Pawon dalam Budaya Jawa

Oleh : Sumintarsih

Abstrak
Pawon atau dapur tradisional dalam budaya Jawa merupakan representasi dari tata kehidupan sehari-hari masyarakat Jawa, baik dari tata letaknya, fungsinya, dan isinya. Pawon atau dapur tradisional juga menegaskan adanya deskriminasi seks dalam pembagian kerja.

Pendahuluan
Dalam hidup orang Jawa dikenal adanya tiga ungkapan yang sangat penting yaitu sandang, pangan, dan papan. Artinya, dalam hidup manusia Jawa memerlukan tiga hal yang sangat penting yaitu: sandang (pakaian) untuk membalut tubuh supaya terlindung dari kedinginan, kepanasan, dan untuk estetika; pangan (makan) adalah makanan yang harus ada untuk dimakan sebagai syarat untuk bertahan hidup; dan papan (rumah atau omah) sebagai tempat berteduh atau tempat tinggal. Ketiga unsur budaya tersebut (sandang, pangan, dan papan) merupakan simbol penting dalam kehidupan orang Jawa.

Di dalam budaya Jawa terdapat anggapan bahwa antara rumah, tanah, dan penghuninya merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Orang merasa bersatu dengan rumah dan tanah tempat tinggalnya, sekaligus merasa bersatu dengan desa tempat menetapnya. Perasaan bersatu yang demikian itu menyebabkan rasa aman dan tenteram bagi orang yang menghuni rumah tersebut. Dengan adanya perasaan demikian itu, maka rumah merupakan bagian penting bagi kehidupan manusia1. Karena dapur adalah bagian dari rumah, dengan sendirinya juga memiliki hubungan yang tak terpisahkan dengan penghuni rumah tersebut.

Bagi orang Jawa, karena rumah dianggap sangat penting, maka ruang-ruang di dalam rumah ditata sedemikian rupa, sehingga ada bagian-bagian yang terbuka bagi orang luar atau tamu-tamu, dan ada pula bagian-bagian yang tabu atau harus disembunyikan dari orang luar.

Berkenaan dengan hal tersebut, tulisan berikut ini akan memokuskan diri pada salah satu unsur budaya Jawa, yaitu bagian dari papan, atau omah (rumah) yang disebut pawon atau dapur. Dapur, atau pawon ini mempunyai arti dan fungsi yang sangat penting dalam penyelenggaraan penyiapan kebutuhan makanan, maupun penyimpanan¬nya, serta kegiatan lainnya. Masalah yang muncul adalah sampai sejauh mana manusia Jawa memaknai dan memperlakukan dapur, atau pawon guna memenuhi kebutuhan akan makan, minum, dan kebutuhan lainnya.

Seiring dengan perkembangan kehidupan manusia, berubahnya lingkungan alam, dan kemajuan teknologi, dapur atau pawon juga mengalami perkembangan bentuk, arti dan fungsi.

Arti Pawon atau Dapur dan Tata Letaknya
Kata pawon merupakan sebutan untuk dapur dalam masyarakat Jawa pada antara yang baik dan buruk, bersih dan kotor2. Oleh karena itu dalam sistem klasifikasi itu maka kakus (jamban atau kamar kecil) maupun dapur letaknya selalu di belakang. Oleh karena dapur dianggap tempat kotor, maka dalam hal membuat bangunan dapur tidak begitu diperhatikan seperti halnya kalau membuat rumah induk. Menurut Daldjoeni (1985) pada umumnya bangunan dapur adalah bangunan tambahan, dan biasanya bangunan dapur dibuat sesudah bangunan rumah selesai.

Dapur atau pawon sebagai bangunan tambahan, tidak dianggap umumnya. Dapur, dalam bahasa Jawa disebut pawon, mengandung dua pengertian: pertama, bangunan rumah yang khusus disediakan untuk kegiatan masak-memasak dan; kedua, dapat diartikan tungku. Kata pawon berasal dari kata dasar awu yang berarti abu, mendapat awalan pa dan akhiran an, yang berarti tempat. Dengan demikian, pawon (pa+awu+an) yang berarti tempat awu atau abu. Kenyataannya memanglah demikian, dapur atau pawon memang tempat abu (bekas pembakaran kayu/arang di tungku), sehingga dianggap sebagai tempat yang kotor. Dapur dalam kehidupan tradisional orang Jawa, memang tempat abu, di sana¬sini nampak bergelantungan sawang (jelaga) yang hitam oleh asap api. Demikian juga peralatan memasak berwarna kehitaman karena j elaga. Kemungkinan disebabkan oleh keadaan seperti itulah (penampilan yang seba hitam dan kotor), maka di dalam susunan rumah tradisional Jawa, dapur pada umumnya terletak di bagian belakang.

Dalam budaya Jawa menurut Parsudi Suparlan, konsep tentang sistem klasifikasi mengenai alam semesta dan isinya terdapat konsep dikotomi sebagai bangunan pokok atau penting, dan konstruksi bangunan dapur sangat sederhana. Oleh karena itu untuk membuat dapur tidak diperlukan persyaratan yang rumit seperti akan membuat rumah induk yang memerlukan perhitungan waktu (primbon).

Dalam kehidupan tradisional Jawa, makan tidaklah mendapatkan perhatian penting. Dalam Kitab Wulangreh karya Paku Buwana IV mengatakan ‘aja pijer mangan nendra’ (jangan selalu makan dan tidur), dan ‘sudanen dhahar lan guling” (kurangilah makan dan tidur) menduduki tempat utama di dalam kepustakaan orang Jawa3. Pandangan hidup orang Jawa menandaskan bahwa kekuatan seseorang bukanlah tergantung pada banyaknya makanan yang masuk ke dalam tubuh, melainkan kepada tekat dan batin. Orang tidak akan menjadi lemah tubuhnya hanya karena sedikit makan, bahkan sebaliknya, orang akan memperoleh ‘kekuatan’ karena sering melaksanakan ‘ngurang-ngurangi makan dan tidur (tirakat atau asketis).

Karena terpengaruh oleh pandangan hidup demikian itulah, maka dalam susunan arsitektur rumah Jawa, dapur atau pawon serta kegiatan memasak tidak mendapat perhatian khusus. Namun demikian di dalam pola pikir orang Jawa, makan diartikan menerima berkah dari Dewi Sri yang dianggap sebagai sumber rejeki4. Penghormatan terhadap Dewi Sri oleh orang Jawa semata¬mata bukan diwujudkan dalam makan dan kegiatan memasak, tetapi penanganan secara serius dalam pengolahan lahan pertanian sejak awal sampai pascapanen.

Perempuan dan Dapur
Di dalam kehidupan tradisional Jawa, dapur merupakan ranah dan wewenang kaum perempuan. Oleh sebab itulah maka isteri dalam kehidupan budaya Jawa disebut sebagai kanca wingking (teman yang berada dan/atau bekerja di belakang). Belakang di sini berarti di dapur. Istilah ini dinilai merendahkan martabat perempuan, seakan-akan wewenang perempuan hanya di dapur saja, tidak ada kemampuan untuk tampil di depan.

Bahwa dapur identik dengan perempuan dan menjadi ranah dan wewenang perempuan, juga tercermin misalnya kalau seorang suami yang sering ke dapur ada anggapan dalam budaya Jawa bahwa suami tersebut dinilai kurang mempercayai istri di dalam mengelola dapur atau ekonomi rumah tangga. Laki-Laki atau suami seperti itu disebut dengan istilah kethuk atau cupar. Jadi dapur merupakan dunia perempuan, dan sebagai ciri pengenal khusus, dapur dalam kehidupan tradisional Jawa ditekankan pada kendhil dan asap. Hal ini dikuatkan dengan adanya cerita rakyat Jaka Tarub5. Cerita ini melambangkan bagaimana peranan perempuan di dapur, dan dapat dimaknai suami harus percaya terhadap apapun yang dilakukan istri dalam kaitannya dengan dapur.

Sesuai dengan kedudukan perempuan di dapur dan hubungan perempuan dengan dapur, maka dalam pembuatan dapur pun secara tradisional ada perhitungan¬perhitungan yang berkaitan dengan perempuan. Menurut Koentjaraningrat6, terdapat kepercayaan pada orang Jawa bahwa dapur adalah bagian rumah yang pal¬ing lemah disebabkan dapur merupakan tempat perempuan, dan perempuan dianggap mahkluk yang paling lemah atau disebut liyu Arti kata liyu, dalam Bausastra Jawa¬Indonesia (1980), dapat diartikan capai atau lelah. Dari arti kata ini dapat dimaknai bahwa bekerja di dapur akan capai/lelah.

Dalam membuat dapur atau pawon ada yang masih menggunakan perhitungan¬perhitungan Jawa. Misalnya, oleh karena dapur dianggap sebagai tempat perempuan maka untuk membangun dapur harus dimulai saat neptune nyaine (hari pasaran kelahiran istri), misalnya Senin Pon, Selasa Wage dan sebagainya. Supaya dalam menggunakan dapur diberi keselamatan, ada juga yang menggunakan perhitungan yaitu jatuh tiba lara ( tiba = jatuh, lara = mati), jadi dapur atau pawon diartikan sebagai tempat barang mati, atau tempat buangan.

Di dalam studi perumahan tradisional, pembuatan dapur Jawa ada yang dimulai dengan perhitungan yang jatuh pada urutan liyu yang berarti lumbung. Seperti diketahui bahwa lumbung adalah tempat persediaan makan, sedangkan pawon atau dapur adalah tempat mengolah atau memasak. Jadi diharapkan dengan perhitungan jatuh pada urutan liyu, supaya pawon atau dapur tidak pernah berhenti atau kehabisan bahan masakan. Namun pada umumnya yang dianut adalah menghindari hari geblag (hari meninggalnya) keluarga dekat misalnya or¬ang tua, suami/istri, atau anak.

Pawon dan Peralatan Dapur
Dapur tradisional atau pawon tidak terlepas dengan peralatan yang digunakan dalam dapur tersebut, yaitu tungku tradisional yang memiliki berbagai sebutan lokal di antaranya pawon, keren, dhingkel, luweng, atau anglo. Tungku yang disebut dhingkel terbuat dari susunan batu bata yang berlubang satu atau sama sekali terbuka. Bentuk lain seperti dhingkel adalah yang disebut lainnya luweng, tetapi luweng lebih panjang dan memiliki lubang tiga sampai empat dan terdapat sebutan untuk masing-masing bagian yang berfungsi misal yang disebut cangkem luweng tempat untuk memasukkan kayu bakar, bolongan luweng atau slowongan untuk tempat meletakkan peralatan masak, tumang atau bibir dhingkel, dan lawih sebagai penopang (ganjel) yang diletakkan pada bibir. Peralatan tungku yang pada umumnya digunakan oleh sebagian penduduk di daerah pedesaan adalah keren. Alat tungku yang disebut keren juga memiliki bagian-bagian yang berfungsi yaitu cangkem keren untuk meletakkan bahan bakar, dan pada bagian atas bolongan keren untuk meletakkan peralatan memasak. Baik dhingkel, luweng, maupun keren menggunakan bahan bakar kayu, sepet, bambu, atau sampah-sampah kering.

Tungku lainnya yang juga masih digunakan adalah anglo, yang bahan bakarnya menggunakan arang. Anglo juga mempunyai bagian-bagian yang masing¬masing memiliki fungsi yang berbeda yaitu sarangan anglo untuk tempat arang, cangkem anglo (mulut anglo) adalah tempat kita mengipaskan kipas agar api menyala lebih besar. Alat lain yang sekarang sudah mulai banyak digunakan adalah kompor.

Di dalam dapur tradisional peralatan memasak yang pada umumnya digunakan adalah peralatan yang terbuat dari tanah liat dan anyaman bambu. Peralatan memasak dari tanah liat misalnya kuali7, pengaron8, kendhil atau jemblukan9, cowek10, kekep11, genthong12. Selain peralatan dari tanah liat juga banyak yang mengunakan peralatan dari tembaga, besi, aluminium, seng, misalnya dandang, kenceng, wajan, ketel, ceret, panci. Peralatan lainnya terbuat dari anyaman bambu seperti kukusan13, salang14, kalo, cething, tenggok trinil, tampah, selon15 dan dari tempurung kelapa misalnya irus, enthong, siwur; peralatan dari kayu misalnya munthu, parut, enthong, gledheg atau grobog. Tempat untuk menyimpan peralatan dapur tersebut pada umumnya diletakkan pada sebuah rak kayu, atau rak bambu, atau ada yang disebut paga, bethekan atau pranjen.

Dilihat dari peralatan tungku yaitu dhingkel, luweng, keren, serta perabot pawon yang sebagian besar terbuat dari tanah liat, anyaman bambu, maupun tempat menyimpan peralatan tersebut, hampir semuanya dengan memanfaatkan bahan¬bahan yang terdapat di lingkungannya.

Dapur Tradisional dan Lingkungan Hidup
Dapur mempunyai peranan yang penting, yaitu menjadi pusat kegiatan sehari¬hari untuk penyediakan makan-minum keluarga. Meskipun dapur atau pawon menjadi pusat kegiatan, tetapi masalah kebersihan lingkungan kurang diperhatikan. Tempat pembuangan limbah air dapur biasanya berada di samping atau di belakang dapur, dan itu biasanya tidak secara khusus dibuat untuk itu. Jadi limbah dapur yang dialirkan ke belakang rumah langsung ke kebun atau tegalan di belakang rumah atau dialirkan ke tempat kolam ikan. Namun ada juga yang dialirkan ke sebuah lubang (jugangan) yang dibuat secara khusus di belakang rumah. Pembuangan air limbah di daerah pedesaan kebanyakan berpola seperti itu. Memang terkesan tidak ada perhatian terhadap kebersihan lingkungan akan tetapi dari tindakan-tindakan mereka tersembunyi kearifan-kearifan lingkungan. Seperti misalnya di daerah tertentu ada yang air limbah dapur ditampung ke dalam ember dan dimanfaatkan untuk menyiram tanaman kebun atau tegalan yang ada di belakang dan samping rumah. Bahkan ada yang sebagian ditampung untuk minum ternaknya. Pola seperti ini pada umumnya terdapat di daerah yang tidak tersedia cukup air atau di daerah kering16. Sedangkan dalam hal pembuangan sampah ada yang dibuatkan lubang untuk menampung kemudian dibakar, apabila sudah penuh kemudian diaduk dengan tanah yang ada untuk dijadikan sebagai pupuk17, atau ada yang dibiarkan sampai kering untuk bahan bakar18, ada pula yang dikumpulkan sebagian untuk pupuk pohon pisang.

Pemanfaatan limbah dapur maupun sampah yang ada di sekitarnya menunjukkan bahwa sebenarnya ada praktik-praktik daur ulang, dalam arti bahwa limbah tersebut diproses dan dimanfaatkan untuk kebutuhan lainnya baik untuk kelestarian lingkungan maupun kebutuhan manusia itu sendiri.

Rumah, pekarangan, serta pawon atau pegunungan yang berhawa dingin, masih ada kebiasaan (walaupun sekarang sudah j arang dilakukan) untuk bertandang ke tetangga pada malam hari, sambil membakar ketela atau jagung di dapur sambil mengobrol bersama.Dengan dapur merupakan satu kesatuan yang mempunyai fungsi sosial. Pekarangan biasanya digunakan untuk menanam tanaman produktif yang dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan jangka panjang maupun jangka pendek. Untuk kebutuhan jangka panjang misalnya tanaman keras, sedangkan tanaman jangka pendek untuk kebutuhan sehari-hari, misalnya tanaman yang disebut cepakan yaitu tanaman sayuran, atau dedaunan lainnya yang langsung dapat dimanfaatkan. Pawon atau dapur menjadi tempat menyimpan makanan mentah dan masak (mentah mateng), dan bumbu-bumbu dapur lainnya.

Dalam hubungan ketetanggaan, masuk ke pekarangan, atau dapur untuk sekedar bertandang atau untuk meminta sayuran atau bumbu, merupakan hal yang biasa. Bahkan di daerah berkembangnya teknologi (terutama di kota) tata ruang dapur sekarang dibangun sedemikian rupa dan menggunakan peralatan yang bukan dari tanah liat atau anyaman bambu, tetapi peralatan modern serba elektronik. Demikian juga pawon atau dapur (khusus di kota) letaknya tidak di belakang tetapi menjadi satu sebagai bagian dari tata ruang rumah. Apabila ini dikaitkan dengan kata pawon, maka konotasi dari kata pawon dengan dapur menjadi tidak tepat, karena pada dapur yang modern tersebut tidak akan dijumpai timbunan abu seperti yang dijumpai pada dapur tradisional. Bergesernya pengertian pawon tersebut, tentunya akan memberikan gambaran pula kepada kita mengenai tata ruang dapur di masa akan datang, dan tidak akan ada lagi diskriminasi seks yang berperan di dapur.

Ungkapan-Ungkapan
Di dalam kehidupan sehari-hari orang Jawa, banyak kejadian-kejadian, atau peristiwa yang dinyatakan dengan ungkapan¬ungkapan yang sebagian menggunakan dapur dan peralatannya. Pawon atau dapur dan kegiatannya, ternyata menduduki tempat yang penting. Ungkapan ‘aja nganti nggoling kendhile ‘ (kendhil jangan sampai terguling) mengandung maksud agar bersikap hati-hati, hemat, cermat di dalam mengelola ekonomi rumah tangga; di samping itu untuk menyatakan kondisi perekonomiannya yang sedang mengalami kemunduran. Di sini kendhil dimaknai sebagai simbol ekonomi rumah tangga. Kehidupan perekonomian suatu rumah tangga bisa dihubungkan dengan kendhil. Misalnya, seorang istri yang bekerja nencari nafkah dikatakan kanggo jejegke kendhil, maksudnya untuk menambah penghasilan supaya dapat memasak untuk keluarga. Orang yang bekerja apapun untuk mendapatkan uang atau bekerja keras dinyatakan dengan kata ‘demi kendhil’.

Kecuali dengan istilah kendhil, kesatuan perekonomian rumah tangga juga dinyatakan dengan istilah pawon. Suatu keluarga yang terpisah karena pekerjaan, yang masing-masing memerlukan pengelolaan perekonomian sendiri-sendiri, sering dikatakan mikir pawon loro. Dengan demikian istilah pawon bukan hanya mengandung pengertian bangunan khusus untuk melaksanakan kegiatan memasak, melainkan juga merupakan lambang rumah tangga 19

Peralatan dapur juga digunakan untuk menyampaikan ungkapan-ungkapan yang maknanya sangat mengena dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Ungkapan ora mambu enthong irus, artinya untuk menyatakan bahwa orang lain yang tidak ada hubungan keluarga, demikian juga ungkapan ora mambu sega jangan20.

Sebaliknya ada ungkapan yang dinyatakan dengan hasil masakan yaitu mambu-mambu yen sega mengibaratkan orang yang masih memiliki pertalian keluarga; ungkapan lain bacin-bacin yen iwak, untuk mengungkapkan bahwa pada umumnya orang itu mengutamakan keluarga sendiri .

Ungkapan adang-ngliwet, me¬ngandung makna melaksanakan kerjasama untuk mendapatkan imbalan, dan dalam pembagiannya disesuaikan dengan kedudukan masing-masing dalam pekerjaan tersebut. Ungkapan ini juga mengandung makna kecaman terhadap ketidakadilan, mis¬sal sama-sama melakukan tugas yang sama tetapi masing-masing imbalan berbeda.

Ungkapan yang ada hubungannya dengan tungku adalah lambe satumang kari semerang, artinya bibir setebal tumang tinggal setebal merang. Maksudnya adalah nasehat yang tidak dihiraukan sama sekali, ibarat bibir sampai tipis karena banyaknya memberi nasehat, namun tak ada hasilnya.

Ungkapan tumbu oleh tutup, artinya mendapat jodoh yang sesuai, atau mendapat sahabat yang mempunyai persamaan watak. Ungkapan yang ada hubungan dengan alat dapur yaitu jenang sak layah, artinya buah pemikiran yang sudah bulat.

Dalam percakapan sehari-hari, hubungan saudara yang diperoleh karena perkawinan disebut munthu katutan sambel. Demikian juga hubungan saudara sekerabat dari keturunan enam dan tujuh disebut udheg¬udheg gantung siwur. Seseorang yang pantatnya besar dinyatakan dengan ungkapan pawon atau dapur tradisional adalah pemakaian tungku tradisional dan menggunakan bahan bakar kayu, serta peralat an memasak dari tanah liat atau gerabah, dari anyaman bambu, dan kayu.

Pembuangan limbah dapur, dan sampah di sekitar lingkungan rumah pada umumnya dialirkan begitu saja atau dibuatkan lubang pembuangan, dan sebagainya, ternyata ada yang bersifat daur ulang, dan tersembunyi kearifan-kearifan di dalam memanfaatkan limbah dapur dan sampah di lingkungannya.

Pawon atau dapur beserta peralatan¬nya mewarnai dalam tatacara kehidupan sehari-hari, yang tercermin dari ungkapan¬ungkapan yang terkait dengan dapur dan isinya.

Oleh berjalannya waktu, serta ber¬kembangnya teknologi, pawon atau dapur mungkin akan mengalami perubahan fisik maupun isinya seperti di kota. Dengan demikian pengertian pawon, arti dan fungsinya juga akan mengalami pergeseran. Bila itu terjadi maka fungsi dan makna filosofi pawon akan lepas dari tata kehidupan orang Jawa.

1 Djoko Surjo, Gaya Hidup Masyarakat Jawa di Pedesaan: Pola Kehidupan Sosial Ekonomi dan Budaya. Yogyakarta: Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara (Javanologi), 1985.

2 Parsudi Suparlan, “Kebudayaan dan Tata Ruang: Struktur Kehidupan Manusia, Tradisi, dan Perubahan”. Seminar Arsitektur Tradisional di Surabaya. Jakarta: Proyek IDKD, 1986.

3 Pakubuwono IV, Wulangreh Winardi. R.M Sutarto Hardjowahono, Surakarta, 1953.

4 Soepanto, “Peranan Ngantenan Dalam Upacara Wiwit di Kalangan Masyarakat Petani Jawa” Bunga Rampai Adat Istiadat. Jakarta: Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya, 1977.

5 Dalam cerita Jaka Tarub dikisahkan Jaka Tarub memperistri seorang bidadari bernama Dewi Nawangwulan. Jaka Tarub heran kenapa beras yang ada di dalam lumbung tidak habis-habisnya. Didorong karena keingintahuannya maka Jaka Tarub melanggar pesan istrinya agar tidak masuk ke dapur. Tetapi keingintahuan Jaka Tarub tersebut harus dibayar mahal. Karena sesudah itu beras atau padinya menjadi cepat habis dan isterinya dapat menemukan selendang yang disembunyikan di dalam lumbung ditimbuni padi. Isterinya kemudian pulang ke kayangan meninggalkan Jaka Tarub dan anaknya.

6 Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa. Jakarta: P.N Balai Pustaka, 1984.

7 Kuali biasanya untuk memasak sayur.

8 Pengaron untuk tempat air, atau untuk ngaru nasi (memasak nasi sebelum di dang).

9 Kendhil atau jemblukan untuk memasak air, atau merebus jamu.

10 Cowek peralatan untuk membuat sambal atau menghaluskan bumbu.

11 Kekep kecil untuk tutup kendhil atau kuali, kekep besar untuk tutup adang (menanak nasi).

12 Genthong tempat untuk tandhon air bersih (menyimpan air).

13 Kukusan untuk adang nasi (memasak nasi dengan cara dikukus).

14 Salang adalah gantungan terbuat dari siratan kulit bambu atau dari tampar untuk tempat menyimpan makanan.

15 Selon terbuat dari bambu untuk tempat menyimpan munthu, irus.

16 Pola seperti itu terdapat di daerah Gunung Kidul dan Kulon Progo.

17 Terutama di daerah tandus Gunung Kidul.

18 Terdapat di daerah Bantul, sampah ada yang digunakan untuk penyubur pohon pisang , dan sampah kering digunakan sebagai bahan bakar untuk memasak gula Jawa.

19 Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat, 1981.

20 Dalil Prawirodihardjo, Paribasan. Yogyakarta: Spring, tt.

Daftar Pustaka

Dalil Prawirodihardjo, tt. Paribasan. Yogyakarta: Spring.

Djoko Suryo, 1985. Gaya Hidup Masyarakat Jawa di Pedesaan: Pola Kehidupan Sosial Ekonomi dan Budaya. Yogyakarta: Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara (Javanologi).

Koentjaraningrat, 1981. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat Koentjaraningrat, 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta: P.N Balai Pustaka.

Parsudi Suparlan, 1986. “Kebudayaan dan Tata Ruang: Struktur Kehidupan Manusia, Tradisi, dan Perubahan”. Seminar Arsitektur Tradisional di Surabaya. Jakarta: Proyek IDKD.

Soepanto, 1977. “Peranan Ngantenan Dalam Upacara Wiwit di Kalangan Masyarakat Petani Jawa” Bunga Rampai Adat Istiadat. Jakarta: Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya.

Sutarto Hardjowahono, R.M. 1953. Pakubuwono IV Wulangreh Winardi. Surakarta.

Sumber :
Jaritra Vol. I, No. 1, Juni 2006 ISSN 1907 – 9605 Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisonal Jogjakarta, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata
-

Arsip Blog

Recent Posts