Islam di Kerajaan Gowa-Tallo; Menelusuri Jejak-jekak Islam dalam Kaitannya dengan Penyebaran Islam di Sulawesi

Oleh: Tim Wacana Nusantara

A. Kerajaan Gowa-Tallo
Sumber asing terulis pertama dari Barat berasal dari catatan Tome Pires. Dia menyebutkan tentang bagaimana kemapuan pelayaran dan perdagangan yang dilakukan oleh orang-orang Makassar. Dalam buku Islamisasi kerajaan Gowa, Prof. DR. Ahmad M. Swang, M.A ( 2005; 72) Tome Pires dalam perjalanannya dari Malaka ke Laut Jawa pada tahun 1513 telah menemukan orang-orang Makassar sebagai pelaut ulung. Keterangan ini dianggap keterangan tertulis Barat yang tertua. Pires menyebutkan:

“Orang-orang Makassar telah berdagang sampai ke Malaka, Jawa, Borneo, Negeri Siam dan juga semua tempat yang terdapat antara Pahang dan Siam, dalam Prof. DR. Ahmad M. Swang, M.A ( 2005; 72)”

Sumber berita dari catatan Tome Pires mungkin lebih menitikberatkan kepada sebuah kerajaan di Sulawesi belum resmi memeluk agama Islam, karena secara resmi kedua raja dari Gowa dan Tallo memeluk agama Islam pada tanggal 22 September 1605 M. Negeri tersebut kaya akan beras putih dan juga bahan-bahan makanan lainnya, banyak daging dan juga banyak kapur barus hitam. Mereka memasok barang dagangan dari luar, antara lain jenis pakaian dari Cambay, Bengal, dan Keling. Mengingat jaringan perdagangan dari Cina sudah lama, barang-barang berupa keramik juga diimpor dan hal itu dapat dibuktikan dengan banyaknya temuan keramik dari masa Dinasti Sung dan Ming dari daerah Sulawesi Selatan.

Kerajaan Gowa, berbeda dengan situasi Jawa dan Sumatra, Sulawesi dalam menerima pengaruh agama Islam jauh lebih lambat. Islamisasi Gowa dan Tallo, kerajaan Makassar yang tergabung sejak pertengahan abad ke-16 yang dalam zaman yang sama terlibat perdagangan dengan negeri-negeri Melayu sampai kepulauan Malaka. Pertama-tama kita melihat Gowa sebagai pusat kekuasaan politik di Sulawesi Selatan pertengahan abad ke-16. Pada masa Karaeng Tumaparisi-kalona datang orang Jawa yang bernama I Galassi. Nama Jawa menunjukan bahwa orang tersebut datang dari barat Sulawesi, jadi tidak mesti dari Pulau Jawa, besar kemungkinan dari Jawa dan Sumatra, Marwati Djoened Poesponegoro (2008: 228).

Sejak kerajaan Gowa-Tallo resmi merupakan kerajaan bercorak Islam tahun 1605 M, Gowa meluaskan politiknya agar kerajaan-kerajaan lainnya juga masuk Islam dan tunduk kepada kerajaan Gowa-Tallo antara lain Wajo tanggal 10 Mei 1610 dan Bone tanggal 23 November 1611 M. J. Norduyn berpendapat bahwa penaklukan terhadap kerajaan itu oleh Gowa-Tallo itu dirasakan sebagai harkat dan derajat agama baru yaitu Islam mendorong keruntuhan kerajaan yang memusuhi Gowa-Tallo membawa kerajaan Gowa-Tallo kepada kekuasaan dengan cepat dan pasti daripada sebelumnya.

Menarik perhatian meskipun kerajaan Gowa-Tallo sudah Islam, pada masa pemerintahan raja-raja Gowa selanjutnya melukiskan hubungan baik dengan orang-orang Portugis yang membawa agama Kristen-Katolik. Contohnya masa Sultan Gowa Muhammad Said (14 Juni 1639-16 November 1653), bahkan masa putranya Sultan Hasanuddin (16 November 1639-29 Agustus 1669). Kedua-duanya memberikan bantuan kepada orang-orang Portugis umumnya dan kepada Francisco Viera pada khususnya yang telah menjadi utusan raja Gowa ke Banten dan Batavia bahkan Sultan Muhammad Said dan Karaeng Patingalong memberikan saham dalam perdagangan yang dilakukan Fransisco Viera. Hubungan erat antara orang Portugis dengan Gowa disebabkan ancaman VOC Belanda yang hendaknya memonopoli perdagangan rempah-rempah di Maluku.

B. Kontak Awal dengan Islam
Sebagaimana diketahui umum bahwa penyebaran Islam di Nusantara pada awalnya melalui perdagangan, maka demikian halnya dengan kedatangan Islam di Gowa tidak terlepas dari faktor dagang. Penyebaran Islam yang dilakukan oleh para pedagang dimungkinkan karena didalam ajaran Islam tidak dibedakan antara tugas keagamaan seorang muslim, sebagai penyebar nilai-nilai kebenaran, dan profesinya sebagai pedagang. Setiap Muslim, apapun profesinya dituntut untuk menyampaikan ajaran Islam sekalipun satu ayat.

Kalua melihat masuknya islam ke Makassar terutama terbentuknya Kerajaan Gowa-Tallo memang bisa dilihat sedikit terlambat dari wilayah lain seperti Jawa dan Sumatra dll, sebab Kerajaan Gowa baru dikenal sebagai kerajaan yang berpengaruh dan menjadi kerajaan dagang pada akhir abad XVI atau awal abad XVII. Dalam kurun waktu tersebut para pedagang muslim dari berbagai daerah Nusantara dan para pedagang asing dari Eropa mulai ramai mendatangi daerah ini.

Prof. DR. Ahmad M. Swang, M.A ( 2005; 80) menyebutkan bahwa menurut teori yang dikembangkan oleh Noorduyn, proses islamisasi di Sulawesi Selatan tidak jauh berbeda dengan daerah-­daerah lainnya di Indonesia, yaitu melalui tiga tahap: pertama kedatangan Islam, kedua penerimaan Islam dan ketiga penyebarannya lebih lanjut.

Pendapat yang senada dikemukakan oleh H.J. de Graaf. Namun, ia lebih menekankan pada pelaku islamisasi di Asia Tenggara yang analisisnya didasarkan pada literatur Melayu. Graaf berpendapat:

bahwa Islam didakwakan di Asia Tenggara melalui tiga metode yaitu: oleh para pedagang muslim dalam proses perdagangan yang damai, oleh para dai dan orang suci (wali) yang datang dari India atau Arab yang sengaja bertujuan mengislamkan orang-orang kafir dan meningkatkan pengetahuan mereka yang telah beriman, dan terakhir dengan kekerasan dan memaklumkan perang terhadap negara-negara penyembah berhala.

Kedatangan Islam di Makassar yang dimaksudkan oleh Noorduyn dalam teorinya di atas adalah ketika pertama kali para pedagang Melayu muslim mendatangi daerah ini. Kata Melayu yang dimaksud dalam pengertian orang Makassar masa itu, tidak hanya terbatas pada wilayah daerah Riau dan Semenanjung Malaka, seperti yang diartikan sekarang, tetapi juga meliputi seluruh Pulau Sumatra,” sehingga ketika Datuk ri Bandang yang datang dari Koto Tangah Minangkabau di Makassar sebagai mubalig Islam, dia disebut sebagai orang Melayu.

Sekalipun para pedagang Muslim sudah berada di Sulawesi Selatan sejak akhir abad XV, tidak diperoleh keterangan secara pasti, baik dari sumber lokal maupun sumber dari luar, tentang terjadinya konversi ke dalam Islam oleh salah seorang raja setempat pada masa itu sebagaimana yang terjadi pada agama Katolik. Agaknya inilah yang menjadi faktor pendorong para pedagang Melayu mengundang tiga orang Muballigh dari Koto Tangah (Kota Tengah 2) Minangkabau agar datang di Makassar mengislamkan elit Kerajaan Gowa-Tallo. Inisiatif untuk mendatangkan Muballigh khusus ke Makassar, sudah ada sejak Anakkodah Bonang (Nahkodah Bonang 3) seorang ulama dari Minangkabau sekaligus pedagang, berada di Gowa pada pertengahan abad XVI (1525), tetapi nanti berhasil setelah memasuki awal abad XVII dengan kehadiran tiga orang Muballigh yang bergelar datuk dari Minangkabau (Prof. DR. H. Ahmad Sewang. M.A., Makalah)

Lontara Wajo menyebutkan bahwa ketiga datuk itu datang pada permulaan abad XVII dari Koto Tangah, Minangkabau. Mereka dikenal dengan nama Datuk Tellue (Bugis) atau Datuk Tallua (Makassar), yaitu:

Abdul Makmur, Khatib Tunggal, yang lebih populer dengan nama Datuk ri Bandang.
Sulaiman, Khatib Sulung, yang lebih populer dengan nama Datuk Patimang.
Abdul Jawad, Khatib Bungsu, yang lebih dikenal dengan nama Datuk ri Tiro.

Ketiga ulama tersebut yang berasal dari Kota Tengah Minangkabau, menurut sumber yang ditulis oleh Sultan Aceh dan Sultan Johor untuk mengembangkan dan menyiarkan agama Islam di Sulawesi selatan. Mereka terlebih dahulu mempelajari kebudayaan orang Bugis-Makassar, di Riau dan Johor, dimana banyak orang-orang Bugis-Makassar berdiam, sesampainya di Gowa, mereka memperoleh keterangan dari orang-orang Melayu yang banyak tinggal di Gowa, bahwa raja yang paling dimuliakan dan dihormati adalah Datuk Luwu’ sedangkan yang paling kuat dan berpengaruh ialah Raja Tallo dan Raja Gowa (Prof. Mr. DR. Andi Zainal Abidin, 1990: 228-231). Graaf dan Pigeaud mengemukakan bahwa Datuk ri Bandang sebelum ke Makassar lebih dahulu belajar di Giri. Datuk ri Bandang dan temannya yang lain ketika tiba di Makassar, tidak langsung melaksanakan misinya, tetapi lebih dahulu menyusun strategi dakwah. Mereka menanyakan kepada orang-orang Melayu yang sudah lama bermukim di Makassar tentang Raja yang paling dihormati. Setelah mendapat penjelasan, mereka berangkat ke Luwu untuk menemui Datuk Luwu’, La Patiware Daeng Parabu. Datuk Luwu adalah raja yang paling dihormati, karena kerajaanya dianggap kerajaan tertua dan tempat asal nenek moyang raja-raja Sulawesi Selatan. Kedatangan Datuk Tellue mendapat sambutan hangat dari Datuk Luwu’, La Patiware Daeng Parabu (Prof. DR. H. Ahmad Sewang. M.A., Makalah).

Menurut sumber Portugis Antonio de Payva yang datang ke Sulawesi Selatan tahun 1542 M, ia menyebutkan bahwa ketika mengadakan aktivitas misi Katolik di Siang, ia mendapat rintangan dari para pedagang Melayu muslim yang diperkirakan sudah menetap di sana sekitar 50 tahun sebelumnya. Laporan Payva dapat dianggap sebagai informasi Eropa yang tertua tentang kegiatan orang-orang Melayu di Sulawesi Selatan. Berdasarkan laporan ini dapat diperkirakan, pada akhir abad XV orang-orang Melayu sudah melakukan aktivitas perdagangan di daerah ini. Namun, tidak dapat diketahui secara pasti, berapa jumlah orang-orang Melayu yang melakukan kontak pertama dengan daerah ini. Kemungkinan mereka semakin banyak yang berimigrasi dan menetap di Makassar setelah jatuhnya Malaka ke tangan Portugis 1511. Dalam hubungan ini Noorduyn menulis:

“Zowel uit Portugese als uit Makasaarse bronnen is bekend, dat reeds vrij vmeg in de 16de eeuw Maleise, dus Muslimse, handelaars zich in Makasar en elders op de kust van Z. Celebes gevestigd hadden.”

“Baik sumber-sumber Portugis ataupun sumber-sumber Makassar telah dikenal, sudah sejak awal abad XVI para pedagang Melayu, jadi orang­orang muslim, sudah menetap di Makassar dan tempat-tempat lainnya di pesisir barat daya Sulawesi”.

Tampaknya, sumber Makassar yang dimaksud Noorduyn di atas berasal dari Lontara Makassar, yaitu Pattorioloanga ri Togowaya (Sejarah Gowa). Dalam lontara tersebut terdapat keterangan bahwa pada masa pemerintahan Raja Gowa X (1546-1565), bernama Tonipalangga I Manriogau Daeng Bonto Karaeng Lakiung, telah datang seorang utusan orang-orang Melayu, Datuk Anakkoda Bonang, menghadap kepadanya agar diberi hak atas sebuah kawasan perkampungan di Makassar, seperti dikisahkan dalam lontara:

latommi napappalakki empoang Jawa nikanaya Anakoda Bonang. Naia erang-eranna ri Karaenga, nappala ‘na empoang, kontua anne: kamaleti sibatu, belo sagantuju pulona sowonganna, sakalla ‘ sikayu, sikayu, cinde ilau sitangga kodi. Nakana Anakoda Bonang ri Karaenga Tonipalannga; “appaki rupana kupala ‘-palaka rikatte karaeng; ” nakanamo karaenga: “apa? ” Nakanamo: “kipalaki, tanipantamaia embammang, tanigayanga punna nia’anammang, tani rappung punna nia’ salammang.” Naniioi ri Karaenga; nakanan karaenga: tedongkujanjo maposo nakuparamme, mabattala ‘nakutaroi, alaikaupaseng parangku tau, naiajia tamammunoako ributtaku punna kuasenga.

“Dialah yang meminta (memberi) tempat kediaman pada orang Jawa yang disebut Anakkoda Bonang. Adapun persembahannya kepada raja ketika is meminta tempat kediaman, ialah: sepucuk kamelati, delapan puluh junjungan “belo”, sekayu sekelat, sekayu beludu dan setengah kodi “cinde ialu. ” Kata Anakoda Bonang kepada Raja Tonipalangga: “empat macam kami harap-harapkan dari Tuanku;” maka menyahutlah Raja itu “apa itu?” Ia menjawab; “kami minta supaya jangan dimasuki pekarangan kami (dengan begitu saja), jangan dimasuki rumah kami (dengan begitu raja), janganlah kami dikenakan peraturan “nigayang” bila ada anak kami, dan janganlah kami dikenakan peraturan “nirappung” bila ada kesalahan kami Maka diperkenankanlah (permintaan itu) oleh Raja, dan berkatalah Raja, “Sedangkan kerbauku bila lelah kuturunkan ke dalam air, bila bebannya berat saya turunkan sebagian, apalagi engkau sesamaku manusia, akan tetapi janganlah engkau melakukan pembunuhan dalam kerajaanku di luar pengetahuanku.”

Demikianlah keterangan tertulis dalam kepustakaan Lontara Gowa, mengenai kedatangan orang Melayu. Mereka mendapat perlindungan istimewa dari kerajaan untuk menempati daerah sekitar pelabuhan Somba Opu di Kampung Mangallekana. Yang dimaksud dengan “orang Jawa” dalam lontara tersebut adalah orang-orang Melayu dari Pahang, Patani, Campa, Minangkabau, dan Johor. Hal ini bisa diketahui pada dialog selanjutnya antara Anakkoda Bonang dengan raja:

Nanakanatodong, “Siapai rupanna nupailalang kana-kana? ” Nakanamo Anakkoda Bonang, “Sikontukang Ikambe ma’lipa’ baraya kontui Pahangan, Patania, Campaya, Marangkaboa, Johoroka.”

“Berkatalah pula Raja, “Berapa macam (orang) yang kau masukkan ke dalam permintaan itu?” Berkatalah Anakkoda Bonang, “Semua kami yang bersarung ikat ialah (orang) Pahang, Patani, Campa, Menangkabau, dan Johor.”

Hubungan baik antara pendatang Melayu dengan penduduk setempat, menyebabkan mereka mendapatkan tempat istimewa di hati raja. Tidak mengherankan, jika Raja Gowa berikutnya, yaitu Tonijallo (1565-1590) memberikan fasilitas tempat ibadah, sebuah masjid, di tempat pemukiman mereka, di Mangallekana. Pemberian fasilitas masjid menandakan bahwa raja memberikan perhatian kepada para pedagang muslim. Di pihak lain, para pedagang muslim berusaha memelihara hubungan baik itu dengan kerajaan yang dapat dilihat dari kontribusi yang diberikan oleh para pedagang Melayu terhadap pembinaan kerajaan. Sejak awal kedatangan mereka, yaitu di masa pemerintahan Raja Gowa X, Tonipalangga, seorang keturunan Melayu bernama I Daeng ri Mangallekana diangkat sebagai syahbandar yang kedua pada Kerajaan Gowa. Sejak saat itu secara turun-temurun jabatan syahbandar dipegang oleh orang Melayu sampai pada masa Ince Husein sebagai syahbandar terakhir. Dia mengakhiri jabatannya pada tahun 1669, ketika Kerajaan Gowa mengalami kekalahan melawan VOC. Jabatan penting lainnya yang dipegang oleh orang­orang Melayu adalah juru tulis istana. Salah seorang yang paling menonjol di antara orang-orang Melayu itu adalah Ince Amin. Dia adalah juru tulis terakhir yang amat terkenal pada masa pemerintahan Sultan Hasanuddin. Sebuah karya tulisnya yang masih bisa ditemukan sekarang adalah “Sja’ ir Perang Makassar”. Karya ini mengisahkan saat-saat terakhir masa kekuasaan Kerajaan Gowa tahun 1669.

Beberapa sumber lokal mengemukakan, peranan orang-orang Melayu dalam bidang perdagangan dan penyebaran Islam cukup berarti dalam upayanya untuk membendung pengaruh Katolik. Sampai tahun 1615 roda perekonomian, khususnya perdagangan antar pulau yang melalui pelabuhan Makassar, dikuasai oleh orang-orang Melayu. Komoditas beras sebagai hasil utama Makassar diekspor ke Malaka dengan kapal orang-orang Melayu.

Sumbangan utama orang-orang Melayu dalam penyebaran agama Islam adalah upayanya untuk mendatangkan mubalig­mubalig Islam. Upaya itu dilakukan untuk membendung pengaruh agama Katolik menyusul kedatangan Portugis di daerah ini.

C. Raja Gowa-Tallo Masuk Islam dan menjadi Kerajaan Islam
Setelah Datuk Tellue (Datuk yang tiga) berhasil mengislamkan Datuk Luwu’ dan keluarganya pada 15 Ramadhan 1013 H atau 1603 M (Lontarak Sukkukna Wajo’) dan raja Luwu’ La Patiwarek Daeng Parabbung diberikan gelar Sultan Muhammad Waliul Mudharuddin (Andaya, 1981: 304, Andi Rasydiana, 1995: 60). Oleh karena La Patiwarek Daeng Parabbung adalah ipar raja Gowa I Mangarangi Daeng Manrabia, yaitu permaisurinya Karaengta ri Ballakbugisik adalah saudara raja Gowa, maka orang-orang Minang itu memohon supaya raja Luwu’ meminpin pengislaman orang-orang Sulawesi Selatan (Prof. Mr. DR. Andi Zainal Abidin, 1990: 228-231). Mereka lalu menyusun strategi baru dengan memprioritaskan daerah-daerah tertentu untuk menyebarkan Islam selanjutnya, yaitu dengan membagi tenaga dan daerah sasaran dakwah disesuaikan dengan keahlian mereka dan kondisi kultur daerah masing-masing.

Cerita rakyat di atas sekalipun bercampur mitos, tetapi dapat diartikan bahwa Datuk ri Bandang dan Raja Tallo memegang peranan penting pada periode awal islamisasi di daerah ini. Peranan kedua tokoh itu diperkuat oleh beberapa sumber lokal. Dalam kronik Tallo menyebutkan, Raja Tallo menerima Islam pada tahun 1605, sedang dalam Lontara’ Pattorioloanga ri Togowaya (Sejarah Kerajaan Gowa) menceritakan tentang penerimaan Islam Raja Gowa, Sultan Alauddin. Dalam lontara disebutkan:

Mantamai ritaung tudju nama’gau’ areng kalenna, iangku mabassung nikana I Mangngarangi areng paman’na I Daeng Manra ‘bia areng Ara ‘na nikana sulthan Alau ‘ddin, nasampulo taung anrua ma ‘gau ‘ namantama Isilang, Marangkabo ampasahadaki, kota Wanga arenna para’sanganna, Katte Tonggala ‘areng kalenna, ammempopi riappa ‘na Pammatoang ritanaja nanikanamo I Dato ‘ri Bandang; napantamanga Isilang Karaenga salapang bangnginna bulan Djumadele ‘ awwala’, riallona Djumaka, mese’-na Septembere ‘ ruampulo anrua, hejera’na Na ‘bia Sallalahu alaihi wasallang.

“Ia (Raja Gowa) mengendalikan pemerintahan semasih berumur tujuh tahun, nama kecilnya, semoga saya tidak berdosa menyebutkannya, adalah I Mangngarangi, nama daeng-nya adalah I Daeng Manra’bia, nama Arabnya adalah Sultan Alauddin. Setelah ia memerintah dua belas tahun, ia masuk Islam yang dibawa oleh orang dari Koto Tangah, Minangkabau. Orang inilah yang mengajarkan kepadanya kalimat syahadat. Ia digelar Datuk ri Bandang setelah ia bertempat tinggal di Kampung Pammatoang (Bandang). Raja (Gowa) masuk Islam pada hari Jumat, 9 Jumadil Awal bertepatan dengan 22 September.”

Menurut keterangan Andi Kumala Idjo, SH (pewaris putra mahkota Kerajaan Gowa sekarang ), menuturkan bahwa dalam hal membagi tenaga dan daerah sasaran dakwah dari tiga Muballigh ini (Datuk Tallua), maka Abdul Makmur Khatib Tunggal, Datuk ri Bandang berdakwah di daerah Gowa yang kemudian mengislamkan raja Gowa-Tallo, lalu Sulaiman, Khatib Sulung, Datuk Patimang berdakwah di Luwu, sedangkan Abdul jawad, Khatib Bungsu, Datuk ri Tiro berdakwah di daerah Bulukumba. I Mangngerangi Daeng Manrabia dinobatkan menjadi raja sejak umur 7 tahun dan pada waktu masuk Islam usianya baru 17 tahun.

Menurut Lontarak Sukku’na Wajo’ dan Lontarak Patturiolong Tallo’ bahwa raja Gowa I Mangakrangi Daeng Manrabia memeluk agama Islam pada hari Kamis malam atau malam Jumat 9 Jumadil Awal 1014 H (22 September 1605 M). Setelah I Mallingkaan Daeng Manyonri’ memeluk agama Islam (Abd. Razak Daeng Patunru, 1967: 19) maka menyusullah raja Gowa. Raja Gowa-Tallo ini memeluk Islam pada hari yang sama yaitu pada hari Kamis malam atau malam Jumat, dan mungkin sekali yang mengucapkan Syahadat pertama kali adalah I Mallingkaan Daeng Manyonri’ (Noorduyn, 1953: 93).

Setelah Raja Gowa-Tallo masuk Islam pada tahun 1605 M yaitu I Managarangi Daeng Manrabia, Sultan alauddin (raja Gowa XIV) dan I Mallingkaan Daeng Manyonri, Sultan Abdullah Awwalul Islam. Maka hanya dalam waktu dua tahun yaitu ditahun 1607, rakyat Gowa dan Tallo pada umumnya sudah memeluk agama Islam dan raja Gowa memaklumkam, bahwa agama Islam adalah agama resmi kerajaan di Gowa-Tallo (H.A. Massiara Dg, 1988: 55-62).

Perlu dicatat bahwa rakyat yang berbondong-bondong memeluk agama Islam mengikuti raja mereka pada waktu itu bukanlah karena dipaksa atau diancam akan tetapi mereka setelah menyadari kebenaran agama Islam berkat penerangan agama (dakwah) yang dberikan secara intensif oleh ulama Abdul Khatib Makmur dan kawan-kawan yang bermukim dikampung Kalukubodoa (Lontarak Sukkukna Wajo). Menurut Lontarak Bilang Gowa bahwa pada tanggal 9 Nopember 1607, 18 Raja Hijara Sanna 1017 allo Juma’nauru mammenteng Jumaka ri Tallo’, uru sallanta. Ia anne bedeng bunduka ri Tamapalo (artinya: Mula (Pertama kali) diadakan shalat Jumat di Tallo, ketika mula (sejak) masuk Islam, Dalam tahun ini konon terjadinya perang Tamapalo) (Prof. Mr. DR. Andi Zainal Abidin, 1999: 228-231).

Penyebaran Islam oleh Kerajaan Gowa-Tallo
Masuknya Agama Islam di Sulawesi Selatan (Abad XVI-XVII)
Sejak resminya agama Islam di gowa-Tallo, maka raja Gowa Sultan Alauddin makin kuat kedudukannya sebab beliau juga diakui sebagai Amirul Mukminin (kepala agam Islam) dan kekuasaan Bate Salapanga diimbangi oleh Qadhi, yang menjadi wakil raja untuk urusan keagamaan bahkan oleh orang-orang Makassar, Bugis dan Mandar yang telah lebih dahulu memeluk agama Islam pada abad XVI. Sultan alauddin dipandang sebagai pemimpin Islan di Sulawesi selatan.

Cara pendekatan yang dilakukan oleh Sultan Alauddin dan Pembesar Kerajaan Gowa adalah mengingatkan perjanjian persaudaraan lama antara Gowa dengan negeri atau kerajaan yang takluk atau bersahabat yang berbunyi antara lain, bahwa barangsiapa diantara kita (Gowa dan sekutunya atau daerah taklukannya) melihat suatu jalan kebajikan, maka salah satu dari mereka yang melihat itu harus menyampaikan kepada pihak lainnya (H.A. Massiara Dg, 1988: 55-62).

Maka dengan dalih bahwa Gowa sekarang sudah melihat jalan kebajika yaitu agama Islam, Kerajaan Gowa meminta kepada kerajaan-kerajaan taklukannya agar turut memeluk agama Islam. Maka pendekatan serupa ini banyak hasilnya. Namun kerajaan-kerajaan yang merasa dirinya sudah mampu dan dewasa dibidang pemerintahan, menolak ajakan itu. Beberapa kerajaan kecil sekitar Gowa memenuhi seruan memeluk Islam, akan tetapi kerajaan Bugis dan Mandar yang kuat seperti Bone, Soppeng, Wajo’, Sidenreng, Sawitto, Suppak, Balannipa dan kerajaan Mandar lain menolak keras ajakan itu, karena disebabkan faktor-fakator sebagai berikut:

mereka sukar meninggalkan kegemaran makan babi, minum tuak, sabung ayam dengan berjudi, beristri banyak dan lain-lain.

mereka khawatir bahwa mereka akan dijajah oleh Gowa
Kepada yang menolak itu dikirimkan peringatan, namun setiap kali ada pesan, setiap itu pula ditolak. Dengan alasan mereka itu mau membangkan dan melawan, maka terpaksa Gowa mengangkat senjata menundukkan mereka. Empat kali dikirim balatentara untuk memerangi raja-raja Bugis, akan tetapi selalu dikalahkan oleh persekutuan raja-raja Bugis, terutama Kerajaan Tellumpoccoe: Bone, Soppeng dan Wajo yang menutup aliansi pada tahun 1582 (Noorduyn, 1955: 84) berdasarkan Boeg. Chr.I, h. 484).

Menurut H.A. Massiara Dg (1988: 55-62) mengatakan bahwa pada tahun 1609 angkatan perang Gowa yang tangguh dikirim ke pedalaman, mula-mula ke Ajatappareng (Suppak, Sawitto, Rappang, Sidenreng) lalu tunduk dan menerima Islam sebagai agama kerajaan. Juga dalam tahun 1609 itu Kerajaan Soppeng menerimanya, tahun 1610 Kerajaan Wajo, dan tahun 1611 Kerajaan Bone. Kerajaan Luwu’ dan Mandar tanpa ancaman perang memang sudah mennjadikan Islam sebagai agama Kerajaan.

Begitu juga diterima dikerajaan-kerajaan Enrekang Kerajaan tellu Lembana dan Tellu Batu Papan menerima ajakan Kerajaan Gowa.Pengislaman seluruh Sulawesi selatan dijalankan oleh Gowa mulai tahun 1605 M sampai tahun 1612 M (H.A. Massiara Dg, 1988: 55-62).

Bahan Bacaan
Prof. Mr. DR. Andi Zainal. (1999). Sejarah Sulawesi Selatan. Hasanuddin University Press.
Prof. DR. H. Ahmad Sewang. M.A. 2007. Makalah: ”Empat Abad Islam di Sulawesi Selatan” , Seminar Internasional dan Festival Kebudayaan, Pusat Kajian Islam (Centre For Middle Eastern Studies) Devisi Ilmu-ilmu Sosial dan humaniora PKP Unhas dan Pemkot Makassar.
Mardan, Suwandi. (2009). MENELUSURI JEJAK SYARIAH KERAJAAN GOWA-TALLO DAN KAITANNYA DENGAN PENGERAHAN RAKYAT BONE MENGGALI PARIT DI GOWA. Terdapat di. [Online]. http://bs-ba.facebook.com/topic.php?uid=53993600274&topic=11496 [19-12-09]
H.A. Massiara Dg. (1988). Rapi, Menyingkap Tabir Sejarah dan Budaya di Sulawesi Selatan. Lembaga Penelitian dan Pelestarian Sejarah dan Budaya Sulawesi Selatan TOMANURUNG.
POesponegoro, Marwati Djoened, dkk. (2008). Sejarah Nasional Indonesia III; Zaman Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan Islam di Indonesia. Balai Pustaka: Jakarta.
Prof. DR. Sewang. Ahmad M. M.A. (2005). Islamisasi kerajaan Gowa (Abad XVI Sampai Abad XVII). Yayasan Obor Indonesia: Jakarta.

Sumber Tulisan:
http://wacananusantara.org/islam-di-kerajaan-gowa-tallo-menelusuri-jejak-jekak-islam-dalam-kaitannya-dengan-penyebaran-islam-di-sulawesi/

Candi Badut

Oleh: Tim Wacana Nusantara

Candi Badut terletak di Dukuh Gasek, Desa Karang Besuki, Kesamatan Dau, Kabupaten Malang Provinsi Jawa Timur. Candi Badut terletak di kaki Gunung Kawi. Candi Badut diyakini adalah peninggalan Prabu Gajayana, penguasa kerajaan Kanjuruhan. Candi Badut telah purna pugar pada 1994 oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan denggat tenggat waktu pemugaran dari tahun 1990. Sebelumnya candi ini telah dipugar pada tahun di bawah pengawasan B. De Haan dari Jawatan Purbakala Hindia Belanda.

Candi Badut diduga merupakan suatu kompleks Percandian yang dikelilingi pagar tembok, namun sekarang telah hilang. Letak bangunan candi tidak di pusat halaman candi. Terletak di dataran rendah, pada ketingian 508 meter di atas permukaan air laut. Candi ini terbuat dari bahan batu andesit dengan ukuran panjang 17,27 meter, lebar 24 meter dan tinggi 8 meter. Pintu Candi barat. Pada pintu masuk ke ruang candi dihiasi Kalamakara.

Dilihat dari segi arsitekturnya Candi Badut memiliki kemiripan dengan candi-candi di Jawa Tengah periode bad ke-8 hingga ke-10 Masehi, terutama kemiripannya bisa kita lihat di kawasan dataran tinggi Dieng seperti Candi Gedong Songo. Dari peninggalan berupa sisa-sisa pondasi tiga buah candi perwara (candi kecil yang mengitari candi Induk), menunjukan apabila Candi Badut merupakan kompleks percandian.

Kuat dugaan bahwa Candi Badut merupakan Candi denga gaya Arsitektur peralihan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Kemungkinan juga merupakan suatu bukti terjadinya perpindahan pusat kerajaan ke timur. Dalam hubungan ini para sarjana cenderung menghubungkan berita perpindahan kerajaan Holing ke timur sekitar tahun 740 Masehi. Kemudian diartikan bahwa raja dari dinasti sanjaya menyingkir ke timur karena terdesak oleh dinasti Sailendra. Daerah yang dimaksud mungkin adalah sekitar Malang sekarang.

Bagian kaki
Secara morfologis, kaki candi terdiri atas perbingkaian bawah, badan kaki dan perbingkaian atas tetapi kaki Candi Badut hanya mempunyai bingkai bawah dan badan kaki. Bingkai bawah terdiri dari pelipi rata, sedangkan badan kaki candi berupa susunan bata-bata rata, polos dan tidak mempunyai hiasan sama sekali. Pada bagian depan candi terdapat tangga naik ke bilik candi dihiasi ukiran, pada tangga sebelah selatan terdapat Fragmen relief kinarakinari (Mahluk Surga berkepala manusia berbadan burung yang bertugas memainkan lantunan musik Surgawi). Sebelum masuk ke bilik candi terdapat selasar keliling dengan pradaka sinaptha.

Bagian badan
Badan Candi Badut lebih besar dari tingginya. Pintu bilik berpenampil (poritico) yang mengingatkan pada langgam seni bangunan Jawa Tengah. Pada dinding luar badan candi terdapat relung-relung yang di dalamnya terdapat arca. Namun diantara semua arca itu hanya arca Durga Mahesasuramardhini saja yang tersisa. Durga Mahesasuramardhini (relung utara), Syiwa sebagai Mahaguru atau Agastya (biasanya terdapat di relung selatan), sedangkan di relung timur biasanya berisi arca Ganesa. Relung-relung tersebut memiliki bingkai kara makara. Di sisi kiri-kanan pintu masuk terdapat relung-relung kecil dengan penampil berisi Mahakala dan Nandiswara. Bidang-bidang di samping relung-relung itu diisi dengan hiasan pola bunga.

Bagian atap candi telah rusak, hanya tinggal lapis pertama yang tidak lengkap. Menurut hasil rekonstruksi yang pernah dilakukan, tampak bagian atap candi terdiri atas dua tingkat yang serupa dengan tubuh candi tetapi makin ke atas semakin kecil dan ditutup dengan puncak ratna. Hiasan yang terdapat pada atap berupa antefix.

Di depan candi induk terdapat tiga bekas alas candi kecil (candi perwara). Diperkirakan bentuknya sama dengan candi induk. Candi tersebut berjajar arah utara selatan dan menghadap ke timur.

Candi perwara yang di tengah berisi arca Nandi, di selatan terdapat lingga yoni, sedangkan di utara tidak diketahui. Susunan yang terdiri dari tiga candi yang lebih kecil dan berhadapan membuktikan bahwa Candi Badut merupakan salah satu candi yang tertua di Jawa Timur.

Candi Badut dalam Sejarah
Kata Badut di sini berasal dari bahasa sansekerta “Bha-dyut” yang berarti Sorot Agastya. Hal itu terlihat pada ruangan induk candi yang berisi sebuah pasangan arca Siwa dan Parwati dalam bentuk lingga dan yoni.
Candi ini ditemukan pada tahun 1921 dimana bentuknya pada saat itu hanya berupa gundukan bukit batu, reruntuhan dan tanah. Candi Badut dibangun kembali pada tahun 1925-1927 di bawah pengawasan B. De Haan dari Jawatan Purbakala Hindia Belanda. Dari hasil penggalian yang dilakukan pada saat itu diketahui bahwa bangunan candi telah runtuh sama sekali, kecuali bagian kaki yang masih dapat dilihat susunannya.

Candi Badut diperkirakan dibangun pada abad VIII Masehi. Masa pendirian bangunan dihubungkan dengan prasasti Dinoyo 760 Masehi (682 Saka). Prasasti dibuat dari batu bertuliskan huruf Kawi, berbahasa Sansekerta dan menyebutkan bahwa pada abad VIII Masehi, ada kerajaan berpusat di Kanjuruhan Desa Kejuron) di bawah pemerintahan Raja Dewa Simha yang berputera seorang laki-laki bernama Limwa. Limwa mempunyai seorang puteri. Uttejana yang menikah dengan Jananeya. Limwa menggantikan ayahnya dan berganti nama dengan Gajayana. Pada pemerintahan Gajayana itulah didirikan Candi Badut. Dikatakan pula bahwa pendirian bangunan tersebut tanggal 1 Kresnapaksa bulan Margasirsa tahun 682 Saka (28 Nopember 760 Masehi) untuk tempat Agastya berikut arcanya dari batu hitam yang sangat indah. Arca tersebut ditasbihkan oleh para pendeta yang paham akan kitab Weda beserta para petapa sthapaka dan rakyat. Pada kesempatan ini raja menganugerahkan sebidang tanah, sapi dan kerbau, budak laki-laki dan perempuan sebagai penjaga, juga segala keperluan untuk pendeta seperti keperluan pemujaan, penyucian diri dan bangunan tempat peristirahatan para pengunjung. Dengan adanya arca Durga, Agastya dan lingga yoni maka Candi Badut merupakan candi-candi agama Hindu.

Kepustakaan:
Abas, H.M.S, Drs, M.Si. Dkk. (2001). PENINGGALAN SEJARAH DAN KEPURBAKALAAN di Jawa Timur. Jawa Timur: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Timur.
Agus Sunyoto. 2000. Petunjuk Wisata Sejarah Kabupaten Malang. Malang: Lingkaran Studi Kebudayaan Malang
Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan. (1995). Khasanah Budaya Nusantara VI. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Sumber Tulisan: http://wacananusantara.org/candi-badut/

Hore! Honorer Pemda Segera Dijadikan PNS

Jakarta - Kabar gembira buat tenaga honorer di jajaran pemerintahan daerah (Pemda). Tahun ini pemerintah akan segera menetapkan tenaga honorer sebagai PNS.

Rencana itu disampaikan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Azwar Abubakar, dalam Rakor Sosialisas Birokrasi Regional I Sumatera di Pekanbaru, Selasa (27/3/2012). Menurut Azwar pengangkatan tenaga honorer ini tidak terlepas masuknya masa pensiun PNS.

Untuk tahun 2012, kata Azwar, sedikitnya ada 125 ribu orang PNS memasuki masa pensiun. Karenanya, dalam hal ini pemerintah memutuskan untuk mengutamakan terlebih dahulu tenaga honorer yang selama ini bekerja di jajaran pemerintah daerah.

"Tenaga honorer yang selama ini bekerja di jajaran Pemda, menjadi tanggungan dana APBD masing-masing daerah. Karenanya tahun ini kita akan segera mengangkat mereka menjadi PNS," kata Azwar.

Namun demikian, pemerintah tetap membuka formasi untuk CPNS. Pada tahun ini sesuai dengan masa pensiun 125 ribu orang itu, pemerintah akan membuka formasi sebanyak 62 ribu orang.

"Kita membuka formasi CPNS sebanyak 62 ribu orang untuk memenuhi kekosongan yang pensiun. Sisanya ya itu tadi, tenaga honorer yang kita utamakan untuk memenuhi kekurangannya," kata Azwar.

Untuk alokasi formasi CPNS, lanjutnya, pemerintah akan berpedoman pada peta jabatan yang diajukan dari tiap daerah. Karena itu, daerah yang tidak mengirimkan jumlah kebutuhan pegawai tidak akan mendapatkan kuota pada formasi penerimaan CPNS tahun ini.

"Batas waktu sampai dua bulan lagi untuk pemerintah daerah mengirimkan peta jabatan sesuai kebutuhan," katanya. (cha/try)

Honorer Bisa Jadi Pegawai Tak Tetap

Jakarta - Pemerintah dan DPR sedang membahas kemungkinan tenaga honorer kategori II yang tidak memenuhi persyaratan naik menjadi pegawai negeri sipil (PNS) untuk diangkat menjadi pegawai tidak tetap (PTT).

Anggota Komisi X DPR yang juga menjadi Ketua Tim Adhoc Panitia Kerja (Panja) Gabungan Tenaga Honorer DPR Rully Chairul Azwar mengatakan, kedua belah pihak sedang membahas mengenai Rancangan Peraturan Pemerintah Pengangkatan PTT berdasarkan pendekatan kesejahteraan bagi tenaga honorer kategori II yang tidak lulus tes masuk dan tidak memenuhi persyaratan menjadi PNS.

Menurut dia, tenaga honorer yang akan diangkat menjadi PTT ini adalah pegawai yang tidak bekerja di sekolah negeri, namun diangkat oleh kepala sekolah dengan masa kerja melebihi periode satu tahun. Mereka yang diangkat menjadi PTT adalah tenaga yang masih dibutuhkan oleh daerah tersebut dan sudah diusulkan pengangkatannya dalam formasi sebelumnya. “Intinya, kategori ini yang saat ini sedang disusun oleh Kemenpan dan RB. Pendekatan kesejahteraan yang dimaksud adalah gaji mereka akan menyamai gaji PNS, namun memang tidak bisa diangkat lagi menjadi PNS,” ungkap Rully kepada SINDOdi Jakarta kemarin.

Saat ini ada sekitar 600.000 tenaga honorer kategori II yang akan diseleksi menjadi PNS melalui tes internal sesama kategori II. Sementara tenaga honorer kategori I mencapai 167.000 orang dan otomatis diangkat menjadi PNS tanpa tes.Politikus Partai Golkar ini menjelaskan, selain lulus tes, tenaga honorer yang akan diangkat statusnya adalah yang sudah terdaftar dalam database Badan Kepegawaian Negara (BKN), bekerja di instansi pemerintah, dan diusulkan kenaikan pangkatnya oleh pejabat berwenang,serta mencapai usia maksimum.

Anggota Komisi II DPR Abdul Malik Haramain berpendapat, apa yang dikatakan Rully memang dapat menjadi solusi yang baik untuk kejelasan status sisa tenaga honorer yang tidak lolos tes. Bagi mereka ini, kesejahteraannya memang tidak satu level dengan PNS, namun mereka dapat diberikan subsidi kesejahteraan. Dia mencontohkan, untuk guru bisa saja diberikan anggaran kesejahteraan dari Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang dikucurkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) ke sekolah-sekolah.

Politikus PKB ini menyatakan, berdasarkan rapat dengan Kemenpan dan RB, keduanya menyepakati tes tenaga honorer kategori II akan dilakukan dalam waktu dekat. Sedangkan untuk kategori I akan langsung naik kepangkatannya. Namun, akan lebih efektif jika pengangkatan kategori II ini tanpa tes, tapi seleksi administrasi saja karena fungsi mereka untuk pelayanan publik masih sangat dibutuhkan masyarakat. “Bayangkan saja, mereka diberi beban sama dengan PNS, namun mereka tidak diberikan gaji yang sama dengan PNS. Apa kita tidak kasihan melihatnya?”tanyanya.

Wakil Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Wamenpan dan RB) Eko Prasodjo mengaku, munculnya opsi pengangkatan PTT bagi tenaga honorer yang tidak memenuhi syarat menjadi PNS. Namun, pengangkatannya tetap harus didasarkan kontrak kerja dan kompetensi minimal sebagai tenaga pendidik. Pengangkatan PTT nanti,jelasnya, juga berdasarkan analisis kebutuhan dan harus mendapatkan persetujuan Menpan dan RB. Menurut Guru Besar Fisip UI ini, mereka diangkat untuk masa kerja tertentu dan dapat diperpanjang sesuai kebutuhan dan kinerja yang bersangkutan.

“Jadi, tidak dilakukan secara bebas,melainkan atas dasar kebutuhan dan capaian kinerja mereka sendiri,”paparnya. Ketua Umum Forum Tenaga Honorer Sekolah Negeri Indonesia (FTHSNI) Ani Agustina menjelaskan, pihaknya masih menunggu RPP Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi CPNS ditandatangani oleh presiden. Menurut dia,pada 22 Februari 2012, RPP tersebut sudah diserahkan Menpan dan RB ke sekretaris negara untuk segera diajukan ke Presiden dengan target pengesahan dalam waktu satu bulan.

Sementara pada pertemuan dengan Menpan dan RB diKantor Kemenpan dan RB beberapa waktu lalu menghasilkan beberapa kesepakatan yakni honorer kategori I sudah dapat diproses mulai Maret dengan APBN.Sedangkan hono-rer kategori II diupayakan bisa dimulai pada 2012 dengan dana APBN Perubahan.Honorer kategori II diangkat melalui tes kompetensi dengan mempertimbangkan usia. neneng zubaidah

Pasangan Selingkuh Bugil Digerebek di Kamar

Grobogan - Pasangan selingkuh yang sedang berkencan di dalam rumah, saat siang bolong, digerebek warga. Mereka digelandang ke balai desa untuk membuat surat pernyataan tidak mengulangi lagi.

Ha dan Su, masing-masing berusia 42 tahun, digerebek di rumah milik So di Desa Pengantin, Kecamatan Klambu, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Saat digerebek keduanya berada di kamar dalam kondisi telanjang bulat.

Su sempat berusaha kabur, namun berhasil ditangkap kembali oleh warga.

Ha mengaku bekerja sebagai pembantu dan menjaga warung di rumah So menjaga sejak tiga tahun lalu.

Karena hasil kerjannya tidak mencukupi, dia terpaksa melayani tamu laki-laki. Anehnya, So mengizinkan rumahnya menjadi tempat mesum.

Kepala Desa Pengantin, Muhammad Junaedi, Kamis (29/3/2012), mengatakan warga sudah mencurigai warung di rumah So dijadikan tempat prostitusi. Saat ada kesempatan, warga bersama perangkat desa langsung menggerebek warung makan itu.

Kedua pasangan mesum dan pemilik rumah ini kemudian digelandang ke balai desa. Ha, dan Su, dipaksa membuat surat pernyataan tidak mengulangi perbuatan mesum itu lagi sementara So dilarang membuka praktik prostitusi.

Jika mengulangi, maka pihak desa akan menyerahkan kasus ini ke polisi.
(Rustaman Nusantara/Sindo TV/ton)

KPK, Lembaga Super?

Oleh: Hikmahanto Juwana

KOMISI Pemberantasan Korupsi sebagai lembaga negara kembali menjadi topik pembicaraan pascaberedarnya testimoni Ketua nonaktif KPK Antasari Azhar. Sejumlah pengamat berpendapat KPK sedang mengalami serangan dan pelemahan, terutama karena kedudukannya sebagai superbody atau lembaga super.

Mispersepsi
Banyak yang beranggapan bahwa KPK merupakan lembaga super karena tidak adanya mekanisme check and balances. Padahal, setiap lembaga negara tidak mungkin independen tanpa sistem check and balances.

Bila ditilik dari kelembagaan, KPK sebenarnya bukanlah lembaga super. Kalaupun dimispersepsikan sebagai lembaga super, hal itu lebih karena KPK memiliki kewenangan yang diemban polisi dan kejaksaan sekaligus. Kewenangan satu atap ini adalah kewenangan melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.

Kewenangan KPK dalam konteks demikian tidaklah super bila dibandingkan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). KPPU melebihi KPK karena bertindak sebagai investigator, penuntut, dan pemutus sekaligus. Bahkan, apabila putusannya diajukan keberatan ke pengadilan negeri dan Mahkamah Agung, KPPU menjadi pihak dalam perkara. Sebagai pihak, KPPU akan leluasa melakukan pembelaan atas putusannya.

Di negeri ini lembaga yudikatif yang lebih rendah tak akan melakukan pembelaan sendiri terhadap putusan yang dibuatnya di hadapan lembaga yudikatif yang lebih tinggi. Kewenangan demikian, dari kacamata hukum, merupakan super. Namun, kewenangan yang dimiliki KPPU tidak mendapat perhatian masyarakat karena perkara yang ditangani bukan perkara yang langsung bersentuhan dengan masyarakat dan sanksinya bukan sanksi pidana.

Sementara untuk KPK tetap ada mekanisme check and balances. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dapat meminta pertanggungjawaban KPK atas kegiatannya secara umum. Secara keuangan, KPK akuntabel terhadap Badan Pemeriksa Keuangan. Pengadilan pun dapat menggugurkan dakwaan jaksa penuntut umum KPK meski hingga saat ini belum pernah ada. Bahkan, pers dan masyarakat dapat melakukan kontrol sosial terhadap KPK.

Para personel dari KPK pun tidak memiliki kekebalan hukum. Mereka yang diduga melakukan kejahatan dapat dilakukan proses hukum. Ketua KPK nonaktif Antasari adalah contoh nyata, selain seorang oknum polisi yang bekerja untuk KPK.

Faktor Super
Kalaupun KPK disebut sebagai super, bisa jadi bersumber dari tiga faktor. Pertama, kewenangan yang terkait dengan proses hukum. Kewenangan ini, antara lain, adalah kewenangannya untuk melakukan ”penjebakan”, melakukan penyadapan, dan tidak dapat mengeluarkan SP3.

Kewenangan demikian mengingatkan masyarakat pada kewenangan yang dimiliki Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) dan instansi yang terlibat dalam pemberantasan tindak pidana subversi pada masa lampau. Meski demikian, KPK tentu berbeda dengan Kopkamtib. KPK tetap dapat dikontrol. Bahkan, pengadilan dapat menolak atau tidak mengabulkan apa yang menjadi keinginan KPK.

Kedua, kalaupun KPK dianggap super, hal itu karena personel yang mengisi komisi ini. Harus diakui, personel KPK—baik pimpinan maupun staf—direkrut dengan sistem berbeda dari instansi penegak hukum lainnya. Polisi dan jaksa yang diperbantukan ke KPK adalah pilihan dan terbaik. Pimpinan KPK pun direkrut dengan sistem yang terbuka dan melalui proses yang panjang.

Perlu dipahami sumber daya manusia yang prima amat penting dalam penegakan hukum. Mereka harus pandai sehingga tidak terombang-ambing dalam menegakkan hukum. Inilah yang patut dicontoh dari KPK untuk kepolisian, kejaksaan, dan kekuasaan kehakiman.

Ketiga, dari segi kesejahteraan juga dapat dikatakan super bila dibandingkan kesejahteraan dari instansi hukum pada umumnya. Tanpa kesejahteraan yang super, sulit dibayangkan KPK dapat melakukan tugasnya memberantas korupsi secara efektif.

Integritas
Dalam penegakan hukum yang tegas, diperlukan manusia yang berintegritas. Integritas akan berkorelasi erat dengan kesejahteraan. Penegakan hukum bisa tumpul karena tidak adanya integritas. Karena itu, pemberian kesejahteraan yang memadai pada instansi penegak hukum harus menjadi prioritas pemerintah. Sulit diterima logika sehat, aparat penegak hukum yang mendapatkan kesejahteraan minim dari negara bisa memiliki sejumlah kemewahan.

Masyarakat harus memahami bahwa berbagai faktor super yang dimiliki KPK diberikan karena untuk memberantas korupsi diperlukan lembaga yang memiliki kewenangan, personel, dan sistem penggajian yang tidak biasa. Korupsi telah dianggap sebagai suatu kejahatan luar biasa sehingga penanganannya pun harus luar biasa.

KPK harus tetap eksis selama kebutuhan untuk itu masih ada. Meski demikian, harus diakui kewenangan super memang rentan untuk disalahgunakan dan disalahtafsirkan oleh mereka yang mengembannya. Di sinilah semua personel KPK harus betul- betul dapat memaknai tugasnya.

Hikmahanto Juwana, Guru Besar Ilmu Hukum pada FHUI, Jakarta

Sumber: Kompas, Senin, 10 Agustus 2009

Semua Bermula dari Antasari

Oleh: Jabir Alfaruqi

PADA waktu diadakan fit and proper test (uji kelayakan) para calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), semua elemen antikorupsi secara lantang menolak figur Antasari Azhar (AA) sebagai nomine. Penolakan semakin kuat ketika terdengar kabar bahwa Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akan memilih dia sebagai ketua KPK. Kendati demikian, akhirnya dia terpilih juga sebagai ketua KPK.

Penolakan itu dilatarbelakangi track record AA yang kurang bagus di lembaga kejaksaan. Integritas dan kinerjanya di bidang penegakan hukum, khususnya pidana khusus korupsi, kurang baik. Para aktivis antikorupsi khawatir ke depan KPK tidak berdaya kalau dipimpin sosok yang integritasnya tidak baik. Padahal, kehadiran KPK diharapkan bisa memberikan harapan baru bagi penegakan hukum pidana korupsi.

Tetapi apa dikata, DPR yang memiliki kewenangan untuk menentukan pimpinan KPK tidak mau menggubris suara arus bawah. Kritik dan penolakan tersebut dianggap angin lalu. AA pun terpilih sebagai pimpinan KPK dan dipilih pula menjadi ketua KPK. Sungguh luar biasa.

Dalam perjalanan awalnya, gebrakan AA memang cukup meyakinkan. Keraguan publik pun terkikis. Banyak pihak yang berharap praduga negatif di masa uji kelayakan itu salah dan tidak menjadi kenyataan. Para politisi diciduk, petinggi negara ditahan, dan tak kalah menghebohkan jaksa Urip Tri Gunawan sebagai orang penting di Kejagung ditangkap. Itu merupakan prestasi luar biasa mengingat AA berasal dari institusi kejaksaan.

Namun, lama-lama kinerja KPK mulai melemah. Penanganan kasus-kasus korupsi hanya mengambil sampel-sampel dan tidak tuntas. Kasus di kalangan politisi hanya diselesaikan pada tingkat anggota dewan. Tidak sampai pada pimpinan komisi. Kasus pengakuan Agus Condro dibiarkan saja karena hal itu melibatkan politisi PDIP yang dulu sangat menentukan keterpilihan AA. Dan, masih banyak lagi kasus yang penanganannya belum jelas.

Tidak lama kemudian, AA terlibat kasus pembunuhan Nasrudin dan terjebak cinta segi tiga dengan Rani, istri siri Nasrudin. Sejak peristiwa itu, KPK digoyang kanan kiri, baik oleh DPR yang meragukan keabsahan putusan KPK karena hanya terdiri atas empat orang, perang dengan petinggi kepolisian yang melahirkan istilah ''cecak melawan buaya'', maupun belum jelasnya penyelesaian RUU Tipikor.

Yang lebih mengejutkan adalah testimoni AA yang mengatakan dirinya telah bertemu dengan direktur PT Masaro di Singapura dan mengabarkan kesaksian bahwa pimpinan KPK menerima suap dari perusahaan tersebut. Berita itu semakin memojokkan KPK di mata publik. Energi KPK akhirnya tersedot untuk merespons isu-isu miring yang mendiskreditkan lembaga tersebut. Itu tentu kerugian besar bagi bangsa Indonesia.

Troublemaker

Bila kita analisis, apa yang akhir-akhir ini dilakukan AA, tampaknya, semakin memperkuat dugaan awal para aktivis antikorupsi yang menuding KPK di bawah kepemimpinan AA tidak akan lebih baik. Bahkan, di kalangan aktivis antikorupsi, AA dianggap sebagai troublemaker KPK. Benarkah seperti itu? Tentu saja banyak hal yang bisa dijadikan argumentasi.

Pertama, AA sebetulnya sadar betul bahwa ketika dijadikan tersangka dalam kasus pembunuhan Nasrudin, citra dirinya sudah habis di depan publik. Seorang yang sangat ditakuti bisa tersandung kasus yang semestinya tidak layak untuk dilakukan. Tetapi, dia tidak mau menjadi pesakitan sendirian. Karena itu, kasus yang menimpa dirinya dicoba dikait-kaitkan dengan para komisioner KPK lain. Dengan demikian, bukan hanya dirinya yang kotor, tetapi komisioner lain juga tidak bersih.

Kedua, AA seharusnya sadar betul bahwa pengakuan dirinya telah bertemu dengan direktur PT Masaro yang buron korupsi di Singapura adalah melanggar UU No 30/2002 tentang KPK pasal 36 jo pasal 65. Namun, hal itu tetap diungkapkan AA ke permukaan. Penyampaian informasi tersebut sebenarnya tidak semata-mata menggambarkan hanya dirinya yang citranya sudah rusak. Tetapi, lebih jauh dari itu, publik menjadi tahu bahwa citra KPK tidak sebaik yang dibayangkan orang. Integritas para pimpinan KPK juga parah, tak sebersih perkiraan orang.

Ketiga, ada kekhawatiran setelah AA diberhentikan dari posisi ketua KPK, KPK semakin tidak terkendali alias semakin berani menindak kasus-kasus yang diendapkan pada masa kepemimpinan AA. Bila itu terjadi, banyak pihak yang dirugikan. Keselamatan terancam dan masa depan mereka tidak menentu. Hal tersebut tentu sangat tidak diinginkan. Karena itu, AA didorong untuk melakukan sesuatu.

Keempat, sebagai pucuk pimpinan KPK, integritas dan komitmennya terhadap KPK layak diragukan. Kenapa? Semestinya kalau dia yang terkena kasus tertentu dan tidak melibatkan orang lain, sebaiknya AA tidak mencoba mencari-cari masalah agar citra pimpinan KPK lain tercoreng. Tetapi, mengapa dia melakukan sebaliknya? Selama ditahan di Mabes Polri, AA selalu mengeluarkan pernyataan yang menyudutkan komisioner KPK lain. Ada apa dengan AA?

Seandainya apa yang tertera di atas itu benar, tudingan awal bahwa kehadiran AA di KPK maupun sebagai ketua KPK adalah by design bukan karena kebetulan menjadi benar adanya. Karena kehadirannya by design, tentu saja ketika terkena masalah dan berpotensi dipecat dari KPK, banyak pihak yang berusaha agar bukan hanya AA yang jatuh. Lembaga KPK pun berusaha diseret. Dengan harapan, lembaga itu menjadi lemah. Keberadaannya seperti tidak adanya. (*)

Jabir Alfaruqi, koordinator Komite Penyelidikan dan Pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KP2KKN) Jawa Tengah

Sumber: Jawa Pos, Senin, 10 Agustus 2009

Mempertahankan KPK

Oleh: Febri Diansyah

TESTIMONI Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi nonaktif Antasari Azhar tentang pemberian suap kepada pimpinan KPK amat mengagetkan publik. Namun, bagi masyarakat yang lebih mengetahui rekam jejak dan duduk persoalan, empat lembar surat tulisan tangan itu dinilai lebih berakibat menyudutkan dan menyerang KPK. Atau, dalam potret lebih makro, bukan tidak mungkin, testimoni itu hanya bagian kecil dari desain besar. Tepatnya, berbagai kepentingan mematikan KPK bertemu di sebuah titik.

Serangan balik terhadap KPK memang bukan hal baru. Ada empat lembaga serupa yang sempat dimatikan saat mulai menyentuh kekuasaan. Untuk KPK, sejak era pertama, saat dibentuk, berbagai upaya pelemahan telah dilakukan. Uji materi UU Nomor 30 Tahun 2002 tercatat sering diajukan. Tujuannya, UU KPK dibatalkan dan KPK bubar.

Selain melalui uji materi, KPK pun diserang dengan berbagai manuver politik dan birokrasi. ICW mencatat rinci upaya fight back itu. Setidaknya ada 11 jurus mematikan KPK. Namun, KPK masih kokoh, hingga sebuah testimoni dari mantan ”orang dalam” muncul.

Dari materinya terlihat berkas itu terkait rekaman pembicaraan yang ditemukan polisi di laptop Antasari. Di situ ada empat orang. Namun, yang paling intens bicara diduga Antasari Azhar dan Anggoro W. Bertempat di Singapura, Anggoro mengatakan, sejumlah uang sudah diserahkan kepada elemen KPK di sebuah restoran di Kuningan, Jakarta. Tujuan suap itu agar kasus korupsi Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT) di Departemen Kehutanan dengan rekanan PT Masaro tidak diusut KPK. Namun, jika diteliti, rekaman berdurasi 18 menit itu mengandung banyak kejanggalan.

Struktur Suap
Sebagai sebuah keterangan awal, informasi apa pun terkait korupsi tidak mungkin langsung dibuang. Jika ada bukti kuat, tentu tak satu pun yang mampu melindungi pelaku kejahatan. Namun, yang dikhawatirkan, testimoni itu diniatkan menyerang moralitas institusi KPK. Jika tak dijelaskan kepada masyarakat luas, terkikisnya kepercayaan publik dapat berakibat buruk bagi pemberantasan korupsi. Apalagi, hingga kini, menurut ICW, hanya KPK dan Pengadilan Tipikor yang bisa dipercaya lebih serius melawan korupsi.

Dari aspek ilmu hukum pidana, substansi rekaman dan testimoni itu bisa didekati dari struktur pidana suap/gratifikasi. UU Nomor 31 Tahun 1999 jo Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi mengatur beberapa ancaman pidana suap.

Namun, pada prinsipnya, dari sudut pandang pejabat publik, struktur logika suap terletak pada dua poin. Pertama, menerima sesuatu, baik dalam bentuk uang, janji, fasilitas khusus, atau apa pun yang dapat dinilai dengan uang. Kedua, pemberian itu ditujukan agar sebuah kewajiban si pejabat tidak dilakukan, atau melakukan sesuatu yang bertentangan dengan tugasnya.

Pertanyaannya, apakah tujuan dari sejumlah uang yang katanya diberikan Anggoro? Menghentikan kasus Masaro? Ternyata, fakta saat ini, KPK justru sudah menetapkan sejumlah tersangka dalam kasus korupsi SKRT-Masaro, baik berasal dari Masaro, Departemen Kehutanan, maupun anggota DPR. Apalagi, kasus korupsi ini merupakan lanjutan dari kasus lain yang sudah berjalan jauh hari sebelum Antasari bertemu Anggoro di Singapura.

Dalam konsepsi mafia peradilan, jika benar Anggoro memberi sejumlah uang melalui kurir, belum tentu uang itu diserahkan kepada pimpinan KPK. Dengan kata lain, ada banyak hal yang harus dibuktikan dalam pidana suap, mulai dari transaksi pemberian dan penerimaan uang, kesaksian pemberi, pelaksana, hingga apakah tujuan pemberian uang itu tercapai. Jika satu saja tidak terpenuhi, gugurlah tuduhan suap.

Dalam ilmu hukum pidana pun dikenal istilah geen straf zonder schuld beginsel. Kurang lebih berarti, tiada pidana tanpa kesalahan. Konsekuensi asas ini bagi penegak hukum adalah pada kewajiban membuktikan semua unsur pidana dalam suap dan memastikan apakah orang yang dituduh benar-benar dapat dimintakan pertanggungjawabannya. Dengan kata lain, jika satu saja tidak terbukti, runtuhlah dugaan pidana itu.

Legitimasi Bukti
Dari penjelasan singkat ini, mudah dipahami testimoni dan rekaman belumlah bukti kuat. Apalagi pertemuan Antasari dengan Anggoro di Singapura itu juga dinilai melanggar UU KPK. Pasal 36 dan 65 mengatur, pimpinan KPK dilarang bertemu tersangka atau pihak lain yang terkait kasus korupsi.

Kita tahu, saat ini orang yang ditemui adalah tersangka dan buron kasus korupsi. Pelanggaran ini berakibat tidak sederhana, selain semakin meruntuhkan nilai alat bukti rekaman dan testimoni, ia juga memberi kewajiban kepada Polri untuk menyidik Antasari dengan dugaan pelanggaran UU KPK. Ancaman pidana ”pertemuan ilegal” itu maksimal lima tahun penjara.

Atau, kalaupun benar Anggoro memberi sejumlah uang terhadap pimpinan KPK, ia justru masuk kualifikasi penyuap. Maka tindakan yang seharusnya dilakukan Ketua KPK selaku penegak hukum adalah menangkap, atau minimal melakukan proses hukum, bukan sebaliknya.

Apalagi kita tahu informasi rekaman dan testimoni justru baru muncul saat Antasari sudah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan dalam kasus pembunuhan berencana Direktur PT RPB Nasrudin Zulkarnaen. Karena itu, wajar banyak pihak meragukan kebenaran dan motif di balik rekaman dan testimoni kontroversial itu. Legitimasi bukti itu sejauh ini amat lemah.

Dalam kacamata yang lebih makro, semua pihak perlu hati-hati dan siaga dengan semua rekayasa, desain sistematis, dan serangan terhadap upaya pemberantasan korupsi. Alasannya, banyak pihak yang tidak senang, terganggu dengan pemberantasan korupsi, atau minimal terancam dengan keberadaan KPK. Mereka yang ingin KPK mati adalah pihak yang ingin korupsi tetap berjaya.

Siapa mereka? Menggabungkan analisis penanganan kasus korupsi di KPK dan Pengadilan Tipikor dengan teori akar korupsi, perhatian perlu lebih difokuskan pada persekongkolan kelompok bisnis dengan politisi dan penegak hukum. Terminologi rent-seeking behaviour, di mana mafia bisnis menggunakan pengaruh dan kedekatannya dengan pengambil kebijakan, pimpinan politik, dan penegak hukum tertentu untuk meraup keuntungan besar, amat relevan dicermati. Mengapa? Karena KPK sudah beberapa kali menjerat dan masuk ranah mafioso akar korupsi itu, mulai kasus Agus Condro, KPPU, hingga aliran dana Bank Indonesia.

Karena itu, kasus ini merupakan pertaruhan bagi Polri yang sedang mereformasi diri. Dengan kata kunci, semua pihak, kecuali koruptor, seharusnya bertujuan mempertahankan KPK. Segala upaya corruptor fight back harus dilawan.

Febri Diansyah, Peneliti Hukum; Anggota Badan Pekerja ICW

Sumber: Kompas, Senin, 10 Agustus 2009

Menguji Dugaan Suap di KPK

Oleh: Adnan Topan Husodo

PERTEMUAN jajaran kejaksaan dengan kepolisian beberapa waktu lalu membahas satu masalah yang sangat serius, yakni dugaan suap di KPK. Lengkapnya, salah seorang pimpinan KPK diduga menerima suap dari PT Masaro senilai lebih dari Rp 6 miliar. Tujuannya tak lain adalah untuk menghentikan perkara dugaan korupsi yang melibatkan Anggoro, direktur PT Masaro, dalam proyek alat komunikasi (alkom) di Departemen Kehutanan (Dephut).

Kasus dugaan korupsi PT Masaro merupakan pengembangan dari kasus penyuapan dalam proyek alih fungsi hutan lindung di Banyuasin, Sumatera Selatan, yang melibatkan Yusuf Emir Faisal cs sebagai anggota DPR dari komisi IV. Dari pengakuan yang diterima KPK, dana yang mengalir ke Komisi IV DPR ternyata bukan hanya untuk proyek alih fungsi hutan lindung, melainkan juga dari PT Masaro.

Berdasar informasi itulah, KPK lantas menggeledah Dephut yang di kemudian hari banyak ditemukan data yang mendukung dugaan adanya korupsi dalam proyek pengadaan alat komunikasi di Dephut. PT Masaro merupakan rekanan Dephut yang sejak 1990-an menyuplai alkom.

Entah bagaimana prosesnya, melalui tender atau tidak, yang pasti PT Masaro kerap mendapatkan proyek untuk menyediakan kebutuhan alkom bagi Dephut. Sudah tentu, kasus PT Masaro yang kini ditangani KPK akan menyeret pejabat di Dephut, mengingat proyek alkom berlangsung sejak lama.

Mempertanyakan Motif
Kembali ke topik bahasan, dugaan suap di KPK ini informasinya dari mantan Ketua KPK Antasari Azhar (AA). Menurut versi kepolisian, berdasar pemeriksaan terhadap laptop AA, ditemukan berbagai informasi serta petunjuk mengenai indikasi penyuapan yang diduga dilakukan Anggoro, direktur PT Masaro, terhadap salah seorang pimpinan KPK. Disebut-sebut, pimpinan KPK itu adalah Muhammad Jasin.

Senada dengan informasi lain yang berkaitan dengan dugaan penyadapan ilegal oleh pimpinan KPK Chandra M. Hamzah yang kasusnya juga masih diperiksa kepolisian, sumber informasi atas kedua hal tersebut bisa jadi berasal dari orang yang sama, yakni AA.

Mengingat kronologi kejadian antara indikasi penyadapan ilegal dengan dugaan penyuapan berlangsung secara simultan, motif pengungkapan kasus-kasus tersebut menjadi patut dipertanyakan. Benarkah AA tidak ingin dirinya sendiri yang diseret dalam sebuah kasus, sehingga perlu “mengajak” pimpinan KPK yang lain?

Terkesan, pengungkapan dua kasus, yakni indikasi penyadapan ilegal dan dugaan penyuapan, sangat intens dilakukan kepolisian dengan berkoordinasi dengan kejaksaan tatkala KPK tengah gencar-gencarnya mengungkap berbagai kasus korupsi. Salah satu yang sebelumnya ditunggu publik luas adalah kasus dugaan penyuapan dalam pemilihan Miranda Goeltom.

Oleh KPK pasca ditinggal AA, status kasus tersebut ditingkatkan ke penyidikan. Karena yang mungkin terlibat dalam kasus Miranda Goeltom adalah elite politik di Senayan, pejabat BI, serta pihak-pihak tertentu yang sangat mungkin mendanai penyuapan tersebut, sangat mungkin proses hukum terhadap indikasi penyadapan ilegal dan dugaan penyuapan oleh salah seorang pimpinan KPK merupakan sebuah proses hukum yang sudah tidak steril. Kepentingannya sangat jelas. Yakni, ingin menghentikan proses hukum kasus korupsi oleh KPK.

Benarkah Ada Suap?
Mengingat indikasi suap di KPK masih dalam tingkat penyelidikan oleh kepolisian, tentu bukan pada tempatnya menyimpulkan bahwa suap itu merupakan kasus yang direkayasa. Tanpa bermaksud mencampuri proses hukum oleh kepolisian atas indikasi suap di KPK, penulis ingin mengungkapkan beberapa hal mendasar yang bisa mengungkap lebih jauh benar atau tidaknya suap tersebut.

Pertama, biasanya motif penyuapan dalam proses hukum dilakukan untuk menghentikan sebuah kasus yang sedang ditangani aparat penegak hukum. Istilah mafia peradilan merupakan hal yang tepat untuk menggambarkan praktik penyuapan dalam proses peradilan. Dengan berbagai cara, pihak yang sedang diproses hukum memiliki kepentingan untuk menghentikan kasusnya. Entah berujung pada SP3 atau penghentian penyelidikan. Demikian logikanya.

Masalahnya, dalam kaitan dengan kasus pengadaan alkom oleh PT Masaro, KPK bahkan meningkatkan status hukumnya ke tingkat penyidikan. Anggoro yang disebut-sebut merupakan pihak yang mengemukakan adanya suap tersebut sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Bahkan karena menyembunyikan diri, KPK telah menetapkan status buron terhadap diri Anggoro.

Dengan penetapan status hukum ke penyidikan dan penetapan status tersangka atas diri Anggoro oleh KPK, dugaan penyuapan terhadap salah seorang pimpinan KPK menjadi sulit dipercayai. Meski dapat diasumsikan bahwa penyuapan itu telah terjadi, pihak yang disuap tidak sanggup membendung keputusan di KPK. Tapi, hal itu juga perlu didukung oleh data dan fakta hukum yang memadai.

Pada aspek yang terakhir ini, kasus penyuapan di KPK menjadi sangat sumir. Data yang diperoleh ICW menunjukkan bahwa sumber informasi atas indikasi penyuapan berasal dari Anggoro. Namun, Anggoro tentu tidak bisa dijadikan saksi karena dua hal. Pertama, yang menyebutkan adanya suap tersebut hanya Anggoro seorang. Dalam logika hukum pidana, satu orang tidak bisa disebut sebagai saksi.

Kedua, adanya penyuapan yang diakui atau dikatakan oleh Anggoro ternyata tidak bersumber dari Anggoro sendiri. Maksudnya, Anggoro bukanlah pihak langsung yang menyuap orang KPK. Dia mendapatkan informasi adanya penyuapan itu dari pihak ketiga.

Tentu saja, jika informasi mengenai adanya penyuapan tersebut berasal dari pihak yang tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya, kita dapat mengembangkan beberapa spekulasi. Bisa jadi, Anggoro telah ditipu oleh pihak-pihak tertentu yang selama ini terkesan ingin membantu dia menyelesaikan kasus dengan berperan sebagai penghubung ke pihak KPK.

Padahal, sangat mungkin uang yang sudah diberikan Anggoro untuk menyuap tidak pernah disampaikan ke pihak yang berkepentingan. Atau, ada pihak-pihak tertentu yang mengaku sebagai orang KPK dan memanfaatkan situasi kepanikan untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Dari penjelasan tersebut, kasus suap di KPK masih sulit diyakini kebenarannya. (*)

Adnan Topan Husodo, wakil koordinator ICW

Sumber: Jawa Pos, Sabtu, 8 Agustus 2009

Memperkuat Jangkar KPK

Oleh: Hasrul Halili

AKHIR-akhir ini, energi aktivis gerakan antikorupsi di Indonesia terkonsentrasi penuh menghadapi fenomena corruptors fight back dalam ranah pemberantasan korupsi. Fenomena corruptors fight back adalah situasi di mana kekuatan-kekuatan prokorupsi melakukan serangkaian serangan balik yang sistematis terhadap gerakan antikorupsi. Serangan tersebut berpotensi melumpuhkan simpul-simpul utama gerakan antikorupsi.

ebagian aktivis antikorupsi meyakini master mind di balik itu semua adalah para koruptor yang sakit hati karena pernah menjadi pesakitan dalam proses peradilan korupsi. Atau, bisa juga mereka adalah orang-orang yang berpotensi melakukan korupsi yang kemudian merasakan kebutuhan untuk melakukan tindakan-tindakan ”pre-emptive” agar kelak ketika berpraktik koruptif tidak tersentuh oleh hukum. Ditengarai, orang-orang di belakang corruptors fight back tersebut sangat powerful, baik dalam pengertian ekonomi, politik, maupun hukum.

Sejauh yang bisa diamati, bentuk corruptors fight back bervariasi, mulai mempersoalkan berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan korupsi—misalnya melalui mekanisme judicial review—sampai menggembosi lembaga antikorupsi.

Untuk yang terakhir itu, modusnya bisa dilakukan dengan cara melucuti kewenangan istimewa yang dimiliki lembaga superbodi antikorupsi maupun dengan cara “mengkriminalkan” orang-orang kunci (key persons) di lembaga antikorupsi dengan menyeret mereka dalam kasus hukum tertentu.

Rumor tentang rencana penangkapan sejumlah pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dikabarkan tersangkut kasus suap—pasca penangkapan Ketua KPK Antasari Azhar yang tersangkut kasus pembunuhan Direktur PT Putra Rajawali Banjaran Nasrudin Zulkarnaen—mungkin merupakan contoh yang pas untuk menjelaskan fenomena corruptors fight back yang langsung diarahkan ke KPK. Rumor tersebut belakangan diperkuat oleh testimoni Antasari yang menyatakan adanya dugaan suap terhadap dua petinggi KPK terkait penanganan kasus PT Masaro.

Dari kilas balik sejarah perkembangan gerakan antikorupsi di Indonesia, selain tercatat bahwa fenomena corruptors fight back sebenarnya bukan merupakan sesuatu yang baru, hal lain yang menarik (sekaligus mencemaskan) adalah tingkat keberhasilannya.

Sejarah mencatat, corruptors fight back ternyata secara gemilang berhasil mematikan beberapa lembaga garda depan pemberantasan korupsi. Mulai Tim Pemberantasan Korupsi pada 1967, Tim/Komisi Empat (1970), Operasi Ketertiban (Opstib) pada 1977, serta Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGP-TPK) dan Komisi Pemeriksa Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN) pada era pemerintahan Gus Dur.

***

Pertanyaannya sekarang, akankah corruptors fight back terhadap KPK juga berhasil dilakukan seperti terhadap lembaga-lembaga antikorupsi pada masa lalu?

Jawaban pertanyaan itu tentu bisa iya bisa tidak. Satu hal yang pasti, semua akhirnya bergantung pada kemampuan internal KPK dalam menangkis segala bentuk serangan terhadap mereka. Karena itu, yang kemudian penting dilakukan adalah menakar seberapa kukuh sebenarnya jangkar pertahanan KPK berhadapan dengan corruptors fight back tersebut.

Salah satu jangkar pertahanan penting dalam menghadapi serangan balik koruptor terhadap kelembagaan KPK adalah integritas key persons di KPK. Dalam arti, mereka memang merupakan figur-figur yang tidak terkontaminasi praktik koruptif maupun perbuatan pidana lainnya, sehingga tidak mudah disangkutpautkan dengan masalah hukum.

Poin itu penting dikemukakan, mengingat integritas sebagian kepemimpinan KPK periode 2007-2011, sejak proses rekrutmen, masih disyakwasangkai oleh banyak pihak, termasuk sebagian aktivis antikorupsi. Setidaknya, hal tersebut terlihat jelas dari suara kritis masyarakat yang sangat gencar mempersoalkan integritas Antasari Azhar saat terpilih sebagai ketua KPK periode 2007-2011.

Belakangan, kekhawatiran masyarakat tersebut, tampaknya, mendapat afirmasi dengan tersandungnya yang bersangkutan dalam kasus pembunuhan yang sangat menghebohkan.

Jaminan integritas key persons di KPK menjadi sangat penting tidak saja dalam kerangka memperkukuh jangkar pertahanan KPK dari corruptors fight back, tapi juga menjadi spirit bagi all out-nya advokasi yang akan dilakukan elemen-elemen gerakan antikorupsi di Indonesia yang sudah siap “pasang badan” untuk KPK.

Dengan memastikan dan meyakinkan kepada masyarakat luas bahwa key persons KPK memang secara integritas tidak bermasalah dengan hukum, mengutip pernyataan Teten Masduki, yang terjadi saat ini hanyalah “upaya balas dendam karena KPK mencium adanya dugaan kasus korupsi yang diduga melibatkan petinggi Polri”. Hal yang menurut penulis tidak akan sulit dilakukan, mengingat selama ini masyarakat, tampaknya, tidak punya catatan serius dengan kefiguran pimpinan KPK, selain Antasari Azhar.

Pada aspek lain, pertahanan dengan jaminan integritas key persons KPK juga akan menjadi tangkisan bagus terhadap corruptors fight back yang, tampaknya, memang mengarahkan serangan terbarunya ke arah kepemimpinan “kolektif" KPK” dengan taktik menyeret-nyeret satu per satu jajaran pimpinan KPK dalam kasus-kasus hukum yang terkesan dipaksa-paksakan.

Tentu saja, serial corruptors fight back tidak akan berhenti sampai di sini. Setidaknya, setelah skenario penangkapan pimpinan KPK dengan tuduhan terlibat suap tidak berhasil dilakukan, arah serangan berikutnya akan ditujukan kepada RUU Pengadilan Tipikor dan RUU Tipikor.(*)

Hasrul Halili, dosen serta kepala Divisi Korupsi dan Peradilan Pusat Kajian Anti (PuKAT) Korupsi FH UGM

Sumber: Jawa Pos, Jumat, 7 Agustus 2009

Cabor Dansa di PON XVIII Riau Ditolak

Jakarta – Penambahan cabang olah raga Dansa pada PON XVIII Riau 2012 ramai-ramai ditolak oleh berbagai kalangan karena dinilai bertentangan dengan budaya Melayu Riau. Apalagi Provinsi Riau akan bertindak sebagai tuan rumah.

“Kita menentang kebijakan KONI dan Kemenpora yang tetap mengikutsertakan Cabor Dansa di PON Riau, karena sangat betentangan dengan marwah dan budaya melayu Riau yang menjunjung tinggi nilai-nilai Islam,” kata anggota DPR RI asal Riau, Ir Lukman Edi kepada wartawan, Kamis (29/3).

Ketua Masyarakat Riau Jakarta (PMRJ) ini menilai cabor dansa cenderung mempertontonkan aurat. Ia juga yakin semua lapisan masyarakat di Riau akan menentangnya. Dengan alasan itu KONI dan Kemenpora diminta mempertimbangkan kembali diikutsertakannya Cabor dansa tersebut. Jika tidak, dikhawatirkan bisa menimbulkan keresahan di masyarakat.

“Jika dipertandingan siap-siap saja, bisa saja didemo dan diboikot. Jauh hari sudah diperingatkan,“ kata mantan Sekjen DPP PKB itu.

Wan Abubakar, mantan Wagub Riau yang kini duduk di Komisi IV DPR RI bersama anggota DPR RI asal Riau lainnya juga menolak dipertandingan Cabor dansa di tanah lancang kuning.

“Kalau ini (dansa-red) dipertandingkan di PON kita sepakat ditolak, karena bertolak belakang dan bertentangan dengan marwah Riau. Kita dukung untuk ditolak, “ kata anggota komisi IV DPR RI itu.

Hal serupa juga ditegaskan anggota DPD RI asal pemilihan Riau, Abdul Ghafar Usman. Ia menilai selain terkendala anggaran, penambahan cabor tersebut secara sepihak dan mendadak akan mempengaruhi kesuksesan pelaksanaan serta kurang sesuai dengan budaya melayu yang agamis.

“Jika dipaksanakan akan mengurangi kewibawaan Riau,“ katanya. DPD RI khususnya dari Riau kata Ghafar, akan memanggil pihak KONI dan Kemenpora sebagai bentuk respon untuk menolak Cabor tersebut dengan argumen yang rasional.

Ketua Umum Dewan Pengurus Harian Lembaga Adat Melayu (LAM) Riau, Al Azhar mengatakan, ada dua pertimbangan menolak kehadiran penambahan tiga Cabor di PON Riau. Pertama, penyelenggaraan PON tinggal beberapa bulan lagi, sehingga menyulitkan dan membebani PB PON.

“Kedua, khusus untuk Cabor dansa, jelas tidak sesuai dengan kebudayan melayu yang menajadi kebudayaan dominan di Riau yang identik dengan Islam,” tegas Al Azhar yang mengaku heran dengan pemerintah pusat seolah memaksakan kehendak.

Sebelumnya, Rabu (28/3), Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora), Andi Alfian Mallarangeng memastikan ada penambahan tiga Cabor di PON, yakni hoki, drumband dan dansa.

Namun ketiga Cabor itu diselenggarakan dengan sejumlah syarat. Di antaranya, diikuti minimal oleh lima peserta atau provinsi yang telah lolos pada tahap kualifikasi Oktober 2011 lalu, tanpa bisa tergantikan oleh provinsi lain yang tidak lolos kualifikasi. Provinsi juga diberi batas waktu pendaftaran selama sepekan terhitung 29 Maret sampai 4 April pukul 00.00 WIB.

Gatot Buka Lomba Pantun dengan Pantun

Medan, Sumut - Pelaksana Tugas (Plt) Gubsu, Gatot Pujo Nugroho membuka lomba pantun dengan dua pantun, di Lapangan Merdeka Medan, Selasa (27/3). Adapun pantuk Gatot," Santun Tidak Sembarang Santun, Pakai Kain Serat Hais, Lomba Pantun Tak Sembarang Pantun, Lomba Dalam Rangka Mukernas PKS.

Awak Ikan Dibalut Katun, Katun Bercorak Daun Kayu, Dengan Melestarikan berbalas pantun, Kita Junjung Budaya Melayu.

Dua pantun tersebut sekaligus membuka lomba berbalas pantun dalam rangka Mukernas PKS 2012. Seluruh perserta dan pengunjung yang menyaksikan "orang nomor satu" di Sumatera Utara ini berpantun langsung memberikan tepuk tangan dan menggemakan teriakan Allahuakbar.

Bahkan ada sejumlah pengunjung yang menyebut Plt Gubsu dengan sebutan raja saat disambut tokoh-tokoh Melayu dengan lantunan lagu Melayu dan dikawal oleh penjaga yang membawa dua payung berwarna kuning sebagai simbol penyambutan para raja. "Hidup tuanku raja, Hidup Pak Gatot, semoga Bapak tetap memimpin Sumut," teriak pengujung yang berdesakan menghampiri dan melihat langsung dari dekat.

Dalam sambutannya, Gatot mengucapkan terimak kasih kepada Panitia Mukernas PKS 2012 atas terselenggaranya berbagai acara, termasuk Lomba Berbalas Pantun ini. Menurut Gatot, pantun merupakan salah satu bentuk budaya yang turun-temurun dari suku Melayu dalam mengungkapkan sesuatu kepada orang.

"Seperti Kita ketahui, Sumut terdiri dari delapan etnis asli besar. Nah, banyak kearifan yang ada di berbagai etnis ini, salah satunya adalah kearifan dari suku Melayu yakni Pantun," ujarnya.

Utarakan maksud

Gatot juga menjelaskan, bahwa sejak zaman kerajaan dahulu, pantun sudah ada untuk mengutarakan maksud hati dan ungkapan hati seseorang yang tersusun dalam bait-bait dan kalimat. "Untaian kata-kta dirajut sedemikian rupa sehingga terdengar enak di telinga," katanya.

Usai membuka secara resmi lomba berbalas pantun, Gatot langsung diserbu para kader dan masyarakat umum untuk bersalaman. Bahkan, tak henti-hentinya meminta untuk berfoto bersama. Tampak dengan wajah tersenyum dan ramah Gatot tetap memenuhi permintaan para kader PKS dan pengunjung tersebut.

Semetara itu, Ketua Panitia Lomba Balas Pantun, Bang Yus mengatakan bahwa peserta yang mendaftar untuk berbalas pantun sebanyak 30 grup yang masing-masing grup terdiri dari 3 orang. Ke- 30 grup yang telah terdaftar akan menunjukkan kebolehannya dalam berpantung dan diberi waktu oleh panitia selama lebih kurang 15 menit. Adapun juri yang akan menilai kemampuan mereka adalah T Ismail, Aslim Rapina dan Ali. "Sedangkan MC-nya adalah Hidayat Alamsyah, peserta akan bertanding berbalas pantung dengan tema Mukernas PKS," katanya.

Ketua Tim Juri, T Ismail Manan mengungkapkan, penilaian terhadap peserta yakni dengan katagori kemampuan peserta dalam penguasaan materi, kecepatan serta adap atau sopan santun. "Selain itu juga kita nilai busana budayanya," ujarnya

Pencak Silat Eksis di Pasar Malam Indonesia, Den Haag

Den Haag, Belanda - Pasar Malam Indonesia yang berlangsung di Den Haag, Belanda, menjadi ajang promosi bagi beragam budaya Indonesia. Salah satunya adalah pencak silat, yang menjadi olahraga khas Indonesia. Yuk, saksikan pertunjukannya!

Indonesia adalah negara kaya budaya. Hal itu terbukti dari banyaknya tradisi, tarian, nyanyian, kuliner, termasuk juga olahraga yang tersebar di seluruh Nusantara. Bagi masyarakat internasional, nama pencak silat masih asing di telinga. Oleh karena itu, salah satu ajang promosi bagi olahraga pencak silat ini adalah acara Pasar Malam Indonesia yang berlangsung di Den Haag, Belanda.

Mengutip situs resmi Pasar Malam Indonesia, pasarmalam.indonesia.nl, pertunjukan pencak silat ini akan diadakan pada Minggu (1/4/2012). Itu adalah hari terakhir dari acara Pasar Malam Indonesia yang berlangsung mulai hari ini, Kamis (29/3/2012).

Acara yang berlangsung di kawasan alun-alun Malieveld ini menjadi ajang promosi bagi pariwisata Indonesia. Pencak silat masuk dalam pertunjukan budaya. Selain itu, ada banyak pertunjukan lain mulai dari tarian dan musik tradisional, workshop, fesyen, hingga angklung.

Selain menyaksikan beragam pertunjukan, Pasar Malam Indonesia menawarkan beragam kuliner dan kudapan khas Nusantara. Ada lebih dari 25 restoran Indonesia yang berpartisipasi dalam acara ini. Pasar Malam Indonesia diharapkan bisa memperkenalkan beragam budaya Indonesia kepada masyarakat Belanda. Yuk, ajak teman-teman Anda untuk melihat seni bela diri khas Nusantara di Pasar Malam Indonesia!

Karya Seni Suku Dayak Dipamerkan di Museum Prancis

Ilustrasi
Jakarta - Sejumlah barang-barang karya seni suku Dayak bernilai tinggi dipamerkan di museum yang bertema "Tresors d'Indonesie" di Museum Kupu-Kupu (La Musee des Papillons), Saint-Quentin, Parancis selama dua bulan dari 24 Maret sampai 28 Mei mendatang.

Koordinator Fungsi Pensosbud KBRI Paris Arifi Saiman kepada ANTARA News, Selasa mengatakan benda-benda karya seni suku Dayak yang dipamerkan antara lain mandau, perangkat upacara kematian, patung kayu, perahu kayu, dan foto-foto kehidupan keseharian suka Dayak Kalimantan.

Arifi Saiman secara khusus melakukan kunjungan ke Museum Kupu-Kupu, Saint-Quentin Perancis untuk menghadiri pameran bertemakan "Tresors d'Indonesie" tersebut.

Kunjungan ini mendapat sambutan Wakil Walikota Saint-Quentin Bidang Kebudayaan Stephane Lepoudere yang menjelaskan maksud dan tujuan penyelenggaraan pameran serta koleksi benda bersejarah milik suku Dayak Kalimantan.

Pada kesempatan ini, Arifi Saiman menyampaikan ucapan terima kasih atas perhatian pemerintah Saint-Quentin dan pihak Museum Kupu-Kupu (La Musee des Papillons) terhadap Indonesia, yang sangat menghargai prakarsa positif bagi penyelenggaraan pameran "Tresors d'Indonesie".

Selain memamerkan benda seni milik suku Dayak Kalimantan, pihak museum juga menggelar pameran kupu-kupu khas Indonesia.

Sesuai namanya La Musee des Papillons (Museum Kupu-Kupu), museum ini memiliki koleksi kupu-kupu sebanyak 600 ribu spesies kupu-kupu yang sebagian besar berasal dari wilayah Indonesia.

Kupu-kupu tersebut berasal dari sejumlah wilayah di Indonesia. Beberapa spesies tertentu dari kupu-kupu yang menjadi koleksi museum masuk kategori langka, dan bahkan beberapa spesies kupu-kupu diantaranya sudah dinyatakan punah.

Dalam rangka membantu meningkatkan pemahaman tentang Indonesia di kalangan generasi penerus Perancis, penyelenggara pameran mengagendakan untuk mengundang siswa sekolah di wilayah Saint-Quentin untuk menyaksikan pameran ini.

Diharapkan siswa di Saint-Quentin dapat lebih mengenal Indonesia secara lebih baik dan lebih dekat, khususnya mengenali kekayaan flora, fauna dan kebudayaan yang dimiliki bangsa Indonesia.

Pameran bertema "Tresors d'Indonesie" di Museum Kupu-Kupu, Saint-Quentin merupakan upaya mengenalkan Indonesia kepada masyarakat Perancis, khususnya masyarakat Saint-Quentin.

Pameran ini melibatkan peran serta pemerintah Saint-Quentin dan kalangan kolektor benda-benda seni budaya Dayak dan kolektor kupu-kupu setempat.

Tingginya animo masyarakat Perancis khususnya di Saint-Quentin menyaksikan pameran yang digelar lembaga permuseuman setempat diharapkan dapat membantu memperkenalkan Indonesia kepada masyarakat Perancis khususnya masyarakat Saint-Quentin.

-

Arsip Blog

Recent Posts