubah dalam sekejap.

Bagi mayoritas rakyat di negeri ini, perubahan itu memang sering amat sulit dipahami sehingga layak disebut misteri. Misalnya, seorang aktivis partai yang semula lontang-lantung tanpa pekerjaan yang jelas mendadak berubah menjadi orang kaya raya dengan jumlah aset yang menyilaukan. Selain daftar kekayaannya bertambah secara fantastis, orang tersebut juga mendadak berubah menjadi “dermawan”. Banyak kegiatan di masyarakat yang pendanaannya ditanggung yang bersangkutan.

Begitu juga ketika musim pemilu tiba seperti saat ini, sang legislator yang kembali mencalonkan diri sebagai calon legislatif (caleg) juga menunjukkan “kehebatan” yang luar biasa. Baliho-baliho besar dirinya memenuhi sejumlah kota. Event-event besar pun dia biayai dengan entengnya.

Memang, rakyat tahu bahwa anggota dewan -dengan posisinya sebagai pejabat negara- memiliki gaji yang tinggi. Tapi, sering kalkulator gagal menghitungnya. Ada ketidakseimbangan antara pasak dan tiang. Antara gaji resmi yang telah diketahui umum dan “gaya hidup” yang dipertontonkan seorang anggota dewan.

Singkat kata, semua itu bak misteri yang sulit dipecahkan. Dan kini, misteri itu sedikit terungkap ketika Komisaris PT Kurniadjaja Wirabhakti Hontjo Kurniawan yang memberikan uang kepada Hadi mengatakan bahwa uang miliaran yang dia serahkan itu untuk membantu dana kampanye Hadi pada pencalegan Pemilu 2009 ini. Kompensasinya, Hadi akan memperjuangkan proyek-proyek infrastruktur Departemen Perhubungan (Dephub) yang diincar Hontjo (Jawa Pos, 11/03/09).

Memang, informasi itu masih pengakuan sepihak. Kebenarannya masih perlu dibuktikan di pengadilan. Namun, setidaknya, pengakuan itu menjadi salah satu indikasi atas misteri yang selama ini meliputi gedung dewan. Apalagi, kasus-kasus yang hampir mirip juga sudah berkali-kali terjadi, seperti kasus yang membelit politikus PPP Al Amin Nasution yang kini mendekam di penjara.

Tentu patut diyakini bahwa tidak semua anggota legislatif yang kini mencalonkan diri lagi dalam Pemilu 2009 menggunakan cara seperti kasus di atas. Pasti ada beberapa orang yang mengumpulkan dana kampanye secara benar. Dari membongkar deposito, pinjam ke bank, ke sanak famili, hingga menjual tanah warisan.

Hanya, masih sulit dipastikan seberapa besar persentase yang menggunakan jalur lurus itu. Karena kalau dilihat secara kasat mata, dana kampanye yang harus dikeluarkan seorang calon legislatif sangatlah besar. Untuk dewan pusat, pasti tidak cukup kalau hanya ratusan juta rupiah.

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bahwa penentuan anggota dewan berdasarkan suara terbanyak memang mengharuskan semua caleg memperkenalkan diri sendiri secara habis-habisan. Konsekuensinya, dana miliaran rupiah pun bisa tersedot karenanya.

Kalau seorang caleg mempunyai ambisi superkuat untuk jadi lagi, sementara dana plus imannya cekak, maka jalur pintas pun bisa ditempuh. Jabatan sebagai anggota dewan yang sekarang dipegang serta yang sedang diperebutkannya digadaikan ke para cukong.

Dengan menyinggung putusan MK itu, tentu penulis tidak bermaksud menggiring ke suatu kesimpulan bahwa putusan MK tersebut telah memicu terjadinya korupsi. Memang, putusan itu mendorong seorang caleg bekerja ekstra keras dan membutuhkan dana superjumbo. Tapi, itu bukan berarti bahwa korupsi merupakan salah satu jalan keluarnya.

Ke depan, putusan MK tersebut akan membuat logika keterwakilan semakin baik. Mereka yang duduk di gedung dewan akan tertuntut menjadi figur yang memiliki kedekatan dengan rakyat dan memiliki track record sebagai orang yang berkomitmen kepada rakyat. Sebab, kalau tidak begitu, sulit bagi orang itu untuk mendapatkan dukungan langsung dari rakyat.

Bila itu terjadi, tentu, ke depan akan membawa kebaikan bagi kita semua sebagai bangsa. Memang, rasanya, hal tersebut sulit terjadi pada hasil Pemilu 2009 ini. Sebab, masih banyak prakondisi yang tidak menunjang. Dari putusan MK yang begitu mendadak hingga sejumlah masalah yang masih membelit mayoritas rakyat di negeri ini. Misalnya, masalah keterbatasan ekonomi, informasi, serta pendidikan.

Yang perlu dicamkan dari perubahan “revolusioner” itu, ke depan, mereka yang akan terjun ke kancah politik dan tidak akan mengotori dirinya dengan perilaku yang tidak benar harus memiliki modal yang sangat besar.

Modal di sini tentu tidak harus dimaknai sebagai modal uang. Tapi, bisa lebih luas daripada sekadar uang. Bisa modal kejujuran, pengabdian, dan kiprahnya di tengah-tengah masyarakat, hingga track record yang tidak cacat.

Semua itu tentu harus dibangun dalam waktu lama dan dengan pengorbanan yang besar. Namun, bila modal-modal sosial seperti itu dimiliki, tentu modal yang berupa uang tidaklah segala-galanya. Dan jika itu terjadi, korupsi atau kongkalikong dengan para cukong bukanlah cara yang layak dipertimbangkan.

Tentu, hal tersebut bukanlah jawaban atas semua praktik korupsi yang terjadi di negeri ini, khususnya yang melibatkan anggota dewan. Jawaban terpenting tetaplah berada di dada masing-masing penduduk di negeri ini. Yakni, apakah masih punya iman atau moral yang kuat untuk tidak korupsi meski kesempatan ada di depan mata?

Akhmad Zaini, wartawan Jawa Pos (e-mail: zen@jawapos.co.id)

Sumber: Jawa Pos, Kamis, 12 Maret 2009

KPK Terancam Mandul

Oleh Asmar Oemar Saleh

Lambat-laun makin kentara: komitmen para anggota legislatif dalam pemberantasan korupsi memang hanya sebatas “hangat-hangat kuku”, kalau bukan setengah hati. Apa indikasinya? Mereka, agaknya, sengaja membuat nasib Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengadilan Tindak Pidana Korupsi terkatung-katung. Padahal untuk UU lain, UU Pornografi, misalnya, mereka bekerja bak dikejar setoran. Tapi, entahlah, untuk RUU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, hasrat menggebu untuk membahas dan segera mengesahkannya nyaris tak dijumpai.

Fakta ini makin menegaskan dugaan adanya, tak hanya ketidakseriusan, tapi juga sikap tidak senang dan antipati anggota Dewan Perwakilan Rakyat atas keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Padahal RUU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi ini akan menjadi fondasi konstitusional bagi keberadaan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang kini sudah berjalan. Jika RUU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi ini tak kunjung disahkan pada 19 Desember mendatang, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi akan dilikuidasi. Imbasnya, KPK akan menjadi “macan ompong”: tak punya pengadilan yang akan menjadi muara untuk kasus-kasus yang ditanganinya. Ini sama saja dengan membonsai peran dan keberadaan KPK.

Persoalan bermula dengan keluarnya keputusan Mahkamah Konstitusi pada 19 Desember 2006, yang membatalkan pasal mengenai Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dalam UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Hakim konstitusi yang dipimpin Jimly Asshiddiqie meminta agar Pengadilan Tindak Pidana Korupsi diatur dalam UU tersendiri, bukan sebagai bagian dari UU KPK.

Putusan tersebut dibuat untuk menjawab gugatan uji materiil UU KPK yang diajukan dua terdakwa kasus korupsi di Komisi Pemilihan Umum, Mulyana W, Kusumah dan Nazaruddin Sjamsuddin, serta gugatan yang diajukan Tarcisius Walla, terpidana korupsi pengadaan tanah pembangunan Pelabuhan Danar di Tual, Maluku Tenggara. Pembatalan itu memang tidak secara otomatis membuat Pengadilan Tindak Pidana Korupsi bubar. Mahkamah Konstitusi memberi waktu tiga tahun untuk masa transisi, yaitu hingga 19 Desember 2009. Pada masa peralihan itu, Presiden dan DPR diharapkan sudah menghasilkan UU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.

Tapi, faktanya, hingga hari ini DPR belum juga menuntaskan pembahasan RUU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi tersebut. Mengingat pendeknya waktu menjelang Pemilihan Umum 9 April mendatang, cukup beralasan jika banyak pihak menyangsikan RUU tersebut akan selesai sebelum Pemilu. Apalagi banyak anggota DPR kini sibuk karena kembali mencalonkan diri sebagai anggota DPR, terutama dengan turun langsung ke daerah-daerah pemilihannya setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi yang menetapkan penentuan calon legislator terpilih berdasarkan suara terbanyak.

Prestasi KPK
Mengapa DPR setengah hati menggarap RUU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi? Dasar dugaan ketidakseriusan anggota DPR menyelesaikan RUU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi memang cukup kuat: KPK dinilai banyak pihak berhasil menjalankan tugasnya memberantas korupsi.

Prestasi KPK cukup mengancam mereka yang tak suka melihat negeri ini bersih dari korupsi. Dari segi kuantitas, mulai 2004 hingga 2008, jumlah kasus yang ditangani KPK memang hanya 110 kasus. Angka yang sangat kecil bila dibandingkan dengan data dari Kejaksaan Agung yang jumlahnya lebih dari 3.000 kasus.

Tapi, dari segi kualitas, KPK justru membuat publik berlega hati: tak ada satu pun kasus yang sudah masuk tahap penyidikan KPK tidak berhasil dibawa ke pengadilan. Bahkan terdakwa dalam keseluruhan kasus yang disidangkan dalam Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dinyatakan bersalah, dari anggota DPR, mantan menteri, para petinggi Bank Indonesia, sampai besan presiden yang kini berkuasa, Aulia Pohan, dapat dijadikan tersangka.

Ini sangat berbeda dengan penanganan korupsi di pengadilan umum, yang tak jarang tersangkanya divonis bebas atau ringan. Akibatnya, tingkat kepercayaan terhadap pengadilan umum dalam menangani korupsi sangat diragukan. Tengoklah hasil pantauan yang dilakukan Indonesia Corruption Watch pada 2005-2008: dari 1.421 terdakwa perkara korupsi, sedikitnya ada 659 terdakwa korupsi divonis bebas oleh pengadilan umum. Sedangkan rata-rata vonis yang diberikan kepada para tersangka hanya 5,8 bulan penjara untuk semua tingkat peradilan seluruh Indonesia.

Sementara itu, untuk Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, selama 2008, dari 31 kasus korupsi yang ditanganinya, tak ada satu orang pun yang divonis bebas. Vonis yang dijatuhkan para hakim Tindak Pidana Korupsi pun rata-rata 4 tahun 2 bulan penjara. Yang membuat anggota DPR ketar-ketir, sebagian pelaku korupsi yang diputus oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi adalah teman mereka sesama anggota wakil rakyat. Bak senjata makan tuan, KPK yang mereka bentuk justru menyerang lembaga dan teman mereka sendiri. Tak aneh jika resistensi terhadap KPK pun diam-diam membatu dan membuahkan skenario pemandulan KPK dengan mengulur-ulur RUU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi hingga berakhirnya batas yang ditetapkan Mahkamah Konstitusi.

Tentu para anggota DPR tak ingin disebut “pengkhianat” amanat rakyat untuk memberantas korupsi. DPR periode 2004-2009 juga pastinya tak ingin dikenang dalam sejarah sebagai musuh pemberantasan korupsi di Indonesia.

Untuk itu, tak hanya dibutuhkan sangkalan lisan dan silat lidah bahwa tak benar mereka membuat nasib RUU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi “termehek-mehek” dalam ketidakpastian. Sebaliknya yang dinantikan adalah kesigapan bertindak: segera mengagendakan, membahas, dan akhirnya mengesahkan RUU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.

Jika sampai 19 Desember 2009 RUU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi tak kunjung disahkan, tak hanya menjadi jelas bagaimana komitmen wakil rakyat kita dalam pemberantasan korupsi, tapi juga makin terang-benderanglah siapa sesungguhnya yang tengah duduk di kursi gedung DPR Senayan itu.

Asmar Oemar Saleh, Advokat, mantan Deputi III Bidang Penanggulangan Pelanggaran Hak Asasi Manusia Menteri Negara Hukum dan HAM RI

Sumber: Koran Tempo, Selasa, 3 Maret 2009

Degradasi Langkah Komisi Pemberantasan Korupsi

Oleh Adnan Topan Husodo

Jika boleh disebut, prestasi Komisi Pemberantasan Korupsi pada awal 2008 memang mengagumkan. Beberapa anggota DPR diseret karena berbagai praktek suap dan indikasi pemerasan. Demikian halnya pejabat Bank Indonesia yang menjadi pesakitan karena kasus dana YPPI. Tapi, memasuki awal 2009, derap KPK dalam menangani kasus korupsi kakap justru perlahan-lahan menurun. Bisa dikatakan KPK mengalami masa paceklik. Meskipun selalu ada kasus korupsi yang ditangani KPK, bobot kasusnya menjadi pertanyaan besar.

Yang terbaru, KPK berhasil mengungkap kasus dugaan penggelembungan harga (markup) dalam pembelian alat kesehatan (roentgen) di Departemen Kesehatan untuk proyek 2007 dengan nilai kerugian negara ditaksir sebesar Rp 4,8 miliar (Koran Tempo, 17 Februari 2009). Dalam kasus ini, KPK telah menetapkan satu orang tersangka berinisial M, yang disebut-sebut merupakan Kepala Biro Perencanaan Departemen Kesehatan sekaligus pejabat pembuat komitmen dalam proyek tersebut.

Dilihat dari berbagai aspek, kasus tersebut sebenarnya bukan prioritas bagi KPK. Nilai kerugian negara yang hanya Rp 4,8 miliar sama sekali bukan dalam kategori yang layak untuk ditangani KPK. Meskipun KPK bisa saja menangani kasus tersebut, menjadi kian jelas kesimpulannya jika kita memasukkan parameter lain dalam penentuan kasus korupsi yang seharusnya diproses KPK, yakni ukuran aktor dan modus korupsi.

Dalam kasus tersebut, aktor yang baru bisa diungkap KPK adalah pemimpin proyek. Memang, dalam undang-undang KPK, posisi pemimpin proyek dikategorikan sebagai penyelenggara negara yang menjadi bagian dari mandat KPK untuk menanganinya. Tapi pemimpin proyek bukanlah aktor yang signifikan jika kita melihat masalah utama korupsi di Indonesia yang bercorak state capture. Demikian halnya modus markup, yang merupakan modus tradisional (kuno) dalam kasus korupsi. Pendek kata, KPK masih berkutat pada isu korupsi birokrasi, bukan korupsi politik.

Pertanyaannya kemudian, apakah memang ada agenda tertentu sehingga KPK terus “memproduksi” kasus-kasus kelas teri? Kekhawatiran yang muncul adalah jika KPK kemudian lalai untuk mendalami, menangani, dan meneruskan proses hukum kasus korupsi kelas kakap. Perlu dicatat bahwa hingga hari ini KPK masih memiliki pekerjaan rumah yang belum selesai.

Pertama, kasus Agus Condro. Kasus ini sampai sekarang tidak jelas juntrungannya. Alasan yang dibangun KPK adalah bahwa kasus ini masih dalam tahap penyelidikan. Proses penyelidikan dan penyidikan memang kerap menjadi senjata pamungkas untuk menjawab pertanyaan publik atas akuntabilitas penegakan hukum.

Karena proses itu merupakan wilayah monopoli KPK, sulit bagi masyarakat untuk mengetahui secara lebih jauh, apakah KPK sebenarnya tengah memprosesnya atau diam-diam mempetieskan. Sulit juga untuk menilai apakah kasus tersebut layak ditindaklanjuti atau tidak, karena semua data pendukung dan bukti-bukti yang ada dipegang sepenuhnya oleh KPK. Pada akhirnya, meneruskan atau tidak kasus yang ditangani KPK menjadi sangat politis nilainya.

Jika melihat kasus di atas, KPK seharusnya menempatkan perkara Agus Condro sebagai prioritas untuk ditangani. Argumentasinya jelas, ini kasus yang kemungkinan besar melibatkan aktor besar, tidak hanya pejabat BI, tapi juga politikus Senayan sebagai penentu keputusan politik dan cukong yang menjadi donatur. Sebagaimana kita ketahui, praktek politik uang dalam pemilihan pejabat publik oleh Dewan Perwakilan Rakyat adalah masalah krusial yang menjadikan DPR sebagai lembaga korup.

Data-data dari PPATK yang telah diserahkan kepada KPK, berikut pengakuan Agus Condro sendiri yang menerima cek perjalanan, kian menunjukkan bahwa dalam pemilihan Deputi Senior Gubernur BI Miranda Goeltom ada kekuatan uang yang mempengaruhi keputusan DPR untuk memenangkan Miranda. Sebenarnya pengakuan tersebut bukan hanya muncul dari Agus Condro, beberapa mantan anggota DPR yang telah dipanggil KPK juga mengakui pengakuan Agus Condro.

KPK sendiri telah memanggil beberapa saksi kunci yang kemungkinan besar bisa menjadi tersangka, seperti Nunung, istri calon gubernur DKI Jakarta, Adang Daradjatun. Siapa Nunung sebenarnya, apa peran yang dimainkan dalam kasus tersebut masih jadi misteri sampai hari ini karena lambannya proses hukum yang diambil KPK.

Kedua, kasus korupsi dana YPPI di BI. Meskipun KPK sudah menyeret para petinggi BI ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, termasuk Aulia Pohan, yang merupakan besan Presiden Susilo Bambang Yudhyono, dan dua anggota DPR yang terlibat, bau diskriminasi masih sangat terasa. Terutama terhadap para pihak yang disebut-sebut oleh para terdakwa sebagai pihak yang mengetahui terjadinya kasus tersebut, seperti Paskah Suzetta, yang kini menjabat Kepala Bappenas.

Jika aktor yang terlibat dalam kasus korupsi dana YPPI tidak dituntaskan oleh KPK, akan ada sebuah persepsi negatif yang timbul bahwa KPK menerapkan kebijakan tebang pilih karena lebih condong hanya menindak pihak BI, bukan DPR. Padahal, kalau kita melihat secara lebih jauh, pihak yang memiliki wewenang kuat untuk menentukan terjadi atau tidaknya kasus YPPI adalah DPR. Mereka memiliki kekuasaan untuk mengegolkan permintaan pihak BI, baik dalam kaitannya dengan penyusunan UU BI maupun penyelesaian politik perkara BLBI.

Ketiga, kasus BLBI, baik yang melibatkan bankir swasta maupun perbankan badan usaha milik negara. Sebagaimana kita ketahui, Kejaksaan Agung telah kehilangan legitimasi untuk memproses kasus dugaan korupsi dana BLBI dengan tertangkapnya jaksa Urip Tri Gunawan karena suap. Suap itu memiliki kaitan langsung dengan penyelesaian perkara BLBI yang tengah ditangani Kejaksaan Agung. Karena itulah, seharusnya KPK menempatkan diri sebagai lembaga yang bisa menyelesaikan secara hukum pelanggaran korupsi dana BLBI senilai triliunan rupiah yang sudah bertahun-tahun tidak jelas rimbanya.

Keasyikan KPK dalam menangani perkara-perkara kelas kejaksaan dan kepolisian telah menyeret opini publik yang luas bahwa KPK memiliki kepentingan politik untuk tidak melanjutkan kasus-kasus besar yang menjadi pekerjaan rumah utamanya. Apa kepentingan politik itu semua dapat dilihat dari seluruh proses awal pemilihan pemimpin KPK sebelumnya. Sebab, yang paling mungkin, posisi tawar kelompok kepentingan dapat dibangun pada tahap ini.

Degradasi peran KPK dari lembaga superbody menjadi lembaga penegak hukum konvensional menjadi sinyal awal gagalnya penegakan hukum yang independen. Sebagaimana kita ketahui, kelahiran KPK dimaksudkan untuk menangani perkara korupsi besar yang memiliki hambatan politik dan hukum, bukan kasus korupsi kecil dan sederhana, baik dari sisi aktor, nilai kerugian, maupun modus korupsi yang terjadi.

Karena itu, arah kebijakan penegakan hukum KPK harus diletakkan kembali kepada tujuan utamanya. Sulit rasanya untuk memberantas korupsi tatkala lembaga yang paling diandalkan publik justru jatuh pada ketidakberdayaan dalam menangani kasus-kasus korupsi besar. Yang terjadi mungkin hanya riuh-rendah pemberitaan kasus korupsi yang ditangani KPK, tapi tetap menempatkan Indonesia sebagai negara paling korup.

Adnan Topan Husodo, Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch

Sumber: Koran Tempo, Selasa, 03 Maret 2009

Pengadilan Tipikor Terancam Bubar

Oleh Emerson Yuntho

Dua tahun lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan No 012-016-019/ PUU-IV/- 2006 memutuskan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) sebagaimana dibentuk melalui Pasal 53 Undang- Undang No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak sah atau inkonstitusional.

Mahkamah Konstitusi (MK) selanjutnya meminta kepada pembuat Undang-Undang (UU) untuk membentuk UU tentang Pengadilan Tipikor dalam jangka 3 (tiga) tahun setelah putusan. Sesuai deadline yang diberikan MK, UU Pengadilan Tipikor ini harus selesai paling lambat 19 Desember 2009. Artinya umur Pengadilan Tipikor hanya tinggal 10 bulan saja. Sayangnya, apalagi menjelang Pemilihan Umum 2009, proses pembahasan Rancangan Undang-Undang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (RUU Pengadilan Tipikor) di parlemen menjadi tidak menentu.

Meski Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sering menyatakan bahwa RUU Pengadilan Tipikormenjadiprioritas, bahkan ditargetkan akan selesai sebelum Pemilu 2009, faktanya proses pembahasan masih jauh dari yang diharapkan dan belum mulai dibahas secara serius. Ironisnya, alih-alih serius membahas RUU, DPR justru menyalahkan pemerintah sebagai penyebab tidak selesainya RUU Pengadilan Tipikor tersebut. Keterlambatan penyerahan RUU oleh pemerintah memang satu persoalan, tetapi berlarut-larutnya proses pembentukan RUU di DPR merupakan faktor paling mendasar yang berpotensi menghilangkan eksistensi Pengadilan Tipikor.

Belum tuntasnya pembahasan RUU Pengadilan Tipikor saat ini tidak semata karena persoalan tidak adanya komitmen DPR secara institusi, tapi secara lebih luas kondisi ini harus dimaknai bahwa seluruh partai politik (parpol) yang ada di DPR tidak punya komitmen dalam pemberantasan korupsi, termasuk menyelesaikan RUU Pengadilan Tipikor.

Sejauh ini belum ada pernyataan resmi dari tiap pimpinan parpol bahwa mereka mendukung keberadaan Pengadilan Tipikor dan tidak ada instruksi dari parpol untuk percepatan kadernya yang menajdi anggota pansus DPR. Pimpinan parpol terkesan membiarkan proses pembahasan ini dibiarkan tanpa ada kepastian. Bahkan lebih jauh, bukan tidak mungkin Pimpinan parpol membiarkan Pengadilan Tipikor dibubarkan dan kembali ke Pengadilan Tipikor.

Sejumlah fungsionaris partai politik di DPR sebenarnya telah menyatakan akan berkomitmen menyelesaikan UU Pengadilan Tipikor sebelum pemilu legislatif. Ketua DPR sendiri yang menyampaikan janji tersebut secara terbuka. Tapi, buktinya, status RUU Pengadilan Tipikor belum jelas. Berbeda dengan pembahasan RUU Mahkamah Agung yang selesai dibahas dan disahkan dalam waktu singkat.

”Memasrahkan” pembahasan RUU Pengadilan Tipikor kepada DPR jelas bukanlah posisi yang menguntungkan. Tidak dapat dimungkiri mayoritas anggota DPR tidak menyukai keberadaan KPK dan Pengadilan Tipikor. Hal ini mengingat sudah ada delapan anggota DPR yang dijerat KPK, enam di antaranya seperti Hamka Yandhu dan Al Amin Nasution bahkan telah divonis dari hakim Pengadilan Tipikor.

Muncul kekhawatiran ada upaya “pembusukan” KPK dan Pengadilan Tipikor melalui proses penyusunan RUU Pengadilan Tipikor ini,yaitu dengan melemahkan substansi penting dalam RUU tersebut atau membiarkan RUU tidak dibahas hingga jangka waktu berakhir, yaitu 19 Desember 2009. Sejauh ini ada tiga isu krusial dalam RUU yang menentukan hidup matinya Pengadilan Tipikor, yaitu tempat kedudukan, komposisi hakim ad hoc dan karier, kewenangan pimpinan pengadilan dan MA dalam penentuan jumlah serta komposisi hakim.

Apabila ketiga ketentuan itu tidak dibahas secara hati-hati oleh DPR, hal tersebut dapat mendorong upaya pembusukan terhadap Pengadilan Tipikor (baik dari sisi integritas, kinerja maupun kepercayaan publik kepada Pengadilan Tipikor). Jika RUU Pengadilan Tipikor dibiarkan DPR tidak diselesaikan hingga batas waktu yang ditentukan, konsekuensinya tidak saja membubarkan Pengadilan Tipikor, tapi juga berakibat semua kasus korupsi yang ditangani KPK akan diadili di pengadilan umum.

Padahal kenyataannya,gerbong pengadilan umum dinilai tidak mendukung semangat pemberantasan korupsi. Fakta yang terjadi, tren vonis bebas justru meningkat dari tahun ke tahun. Berdasarkan pemantauan Indonesia Corruption Watch (ICW) antara tahun 2005–Juni 2008, dari 1.184 terdakwa kasus korupsi yang diadili di pengadilan umum hampir separuhnya atau 482 terdakwa divonis bebas. Bandingkan dengan Pengadilan Tipikor, sejak 2005 lalu dari 52 terdakwa yang diadili, tiada satu pun yang divonis bebas.

Masa sidang DPR dalam periode pertama 2009 akan berakhir pada 6 Maret nanti. Artinya waktu yang tersisa sekitar 4 hari lagi. Padahal, saat ini seperti yang disampaikan Ketua Panitia Khusus (Pansus) RUU Pengadilan Tipikor, baru empat fraksi di DPR yang memberikan masukan secara tertulis.

Bahkan proses rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan sejumlah kalangan pun belum selesai dilakukan sehingga secara logis RUU tidak mungkin selesai sebelum pemilu legislatif. Pada sisi lain muncul kekhawatiran bahwa proses yang dilakukan pansus saat ini lebih pada upaya mengulur- ulur waktu sehingga anggota pansus dapat memprioritaskan kepentingannya untuk persiapan dan kampanye pada Pemilu legislatif 2009 mendatang.

Kondisi ini relevan karena dalam catatan Indonesia Corruption Watch, dari 50 anggota Pansus RUU Pengadilan Tipikor,sebanyak 36 orang (72 %) kembali mencalonkan diri sebagai anggota legislatif dalam Pemilu 2009 dan hanya 14 orang (28 %) yang tercatat tidak mencalonkan. Dengan kondisi Pengadilan Tipikor yang terancam bubar, tidak berlebihan jika dikatakan pemberantasan korupsi di Indonesia masuk pada tahap kegentingan yang memaksa.

Jalan keluar untuk menyelamatkan agenda pemberantasan korupsi, khususnya Pengadilan Tipikor,adalah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono harus segera mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) yang memberikan dasar hukum bagi keberadaan Pengadilan Tipikor.

Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 memberikan kewenangan tersebut.Tindakan konkret Presiden dalam bentuk perppu ini sekaligus membuktikan bahwa pemberantasan korupsi bukan sekadar pernyataan (statemen) atau bahan kampanye untuk pemilihan umum.

Emerson Yuntho, Wakil Koordinator Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch (ICW)

Sumber: Seputar Indonesia, Senin, 2 Maret 2009

Korupsi Ooohh di Pekanbaru

Oleh Tabrani Rab

Mengejutkan, ”Survei Transparancy International Indonesia (TII) Pekanbaru terkorup ke-6”. Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia 2008 (10 kota dengan skor terendah); Cirebon 3,82; Pontianak 3,81; Bandung 3,67; Padang Sidempuan 3,66; Pekanbaru 3,55; Purwokerto 3,54; Kendari 3,43; Monokwari 3,39; Tegal 3,32 dan Kupang 2,97.

Variabel penyusunan IPK Pekanbaru; Variabel persepsi suap (izin usaha 3,10, utilitas publik 3,83, pembayaran pajak 5,48, kontrak proyek publik 3,77, keputusan hukum 3,60, mempengaruhi kebijakan 3,69, mempercepat birokrasi 2,33; Persepsi penyimpangan aparat (kecurangan di Pemda 2,37 dan konflik kepentingan 2,87); Persepsi memberantas korupsi (usaha Pemda 4,10 dan usaha penegak hukum 3,92).

Survei TII terbaru (2008) yang dirilis, Senin (23/2) cukup mengejutkan. Pekanbaru dipersepsikan sebagai daerah terkorup ke-6 atau peringkat ke-45 dari 50 kota yang disurvei. Pekanbaru hanya ‘’menang” dari Kupang yang dipersepsikan terkorup, lalu Tegal, Manokwari, Kendari, dan Purwokerto.

Sepuluh besar terkorup lainnya adalah Padang Sidempuan, Bandung, Pontianak dan Cirebon. Sedang kota yang dipersepsikan dengan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) skor tertinggi atau dengan kata lain tak terkorup adalah Jogjakarta dengan IPK 6,43. IPK Pekanbaru sendiri turun drastis jadi 3,55 pada tahun 2008 dari survei tahun 2006 sebesar 4,43. ”Ini bukan vonis bagi kota ini sebagai terkorupsi. Memang ini tak bisa dibuktikan, karena korupsi memang dilakukan diam-diam. Masyarakat dan pengusahalah yang merasakannya dan itu disampaikan dalam survei yang kami lakukan,” ujar Ketua Dewan Pengurus TII, Todung Mulya Lubis dalam Seminar Sosialisasi Indeks Persepsi Korupsi 2008 dan Indeks Suap 15 Institusi Publik di Indonesia yang diadakan di Hotel Aryaduta, Pekanbaru.

Terkait rendahnya IPK Pekanbaru, Deputi Bidang Pengawasan Kementrian Negara PAN, Ir Gunawan Hadisusilo MM mengungkapkan Pejabat Pemko Pekanbaru tak perlu marah. Sebab hasil survai TII adalah potret dan diharapkan jadi motivasi untuk dilakukan berbagai perbaikan. ”Jika Pekanbaru ingin IPK-nya baik, perbaiki pelayanan publiknya. Prioritas pelayanan administrasi kependudukan, seperti membuat KTP, akte kelahiran, catatan sipil,” saran Gunawan. Di mata internasional, IPK Indonesia tahun 2008 tentang kemudahan berbisnis berada di urutan 127, atau di bawah Singapura, Thailand, Malaysia, Cina, Vietnam dan India. “Kita hanya lebih baik sedikit dari Kamboja. Oleh sebab itu masih perlu berbagai pembenahan dan tak cukup menangkap koruptor”, katanya.

Menanggapi rendahnya IPK Pekanbaru, pengamat Ekonomi Riau, Edyanus Herman Halim mengungkapkan akibat masih rancunya proses otonomi dan desentralisasi fiskal di Indoneisa. Hal lain adalah ada kekurang-ikhlasan memberi kewenangan pada daerah secara bertanggung jawab. Akibatnya terjadi negosiasi pusat-daerah yang memicu tumbuh suburnya wilayah abu-abu untuk negosiasi serupa di daerah. “Pemerintah pusat juga masih lemah dalam pengontrolan karena berperilaku yang tak dapat diteladani aparat daerah. Kemudian aturan main di daerah tak dibangun berdasarkan kepentingan rakyat. Aparat penegak hukum juga kurang tegas dan masih teratas dalam hal korupsi,’’ kritik Edyanus.

Kepala Inspektorat Pengawas Pekanbaru, Kastalani Rachman, yang kebetulan hadir sebagai peserta mengaku heran dengan hasil survei yang dilakukan TII, yang meletakkan Pekanbaru dengan IPK sepuluh besar terendah. Padahal Pekanbaru termasuk kota pilot proyek pemberantasan korupsi di Indonesia, sehingga berbagai pembenahan terus dilakukan. Di antaranya dari Kantor Pelayanan Terpadu (KPT) jadi Dinas Pelayanan Terpadu (DPT). Wali Kota Pekanbaru, Herman Abdullah sudah mengeluarkan surat keputusan yang menegaskan dinas tak boleh memungut insentif dari masyarakat yang dilayani. Ini sesuai semboyan Pemko, murah, berkualitas dan gratis.

Pekanbaru yang selama ini termasuk Kota Bertuah telah pula didengar menjadi Kota Berkuah. Memang selama ini kita merasakan Pekanbaru tercantiklah sebagai Kotamu, Kotaku, Kotakita walau selama Wali Kota yang sekarang kecuali gambar yang besar-besar saja dan gambar berpeluk tak lagi banyak cerita. Kecuali jadwal sembahyang Subuh, Zuhur, Asar, Magrib, Isa tergambar tulisan berjalan pada jembatan entah di muka taman kita, entah di muka Wali Kota, pokoknya banyaklah. Todung Mulya Lubis inipun tak tahu adat Melayu walau sekolahnya di SMA 1 Pekanbaru dan sekarang tersingkir dari advokat.

Apalagi kata Todung? ”Memang mungkin pejabat Pekanbaru tidak happy atau marah karena IPK ini. Namun itu biasa dan kami hadapi di tiap daerah yang IPK-nya kurang. Dibanding negara lain Indonesia termasuk memiliki IPK yang masih sangat rendah. Terdapat kenaikan IPK dari 2,3 tahun 2007, menjadi 2,6 tahun 2008. Padahal range IPK ini adalah antara 0 hingga 10. IPK tertinggi ada pada Finlandia yakni 9,7. Kita harap dari tahun ketahun IPK Indonesia terus naik. Untuk 2009 kita berharap bisa di atas tiga”.

Mestinya kan Todung bilang begini ”Pak Wali, bukannya kami tak merasa hormat dengan Pak Wali walau sekarang terasa bersih dan berisik dan penuh dengan gambar-gambar segala artis mulai dari mata coleng sampai hidung pesong. Walau Pak Wali entah dapat apa dari Presiden dan ditantangkan pula pada khalayak ramai diapangan jaga Kantor Wali Kota, kan boleh juga kami membuka sesuatu yang tak enak”..... He..he... Kebetulan kali ini kena Pak Wali, nomor 6. Kalau jenderal nomor 5. Pokoknya anjuran saya sebagai orang yang sudah dituakan di Pekanbaru ini pandai-pandailah Pak Wali, jangan sampai diikut segala lonjakan hati akibatnya terduduk dan terkelepoi. Selamatlah Pak Wali kami di sini mendoakan supaya aliran Sungai Sail itu diteruskan, jembatan dibuat, sikit lagi putus hubungan Pekanbaru dengan sungai Siak. Alamat kita bersampan bersama...

Sumber: Riau Pos, Minggu, 01 Maret 2009

Melemahnya Efek Jera Pemberantasan Korupsi

Oleh Emerson Yuntho

Kejaksaan Agung beberapa hari lalu mengeluarkan kebijakan terkait penanganan perkara korupsi. Yaitu, tidak ditahannya tersangka kasus dugaan korupsi yang mengembalikan uang kerugian negara saat penyidikan. Kebijakan tersebut dibuat dengan alasan untuk memaksimalkan pengembalian uang negara. (Jawa Pos, 18 Februari 2009).

Berdasarkan catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), sedikitnya terdapat 10 tersangka yang mengembalikan keuangan negara saat prosesnya disidik Kejaksaan Agung. Beberapa di antaranya pengusaha properti Tan Kian dalam perkara korupsi dana Asabri. Ada juga Abdul Latief, Hasyim Sumiana, dan Usman Dja`far dalam perkara korupsi pengucuran kredit Bank Mandiri kepada PT Lativi Media Karya. Para tersangka itu tidak pernah ditahan.

Kebijakan kontroversial itu jelas merupakan langkah kompromi terhadap tersangka kasus korupsi dan justru kontraproduktif dengan semangat pemberantasan korupsi sehingga sudah selayaknya harus ditolak. Penolakan ini didasarkan sejumlah alasan.

Pertama, tidak memberikan efek jera bagi pelaku korupsi. Seharusnya kebijakan pengusutan dan penindakan dalam kasus korupsi, selain berorientasi mengembalikan uang negara, juga bertujuan menimbulkan efek jera. Salah satunya menahan seseorang sejak ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi. Tidak ditahannya tersangka korupsi (meskipun telah membayar kerugian negara) justru berdampak pada pengurangan efek jera atau bahkan tidak memberikan efek jera sama sekali.

Munculkan Deal
Kebijakan baru kejaksaan itu juga berpotensi memunculkan kesepakatan antara tersangka dan jaksa karena tersangka mengembalikan uang negara saat proses hukum sudah berlangsung. Dengan demikian, pengembalian uang negara yang dikorupsi itu memiliki motif tertentu.

Akibat lain, penanganan perkara korupsi jadi kehilangan efek menjerakan. Koruptor kaya akan dengan mudah mengembalikan uang hasil korupsi dan melanjutkan aktivitas bisnis seolah tidak memiliki persoalan hukum. Bagaimana dengan seorang koruptor miskin, yang melakukan korupsi hanya sebatas untuk memenuhi kebutuhan hidup?

Kedua, penghitungan kerugian negara rawan masih menimbulkan perbedaan. Dalam setiap penanganan perkara korupsi proses penghitungan jumlah kerugian negara saat ini masih menimbulkan perbedaan penafsiran baik oleh kKejaksaan, badan pemeriksa keuangan (BPK), badan pengawasan keuangan dan pembangunan (BPKP), maupun pengadilan. Bukan tidak mungkin nilai yang dihitung kejaksaan jauh lebih kecil daripada penghitungan lembaga lain sehingga negara dirugikan jika putusan pengadilan memutus lebih besar. Menghitung kerugian negara lebih baik dilakukan di pengadilan.

Ketiga, penyerahan aset milik koruptor rawan dimanipulasi. Sejauh ini kebijakan pembayaran kerugian negara masih belum jelas apakah harus tunai atau aset atau dapat keduanya. Persoalan akan muncul apabila pengembalian kerugian negara ini dilakukan dalam bentuk aset. Bukan tidak mungkin aset yang diberikan oleh tersangka adalah aset bodong atau aset yang nilainya telah dinaikkan (markup).

Praktik ini sering terjadi dalam beberapa penanganan kasus korupsi dana bantuan likuidasi Bank Indonesia (BLBI). Mayoritas aset yang dijaminkan debitur BLBI pada saat dijual, nilainya dapat merosot hingga 70 persen. Proses penegakan hukum menjadi sulit dilakukan karena pelaku telanjur mendapatkan pengampunan dan dihentikan kasusnya.

Keempat, kebijakan tidak menahan tersangka yang mengembalikan uang hasil korupsi dikhawatirkan berlanjut pada kebijakan penghentian atau memetieskan suatu perkara korupsi atau mengalihkan pada kasus perdata. Kondisi ini bukan mustahil terjadi, meskipun UU Antikorupsi menyatakan bahwa pengembalian kerugian negara tidak menghapuskan pidana atau kesalahan seseorang.

Dalam catatan ICW, terdapat beberapa kasus korupsi yang tersangkanya mengembalikan uang negara, namun kasusnya belum berujung ke pengadilan. Sebut saja kasus korupsi kredit macet Bank Mandiri dengan tersangka mantan menteri Abdul Latief. Sejak tersangka mengembalikan kerugian negara Rp 368 miliar pada Kejaksaan Agung pada 2007, namun hingga kini kasusnya belum juga dilimpahkan ke pengadilan.

Kelima, seharusnya Kejaksaan Agung dapat mencontoh langkah yang ditempuh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pada saat seseorang ditetapkan sebagai tersangka perkara korupsi, KPK langsung menahan tersangka, melakukan penelusuran aset (asset tracing), melakukan tindakan penyitaan aset milik tersagka, dan pencekalan pergi keluar negeri.

Keempat langkah yang diambil KPK tersebut justru efektif mengoptimalkan pengembaliaan uang negara yang dikorupsi. Penahanan yang dilakukan KPK juga tidak menyurutkan langkah tersangka untuk mengembalikan uang negara dengan harapan dapat pengurangan tuntutan hukuman di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Sedikitnya sudah ada 19 kasus di KPK, dan sejumlah tersangka korupsi meskipun ditahan tetap mau mengembalikan uang hasil korupsi yang diterimanya.

Kebijakan ditahan atau tidak ditahan seorang tersangka seharusnya bukan didasarkan tindakan tersangka mengembalikan atau tidak mengembalikan uang negara yang dikorupsi. Namun, kebijakan menahan atau tidak tersangka harus tetap berpedoman pada ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) khususnya pasal 21 ayat 1 tentang kebijakan menahan tersangka yaitu bila tersangka diyakini tidak akan mengulangi perbuatannya, tidak akan menghilangkan barang bukti, atau tidak akan melarikan diri.

Justru muncul kekhawatiran bila kebijakan tidak menahan bagi pelaku korupsi diterapkan. Hal ini akan membuka peluang bagi tersangka untuk mengulangi perbuatannya, menghilangkan barang bukti, atau bahkan melarikan diri ke luar negeri.

Jika pun dianggap sebagai penghargaan (reward) terhadap tersangka korupsi yang kooperatif dengan mengembalikan kerugian negara, langkah yang diambil kejaksaan bukan dengan cara tidak menahan pelaku korupsi. Namun, pengembalian uang hasil korupsi tersebut harus menjadi dasar bagi jaksa untuk meringankan tuntutan hukuman bagi pelaku. Sekali lagi, beri efek jera bagi koruptor dan jangan beri keistimewaan.

Emerson Yuntho, anggota Badan Pekerja ICW di Jakarta

Sumber: Jawa Pos, Jumat, 27 Februari 2009

Indikasi KPK Mulai Goyah

Oleh Adnan Topan Husodo

Jika boleh disebut, prestasi KPK pada awal 2008 memang mengagumkan. Beberapa anggota DPR diseret karena berbagai praktik suap dan indikasi pemerasan. Demikian halnya sebagian pejabat BI telah menjadi pesakitan karena kasus korupsi dana YPPI.

Tetapi, memasuki awal 2009, derap KPK dalam menangani kasus korupsi kakap justru perlahan-lahan menurun. Bisa dikatakan KPK mengalami masa paceklik. Meskipun selalu ada kasus korupsi yang ditangani KPK, bobot kasusnya menjadi pertanyaan besar.

Terbaru, KPK berhasil mengungkap kasus dugaan penggelembungan harga (markup) dalam pembelian alat kesehatan (rontgen) di Departemen Kesehatan (Depkes) untuk proyek 2007 dengan nilai kerugian negara ditaksi Rp 4,8 miliar. Dalam kasus itu, KPK juga telah menetapkan seorang tersangka berinisial M yang disebut-sebut merupakan kepala Biro Perencanaan Depkes sekaligus pejabat pembuat komitmen dalam proyek tersebut.

Bukan Prioritas
Dilihat dari berbagai aspek, kasus tersebut sebenarnya bukan prioritas KPK. Nilai kerugian negara yang “hanya” Rp 4,8 miliar sama sekali bukan dalam kategori yang layak untuk ditangani KPK. Meskipun KPK bisa saja menangani kasus tersebut, menjadi kian jelas kesimpulannya bahwa kita memasukkan parameter lain dalam penentuan kasus korupsi yang seharusnya diproses KPK, yakni ukuran aktor dan modus korupsi.

Dalam kasus tersebut, aktor yang baru bisa diungkap KPK adalah pimpinan proyek (pimpro). Memang, dalam UU KPK, posisi pimpro dikategorikan sebagai penyelenggara negara yang menjadi bagian dari mandat KPK untuk menanganinya.

Tetapi, pimpro bukanlah aktor yang signifikan jika kita melihat masalah utama korupsi di Indonesia yang bercorak state capture bahwa pelaku korupsinya adalah politisi dan kelompok bisnis. Demikian halnya dengan modus markup yang merupakan modus tradisional (kuno) dalam kasus korupsi. Pendek kata, KPK masih berkutat pada isu korupsi birokrasi, bukan korupsi politik.

Kasus Korupsi Penting
Pertanyaannya kemudian, apakah memang ada agenda tertentu sehingga KPK terus “memproduksi” kasus-kasus kelas teri? Kekhawatiran yang muncul adalah jika KPK kemudian lalai untuk mendalami, menangani, dan meneruskan proses hukum kasus korupsi kelas kakap (korupsi politik). Perlu dicatat bahwa hingga hari ini KPK masih memiliki pekerjaan rumah yang belum selesai.

Pertama, kasus Agus Condro. Kasus itu sampai sekarang tidak jelas juntrungannya. Alasan yang dibangun KPK bahwa kasus tersebut masih dalam tahap penyelidikan. Penyelidikan dan penyidikan memang kerap menjadi senjata pemungkas untuk menjawab pertanyaan publik atas akuntabilitas penegakan hukum.

Karena proses itu merupakan wilayah monopoli KPK, sulit bagi masyarakat untuk mengetahui secara lebih jauh apakah KPK sebenarnya tengah memproses atau diam-diam memetieskan. Sulit juga untuk menilai apakah kasus tersebut layak ditindaklanjuti atau tidak. Sebab, semua data pendukung dan bukti-bukti yang ada dipegang sepenuhnya oleh KPK. Pada akhirnya, meneruskan atau tidak kasus yang ditangani KPK menjadi sangat politis nilainya.

Jika melihat kasus di atas, KPK seharusnya menempatkan perkara Agus Condro sebagai prioritas untuk ditangani. Argumentasinya jelas, kasus itu adalah kasus yang besar kemungkinan melibatkan aktor besar. Tidak hanya pejabat BI, tetapi juga politisi senayan sebagai penentu kebijakan politik dan cukong yang menjadi donatur. Sebagaimana kita ketahui, praktik politik uang dalam pemilihan pejabat publik oleh DPR adalah masalah krusial yang menjadikan DPR sebagai lembaga korup.

Data-data dari PPATK yang telah diserahkan ke KPK, berikut pengakuan Agus Condro yang menerima cek perjalanan, kian menunjukan bahwa dalam pemilihan Deputi Senior Gubernur BI Miranda Gultom ada kekuatan uang yang memeranguhi keputusan DPR untuk memenangkan Miranda. Sebenarnya, pengakuan tersebut bukan hanya muncul dari Agus Condro. Beberapa mantan anggota DPR yang KPK sendiri juga memanggil beberapa saksi kunci yang besar kemungkinan bisa menjadi tersangka. Misalnya, Nunung, istri mantan calon gubernur DKI Jakarta Adang Daradjatun. Siapa Nunung sebenarnya, apa peran yang dimainkan dalam kasus tersebut, masih menjadi misteri hingga hari ini karena lambannya proses hukum yang diambil KPK.

Kedua, kasus korupsi dana YPPI pada BI. Meskipun KPK sudah menyeret para petinggi BI ke Pengadilan Tipikor, termasuk Aulia Pohan yang merupakan besan Presiden SBY dan dua anggota DPR yang terlibat. Tetapi, bau diskriminasi masih sangat terasa. Terutama terhadap para pihak yang disebut-sebut para terdakwa sebagai pihak yang mengetahui terjadinya kasus tersebut. Salah seorang di antara mereka adalah Paskah Suzetta yang kini sebagai kepala Bappenas.

Jika aktor yang terlibat dalam kasus korupsi dana YPPI tidak dituntaskan KPK, akan ada sebuah persepsi negatif yang timbul bahwa KPK menerapkan kebijakan tebang pilih karena lebih condong hanya menindak pihak BI, bukan DPR. Padahal, kalau kita melihat secara lebih jauh, pihak yang memiliki wewenang kuat untuk menentukan terjadi atau tidaknya kasus YPPI adalah DPR. Mereka memiliki kekuasaan untuk mengegolkan permintaan BI, baik dalam kaitannya dengan penyusunan UU BI dan penyelesaian politik perkara BLBI.

Ketiga, kasus BLBI, baik yang melibatkan banker swasta maupun perbankan BUMN. Sebagaimana kita ketahui, Kejaksaan Agung telah kehilangan legitimasi untuk memproses kasus dugaan korupsi dana BLBI dengan tertangkapnya Jaksa Urip Tri Gunawan oleh KPK karena suap. Suap itu ditengarai memiliki kaitan langsung dengan penyelesaian perkara BLBI yang tengah ditangani Kejagung.

Karena itulah, seharusnya KPK menempatkan diri sebagai lembaga yang bisa menyelesaikan secara hukum pelanggaran korupsi dana BLBI senilai triliunan rupiah yang sudah bertahun-tahun tidak jelas rimbanya.

Degradasi
Keasyikan KPK dalam menangani perkara-perkara kelas kejaksaan dan kepolisian telah menyeret opini publik yang luas bahwa KPK memiliki kepentingan politik untuk tidak melanjutkan kasus-kasus besar yang menjadi PR utamanya. Apa kepentingan politik itu, semua dapat dilihat dari seluruh proses awal pemilihan pimpinan KPK sebelumnya. Karena yang paling mungkin, posisi tawar kelompok kepentingan dapat dibangun pada tahap ini.

Degradasi peran KPK dari lembaga superbodi menjadi lembaga penegak hukum konvensional merupakan sinyal awal gagalnya penegakan hukum yang independen. Sebagaimana kita ketahui, kelahiran KPK dimaksudkan untuk menangani perkara korupsi besar yang memiliki hambatan politik dan hukum, bukan kasus korupsi kecil dan sederhana, baik dari sisi aktor, nilai kerugian, maupun modus korupsi yang terjadi.

Adnan Topan Husodo, wakil koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW)

Sumber: Jawa Pos, Kamis, 26 Februari 2009

Obral SP3 untuk Koruptor

Oleh Oce Madril

Setelah penyidikan sejumlah kasus megakorupsi dihentikan, kali ini Kejaksaan Agung (Kejagung) kembali menghentikan pengusutan dugaan korupsi penjualan kapal very large crude carrier (VLCC) milik PT Pertamina yang diduga merugikan keuangan negara hingga USD 56 juta.

Akhir-akhir ini, Kejagung memang terkesan mengobral surat perintah penghentian penyidikan (SP3). Setidaknya, ada tiga SP3 yang telah dikeluarkan pada masa Hendarman Supandji. Yakni, SP3 terhadap Sjamsul Nursalim (BLBI), Tommy Soeharto (BPPC), dan Laksamana Sukardi (VLCC).

Tradisi SP3 itu dipopulerkan jaksa agung pada era pemerintahan Megawati, M.A. Rachman. Pada masa kepemimpinannya, hampir semua penyidikan kasus korupsi besar (17 kasus korupsi) yang melibatkan pejabat tinggi negara dihentikan.

Harus diakui, SP3 selalu didominasi kasus korupsi dengan nilai kerugian besar dan melibatkan pejabat tinggi negara atau elite politik serta bisnis. Walaupun SP3 bukanlah harga mati, pengalaman membuktikan bahwa Kejagung tidak pernah membuka kembali perkara-perkara yang sudah di-SP3.

Dasar Yuridis
Mencermati semakin maraknya penerbitan SP3, perlu kiranya melihat dasar yuridis yang digunakan. Menurut KUHAP, SP3 dapat dikeluarkan berdasar beberapa alasan. Pertama, tidak diperoleh alat bukti yang cukup untuk meneruskan perkara. Kedua, perbuatan yang disangkakan bukan merupakan tindak pidana. Ketiga, penghentian penyidikan dilakukan demi hukum. Misalnya, alasan seseorang tidak dapat dituntut dua kali atas dasar perbuatan yang sama (nebis in idem), tersangka meninggal dunia, dan kedaluwarsa.

Selama ini, ada dua pertimbangan hukum yang selalu digunakan Kejagung. Yakni, tidak adanya alat bukti yang cukup dan tidak ditemukan kerugian negara. Alat bukti merupakan alasan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Sebab, SP3 dikeluarkan setelah adanya status “tersangka” yang telah melalui proses penyelidikan dan penyidikan. Artinya, menurut pasal 1 ayat (2) dan (5) KUHAP, telah ditemukan alat bukti yang cukup untuk menyatakan suatu peristiwa sebagai tindakan pidana.

Sementara, perihal kerugian negara, pasal 2 ayat (1) UU Pemberantasan Korupsi menentukan bahwa ada tiga unsur penting dalam pidana korupsi. Yakni, unsur melawan hukum, memperkaya diri sendiri atau orang lain, dan dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Kata “dapat” sebelum frasa “merugikan keuangan atau perekonomian Negara” menunjukkan bahwa pidana korupsi merupakan delik formal. Yaitu, adanya pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan, bukan dengan timbulnya akibat.

Dengan demikian, kata “dapat merugikan keuangan Negara” diartikan bahwa tindak pidana yang terjadi berpotensi merugikan keuangan atau perekonomian negara walaupun belum tentu ada kerugian negara secara nyata.

Bahkan, dalam standar internasional, kerugian negara secara nyata tidak lagi dijadikan pertimbangan utama. Sebagaimana aturan dalam United Nation Convention Against Corruption (UNCAC) yang tidak lagi menggunakan unsur kerugian negara sebagai ukuran mutlak. Sebab, banyak tindak pidana korupsi yang tidak merugikan keuangan negara secara langsung, tapi berakibat secara tidak langsung. Dengan demikian, alasan kejagung tidak dapat diterima dan dipertanggungjawabkan secara yuridis.

KPK Lalai
Produktivitas Kejagung dalam menerbitkan SP3 menyisakan satu pertanyaan untuk KPK. Apakah KPK tidak menjalankan fungsi koordinasi dan supervisi terhadap kasus-kasus korupsi yang menyita perhatian publik? Bukankah kedua fungsi tersebut sudah diperintahkan UU KPK?

Pasal 7 UU No 30/2002 tentang KPK mengatur bahwa dalam rangka pelaksanaan fungsi koordinasi, KPK berwenang melakukan koordinasi dan menerapkan sistem pelaporan terhadap kasus-kasus korupsi yang sedang ditangani kepolisian dan kejaksaan. Bahkan, dalam pasal 8 menegaskan bahwa dalam rangka supervisi, KPK berwenang mengawasi, menelaah, dan mengambil alih sebuah perkara korupsi.

Sebenarnya, kedua fungsi tersebut sudah dijalankan KPK melalui mekanisme surat pemberitahuan dimulainya penyelidikan (SPDP). Mekanisme itu mewajibkan kepolisian dan kejaksaan untuk mengirimkan surat pemberitahuan jika memulai penyelidikan perkara korupsi, sehingga memudahkan KPK dalam mengawasi. Namun, efektivitasnya dipertanyakan manakala keluarnya SP3 tanpa diketahui KPK.

Upaya hukum yang dapat dilakukan KPK adalah menelaah ulang perkara yang sudah di-SP3. Pintu masuknya adalah kewenangan supervisi dan mengambil alih sebuah perkara korupsi. Pasal 9 dan 68 UU KPK membuka pintu intervensi tersebut.

Hal itu dilakukan bukan untuk mengintervensi kejaksaan, tapi mengintervensi penegakan hukum antikorupsi. Sebab, bagaimanapun, selain memiliki tanggung jawab hukum, KPK memiliki tangung jawab moral untuk memberantas korupsi.

Karena itu, jika ada kasus korupsi besar yang menjadi perhatian masyarakat secara tiba-tiba dihentikan, tentunya KPK berhak menyelidiki. KPK patut mempertimbangkan untuk menelaah kembali perkara korupsi yang telah di-SP3 oleh Kejagung dan mengambil alih kasus tersebut.

Oce Madril, sedang menempuh Master Program, Law and Governance Studies di Nagoya University, Jepang (2008-sekarang). Juga peneliti di Pusat Kajian AntiKorupsi, Fakultas Hukum UGM (2007-sekarang).

Sumber: Jawa Pos, Selasa, 24 Februari 2009

Merevitalisasi Badan Kehormatan DPR

Oleh Adnan Topan Husodo

Kinerja Badan Kehormatan (BK) DPR RI pada 2008 kemarin dapat dikatakan buruk. Hasil tidak memuaskan ini disebabkan gagalnya BK dalam mencegah dan memperbaiki citra anggota DPR yang terpuruk karena berbagai skandal yang mereka lakukan,baik dalam kaitannya dengan indikasi perbuatan pidana (korupsi) maupun pelanggaran nilai-nilai moral publik lainnya.

Terungkapnya beberapa kasus korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang melibatkan anggota Dewan, baik periode 1999–2004 maupun periode setelahnya, menunjukkan bahwa kontrol internal di lembaga DPR tidak dapat berfungsi efektif.

Belum lagi kasus-kasus pelanggaran kode etik lain yang nyata-nyata terjadi,semisal pelesir ke luar negeri, adanya anggota DPR yang mendapatkan dana operasional dari pihak ketiga dalam menjalankan fungsinya maupun dugaan gratifikasi yang dilaporkan oleh masyarakat yang hampir tidak ada yang diproses ke tingkat pemeriksaan. Respons yang lamban dari BK secara kelembagaan terhadap berbagai bentuk penyimpangan anggota Dewan, baik yang mengarah ke pelanggaran kode etik maupun perbuatan pidana, mengesankan ada persoalan serius di tubuh BK.

Padahal BK merupakan ujung tombak yang vital untuk menghindari kekuasaan DPR dari berbagai bentuk penyimpangan. Hal ini mengingat partai politik tidak terlalu banyak bisa diharapkan untuk menjadi pengawas yang cakap terhadap para anggotanya yang menjadi anggota legislatif sepanjang partai politik justru menjadi tempat berkembangbiaknya korupsi.

Permasalahan BK
Jika kita coba cermati lebih jauh, persoalan BK yang berujung pada tumpulnya pengawas internal anggota DPR dalam menjalankan fungsinya disebabkan beberapa faktor yang fundamental.Masalah tersebut dapat kita petakan menjadi tiga hal, yakni lemahnya kerangka yuridis BK, posisi BK yang tidak independen, serta kaburnya pengertian kode etik di lingkungan DPR.

Untuk masalah yang pertama, BK selama ini dikerangkakan oleh tata tertib DPR yang mengekang. Posisi BK diset sebagai pengawas internal yang mandul dan pasif karena tiadanya wewenang untuk menjalankan kerja-kerja inisiatif.Dalam tata tertib DPR,BK baru dapat bekerja jika dua syarat telah dipenuhi, yaitu adanya laporan pengaduan dari masyarakat atas dugaan pelanggaran kode etik anggota DPR dan jika ada perintah dari pimpinan DPR.

Sepanjang kedua syarat itu tidak dimiliki BK, mereka tidak dapat bertindak apa pun meski pelanggaran kode etik itu sendiri dilihat secara langsung atau diketahui secara langsung oleh anggota BK. Desain BK yang pasif membuat fungsi pencegahan maupun penindakan BK menjadi tidak berjalan sama sekali. Mengenai masalah kedua, BK DPR secara keanggotaan tidaklah independen.

Bisa dikatakan BK dilahirkan dengan membawa cacat bawaan. Pasalnya, keanggotaan BK yang dipilih dari anggota DPR itu sendiri menyulitkan BK untuk menjalankan fungsi pengawasan secara mandiri (minim intervensi). Dalam situasi di mana fraksi yang menjadi kepanjangan tangan partai politik membawa misi yang berbeda dengan misi BK, acap BK menjadi tidak berdaya.

Partai politik beserta elite partai yang masih kental dengan praktik korupsi bukan merupakan lawan sepadan BK. Karena bisa saja anggota BK tiba-tiba dipindahkan oleh fraksi atau dikenai pergantian antarwaktu (PAW) oleh partai politik jika muncul pertentangan yang keras, terutama jika dihubungkan dengan peran BK dalam membangun good governanced DPR.

Pasal 57 tata tertib DPR mengenai pengangkatan anggota BK mengatur soal wewenang besar bagi fraksi untuk mengganti sewaktu-waktu anggotanya yang ditempatkan di BK. Dengan bekal independensi yang sangat minim dan kondisi yang rentan campur tangan fraksi, keputusan BK acap menjadi tebang pilih. Untuk kasus-kasus dugaan pelanggaran kode etik yang melibatkan partai berkuasa atau elite partai berkuasa,BK sulit diharapkan tampil maksimal.

Akan tetapi bagi anggota DPR yang posisinya sebatas anggota saja, BK dapat mengambil putusan yang besar semisal memecatnya dari keanggotaan DPR. Masalah terakhir BK adalah tiadanya definisi yang konkret dan operasional atas apa yang disebut sebagai pelanggaran kode etik. Berkaca pada ketentuan tata tertib DPR, yang dimaksud sebagai pelanggaran kode etik saat ini identik dengan pengertian hukum mengenai pelanggaran pidana.

Hasilnya, BK terkesan harus menunggu proses hukum bagi anggota DPR diputus oleh pengadilan terlebih dahulu sebelum memutuskan sanksi. Hal ini dapat kita lihat dari kasus dugaan suap Bank Indonesia yang melibatkan semua anggota Komisi IX DPR RI periode 1999–2004. Hingga saat ini,BK belum mengambil tindakan apa pun untuk menegakan kode etik.

Rekomendasi untuk BK
Dari penjelasan ketiga masalah di atas, ke depan BK DPR perlu ditata ulang. Hal ini penting untuk menghasilkan pola pengawasan yang efektif. Khusus untuk isu legal framework, BK harus diset sebagai lembaga pengawas anggota DPR yang memiliki wewenang proaktif dalam menjalankan tugasnya.

Dengan demikian, kewajiban atau syarat adanya laporan pengaduan masyarakat dan perintah dari pimpinan DPR sudah semestinya dihapus. BK DPR juga perlu diposisikan independen dengan memasukkan unsur masyarakat dalam komposisi keanggotaan BK. Mengingat tugas dan fungsi DPR bukan seperti profesi lain semisal dokter, insinyur, atau pengacara yang membutuhkan kecakapan spesifik, tidak ada hambatan teoritis maupun praktis untuk menempatkan representasi publik sebagai anggota BK.

Terakhir, anggota DPR terpilih pada Pemilu 2009 perlu mereformulasi definisi pelanggaran kode etik yang lebih spesifik, operasional, dan berorientasi pada pencegahan. Maksudnya,apa yang disebut sebagai kode etik tidaklah sama dengan pelanggaran pidana.

Karena sifatnya mencegah, pengertian pelanggaran kode etik adalah keadaan di mana anggota DPR melakukan sesuatu yang berpotensi melahirkan perbuatan pidana.Pendek kata, pelanggaran kode etik bukanlah pelanggaran pidana itu sendiri. Dengan berbagai perubahan di atas, diharapkan BK DPR ke depan dapat bekerja secara lebih baik untuk menciptakan situasi yang kondusif bagi praktik politik yang etis dan jauh dari penyimpangan kekuasaan.

Adnan Topan Husodo, Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch

Sumber: Seputar Indonesia, Senin, 22 Februari 2009

Peradilan di Masa Datang

Oleh Benjamin Mangkoedilaga

Penampilan Ketua Mahkamah Agung Harifin Tumpa di televisi dan wawancara pada majalah Tempo (8 Februari 2009) membawa harapan dan optimisme.

Dialog empat mata—penulis dan Harifin Tumpa (7/2/2009)— menguatkan optimisme itu. Kami sependapat dengan Ketua MA sebelumnya, Bagir Manan, bahwa Ketua MA sekarang tidak perlu digurui. Jam terbang sebagai hakim sudah cukup lama, 40 tahun. Belum lagi posisi- posisi yang pernah didudukinya sebagai ketua pengadilan negeri, pengadilan tinggi, dan jabatan struktural eselon I di MA.

Bebas intervensi
Namun, di tengah harapan dan optimisme itu, ada catatan-catatan tercecer, misalnya masih banyak putusan ringan lembaga peradilan kita terhadap koruptor, bahkan putusan-putusan semacam ini telah dikeluarkan MA. Disepakati, apa pun putusan dari seorang hakim, tentu diambil dan dikeluarkan berdasarkan pertimbangan dan alasan matang. Kami berpendapat, jika semua yang diajukan ke pengadilan harus dihukum, maka lembaga itu bukan lembaga peradilan, tetapi suatu panitia untuk menghukum siapa pun yang diajukan. Produk seorang hakim pidana tidak lain adalah menghukum atau membebaskan seorang terdakwa yang diajukan meski ada klausul dengan hukum percobaan.

Antara nurani dan kemampuan akademis seorang hakim harus sejalan. Jika tidak, akibatnya adalah kegundahan, sakit, stres, dan lainnya. Sama fatalnya dan sama dosanya menghukum orang tidak bersalah dan membebaskan orang yang sebenarnya bersalah.

Memang ada pendapat, putusan seorang hakim yang baik adalah yang secara akademis dan sosiologis dapat dipertanggungjawabkan dan dapat diterima masyarakat menurut tempat dan waktunya.

Namun, ada kalanya terjadi, seorang hakim harus mengeluarkan putusan yang katanya bertentangan dengan arus, bertentangan dengan orasi demonstran yang dihadapi, bahkan kontroversial, bertentangan dengan kebijakan pemerintah yang dapat menyebabkan hakim itu diusulkan dikenai sanksi, dimutasi, atau dipecat (Otobiografi Poerwoto Gandasoebrata, Ketua Mahkamah Agung yang Ke-8).

Memang putusan prima seorang hakim, kecuali berisi hal-hal yang itu, juga merupakan putusan yang bebas intervensi dari mana pun dan apa pun bentuknya. Bebas dari penguasa, pemerintah, atasan, materi, uang dan sebagainya.

Kini banyak reaksi dari masyarakat terkait dengan aneka putusan yang menangani korupsi. Meski demikian, hakim tidak perlu ragu dalam menangani kasus korupsi apabila harus menentang arus, asal yakin dan sesuai dengan nurani, bersih dari segala intervensi, terutama intervensi uang. Memang dari waktu ke waktu lembaga peradilan dan para hakim akan menghadapi masalah yang sama.

Coba kaji putusan Mahkamah Tentara Agung 21 Mei 1948 (peristiwa 3 Juli 1946) yang penuh nuansa saat kita merebut dan mengisi kemerdekaan. Juga amati aneka putusan saat kita dirongrong Belanda yang tidak bisa menerima kemerdekaan Indonesia. Hakim Maengkom dan Ro`jani Suud dengan cantik menguraikannya dalam perkara dengan sejumlah terdakwa, seperti Jungslager, Smidth, dan Baden. Meski dalam perkara Jungslager belum sempat dikeluarkan putusan karena terdakwa meninggal dunia satu minggu sebelum putusan.

Demikian juga putusan yang mendukung usaha pemerintah melawan pihak yang merongrong eksistensi negara Republik Indonesia (Serikat). Begitu pula saat menghadapi pemberontakan. Simak putusan Hendrotomo dan kawan-kawan dalam perkara- perkara Soumokil, Kartosoewiryo, dan Ibnu Hajar. Apalagi saat menghadapi komunis, tak satu hakim pun berani membebaskan Untung, Nyono, dan Pranoto (mantan Dandim Pandeglang).

Siapkan sapu yang bersih
Sebagai bangsa, kita bertanya. Apa tantangan yang kini kita hadapi? Jawabannya, kebodohan, kemiskinan, terutama korupsi! Maka, usaha pemerintah yang ingin memberantas korupsi harus didukung, termasuk mendukung lembaga peradilan dengan MA sebagai puncaknya.

Dalam rangka pemberantasan korupsi yang katanya dipimpin presiden sebagai panglima, maka tugas kita, segenap aparatur negara, termasuk lembaga peradilan, adalah seperti pelaksanaan “the duty of soldier is to make the mission of his officers success”.

Kepada para koruptor yang diajukan ke pengadilan, seyogianya dikenai hukuman berat, ditangani para hakim profesional yang, menurut Adi Andojo Soetjipto, adalah para hakim yang berjiwa sebagai hakim sejati, bukan hakim berjiwa broker, komersial, dan seterusnya.

Jika masih ada suara-suara miring atau tidak sedap terhadap lembaga peradilan, termasuk MA, tugas kita semua untuk menghilangkannya. Kiranya kepolisian atau kejaksaan melalui aparat intelijen secara profesional (apalagi sudah ada Komisi Pemberantasan Korupsi yang prestisius) dapat menelusuri sumber suara miring itu.

Ketika penulis menjadi anggota Komnas HAM dan ditugaskan ke Ambon dan Poso bersama Albert Hasibuan, Koesparmono Irsan, Clementine dos Reis Amaral, dan lainnya, yang pertama dilakukan adalah dialog dengan KASI maupun asisten intel dari polres, kodim, polda, atau kodam yang terkait guna menelusuri prolog-prolog yang terjadi dalam rangka penyelesaian masalah.

Memang dalam menciptakan lembaga peradilan yang bersih, terlebih dahulu harus disiapkan sapu-sapu yang bersih. Dengan aparatur kepolisian dan kejaksaan yang bersih, pasti terwujud lembaga peradilan yang bersih pula.

Ini semua sekadar sumbangan pemikiran dalam rangka menciptakan lembaga peradilan/MA yang lebih terhormat pada masa kini. Selain itu, karena sudah menjadi putusan DPR dan pemerintah, maka tidak relevan lagi mempersoalkan perpanjangan masa tugas hakim agung hingga berusia 70 tahun. Biarlah itu semau menjadi catatan sejarah di masa lalu dan kita menatap masa depan dengan satunya kata dan perbuatan.

Bagaimanapun, kita semua mempunyai obsesi, bisa melihat dan merasakan peradilan atau MA yang terhormat dan dihormati, bukan sebaliknya.

Benjamin Mangkoedilaga, Mantan Hakim Agung; Ketua Bersama Komisi Kebenaran dan Persahabatan RI-Timor Leste; Arbiter Badan Arbitrase Nasional Indonesia; Dosen FH Trisakti dan Bhayangkara

Sumber: Kompas, Selasa, 17 Februari 2009

Pejabat Korup dan Masyarakat Pun Korup

Oleh Djoko Susilo

Beberapa waktu lalu ketika saya dan anggota Komisi I DPR mengunjungi kantor Kongres Amerika, kami membaca tulisan di depan ruangan kantor masing-masing anggota Kongres ucapan: Welcome, please come in. Jelas ini ucapan selamat datang dan ajakan mempersilakan tamu-tamu anggota Kongres, khususnya dari daerah pemilihannya, untuk datang memasuki kantor itu.

Bahkan, ketika kami rapat dengan seorang anggota Kongres, di awal pembicaraan dia sudah minta maaf, jika ada tamu dari daerah pemilihannya, dia harus menghentikan rapat untuk menemui konstituennya. Begitulah hubungan antara rakyat dan pejabat yang mewakilinya. Ketika hal itu saya bicarakan kepada kawan-kawan, salah seorang anggota Komisi I mengatakan berani bertaruh bahwa anggota Kongres Amerika Serikat akan berpikir ulang jika menghadapi konstituen di Indonesia.

Mengapa? Kata kawan tersebut, begitu menjadi anggota DPR, setiap hari ada saja proposal permintaan sumbangan dari berbagai kalangan yang sampai di mejanya. Dengan kata lain, hubungan antara wakil rakyat dan masyarakat konstituennya sudah direduksi dengan transaksi uang. No money no honey.

Dalam masa menjelang kampanye dan apalagi pada waktu kampanye Maret nanti, urusan sogok-menyogok akan semakin nyata. Sekarang saja sudah banyak anggota masyarakat yang mendekati sejumlah caleg dengan janji memberikan dukungan sekian puluh ribu suara asal mendapat sejumlah imbalan, baik berupa uang atau barang.

Sebaliknya tidak sedikit pula caleg yang mengobral janji memberikan santunan, sembako, uang, dan lain-lain janji kepada rakyat agar memilihnya. Semua ini memabukkan, baik yang berjanji maupun yang diberi janji. Caleg yang polos dan jujur dijamin kurang laku di pasaran.

Politik Kepalsuan
Fenomena yang berkembang seperti sekarang ini sesungguhnya sangat mengkhawatirkan lantaran melahirkan politik kepalsuan dan tokoh munafik. Kepalsuan yang saya maksud ialah sikap bermuka manis dan berwajah malaikat meski berhati dan berperilaku seperti setan.

Akibatnya, sikap munafik yang muncul. Misalnya, berjanji setelah jadi anggota DPR/DPRD akan memberikan 100 persen gajinya untuk rakyat, suatu janji yang mustahil diwujudkan, sebab parpol saja sudah memotong sedikitnya 20 persen gaji anggota dewannya. Jadi, bagaimana caleg bisa berjanji memberikan gajinya 100 persen untuk rakyat? Wajah munafik calon politisi ini makin bertambah panjang dan makin membuat masyarakat tidak percaya kepada mekanisme demokrasi.

Politik palsu ini di Indonesia bisa terjadi karena system checks and balances tidak berjalan dengan baik. Seharusnya masyarakat tidak dihadapkan pada pilihan buta dan seorang calon pemilih harus memperoleh informasi sejelas-jelasnya tentang caleg yang berkompetisi.

Seyogyanya setiap caleg dikaji latar belakang, rekam jejak, dan kemampuannya. Amat disayangkan bahwa petunjuk penting ini tidak pernah diperoleh rakyat pemilih karena semua media tidak ada yang melakukannya. Walhasil, caleg yang berkarakter buruk pun akan bisa terpilih sepanjang memiliki uang untuk membeli baliho, banner, membayar iklan, dan sebagainya.

Yang paling mengkhawatirkan saya ialah terjadinya cycle evil of corruption (lingkaran setan korupsi). Lantaran rakyat minta disogok sembako, uang, dan lain-lain bentuk pemberian material lain, pejabat yang bersangkutan terpaksa mengeruk duit dari berbagai macam sumber, khususnya melalui tindakan korupsi. Atau, bisa saja dia tidak mengambil duit negara, tetapi mendapat sponsor dari pengusaha hitam. Walhasil, akibatnya sama saja. Pejabat korup dan masyarakatnya juga korup. Negara banyak utang dan rakyat makin miskin pula.

Bandingkan dengan capres Amerika Serikat Barack Obama yang mengusung slogan change we can believe in (perubahan yang bisa kita percaya). Masyarakat yang muak dengan rezim Republik George Bush tidak segan-segan membantunya dengan tenaga dan dana.

Seorang teman saya warga Amerika Serikat di Jakarta dengan bangga mengatakan untuk kali pertama dia mau menyumbang pilpres meski sudah beberapa kali dia ikut mencoblos. Dia sangat senang Obama menang karena yakin bahwa kemenangan itu akan membawa perubahan yang signifikan.

Di Indonesia, perkembangan politik makin mengkhawatirkan. Baik politisi maupun sebagian masyarakat sudah berpikir pragmatis. Asal ada uang, sang politisi akan disayang atau dipilih. Politisi bejat dan tidak berakhlaq akan tetap dipilih asal ada uang.

Seseorang maju ke pencalegan bukan untuk memperjuangkan kepentingan publik, tetapi untuk kepentingan dirinya sendiri. Ideologi dan keyakinan perjuangan dikesampingkan. Bahkan, partai pun dipersewakan (party for rent). Akibatnya fatal, moral politik runtuh dan korupsi akan merajalela.

Pemilu yang dilaksanakan dalam semangat pragmatisme dan apalagi adanya politik uang akan menghasilkan produk yang sangat memprihatinkan. Orang berlomba berebut kursi DPR/DPRD sekadar mendapat kekuasaan belaka atau power for the sake of power.

Tidak ada manfaatnya sama sekali menempatkan seseorang dalam suatu posisi terhormat sebagai pejabat publik jika tanpa ada misi tertentu. Dengan demikian, kita semua hendaknya memilih anggota legislatif yang bukan bermental korup dan bermoral bejat.

Pergunakan hak pilih secara tepat dan benar. Jangan sampai selama lima tahun ke depan DPR dihuni manusia yang tidak bertanggung jawab. Cara mudah untuk mengidentifikasi calon mana yang akan benar-benar bekerja untuk rakyat ialah dengan memeriksa rekam jejaknya dan pernyataan publiknya. Semakin banyak dia berjanji dan apalagi janjinya tampak tidak masuk akal, semakin besar kemungkinan dia tidak bisa dipercaya ketika duduk dalam lembaga eksekutif.

Djoko Susilo, anggota Komisi I DPR

Sumber: Jawa Pos, Senin, 16 Februari 2009

Tips agar otak anda tokcer

Jakarta - Beberapa kondisi lingkungan mampu merangsang otak menjadi lebih baik atau buruk. Dengan alasan itu, anda harus mengetahui segala hal yang berada di lingkungan yang dapat memperbaiki kemampuan dan kekuatan otak anda.

Penglihatan, suara, tekstur,aroma, rasa dan sensasi lainnya yang dialami setiap hari dapat menjadi makanan untuk pikiran dan jiwa anda. Menciptakan sebuah lingkungan yang indah dan positif ternyata dapat juga meningkatkan kekuatan otak.

Seperti dikutip dari Askmen, Professor Mark R Rosenweig dari University of California, Berkeley mengungkapkan bahwa ada langkah positif yang bisa dilakukan guna menciptakan sebuah lingkungan yang bisa meningkatkan kemampuan otak, seperti :

1.Mensejajarkan hari dengan suara dan cahaya.

Kegaduhan memiliki dampak bagi tubuh dan pikiran. Untuk itu, hilangkanlah polusi udara dan dengarkanlah suara musik yang indah sebagai bagian dari inspirasi yang bisa didengarkan setiap hari.

Cahaya memiliki dampak langsung terhadap tubuh dan pikiran. Cahaya matahari alami dapat menjadi sebuah sumber yang menyehatkan. Cahaya mengandung gelombang panjang yang berdampak pada hormon, metabolisme dan waktu tubuh. Ini semua baik bagi asupan otak anda.

2. Terhubung ke alam

Ahli Syaraf John Jonides dalam sebuah penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal Psychological Science di tahun 2008 menemukan bahwa berjalan di alam dapat memperbaiki ingatan dan hasil tes kewaspadaan sebesar 20 persen.

3. Menyediakan pikiran dengan udara segar.

Bersama suara dari sebuah haromoni dan cahaya alami, udara segar dapat juga menjadi sebuah elemen penting untuk kesehatan tubuh dan pikiran termasuk otak.

Satu hal yang bisa anda lakukan adalah pergi ketempat yang memiliki udara bersih dan segar atau meletakan tumbuhan yang menghasilkan kesegaran udara.

4. Relasi sosial yang sehat.

Menciptakan relasi sosial yang sehat merupakan elemen yang penting untuk memperbaiki pikiran. Banyak penelitian menunjukan bahwa jalinan interaksi sosial dapat menyegarkan pikiran.

Interaksi sosial yang positif dapat membantu mencegah penurunan kognitif dengan menguatkan sistem kekebalan tubuh.(yud) 

Energi Agnes Monica hangatkan "kota lumpia"

Semarang - Penyanyi Agnes Monica yang selalu tampil energik mampu menghangatkan suasana Kota Lumpia lewat konser tunggalnya yang berlangsung di Hotel Horison Semarang, Jumat (23/12) malam.

Pada konser bertajuk "Agnes Monica Live in Konser" itu, Agnes terlihat seksi mengenakan celana ketat hitam berpadu dengan kemeja motif kotak-kotak dengan dominasi warna merah muda dan sepatu kets hitam.

Penyanyi kelahiran Jakarta, 1 Juli 1986 itu membuka konsernya dengan tembang "Godai Aku Lagi" yang dibawakannya dengan bersemangat, terlihat dari kelincahannya menari atraktif diiringi empat penari latar.

Rambut panjangnya yang dibiarkannya tergerai tak menyurutkan niat Agnes menampilkan aksi panggung yang lincah dan energik, berpadu harmonis dengan gerakan-gerakan empat penari latar dengan kostum serba hitam.

Suasana konser kian semarak ketika para penggemar Agnes yang memadati Krakatau Grand Ballroom Hotel Horison Semarang membalas aksi panggungnya dengan tak henti-hentinya meneriakkan nama Agnes Monica.

Berlanjut ke tembang kedua berjudul "Hanya Menunggu", para penonton nampak kian bersemangat menyaksikan idolanya beraksi, seraya berjingkrak mengikuti irama dan menghadiahkan aplaus di akhir tembang dinyanyikan.

Tak hanya lagu dengan tempo menghentak, Agnes juga menampilkan tembang-tembang melankolisnya, seperti "Matahariku" dan "Kusanggup" membuat suasana seketika berubah menjadi romantis diperkuat efek pencahayaan.

Sesekali, pemilik nama lengkap Agnes Monica Muljoto itu mengajak penonton untuk bernyanyi bersama, meski sebenarnya penonton tanpa dikomando selalu menampilkan "koor" mengiringi idolanya bernyanyi.

"Cuma segitu `doang` suaranya Semarang," teriak Agnes menyapa penggemarnya di sela konser yang kemudian disambut dengan tepuk tangan dan teriakan bersemangat dari para NIC, sapaan untuk penggemar Agnes Monica.

Di tengah penampilannya, Agnes mengungkapkan bagaimana pengalaman-pengalaman hidupnya yang didapatnya selama ini, baik yang baik maupun buruk selalu menjadi inspirasi dalam setiap lagunya.

"Saya berterima kasih pada semua pengalaman indah dan buruk yang terjadi dalam hidup saya, karena dengan begitu saya bisa belajar menghargai hal-hal yang baik dalam kehidupan ini," ungkapnya.

Setidaknya ada delapan tembang yang dibawakan Agnes, dari tembang menghentak sampai melankolis yang dibawakannya dengan sangat apik dalam konser itu, dipungkasi dengan tembang berjudul "Paralyzed".

Lagu yang menjadi hits pada album terbarunya yang menjadi pamungkas konser di Kota Lumpia itu dibawakan Agnes dengan mengajak dua penggemar ciliknya untuk ikut menyanyi bersama di atas panggung.
(KR-ZLS) 

-

Arsip Blog

Recent Posts