Matahari Menyengat di Bawomataluo

Oleh Jodhi Yudono

Matahari belum lagi datang ke Bawomataluo ketika saya terbangun dari tidur yang lelap di rumah keluarga Ama Gersom, salah satu tokoh adat di desa yg memiliki ketinggian 364 meter di atas permukaan laut itu.

Bergegas saya turun ke rumah Kepala Desa Ariston Manao untuk mandi dan urusan lainnya. Ya ya, romantisme suasana yang saya dapatkan di desa ini memang harus saya bayar dengan perjuangan turun dan naik tangga sebanyak 85 buah. Soal jumlah anak tangga ini bermacam-macam persepsi orang, ada yg bilang 85, 87, 88.

Di Bawomataluo, Kecamatan Fanayama, Nias Selatan, kini sedang musim panas. Matahari tambah menyengat di bukit ini. Karena panasnya itulah, nenek moyang warga di sini menyebutnya Bawomataluo: Bukit Matahari.

Sinar surya terasa bertambah panasnya di desa ini, selain atap-atap seng yang menyilaukan dan menyimpan panas, halaman warga juga ditutupi semen dan batu.

Tapi kehidupan di sini berlangsung dengan menyenangkan. Orang-orang bercakap dengan volume suara yang tinggi, dan ketika malam tiba, anak-anak muda bernyanyi riang dalam bahasa Nias selatan, sementara sebagian lainnya ngobrol hangat di warung-warung kopi hingga menjelang pagi. Jika ada yang tidak menyenangkan, adalah karena kemarau juga mengisap air tanah tanpa ampun. Maka jadilah, sepanjang waktu penduduk yang mendiami 264 rumah antre untuk mendapatkan air untuk mandi, cuci, dan urusan kakus.

Ketika surya mulai meninggi, mendadak terdengar teriakan, "Furaí nawu, faigi nalito!" Seorang petugas keamanan mengingatkan penduduk agar warga mematikan api di dapur sebelum mereka pergi.

Dia adalah salah satu petugas keamanan yang secara bergiliran sepanjang 24 jam hilir mudik membawa balatu sala (golok). O ya, jenis dan fungsi golok di sini ada beberapa: balatu sala, untuk keamanan, belewa gari untuk berkebun, dan tologu untuk perang dan upacara adat.

Bawomataluo dan Tradisi Perang

Menyaksikan Bawomataluo dari dekat, maka akan terasa pada kita betapa warga di sini memiliki tradisi kemiliteran yang luar biasa. Lihatlah dengan lokasi desa ini yang dibangun di pucuk bukit dengan luas 5 Ha. Untuk sampai ke wilayah ini, kita harus berjuang menaklukan tanjakan dengan kemiringan sekira 60 derajat.

Pada empat penjuru terdapat undakan yang beragam ketinggian dan jumlahnya. Paling tinggi dan curam adalah undakan yang terdapat pada gerbang utara dan barat. Gerbang barat memiliki undakan berjumlah 85, sedangkan di utara lebih dari seratus undakan.

Jelas, lokasi semacam ini adalah prototipe dari benteng pertahanan. Konon, dahulu Bawomataluo memang dikelilingi tembok sebagai perlindungan. Belum lagi tradisi yang kini masih dijalankan oleh warga desa tersebut. Mulai dari pengamanan 24 jam oleh petugas yang ditunjuk berjaga, hingga tradisi lompat batu yang masih lestari hingga kini, serta tarian perang (Maluaya ) yang melibatkan puluhan lelaki.

Tradisi lompat batu atau dalam bahasa setempat disebut hombo batu, yang kini menjadi ikon wisata Nias, adalah olahraga yang bermula dari tradisi latihan perang warga setempat. Para lelaki di desa ini sejak usia muda telah dilatih lompat tinggi, sebelum akhirnya mampu melompat dengan ketinggian 2,1 meter.

Menurut Hikayat, dengan keahlian lompat batu ini, para kstaria Bawomataluo mampu memenangi peperangan demi peperangan. Maka tak heran, wilayah kekuasaan Bawomataluo dulu mencapai sekitar 16 desa di sekitarnya.

Tarian Maluaya, adalah gambaran dari para kstaria Bawomataluo ketika berada di medan perang. Dengan tameng dan senjata berupa tombak dan golok, mereka dengan gesit dan berani menerabas pasukan musuh.

Menuju Bukit Matahari
Ketika telah berada di bawomataluo, saya pun lantas ingat perjalanan seharian dari Jakarta. Untuk mencapai lokasi desa ini perlu perjuangan yang cukup berat. Dari Bandara Soekarno Hatta misalnya, saya harus menempuh penerbangan sekitar 1 jam 55 menit menuju Medan. Kemudian dilanjutkan dengan menggunakan penerbangan lokal menuju Bandar Udara Binaka, Gunungsitoli, Nias dengan jarak tempuh sekitar 1 jam perjalanan.

Desa Bawomataluo dibangun sejak jaman Megalitikum atau batu besar, sekitar 300 tahun lalu. Bukti sejarah yang membuktikan desa ini telah berusia hampir 3 abad dapat dilihat dari sebuah bangunan kuno rumah adat raja Nias yang kini menjadi tempat tinggal dari keturunan ke-4 serta balai musyawarah yang semua tempat duduknya masih terbuat dari batu.

Menurut catatan, dulu, semua penduduk di desa ini menganut animisme, aliran kepercayaan yang menyembah patung. Dengan adanya bukti berbagai koleksi patung yang mereka sembah, seperti harimau dan perwujudan manusia yang dipercaya sebagai dewa. Semua peninggalan patung tersebut kini tertata rapi dan masih terawat di Museum Nias. Namun, setelah ajaran agama Protestan mulai masuk ke daerah Nias sekitar abad ke-19, sekitar 90 persen penduduk desa Bawomataluo telah memeluk agama Protestan. Dengan adanya bukti sebuah bangunan gereja tua yang telah didirikan sekitar tahun 1900-an di desa ini.

Bukan hanya bangunan rumah penduduk yang terlihat kuno, di desa ini juga terdapat sebuah meriam yang dibuat pada jaman Belanda sekitar 300 tahun lalu. Uniknya, posisi meriam tersebut dari dulu hingga kini tidak pernah berpindah tempat, di depan balai musyawarah warga desa Bawomataluo. Di sebelah meriam tersebut juga terdapat beberapa batu yang panjangnya mencapai kurang lebih 10 meter. Permukaan batu itu tampak rata dan berwarna hitam karena usia.

Menurut cerita dari penduduk setempat, batu panjang tersebut dulu digunakan sebagai tempat duduk raja ketika Ia menyampaikan informasi atau berita kepada warganya. Namun, sejak agama Protestan masuk ke daerah Nias, batu ini telah berubah fungsi, menjadi tempat duduk dan bersantai bagi semua warga desa tanpa ada perbedaan status.

Sumber: http://oase.kompas.com
-

Arsip Blog

Recent Posts