Alun-alun sebagai Identitas Kota Jawa, Dulu dan Sekarang

Oleh Handinoto

Setiap orang yang berkeliling ke kota-kota di Jawa, mulai dari Jawa Barat sampai ke Jawa Timur, pasti menjumpai alun-alun pada pusat kota lamanya. Konsep penataan alun-alun pada kota-kota di Jawa ini sebenarnya sudah ada sejak jaman prakolonial dulu. Jadi alun-alun sebenarnya berpotensi untuk menjadi salah satu identitas bagi kota-kota di P. Jawa. Hal ini penting mengingat sekarang kita sedang dilanda krisis identitas baik dalam bidang arsitektur maupun perencanaan kota. Sayangnya, alun-alun di kota-kota sekarang keadaannya sangat menyedihkan. Hal ini mungkin disebabkan karena kurang sadarnya masyarakat akan konsep tata ruang kota Jawa dimasa lampau. Tulisan ini mencoba untuk mencari sejarah alun-alun di masa lampau, barangkali bisa dipakai sebagai salah satu pertimbangan untuk menghidupkan kembali alun-alun kota.

Pendahuluan
Apakah sebenarnya alun-alun itu? Apa fungsi sebenarnya di masa lampau? Mengapa alun-alun itu selalu terdapat di hampir setiap kota di Pulau Jawa? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini selalu muncul dan perlu diketahui sebelum kita bisa menentukan sikap lebih lanjut tentang nasib alun-alun tersebut untuk masa mendatang. Di dalam buku “Encyclopedie van Nederlandsch Indie” (Paulus, 1917:31), terdapat penjelasan tentang ‘alun-alun’ sebagai berikut :

“Di hampir setiap tempat kediaman Bupati, orang selalu menjumpai adanya sebuah lapangan rumput yang luas, yang dikelilingi oleh pohon beringin di tengahnya. Lapangan inilah yang dinamakan ‘alun-alun’. Di kota-kota bekas kerajaan kuno (seperti Surakarta dan Yogyakarta), mempunyai dua buah ’alun-alun’, sebuah terletak di utara Kraton dan sebuah lagi terletak di selatan Kraton. Di permukaan alun-alun tidak boleh ada rumput dan di atasnya ditutup pasir halus. Di bagian selatan dari alun-alun tersebut terdapat pintu masuk yang menuju ke tempat kediaman Raja atau Bupati, di mana disana berdiri sebuah pendopo. Pegawai negeri atau orang-orang lain yang ingin bertemu dengan raja atau Bupati menunggu waktunya di sana untuk dipanggil, jika Raja merestui untuk menerima kedatangan mereka. Pada masa lampau, di alun-alun tiap hari Sabtu atau Senin (Seton atau Senenan) diadakan permainan Sodoran (pertandingan di atas kuda dengan menggunakan tombak yang ujungnya tumpul), atau pertandingan macan secara beramai-ramai yang dinamakan ‘rampog macan’. Pada waktu pertunjukan ini raja duduk di Siti Hinggil, tempat yang paling tinggi dimuka pintu Kraton.”

Kehadiran alun-alun sudah ada sejak zaman prakolonial. Meskipun dari dulu sampai sekarang bentuk fisik alun-alun tidak banyak mengalami perubahan, tapi konsep yang mendasari bentuk fisiknya sejak zaman prakolonial sampai sekarang telah mengalami banyak perubahan. Konsep inilah yang sebetulnya menentukan fungsi dan kehadiran alun-alun dalam suatu kota di Jawa. Uraian di bawah ini mencoba untuk menlusuri konsep yang mendasari kehadiran alun-alun di masa lampau. Perlu dipikirkan di sini bahwa persoalan dan kegagalan yang terjadi dalam proses pembangunan seringkali bersumber dari keinginan membentuk suatu masyarakat baru tanpa mengenal lebih dulu nilai-nilai tradisional masa lalu.

Alun-alun pada Zaman Prakolonial di Jawa
Di masa lalu sejak zaman Mojopahit sampai Mataram (abad ke 13-18), alun-alun selalu menjadi bagian dari suatu kompleks Kraton. Kraton dalam masyarakat tradisional masa lalu merupakan pusat pemerintahan dan sekaligus merupakan pusat kebudayaan. Sebagai pusat pemerintahan di mana raja tinggal, maka Kraton dianggap sebagai miniatur dari makrokosmos. Komplek Kraton biasanya diberi pagar yang terpisah dari daerah lainnya pada suatu ibukota kerajaan, Batas pagar ini tidak selalu ditafsirkan melalui sistem pertahanan, tapi dapat ditentukan juga dari aspek kepercayaan/keagamaan. Untuk itu kita harus mengerti dulu hubungan antara kepercajaan/keagamaan dengan kota/kompleks Kraton.

Manusia yang religius seperti halnya masyarakat agraris yang religius di Jawa ini biasanya membagi ruang menjadi dua jenis: ruang yang homogen atau sakral (disucikan) di satu pihak dan ruang yang inhomogen atau yang tidak teratur (bisa disebut profan) di lain pihak. Di alam sakral segalanya teratur, baik tingkah laku manusia maupun struktur bangunannya. Sedang di ruang yang inhomogen semuanya tidak teratur, karena belum disucikan (Eliade, 1959:20-65). Wilayah Kraton selalu dianggap sebagai wilayah yang homogen (sakral), yang teratur atau harus diatur. Manifestasi dari keinginan inilah yang melahirkan konsepsi ruang dari susunan sebuah Kraton.

Seperti dijelaskan di depan bahwa Kraton dianggap sebagai miniatur dari makrokosmos. Manifestasinya adalah tempat tinggal raja yang biasa disebut sebagai Ndalem Ageng diibaratkan sebagai puncak Mahameru (atau gunung Semeru di Jawa). Di sinilah kekuasaan dan wibawa raja dirasakan sangat besar. Di daerah lingkaran di luarnya disebut Negara Agung (negara besar), batas luarnya adalah pelataran dalam. Di sini kekuasaan raja masih terasa besar. Di luar Negara Agung dinamakan kawasan “mancanegara” (luar daerah). Ini sudah agak di luar, tapi belum keluar dari batas teras Kraton. Di tempat inilah biasanya raja menerima tamu. Di luarnya lagi disebut Pasisir. Batas luarnya sudah mencapai Siti Hinggil, bangunan di batas alun-alun dengan Kraton. Di Pasisir, raja makin jarang muncul, hanya beberapa kali dalam setahun misalnya bila ada perayaan tertentu. Daerah paling luar disebut Sabrang (daerah seberang). Di daerah inilah bangsal pertemuan untuk para Bupati ditempatkan. Jadi jelaslah di sini meskipun tempatnya paling luar tapi alun-alun masih terletak di dalam kompleks pagar Kraton.

Model yang masih bisa kita lihat sebagai prototype alun-alun kota di Jawa pada zaman yang lebih muda adalah alun-alun Yogyakarta dan Surakarta, bekas perpecahan kerajaan Mataram di masa lampau. Baik di Yogyakarta maupun di Surakarta terdapat dua buah alun-alun yaitu Alun-alun Lor dan Kidul. Di masa lalu, Alun-alun Lor berfungsi menyediakan persyaratan bagi berlangsungnya kekuasaan raja. Alun-alun Kidul berfungsi untuk menyiapkan suatu kondisi yang menunjang kelancaran hubungan kraton dengan universum. Alun-alun Kidul dapat juga melambangkan kesatuan kekuasaan sakral antara raja dan para bangsawan yang tinggal di sekitar alun-alun.

Alun-alun Lor Yogyakarta pada masa lalu berbentuk ruang luar segi empat. Di tengahnya terdapat 2 beringin dan di sekelilingnya terdapat 64 beringin yang ditanam dengan jarak sedemikian rupa sehingga harmoni dengan bangunan di sekitarnya. Permukaan alun-alun ini ditutupi oleh pasir halus. Dua buah pohon beringin ditengah alun-alun tersebut dikelilingi oleh pagar segi empat. Orang Jawa menyebutnya sebagai Waringin Kurung. Nama Waringin berasal dari dua suku kata wri dan ngin. Wri berasal dari kata wruh yang berarti mengetahui, melihat. Ngin berarti memikir, tindakan penjagaan masa depan (Pigeaud, 1940:180). Kedua kata tersebut melambangkan kematangan manusia yang arif bijaksana karena orang Jawa beranggapan bahwa kegiatan bijaksana berasal dari kosmos. Pohon beringin dengan demikian melambangkan kesatuan dan harmoni antara manusia dengan universum. Kesatuan ini tidak timbul dengan sendirinya. Pohon beringin melambangkan langit dan permukaan tanah yang persegi empat didalam pagar kayu mengartikan tugas manusia untuk mengatur kehidupan di bumi dan di alam, supaya harmoni dengan hukum universum (Pigeaud, 1940:180).

Alun-alun zaman Mataram juga digunakan oleh warga (rakyat biasa) untuk bertemu langsung dengan raja, guna meminta pertimbangan atau sesuatu kasus perselisihan. Orang harus memakai pakaian dan penutup kepala putih dan harus duduk menunggu diantara kedua pohon beringin sampai diperbolehkan menghadap raja. Perbuatan seperti ini disebut “pepe”. Di sebelah Barat alun-alun terdapat mesjid. Di halaman mesjid tersebut terdapat dua buah bangsal terbuka untuk dua buah perlengkapan gamelan, yaitu Kyai Sekati dan Nyai Sekati. Keduanya dimainkan bergantian dimainkan hanya pada 3 upacara keagamaan, yaitu: Garebeg Maulud, Garebeg Sawal dan Garebeg Besar. Di seberang mesjid terdapat bangunan yang disebut Pamonggangan tempat untuk menyimpan gamelan yang lain. Kesimpulanya, alun-alun pada zaman prakolonial bisa berfungsi sebagai (Santoso, 1984):

1. Lambang berdirinya sistim kekuasaan raja terhadap rakyatnya.
2. Tempat semua upacara keagamaan yang penting (adanya hubungan penting antara Kraton-Mesjid dan Alun-alun).
3. Tempat pertunjukan kekuasaan militeris yang bersifat profan.

Alun-alun pada Zaman Kolonial
Untuk menjelaskan peran alun-alun pada zaman kolonial, di sini dicoba untuk melihatnya dari sudut susunan pemerintahan, karena hubungannya yang sangat erat sekali. Salah satu unsur yang dikagumi orang mengenai kolonialisme Belanda di Indonesia adalah sistem pemerintahannya yang tidak langsung (indirect rule). Pemerintah kolonial Belanda selain menggunakan pejabat resmi seperti Gubernur Jenderal, Residen, Asisten Residen, Kontrolir dan sebagainya, juga menggunakan pejabat pribumi untuk berhubungan langsung dengan rakyat, seperti Bupati, Patih, Wedana, Camat dan lainnya. Unsur pemerintahan Pribumi ini biasanya disebut sebagai Pangreh Praja.

Pejabat Pribumi yang tertinggi adalah Regent atau biasa disebut sebagai Bupati, yang membawahi sebuah kabupaten. Di dalam sistem pemerintahan Mataram terdapat 4 macam daerah yaitu: Daerah Inti yang disebut Negara atau Kuthagara, Negara Agung, Mancanegara, Pasisir (Kartodirjo, 1987:11). Daerah Macanegara dan Pasisir, penguasanya dinamakan Bupati. Rumah Bupati di Jawa selalu dibangun untuk menjadi miniatur Kraton di Surakarta dan Yogyakarta. Di depan rumah Bupati juga terdapat pendopo yang berhadapan langsung dengan alun-alun, yang sengaja diciptakan oleh para Bupati untuk bisa menjadi miniatur dari Kraton Surakarta atau Yogyakarta. Bahkan di alun-alun di pusat kota Kabupaten ini juga diadakan perayaan sodoran, grebegan, dan sebagainya. Rupanya pemerintah Kolonial Belanda melihat unsur phisik tradisional ini sebagai suatu potensi yang baik untuk dikembangkan dalam sistim pemerintahan tidak langsung (indirect rule) yang diterapkan di Nusantara ini.

Rumah Bupati terletak di sebelah Selatan alun-alun, di sebelah Barat terdapat mesjid Agung sesuai dengan kraton Yogyakarta atau Surakarta. Di sebelah Utara alun-alun yang berhadapan dengan rumah Bupati sekarang diletakkan kantor Asisten Residen Belanda, yang mengingatkan kita pada benteng Vastenburg dan Vredenburg di hadapan Kraton Yogyakarta dan Surakarta. Di sekitar alun-alun juga terdapat pasar, stasiun bus, serta daerah pertokoan yang Alun-alun terletak tidak jauh dari bangunan pemerintahan dan alun-alunnya. Model alun-alun inilah yang kemudian berkembang sebagai prototype identitas kota Jawa pada jaman kolonial. Sifat sakral alun-alun di jaman kolonial kemudian berkembang lebih merakyat, pada zaman kolonial ini menjadi semacam civic space. Bahkan pada akhir zaman kolonial berkembang menjadi semacam plaza di Eropa.

Alun-Alun Pascakolonial
Setelah kemerdekaan, alun-alun masih menjadi unsur yang cukup dominan di kota-kota Kabupaten sampai sekarang. Pada zaman pra kolonial antara alun-alun, kraton dan mesjid mempunyai konsep keselarasan yang jelas. Maksudnya kompleks tersebut memang merupakan ujud dari konsep keselarasan antara mikrokosmos dan makrokosmos, yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari orang Jawa. Oleh sebab itu meskipun terdapat transformasi bentuk alun-alun dari zaman Majapahit sampai Mataram, tapi terlihat adanya kontinuitas konsep pemikiran tentang penataannya. Pada zaman kolonial kelihatan adanya diskontinuitas tentang pemikiran konsep penataan alun-alun. Tapi secara halus Belanda berhasil membuat konsep baru dalam penataan alun-alun kota untuk disesuaikan dengan sistim pemerintahannya pada waktu itu, sehingga muncul istilah kota-kota “Indisch”, karena munculnya kebudayaan Indisch, yaitu percampuran antara kebudayaan Jawa dan Kebudayaan Belanda.

Pada awal abad ke 20, terjadi westernisasi kota-kota di Nusantara. Kebudayaan Indisch, yang pada abad ke 19 berkembang subur di Nusantara, kelihatan menghilang, disapu oleh kebudayaan Barat modern yang dibawa oleh para pendatang baru pada awal abad ke 20. Sejak awal abad ke 20 inilah mulai kelihatan rusaknya alun-alun sebagai ciri khas kota-kota di Jawa. Sesudah kemerdekaan Indonesia nasib alun-alun kota bertambah parah lagi. Banyak pengambil keputusan atau kebijakan pembangunan kota ragu-ragu atau bahkan tidak mengerti mau difungsikan untuk apa alun-alun ini. Banyak alun-alun yang sekarang digunakan untuk tempat olah raga sepak bola, tenis, basket, ada pula yang sekarang difungsikan sebagai taman kota. Bahkan banyak yang sekarang tidak jelas fungsinya, karena pusat kotanya sudah bergeser ke lain lokasi. Yang paling tragis lagi ada alun-alun kota yang diincar investor untuk dibeli karena letaknya yang strategis di pusat kota. Semuanya ini sebagai akibat belum adanya suatu konsensus budaya yang jelas secara nasional, untuk bisa dipakai sebagai pegangan dalam menangani alun-alun yang ada sekarang, sehingga wajar kalau timbul kebingungan dalam menangani pembangunan nya. Jadi seperti apa yang dilihat sekarang pada alun-alun kota, ingin meninggalkan pola tradisional, tapi belum menemukan struktur-struktur baru yang mantap. Sesudah jaman pasca kolonial ini alun-alun kelihatan seperti “hidup segan matipun enggan”.

Kesimpulan
Nasib alun-alun yang tidak menentu sesudah zaman pascakolonial ini barangkali disebabkan belum adanya suatu konsensus budaya yang dapat diterima oleh semua golongan. Etika keselarasan yang dipakai sebagai sumber konsep untuk mewujudkan alun-alun kota, berakar dalam suatu struktur sosial budaya dan pandangan dunia yang amat berbeda dengan apa yang kita sebut sebagai modernisasi sekarang. Modernisasi bukanlah suatu alternatif terhadap tradisi, tapi keduanya berkaitan secara dialektis. Sikap kreatif yang dijunjung tinggi pada zaman modern ini misalnya, berarti: bergairah untuk memikirkan, mencari, menemukan, menciptakan sesuatu yang baru. Padahal tradisi masa lalu selalu bertitik tolak pada keadaan selaras yang sudah ada, yang perlu dipertahankan, sesuatu yang baru pasti mengacaukan harmoni dan harus ditolak.

Terhadap keadaan yang harmonis dan baik, yang baru mesti merupakan ancaman. Karena itu pemikiran tradisional masa lalu yang berdasarkan keselarasan ditantang untuk menunjukkan bagaimana dalam kerangkanya kreativitas dapat diminati sebagai sesuatu yang positif. Konsensus misalnya, andaikata terbentuk sifatnya mungkin hanya sementara saja.

Adalah tidak mungkin untuk mempertahankan nilai-nilai masa lalu dari arsitektur tradisional sebagai dasar konsesnsus yang berlaku sekarang. Meskipun nilai-nilai dasar dalam arsitektur tradisional tetap dipertahankan, perlu dipikirkan pengembangan yang memadai untuk menghadapai tantangan-tantangan dewasa ini. Pada masa lalu arsitek dan pemberi nilai terletak pada seorang saja (Sultan Yogya yang pertama misalnya adalah sumber nilai yang sekaligus juga arsitek Kraton Yogyakarta). Pada masa kini seorang arsitek adalah pemberi ‘ujud’, dia bukan sumber nilai bagi masyarakatnya. Oleh sebab itu diperlukan pemikiran dan kemauan semua pihak untuk mengatasi masalah ini.

Referensi:
· Behrend, Timothy Earl (1982). Kraton and Cosmos In Traditional Java, Tesis M.A., University of Wisconsin-Madison.
· Carey, Peter (1986). Asal Usul Perang Jawa. Jakarta: Pustaka Azet.
· Coban, James L. (1970). The City Of Java, An Easy In Historical Geography. Ph.D. Thesis, University Of California.
· De Kraton van Java Yogyakarta, De Indeeling van den Kraton Mooi Yogyakarta, Uitgave Kalf Buning.
· Eliade, Mircea (1959). The Sacred and The Profan. Harcourt Brace & World Inc.
· Geldern, Robert Heine (1972). Konsepsi tentang Negara & Kedudukan Raja di Asia Tenggara, terjemahan Deliar Noer. Jakarta: CV. Rajawali.
· Kartodirdjo, Sartono, et.al. (1987). Perkembangan Peradaban Priyayi. Yogyakarta: Gajahmada University Press.
· Milone, Pauline D. (1966-67). “Indische Culture and Its Relationship to Urban Life”, dalam Comparative Studies In Society & History, Vol.9, Jul-Oct, hal.427-436.
· Mulyono, Slamet (1965). Menuju Puncak Kemegahan, Sejarah Kerajaan Majapahit. Jakarta: Balai Pustaka.
· Nieuwenhuis, Rob (1972). “Oost Indische Spiegel”, ditulis kembali oleh Dick Hartoko dengan judul Bianglala Sastra, Bunga Rampai Sastra Belanda tentang Kehidupan di Indonesia. Jakarta: Djambatan.
· Paulus, J. (1917). Encyclopedie van Nederland Indie. Twee Druk, Martinus Nijhoff, S’Gravenhage, NV v/h E.J. Brill , Leiden.
· Pigeaud, Th. G. (1940). “De Noorder Aloen-Aloen Te Yogyakarta”, dalam majalah Jawa, No.3, Mei 1940, Hal. 176-184.
· Santoso, S. (1981). “Dinamika Perkembangan Arsitektur di Jaman Prakolonial di Jawa”, dalam Majalah Dimensi, No.5, 1981, Hal. 34-36.
· Santoso, S. (1984). Konsep Struktur & Bentuk Kota Jawa s/d Abad ke 18.
· Sutherland, Heather (1985), Terbentuknya Sebuah Elite Birokrasi. Jakarta: Sinar Harapan.
· “Membangun Keraton Menurut Kawruh Kalang”, dalam Tempo, 16 Februari 1985, Hal. 19-20.
Handinoto, Staf Pengajar Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Jurusan Arsitektur Universitas Kristen Petra.

Sumber: Jurnal Dimensi, No. 18, September 1992
fportfolio.petra.ac.id
-

Arsip Blog

Recent Posts