Sade dan Senaru, Kampung Tradisional Lombok

Oleh: bambang sukartiono

PINTU mobil belum terbuka lebar, penumpang pun belum turun, ucapan ramah sudah dilontarkan seorang pemuda desa. "Silakan Pak, saya akan menemani melihat-lihat desa kami. Atau bisa juga kalau mau membeli sesuatu," ucap Alimudin (21) ramah dan lancar.Meski tidak begitu tampak, guratan kecewa di wajah pemuda itu terlihat sesaat setelah penumpang turun dari mobil. Terutama setelah sapaan Alimudin dijawab dengan bahasa Sasak, bahasa daerah di Pulau Lombok. Namun, karena "pengalaman" menjadi pemandu beberapa tahun terakhir, ia seakan tak peduli dan berupaya melayani sebagaimana ia menghadapi wisatawan lainnya.

Dengan sesekali berbahasa Indonesia dan sesekali bahasa daerah, Alimudin menemani ketiga tamunya berkeliling di Dusun Sade yang berpenduduk 125 kepala keluarga (625 jiwa) itu. Tanpa ditanya pun ia lancar menjelaskan liku-liku dusun yang letaknya sekitar 50 km arah tenggara Mataram, ibu kota Nusa Tenggara Barat. Ketika ditanya pun, semua dijawab lancar dan tak ada yang tidak bisa dijawab.

"Inilah bentuk kampung asli orang Lombok. Sejak dahulu, bentuk dan pengaturan tempat serta lainnya hampir tidak berubah. Penduduk pun masih memintal benang dan menenun kain untuk keperluan sendiri atau untuk dijual," jelas Alimudin lancar.

Suasana keaslian tanpa perubahan sangat terasa di Dusun Sade yang selama ini juga dikenal dengan tingkat kemiskinan penduduk. Beberapa waktu lalu, setidaknya hingga awal tahun 1990-an, sapaan ramah nyaris tak pernah terdengar, kecuali ucapan memelas akibat kemiskinan yang lama mendera.

Bahkan, hingga kini kondisi fisik dusun di Desa Rambitan, Lombok Tengah ini, masih menyisakan wajah kemiskinan pedesaan Lombok bagian selatan. Rumah tradisional berlantai tanah, beratap alang-alang dan berdinding gedek, seolah tak pernah disentuh perubahan.

"Paling tidak, beberapa rumah sudah ada yang diperbaiki dan diperbarui, meski bentuknya yang tradisional tidak berubah," ujar Alimudin menjelaskan.

***
SEBAGAI salah satu obyek wisata, kini Dusun Sade setiap hari disinggahi wisatawan yang melintas di jalur wisata Mataram-Kuta. Pariwisata mampu memoles wajah desa yang selama ini sering dijuluki "etalase kemiskinan" di Lombok.

Meski perubahan belum mampu mengangkat kesejahteraan seluruh warga, warna kehidupan yang lebih manusiawi mulai tampak. Paling tidak, di sana tidak lagi terlihat anak-anak yang berlarian bermandi debu, bertelanjang dada dengan kulit bersisik dan mata merah yang di sudutnya penuh kotoran mata.

Memasuki perkampungan yang jumlah penduduknya nyaris tak bertambah atau berkurang dari tahun ke tahun, anak-anak lebih sibuk bermain ketimbang mengerubungi pendatang seperti yang pernah tampak di masa lalu. Pakaian warna-warni anak-anak yang bermain memberi kesan setidaknya daya belinya meningkat.

Sebagai desa wisata, masyarakat Sade mencoba menghapus kesan selalu menadahkan tangan kepada wisatawan. Hampir di setiap sudut dusun tampak gadis atau kaum ibu mencari nafkah dengan menjajakan aneka jenis kain tenun dan kerajinan lainnya. Bahkan, sekeping kepeng (uang logam kuno) yang diberi gantungan biji petai cina yang dikeringkan, dicoba ditawarkan kepada wisatawan.

Pemuda di dusun itu pun mencoba mencegah kesan hanya mengharap belas kasihan. Seperti Alimudin dan teman-temannya, sebagai pemandu mereka bergantian menemani wisatawan dan untuk itu ia pantas mendapat upah.

Sade sebagai sentra kerajinan tenun masih bisa disaksikan hingga saat ini. Di sana masih bisa ditemui perempuan bekerja mulai dari memintal benang hingga menenun setelah benang diberi pewarna alami. "Hanya saja, tanaman kapas untuk memintal benang sendiri sekarang sudah tidak banyak. Benang lebih banyak dibeli di kota," komentar Alimudin.

***
SUASANA di Dusun Sade, sungguh berbeda dengan Dusun Senaru di Bayan, Lombok Barat bagian utara. Wajah dusun yang sampai saat ini menjadi salah satu pintu masuk untuk mendaki Gunung Rinjani, bisa dipastikan tidak pernah berubah. Kemuraman wajah dusun di tengah hutan itu seolah tidak pupus dalam kurun waktu seperempat abad ini.

Beberapa kilometer menjelang dusun yang jaraknya sekitar 80 km dari Mataram itu, sudah terasa kesan memasuki kawasan wisata. Paling tidak, di dusun terpencil itu tersedia penginapan semacam homestay, restoran, dan rumah makan, hingga terminal angkutan umum.

Boleh jadi, semua itu tersedia bukan hanya karena keberadaan Dusun Senaru sebagai cagar budaya di kawasan itu. Tak jauh dari dusun itu juga terdapat air terjun Sinanggile yang ramai dikunjungi wisatawan lokal setiap hari libur.

Karena itu, tidak heran jika memasuki pekarangan penduduk di Dusun Senaru saat ini, serasa tidak ada bedanya dengan suasana di masa lalu. Bangunan yang sejak dahulu tetap berjumlah 15 rumah, masih beratap alang-alang, berdinding anyaman bambu nyaris tanpa ventilasi, yang membuat suasana di dalam gelap dan pengap.

Kalaupun ada perubahan, beberapa rumah yang semula berlantai tanah kini dipoles semen. Rumah yang beruntung, memperoleh semen bantuan pemerintah daerah. "Baru tiga tahun lalu kami mendapat bantuan semen," ujar Nuliajip, salah seorang warga Senaru.

Meski menjadi salah satu kawasan wisata seperti halnya Dusun Sade, kecuali perkampungan asli yang sering dijuluki "museum hidup" tidak ada yang bisa diandalkan untuk meningkatkan taraf hidup warga. Kalaupun ada sumber penghasilan, tidak lebih dengan menjadi porter bagi pendaki Rinjani dengan upah Rp 50.000-Rp 75.000 sekali jalan. Sedang untuk kebutuhan desa, menunggu uluran tangan pengunjung yang diberikan dengan sukarela.

"Untuk membangun dusun ini kami menggantungkan harapan pada kerelaan pengunjung yang bersedia memberikan sekadar dana," ujar Nuliajip (45).

Kalau saja perkembangan pariwisata di Senaru lebih langsung bisa dinikmati manfaatnya bagi penduduk, paling tidak meningkatkan kesejahteraan mereka, tentu sangat diharapkan.

Sebagai kawasan wisata yang boleh dibilang cukup dikenal oleh kalangan wisatawan mancanegara, Senaru dan Sade ibarat dua dusun yang berbeda tetapi mempunyai nasib yang serupa. Rasanya tak sampai hati untuk menyebut kedua dusun dan warganya itu sebagai "museum hidup". Kecuali menjadikannya ajang untuk memahami masa lalu hingga masa kini kehidupan masyarakat tradisional di Lombok. (rul/dth/sk)

Kompas/bambang sukartiono

-

Arsip Blog

Recent Posts