Tampilkan postingan dengan label Sasak. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sasak. Tampilkan semua postingan

Perang Ketupat di Negeri Sasak

Perang topat (ketupat) setiap tahun berlangsung di Pura Lingsar, Kecamatan Narmada, Lombok Barat. Upacara ini berlangsung pada waktu saat “raraq kembang waru” alias gugurnya bunga waru.

Acara itu merupakan lambang kerukunan antar umat beragama, khususnya masyarakat Sasak (pemeluk Islam) dan masyarakat etnis Bali (pemeluk Hindu). Perang topat dimulai pukul 15.45, dan berakhir saat matahari tenggelam.

Upacara itu sudah jadi agenda pariwisata. Wanita yang sedang haid tak boleh mengikuti. Sehari sebelumnya ada upacara permulaan kerja atau “penaek gawe”. Ada lagi acara “mendak” alias upacara menjemput tamu agung alias roh-roh gaib yang berkuasa di Gunung Rinjani dan Gunung Agung. Kemudian ada pula penyembelihan kerbau. Ada sesajen berupa jajan sembilan rupa, buah-buahan, dan minuman.

Lempar-lemparan ketupat itu ditingkahi bunyi kul-kul selama sekitar satu jam. Ketupat itu diperebutkan. Yang belum dilemparkan tak boleh dibawa pulang. Kendati ketupat itu sudah penyok, atau isinya “mecotot”, tetap dipunguti orang, khususnya petani, untuk dibawa pulang dan ditempatkan di sudut-sudut pematang sawah atau digantung di pohon buah-buahan.
Maksud upacara itu adalah untuk mendapatkan berkah dan keselamatan, terutama bagi petani anggota Subak.

Memang perang topat tak lepas dari legenda. Konon di Lombok Barat dulu ada Kerajaan Medain. Raja Medain punya anak bernama Raden Mas Sumilir yang bergelar Datu Wali Milir. Suatu ketika ia menancapkan tongkatnya di tanah Bayan. Saat tongkat itu ditarik, air pun muncrat, melaju deras. Dalam bahasa Sasak, melaju artinya langser atau lengsar. Desa itu pun lalu diberi nama Lingsar. Entah bagaimana, Sumilir hilang di situ. Atas musibah itu, seisi istana dan warga sedih. Kesedihan itu berlarut hingga dua tahun. Buntutnya, semua orang melupakan urusan kehidupan. Suatu ketika keponakan Sumilir, Datu Piling, menemukan pamannya itu di lokasi mata air tadi. Dalam pertemuan itu disebutkan, kalau mau menemui Sumilir, hendaklah datang ke mata air itu.

Maka Datu Piling pun memerintahkan pengiringnya untuk menyambut pertemuan itu. Ketupat beserta lauknya dipersiapkan. Pertemuan pun terjadi sekitar pukul 16.00. Setelah itu Raden Mas Sumilir kembali menghilang. Tapi sejak Sumilir menghilang kedua kalinya, warga Lingsar kembali menikmati kemakmuran. Sumber air melimpah, dan siap dipakai mengairi sawah.
Perang ketupat pun lantas dilestarikan sebagai ungkapan rasa syukur, menandai saat dimulainya menggarap sawah.

Sumber: JIBIS Humaniora

Upacara Perkawinan Suku Sasak

Menurut adat suku sasak ada beberapa cara perkawinan yaitu perondongan (perjodohan), kawin lamar (mepadik lamar) dan selarian (merarik). Yang saya tulis kali ini tentang merarik., merupakan cara perkawinan yang sering dan biasa dilakukan oleh suku sasak karena dianggap cara yang paling terhormat.

Seorang pemuda bila tertarik pada seorang gadis maka pemuda tersebut akan mendatangi rumah si gadis dalam bahasa sasak midang, biasanya kedatangan si pemuda ini tidak langsung bisa bertemu dengan si gadis. Selama midang, mereka harus menjaga sopan santun. Hubungan antara pemuda dan dan gadis ini disebut Beberaya (bepenyayang).

Semakin cantik seorang gadis, maka akan semakin banyak yang datang untuk midang, setiap orang yang datang terlebih dahulu harus pulang lebih dahulu dari pada orang yang datang belakangan. Pada waktu pulang harus minta izin pada semua teman duduknya demikian pula pada saat datang bila datang belakangan harus memberi salam (tabe) pada orang yang telah terlebih dahulu datang. Dan selama bertamu harus menjaga pembicaraan jangan sampai menyinggung perasaan orang lain, sebab apabila sampai terjadi ada yang tersinggung maka hanya dapat diselesaikan oleh ujung senjata. Tiap datang midang biasanya para pemuda itu membawa oleh-oleh disebut Pereweh. Pereweh ini tidak memiliki daya pikat karena sifatnya hanya sebagai oleh-oleh.

Bila pemuda telah merasa yakin bahwa gadis yang diidamkan juga menaruh hati padanya maka sang pemuda akan memberikan bingkisan berupa uang, pakaian atau perhiasan. Pemberian serupa ini disebut “pengumbuk”. Pengumbuk ini mempunyai daya pikat berbeda dengan pereweh, karena pengumbuk ini dapat diminta kembali apabila ternyata sang gadis menikah dengan orang lain.

Akan tetapi bila si gadis memang benar menyukai pemuda tersebut maka sang pemuda akan berusaha mencari kata sepakat dengan menggunakan kata-kata kiasan untuk mengetahui isi hati sang gadis yang sebenarnya, demikian juga si gadis akan mengunakan kata-kata kiasan untuk mengetahui isi hati si pemuda. Hal demikian disebut “ Nenari” dan bila telah dicapai kata sepakat maka kemudian dipadulah janji diantara keduanya.

Pepaduan janji itu akan dirahasiakan sampai saat untuk selarian (merarik) tiba, yaitu mencuri gadis yang hendak dinikahinya. Dalam pencurian itu terdiri dari orang perempuan yang tujuannya untuk menjaga kehormatan gadis yang dicuri dan laki-laki waktunya malam hari dan dicari bulan baik, serta hari baik, dan si gadis pada saat dicuri harus berada di rumahnya sendiri pantang untuk merarik pada saat si gadis sedang menginap di rumah orang lain sebab bila terjadi demikian dianggap menghina keluarga si gadis dan oleh adat ditetapkan sanksi denda.

Gadis yang diculik tersebut tidak dibawa pulang ke rumah calon suaminya, tetapi ditempatkan di rumah kerabat calon suaminya. Pada saat tiba di rumah persembunyiannya kaki gadis tersebut dibasuh dengan air yang telah disediakan sebelum ia naik keserambi.

Dari pihak keluarga gadis yang merasa kehilangan anak gadisnya melaporkan kepada kepala kampung atau kepala desa, disebut mesejati. Tiga hari setelah merarik pihak lelaki memberi kabar atau nyelabar pada keluarga gadis bahwa anak gadisnya kawin lari, di beberapa desa urusan ini menjadi tugas desa, maka kepala desa mempelai laki-laki memberitahu kepala desa pihak wanita, yang selanjutnya disampaikan kepada keluarga mempelai wanita. setelah acara nyelabar maka bagi penduduk yang masih memeluk Islam Waktu Telu calon pengantin yang selama ini tidak boleh saling bertemu dan berbicara maka pihak orang tua lelaki mengusahakan agar mereka bisa saling bicara untuk membicarakan pernikahannya, dengan cara pihak mempelai pria mengirim utusan kepada pihak orang tua mempelai wanita untuk minta izin menobat rapah kedua mempelai, dan sebagai tanda redhanya ia mengirimkan 9 buah uang kepeng kepada utusannya dan selanjutnya uang itu digunakan menjadi selawat ketika kedua mempelai ditaubat rapah.

Sore hari kedua mempelai setelah berwudu dihadapkan pada kyai yang maksudnya dengan disaksikan kyai mereka mengikrarkan pengakuannya kepada Allah dan Rasulnya serta sejak itu mereka mengaku taubat kepada – Nya, dan dengan berakhirnya ucapan taubat mereka maka mereka boleh berbicara akan tetapi mereka masih tetap belum boleh berkumpul.

Bagi yang sudah memeluk Islam waktu lima tidak dilakukan Taubat rapah, dan bersamaan dengan nyelabar dikirim pula satu utusan yang dipimpin oleh seorang penghulu, selanjutnya dilaksanakanlah pernikahan secara Islam dengan akad nikah dengan meminta keridhaan mempelai wanita terlebih dahulu, sedangkan walinya boleh datang sendiri atau dijemput.

***

Sumber: http://nusamutiara.wordpress.com/2011/08/07/adat-perkawinan-suku-sasak/

Gendang Beleq, Ritual Orang Sasak Sebelum Berperang

Oleh : Jodhi Yudhono

Tari Gendang Beleq di beberapa tempat di Lombok sering juga disebut Tari Oncer. Sebuah grup Gendang Beleq terdiri dari 15 - 17 orang pemain, semuanya laki-laki.

Gendang Beleq adalah nama sebuah instrumen dalam musik ini, yaitu gendang berukuran panjang lebih dari satu meter yang disandang pada pundak dua pemain. Kata Beleq dalam bahasa Sasak berarti Besar.

Semula, menurut dalang wayang sasak Lalu Usman Jayadi, Gendang Beleq adalah sebuah instrumen suku Sasak yang dikeramatkan karena memiliki tuah. "Entah siapa yang merekayasa, tiba-tiba instrumen lain masuk dan kemudian jadi tontonan," ungkap Jayadi.

Pada umumnya Gendang besar itu dicat hitam putih dengan pola kotak-kotak. Di Lombok kedua warna itu memang mempunyai arti simbolis. Hitam adalah lambang keadilan, putih adalah lambang kesucian. Selain itu hitam juga diibaratkan bumi, putih diibaratkan langit, yang keduanya merupakan kekuatan yang harus selalu ada dalam kehidupan manusia.

Tari Gendang Beleq merupakan tari perang walaupun tidak ada gerak yang menunjukkan perkelahian dan tidak ada pula yang membawa senjata perang, karena garapan geraknya selalu menunjukkan watak maskulin/ sikap jantan.

Tari Gendang Beleq dahulu berfungsi sebagai tari pengiring para ksatria yang akan maju ke medan perang atau menyambut para pahlawan yang pulang dari medan perang.

Satu ciri khas dari Tari Gendang Beleq ialah bahwa yang menari adalah pemain-pemain musik itu sendiri.

Adapun pemain-pemain yang memainkan instrument musik sambil menari adalah dua orang pemain Gendang Beleq, seorang penabuh petuk yaitu sebuah gong kecil yang beralas kerangka dari kayu yang dikalungkan, dan beberapa pemain copeh yaitu instrumen musik yang berbentuk ceng-ceng kecil yang dipegang dengan tangan kiri dan kanan.

Gendang Beleq ditabuh dengan alat pemukul yang dipegang pada tangan kanan, sedangkan tangan kiri memainkan bagian kiri dari gendang. Meskipun Gendang ini besar dan berat, tetapi kedua penari yang membawa gendang Beleq ini dapat menari dan bergerak dengan lincah.

Karena sifatnya yang atraktif, tari gendang beleq ini sering kali diadakan untuk mengiringi arak-arakan pengantin atau arak-arakan anak yang akan dikhitan, dan untuk penyambutan tamu penting.

Tari Gendang Beleq di Kabupaten Lombok Timur terdapat di semua Kecamatan Lombok Timur.

Konon, Gendang Beleq tak boleh disentuh oleh musuh. Masih menurut Jayadi, para pemain gendang belek juga memiliki strata sosial yang baik di dalam masyarakat.

Jodhi Yudono, adalah wartawan Kompas.

Sumber : www.kompas.co.id

Cilokak, Musik Tradisi yang Menyiasati Zaman

Cilokak merupakan salah satu jenis musik tradisional khas suku sasak di Lombak Timur. Musik ini mulai diperkenalkan kira-kira tahun 1948 oleh seorang seniman pencipta asal Lingkuqiaki desa Bungtiang Kecamatan Sakra bernama Mamiq Srinatih (alm).

Nama Cilokak diambil dari salah satu nama/judul lagu yang digemari mereka pada saat itu. Arti Cilokak dari kata seloka lebih mendekati kenyataan karena syair-syair yang dibawakan merupakan seloka.

Musik Cilokak adalah permainan seperangkat alat musik tradisional seperti mandolin, biola, gendang, suling, jidur, kempul, dan rincik untuk mengiringi lantunan lagu-lagu daerah berupa lagu kayaq, yaitu jenis lagu daerah Lombok yang berisi nasihat-nasihat/petuah-petuah berbentuk pantun. Sentuhan lagu-lagu dan irama musik cilokak yang memiliki kekhasan tersendiri ini sangat digemari oleh masyarakat suku Sasak. Sekarang musik cilokak sudah berkembang di berbagai tempat di Pulau Lombok dan sampai sekarang masih eksis dan tetap digemari oleh masyarakat sasak.

Musik cilokak berirama gambus memang tak lepas dari gendang dan mandolin. Cuma, karena tuntutan zaman, instrumen lain pun dimasukkan. Sebutlah, bas, biola, kecrek, dan ketipung.

Musik cilokak nyaris sama dengan jenis musik tradisi lainnya di negeri ini, yang bersiasat untuk tetap tabah menghadapi gencetan musik modern seperti dangdut, pop, dan seterusnya yang bisa dijumpai di mana saja, di rumah, di tempat hajatan, angkutan umum, gedung bioskop.

Ya, seperti gamelan di Jawa yang bersiasat dan kemudian melahirkan campursari, seperti di Cirebon yang menyulap tarling menjadi dangdut koplo, dan seterusnya.

Demikian pula dengan cilokak. Kendati penyanyinya memakai dandanan kebaya dan kain, gendang dan mandolin, tapi di panggung, goyangan penyanyi cilokak tak mau kalah dengan goyang penyanyi dangdut. Yang menengarai bahwa ini masih cilokak dan juga masih di Lombok Timur adalah, notasi lagu-lagu yang dibawakan masih terasa benar ke-melayuan-nya serta sesekali sang penyanyi dengan gerakan kecil masih menggetarkan jari-jarinya mirip penari Bali.

Penyanyi pertama yang saya lupa namanya silam, diganti penyanyi berikutnya bernama Ismiatun yang membawakan lagu Lalang Gunung. Usianya yangt masih remaja barangkali, yang membuat goyangan Ismiatun lebih sopan dibanding penyanyi pertama. Bahkan goyang pinggul Ismiatun tetap mengacu pada goyang penari pendet dari Bali yang berestetika itu.

Munculnya penyanyi ketiga bernama Nurhasanah yang berduet dengan pemain mandolin dan membawakan lagu Empatpuluh, mengingatkan saya pada lagu-lagu Melayu yang ada di daratan Riau. Inilah mungkin format cilokak sebenarnya. Berirama melayu, berpantun, dan tak mengumbar goyang.

Nurhasanah yang sudah separoh baya itu pun cuma melenggang-lenggangkan kedua tangannya mengikuti bunyi gendang. Ah, power suara Nurhasanah juga boleh diandalkan. Ya, suara Nur nyaring dan bertenaga dengan artikulasi yang prima.

Sumber : www.kompas.co.id

Wayang Sasak, Pengembaraan dari Timur Tengah hingga Lahat

Oleh Jodhi Yudono

Debur ombak memecah di pantai. Bintang-bintang yang bertaburan kian memperjelas, inilah musim yang baik untuk menyelenggarakan hajatan. Tak ada mendung, apalagi hujan. Seperti pada Minggu malam (15/7) lalu, dalam rangkaian Festival Tradisi Bahari yang berlangsung di Labuhan Haji, Lombok Timur (17-19 Juli 2007).

Setelah sesorean menghabiskan waktu di Tanjung Luar untuk mengikuti upacara nyalamak di laut, malam ini saya berniat menonton pergelaran wayang sasak di sebuah jalan dekat pantai yang ditutup sementara untuk umum selama hajatan festival ini.

Di jalan dekat pantai itu telah didirikan sebuah panggung dengan perangkat sound system yang besar-besar di kanan kiri bibir panggung. Namun tak seperti galibnya panggung pertunjukan, pada Senin malam (16/7) itu bagian depan panggung diberi layar untuk pertunjukan wayang sasak.

Di balik layar, adalah ruangan persegi empat yang dibatasi dengan pagar bambu, tempat dalang bekerja bersama penabuh gamelan yang terdiri dari pemain gong, kendang, kajar, kenat, suling, dan 2 (dua) penggancang (pembantu dalang di kiri-kanan).

Waktu telah menunjuk pukul sepuluh pada Minggu malam itu. Setelah musik pembuka yang iramanya riang terdengar, muncullah para sosok punakawan yang terdiri dari tokoh Amaq Baok, Amaq Locong, Amaq Amet, Amaq Kesek (Di Jawa ada Semar, Gareng, Petruk, Baging). Mereka inilah para pengabdi raja-raja bijak. Sedang punakawan pengabdi raja-raja kiri disebut Lurah dan Kembung. (Di Jawa disebut Bilung dan Togog).

Para punakawan itu membicarakan berbagai hal yang sedang aktual di masyarakat. Misalnya, tentang Pilkada, pembangunan, yang dikemas dengan humor-humor segar yang memancing tawa penonton.

Sejarah wayang sasak
Dibawa dari Jawa oleh Raden Sangupati yang datang ke Lombok pada abad XVI sebagai bagian dari syiar Islam kala itu. Dulu di Lombok terjadi kemarau 7 tahun. Maka diutuslah seorang punggawa kerajaan Pejanggi ke Gunung Rinjani untuk meminta hujan. Ternyata di gunung itu sang punggawa bertemu dengan R. Sangupati. Usai pertemuan tersebut, sang punggawa disuruh mengadakan pertunjukan wayang di daerah Rambang, Selong. Tiket untuk menonton adalah membaca dua kalimah syahadat dan wudlu. Lakon dalam pertunjukan wayang sasak diambil dari Serat Menak yang dikarang oleh Yagadipura. Berkisah tentang pengembaraan Wong Agung Jayengrono (Amir Hamzah) dalam menyebarkan agama Islam di wilayah Timur Tengah, sebagian daratan Eropa, Asia, hingga Lahat di Sumatera Utara.

Jayengrana sendiri berasal dari kerajaan Medayin yang dipimpin oleh sang raja bernama Prabu Nusirwan. Kerajaan ini memiliki dua patih bernama Betaljemur yang berwatak baik dan Patih Bestak yang berperangai jahat. Celakanya, Nusirwan justru selalu mengikuti nasihat dari patih Bestak.

Namun berkat kecerdasan dan keberanian Jayengrono, semua jebakan yang dipasang oleh Patih Bestak agar panglima itu mati di medan perang justru berbuah kemenangan. Setelah Jayengrono menaklukan 44 negara, Prabu Nusirwan pun mengambil Jayengrana sebagai menantunya.

Dalam pergelaran di tepi pantai Labuhan Haji itu, Ki Dalang Lalu Usman Jayadi menggelar lakon yang berkisah tentang seorang raja muda kafir yang belum menikah bernama Prabu Jabal Topa. Sang raja memilik dua patih jahat bernama Jabal Suarga dan Jabal Neraka.

Suatu hari Raja Topa melamar seorang putri Raja Pandita Bawaji di negara Medangkukus. Namun oleh sang pandita, lamaran tersebut ditolak karena tak seagama. Usai penolakan, Bawaji justru dimarahi oleh patihnya sendiri karena telah menolak seorang raja yang kaya raya dan sakti mandraguna.

Apa boleh buat, perang pun terjadi dengan sengitnya. Namun, sebelum ada yang kalah dan menang, hari telah keburu malam. Perang pun berhenti sementara. Waktu jeda perang itu dimanfaatkan oleh Bawaji untuk membawa putrinya melarikan diri ke negeri Arab untuk menemui Sang Jayengrana yang dipandangnya sebagai ksatria yang berahlak mulia.

Dikisahkan, putri Bawaji akhirnya menikah dengan Jayengrana. Nah, usai pernikahan tersebut, Jayengrana pun menumpas kebatilan Raja Topa beserta punggawanya.
Adegan

Pergelaran wayang sasak dibagi menjadi beberapa adegan. Adegan I disebut Pengaksama (pembuka), isinya permintaan maaf kepada penonton apabila dalam mendalang sang dalang beserta pengiringnya memjbuat kesalahan.

Adegan II disebut Kabar. Pada adegan ini, sang dalang menceritakan kisah sebelun ada alam raya dan hanya ada Sang Pencipta.
Adegan III, Ucapan. Sang dalang memaparkan tentang lakon yang akan dibawakan.
Adegan IV disebut Lelampan (jalan cerita).
Adegan V, Bejanggeran (penutup dan kesimpulan).

Sade dan Senaru, Kampung Tradisional Lombok

Oleh: bambang sukartiono

PINTU mobil belum terbuka lebar, penumpang pun belum turun, ucapan ramah sudah dilontarkan seorang pemuda desa. "Silakan Pak, saya akan menemani melihat-lihat desa kami. Atau bisa juga kalau mau membeli sesuatu," ucap Alimudin (21) ramah dan lancar.Meski tidak begitu tampak, guratan kecewa di wajah pemuda itu terlihat sesaat setelah penumpang turun dari mobil. Terutama setelah sapaan Alimudin dijawab dengan bahasa Sasak, bahasa daerah di Pulau Lombok. Namun, karena "pengalaman" menjadi pemandu beberapa tahun terakhir, ia seakan tak peduli dan berupaya melayani sebagaimana ia menghadapi wisatawan lainnya.

Dengan sesekali berbahasa Indonesia dan sesekali bahasa daerah, Alimudin menemani ketiga tamunya berkeliling di Dusun Sade yang berpenduduk 125 kepala keluarga (625 jiwa) itu. Tanpa ditanya pun ia lancar menjelaskan liku-liku dusun yang letaknya sekitar 50 km arah tenggara Mataram, ibu kota Nusa Tenggara Barat. Ketika ditanya pun, semua dijawab lancar dan tak ada yang tidak bisa dijawab.

"Inilah bentuk kampung asli orang Lombok. Sejak dahulu, bentuk dan pengaturan tempat serta lainnya hampir tidak berubah. Penduduk pun masih memintal benang dan menenun kain untuk keperluan sendiri atau untuk dijual," jelas Alimudin lancar.

Suasana keaslian tanpa perubahan sangat terasa di Dusun Sade yang selama ini juga dikenal dengan tingkat kemiskinan penduduk. Beberapa waktu lalu, setidaknya hingga awal tahun 1990-an, sapaan ramah nyaris tak pernah terdengar, kecuali ucapan memelas akibat kemiskinan yang lama mendera.

Bahkan, hingga kini kondisi fisik dusun di Desa Rambitan, Lombok Tengah ini, masih menyisakan wajah kemiskinan pedesaan Lombok bagian selatan. Rumah tradisional berlantai tanah, beratap alang-alang dan berdinding gedek, seolah tak pernah disentuh perubahan.

"Paling tidak, beberapa rumah sudah ada yang diperbaiki dan diperbarui, meski bentuknya yang tradisional tidak berubah," ujar Alimudin menjelaskan.

***
SEBAGAI salah satu obyek wisata, kini Dusun Sade setiap hari disinggahi wisatawan yang melintas di jalur wisata Mataram-Kuta. Pariwisata mampu memoles wajah desa yang selama ini sering dijuluki "etalase kemiskinan" di Lombok.

Meski perubahan belum mampu mengangkat kesejahteraan seluruh warga, warna kehidupan yang lebih manusiawi mulai tampak. Paling tidak, di sana tidak lagi terlihat anak-anak yang berlarian bermandi debu, bertelanjang dada dengan kulit bersisik dan mata merah yang di sudutnya penuh kotoran mata.

Memasuki perkampungan yang jumlah penduduknya nyaris tak bertambah atau berkurang dari tahun ke tahun, anak-anak lebih sibuk bermain ketimbang mengerubungi pendatang seperti yang pernah tampak di masa lalu. Pakaian warna-warni anak-anak yang bermain memberi kesan setidaknya daya belinya meningkat.

Sebagai desa wisata, masyarakat Sade mencoba menghapus kesan selalu menadahkan tangan kepada wisatawan. Hampir di setiap sudut dusun tampak gadis atau kaum ibu mencari nafkah dengan menjajakan aneka jenis kain tenun dan kerajinan lainnya. Bahkan, sekeping kepeng (uang logam kuno) yang diberi gantungan biji petai cina yang dikeringkan, dicoba ditawarkan kepada wisatawan.

Pemuda di dusun itu pun mencoba mencegah kesan hanya mengharap belas kasihan. Seperti Alimudin dan teman-temannya, sebagai pemandu mereka bergantian menemani wisatawan dan untuk itu ia pantas mendapat upah.

Sade sebagai sentra kerajinan tenun masih bisa disaksikan hingga saat ini. Di sana masih bisa ditemui perempuan bekerja mulai dari memintal benang hingga menenun setelah benang diberi pewarna alami. "Hanya saja, tanaman kapas untuk memintal benang sendiri sekarang sudah tidak banyak. Benang lebih banyak dibeli di kota," komentar Alimudin.

***
SUASANA di Dusun Sade, sungguh berbeda dengan Dusun Senaru di Bayan, Lombok Barat bagian utara. Wajah dusun yang sampai saat ini menjadi salah satu pintu masuk untuk mendaki Gunung Rinjani, bisa dipastikan tidak pernah berubah. Kemuraman wajah dusun di tengah hutan itu seolah tidak pupus dalam kurun waktu seperempat abad ini.

Beberapa kilometer menjelang dusun yang jaraknya sekitar 80 km dari Mataram itu, sudah terasa kesan memasuki kawasan wisata. Paling tidak, di dusun terpencil itu tersedia penginapan semacam homestay, restoran, dan rumah makan, hingga terminal angkutan umum.

Boleh jadi, semua itu tersedia bukan hanya karena keberadaan Dusun Senaru sebagai cagar budaya di kawasan itu. Tak jauh dari dusun itu juga terdapat air terjun Sinanggile yang ramai dikunjungi wisatawan lokal setiap hari libur.

Karena itu, tidak heran jika memasuki pekarangan penduduk di Dusun Senaru saat ini, serasa tidak ada bedanya dengan suasana di masa lalu. Bangunan yang sejak dahulu tetap berjumlah 15 rumah, masih beratap alang-alang, berdinding anyaman bambu nyaris tanpa ventilasi, yang membuat suasana di dalam gelap dan pengap.

Kalaupun ada perubahan, beberapa rumah yang semula berlantai tanah kini dipoles semen. Rumah yang beruntung, memperoleh semen bantuan pemerintah daerah. "Baru tiga tahun lalu kami mendapat bantuan semen," ujar Nuliajip, salah seorang warga Senaru.

Meski menjadi salah satu kawasan wisata seperti halnya Dusun Sade, kecuali perkampungan asli yang sering dijuluki "museum hidup" tidak ada yang bisa diandalkan untuk meningkatkan taraf hidup warga. Kalaupun ada sumber penghasilan, tidak lebih dengan menjadi porter bagi pendaki Rinjani dengan upah Rp 50.000-Rp 75.000 sekali jalan. Sedang untuk kebutuhan desa, menunggu uluran tangan pengunjung yang diberikan dengan sukarela.

"Untuk membangun dusun ini kami menggantungkan harapan pada kerelaan pengunjung yang bersedia memberikan sekadar dana," ujar Nuliajip (45).

Kalau saja perkembangan pariwisata di Senaru lebih langsung bisa dinikmati manfaatnya bagi penduduk, paling tidak meningkatkan kesejahteraan mereka, tentu sangat diharapkan.

Sebagai kawasan wisata yang boleh dibilang cukup dikenal oleh kalangan wisatawan mancanegara, Senaru dan Sade ibarat dua dusun yang berbeda tetapi mempunyai nasib yang serupa. Rasanya tak sampai hati untuk menyebut kedua dusun dan warganya itu sebagai "museum hidup". Kecuali menjadikannya ajang untuk memahami masa lalu hingga masa kini kehidupan masyarakat tradisional di Lombok. (rul/dth/sk)

Kompas/bambang sukartiono

Arsitektur dan Tata Ruang Rumah Tradisional Sasak Lombok

Oleh Khaerul Anwar

RUMAH bukan sekadar tempat hunian yang multifungsi, melainkan juga punya nilai estetika dan pesan-pesan filosofi bagi penghuninya, baik arsitektur maupun tata ruangnya.

ITU terlihat pada rumah tradisional suku Sasak, Lombok, Nusa Tenggara Barat, seperti di Dusun Limbungan, Desa Perigi, Kecamatan Suwela, Lombok Timur; Dusun Sade, Desa Rambitan, Kecamatan Pujut, Lombok Tengah; dan Dusun Segenter, Desa Sukadana, Kecamatan Bayan, Lombok Barat.

Memang fungsi dan bentuk fisiknya, rumah tradisional itu ada yang berubah dan berbeda, sejalan dengan bertambahnya jumlah penghuni maupun tergantung risiko (kondisi keamanan, geografis, dan topografis) di masing-masing dusun. Namun konsep pembangunannya: arsitektur, tata ruang, dan pola tampaknya merujuk tetap menampilkan karakteristik tradisionalnya.

Pola hunian di tiga dusun itu mengompleks meski lokasinya di tempat datar, seperti Dusun Segenter, atau dataran tinggi sebagaimana di Dusun Limbungan dan Dusun Sade. Sedangkan bangunan yang ada meliputi bale (rumah), berugak (bale-bale bertiang empat disebut sekepat atau bertiang enam atau sekenem), lumbung dan kandang (bare) ternak. Bangunan-bangunan itu mengikuti kontur tanah, khusus bangunan rumah seluas 7 x 6 meter (dihitung dari luar) dan 6 x 5 meter (dihitung dari dalam) per unit.

Bagian rumah terdiri atas atap yang umumnya berbentuk gunungan, menukik ke bawah jarak 1,5-2 meter dari permukaan tanah (fondasi). Atap dan bubungan (bungus)-nya adalah alang-alang yang umumnya menghadap Gunung Rinjani dan berdinding anyaman bambu (kampu). Ruangannya (rong) dibagi menjadi inan bale (ruang induk meliputi bale luar (ruang tidur) dan bale dalem berupa tempat menyimpan harta benda, ruang ibu melahirkan sekaligus ruang disemayamkannya jenazah bila ada penghuninya sebelum dimakamkan.

Ruangan bale dalem dilengkapi amben dan dapur, sempare (tempat menyimpan makanan, peralatan rumah tangga lainnya) terbuat dari bambu ukuran 2 x 2 meter persegi atau bisa empat persegi panjang. Kemudian ada sesangkok (ruang tamu) dan pintu masuk dengan sistem sorong (geser). Di antara bale luar dan bale dalem ada pintu dan tangga (tiga anak tangga) tanpa jendela. Lantai rumah umumnya tanah yang dicampur dengan kotoran kuda, getah, dan abu jerami, seperti terlihat di Dusun Sade dan Limbungan.

Kompleks perumahan itu tampak teratur seperti ada "pagar hidup" yang membatasi kompleks tempat tinggal itu, jalan tanah dan berugak di mana tiap rumah diapit dua rumah. Penataan itu selain tampak demikian teratur yang seakan menggambarkan kehidupan harmoni penduduk, juga sama dengan pola hunian modern dewasa ini.

Bentuk rumah tradisional Lombok berkembang saat pemerintahan Kerajaan Karang Asem (abad 17), di mana arsitektur Lombok dikawinkan dengan arsitektur Bali. Misalnya, ruang tamunya terbuka tanpa dinding, tiang penyangga bangunan bagian atas diberi ukiran.

Malah dalam waktu 15 tahun terakhir ini, arsitektur Lombok dijadikan pelengkap pada bangunan perkantoran dinas/instansi di Mataram. Lumbung dibangun di bagian depan atau pintu keluar-masuk kantor. Materi bangunannya disesuaikan dengan bahan bangunan kantor berupa semen, pasir, dan genteng. Tujuan pendirian lumbung adalah menunjukkan kekhasan dan pelestarian kebudayaan fisik, terutama di Pulau Lombok.

SEPERTI disinggung di atas, selain tempat berlindung, rumah juga memiliki nilai estetika, filosofi, dan kehidupan sederhana para penduduk di masa lampau yang mengandalkan sumber daya alam sebagai tambang nafkah harian, sekaligus sebagai bahan pembangunan rumah. Lantai rumah itu adalah campuran dari tanah, getah pohon kayu banten dan bajur (istilah lokal), dicampur batu bara yang ada dalam batu bateri, abu jerami yang dibakar, kemudian diolesi dengan kotoran sapi di bagian permukaan lantai.

Materi membuat lantai rumah itu berfungsi sebagai zat perekat, juga guna menghindari lantai tidak lembab. Bahan lantai itu digunakan, oleh warga di Dusun Sade, mengingat kotoran kerbau atau sapi tidak bisa bersenyawa dengan tanah liat yang merupakan jenis tanah di dusun itu.

Arsitektur rumah warga di tiga dusun itu relatif mirip, yang agak berbeda mungkin fungsi ruangannya. Hanya rong dalam rumah di Dusun Segenter lekat tradisi wetu telu-nya. Misalnya, di inan bale, kecuali menyimpan beras dalam gentong (temberasan/kemeras), barang berharga lainnya, juga tempat menyimpan nenoq (sesaji bagi arwah leluhur dan roh penghuni rumah), dan saat tertentu dijadikan tempat pemujaan/meditasi keluarga.

Rumah tinggal di Dusun Segenter dibangun dengan asas cermin, (pintu rumah yang satu dengan rumah di depannya saling berhadapan dan diselingi sebuah berugak di tengahnya), bukan saling membelakangi seperti rumah di Dusun Limbongan maupun di Dusun Sade yang arahnya ada yang berhadapan, ada pula yang saling membelakangi.

Pemilihan lokasi permukiman itu terkait dengan pola bercocok tanam khas masyarakat agraris, kata M Yamin, pemerhati budaya Sasak, Lombok. Mereka memerlukan air untuk irigasi maupun kegiatan rumah tangga yang biasanya jadi sumber mata air, umumnya berada di dataran tinggi.

Gunung yang dekat dengan hutan memudahkan mereka mendapat sumber makanan tiap hari. Mungkin juga ada kaitannya dengan kepercayaan tradisional bahwa gunung dan dataran tinggi menjadikan "hubungan komunikasi" manusia dengan Sang Pencipta "lebih dekat".

Karena letaknya di dataran tinggi, seperti Dusun Segenter dan Dusun Limbungan, fungsi dapur juga sebagai penghangat, sedangkan penerangan pada siang hari hanya dengan sinar matahari yang menyelinap dari balik pagar, yang juga berfungsi sebagai sirkulasi udara, untuk keamanan bila ada serangan binatang buas dan memantau orang yang bermaksud jahat terhadap tuan rumah.

Konstruksi rumah tradisional Sasak agaknya terkait pula dengan perspektif Islam. Anak tangga sebanyak tiga buah tadi adalah simbol daur hidup manusia: lahir, berkembang, dan mati, simbol keluarga batih (ayah, ibu, dan anak), atau berugak bertiang empat simbol syariat Islam: Quran, Hadis, Ijma’, Qiyas).

Anak yang yunior dan senior dalam usia ditentukan lokasi rumahnya. Rumah orangtua berada di tingkat paling tinggi, disusul anak sulung dan anak bungsu berada di tingkat paling bawah. Ini sebuah ajaran budi pekerti bahwa kakak dalam bersikap dan berperilaku hendaknya menjadi panutan sang adik.

Rumah yang menghadap timur secara simbolis bermakna bahwa yang tua lebih dulu menerima/menikmati kehangatan matahari pagi ketimbang yang muda yang secara fisik lebih kuat. Juga bisa berarti, begitu keluar rumah untuk bekerja dan mencari nafkah, manusia berharap mendapat rida Allah di antaranya melalui shalat, dan hal itu sudah diingatkan bahwa pintu rumahnya menghadap timur atau berlawanan dengan arah matahari terbenam (barat/kiblat). Tamu pun harus merunduk bila memasuki pintu rumah yang relatif pendek. Mungkin posisi membungkuk itu secara tidak langsung mengisyaratkan sebuah etika atau wujud penghormatan kepada tuan rumah dari sang tamu.

Kemudian lumbung, kecuali mengajarkan warganya untuk hidup hemat dan tidak boros sebab stok logistik yang disimpan di dalamnya, hanya bisa diambil pada waktu tertentu, misalnya sekali sebulan. Bahan logistik (padi dan palawija) itu tidak boleh dikuras habis, melainkan disisakan untuk keperluan mendadak, umpamanya guna mengantisipasi gagal panen akibat cuaca dan serangan binatang yang merusak tanaman atau bahan untuk mengadakan syukuran jika ada salah satu anggota keluarga meninggal.

Berugak yang ada di depan rumah, di samping merupakan penghormatan terhadap rezeki yang diberikan Tuhan, juga berfungsi sebagai ruang keluarga, menerima tamu, juga menjadi alat kontrol bagi warga sekitar. Misalnya, "Kalau sampai pukul sembilan pagi masih ada yang duduk di berugak dan tidak keluar rumah untuk bekerja di sawah, ladang, dan kebun, mungkin dia sakit," tutur Amak Yani, warga Dusun Limbungan Timur.

Sejak proses perencanaan rumah didirikan, peran perempuan atau istri diutamakan. Umpamanya, jarak usuk bambu rangka atap selebar kepala istri, tinggi penyimpanan alat dapur (sempare) harus bisa dicapai lengan istri, bahkan lebar pintu rumah seukuran tubuh istri. Membangun dan merehabilitasi rumah dilakukan secara gotong-royong meski makan-minum, berikut bahan bangunan, disediakan tuan rumah.

Dipertahankannya bahan konstruksi dan bentuk rumah itu merupakan ketentuan yang tidak bisa ditawar-tawar. Karenanya yang tinggal dalam kampu mematuhi ketentuan itu, tetapi memilih lokasi agak jauh dari rumah orangtuanya. Pertimbangannya, "Khawatir, jangan sampai ibu saya ngomong biasa misalnya, lalu didengar dan salah dimengerti oleh istri saya, membuat hubungan kami dengan orangtua jadi keruh," ucap Suparman, Kepala Dusun Limbungan. (KHAERUL ANWAR)

(kompascyber)

Perang Ketupat di Negeri Sasak

Perang topat (ketupat) setiap tahun berlangsung di Pura Lingsar, Kecamatan Narmada, Lombok Barat. Upacara ini berlangsung pada waktu saat “raraq kembang waru” alias gugurnya bunga waru.

Acara itu merupakan lambang kerukunan antar umat beragama, khususnya masyarakat Sasak (pemeluk Islam) dan masyarakat etnis Bali (pemeluk Hindu). Perang topat dimulai pukul 15.45, dan berakhir saat matahari tenggelam.

Upacara itu sudah jadi agenda pariwisata. Wanita yang sedang haid tak boleh mengikuti. Sehari sebelumnya ada upacara permulaan kerja atau “penaek gawe”. Ada lagi acara “mendak” alias upacara menjemput tamu agung alias roh-roh gaib yang berkuasa di Gunung Rinjani dan Gunung Agung. Kemudian ada pula penyembelihan kerbau. Ada sesajen berupa jajan sembilan rupa, buah-buahan, dan minuman.

Lempar-lemparan ketupat itu ditingkahi bunyi kul-kul selama sekitar satu jam. Ketupat itu diperebutkan. Yang belum dilemparkan tak boleh dibawa pulang. Kendati ketupat itu sudah penyok, atau isinya “mecotot”, tetap dipunguti orang, khususnya petani, untuk dibawa pulang dan ditempatkan di sudut-sudut pematang sawah atau digantung di pohon buah-buahan.
Maksud upacara itu adalah untuk mendapatkan berkah dan keselamatan, terutama bagi petani anggota Subak.

Memang perang topat tak lepas dari legenda. Konon di Lombok Barat dulu ada Kerajaan Medain. Raja Medain punya anak bernama Raden Mas Sumilir yang bergelar Datu Wali Milir. Suatu ketika ia menancapkan tongkatnya di tanah Bayan. Saat tongkat itu ditarik, air pun muncrat, melaju deras. Dalam bahasa Sasak, melaju artinya langser atau lengsar. Desa itu pun lalu diberi nama Lingsar. Entah bagaimana, Sumilir hilang di situ. Atas musibah itu, seisi istana dan warga sedih. Kesedihan itu berlarut hingga dua tahun. Buntutnya, semua orang melupakan urusan kehidupan. Suatu ketika keponakan Sumilir, Datu Piling, menemukan pamannya itu di lokasi mata air tadi. Dalam pertemuan itu disebutkan, kalau mau menemui Sumilir, hendaklah datang ke mata air itu.

Maka Datu Piling pun memerintahkan pengiringnya untuk menyambut pertemuan itu. Ketupat beserta lauknya dipersiapkan. Pertemuan pun terjadi sekitar pukul 16.00. Setelah itu Raden Mas Sumilir kembali menghilang. Tapi sejak Sumilir menghilang kedua kalinya, warga Lingsar kembali menikmati kemakmuran. Sumber air melimpah, dan siap dipakai mengairi sawah.
Perang ketupat pun lantas dilestarikan sebagai ungkapan rasa syukur, menandai saat dimulainya menggarap sawah.

Sumber: JIBIS Humaniora

-

Arsip Blog

Recent Posts