Jika edisi kemarin David Kwa, pengamat budaya Tionghoa peranakan, membahas papakean babah (pria Tionghoa peranakan), maka hari ini giliran papakean nyonya (perempuan Tionghoa peranakan). Hingga awal abad ke-20, nyonya di Jawa memakai baju kurung dengan bawahan sarung batik. Baju kurung, menurut David, seperti orang mengenakan t-shirt. Di belahan bagian bawah disematkan semacam bros yang disebut krongsang.
Setelah baju kurung, muncullah baju panjang yang terbuka di bagian depan, mirip kebaya panjang. Bersamaan dengan berdirinya Tiong Hoa Hwe Koan (THHK) pada 1900, muncul pula mode baru, baju peh-ki yang dipakai bersama hoa-kun, semacam rok lipit yang dipakai di luar celana panjang. Mode ini digemari generasi muda, khususnya murid THHK.
Era kebaya dimulai manakala Belanda membuka Hollandsch Chineesche Schoolen, sekolah berbahasa pengantar Belanda bagi anak-anak Tionghoa. Kebaya renda adalah awal mula era kebaya. David menyatakan, kebaya renda terbuat dari bahan putih transparan dengan tepi yang dihias renda halus berukuran lebar buatan Swiss. Model kebaya ini dimulai oleh Indo Belanda di penghujung abad ke-19, kemudian menjadi identitas perempuan Tionghoa peranakan dan dikenal luas sebagai "kebaya encim".
Warna kebaya encim tetaplah putih sebagai tanda bahwa pemakainya adalah perempuan baik-baik. Sebagai padanan kebaya, nyonya lebih menyukai sarung daripada kain panjang. Sarung batik yang disukai kaum nyonya, menurut David, kebanyakan produksi dari kota-kota di pesisir utara Jawa, seperti Pekalongan, Kudus, Rembang, dan Lasem. Ciri khas batik tersebut adalah warna yang ceria dengan ragam hias Eropa dan Tionghoa.
Kebaya encim tak hanya beken di kalangan nyonya di Nusantara, tetapi juga di Singapura dan Malaysia.
Setelah Perang Dunia II, berkembang pula kebaya encim jenis lain, yaitu kebaya borduur (bordir) dan krancang. Keduanya punya kombinasi warna lain, tak melulu putih. Kebaya bordir bermotif flora fauna disulam dengan mesin, sedangkan krancang tak hanya disulam, tetapi juga dilubangi di bagian tertentu dengan gunting kecil.
Jika baju kurung awalnya diambil dari papakean orang Melayu, maka kebalikan dengan kebaya borduur yang kemudian diikuti oleh orang Melayu.
Kebaya borduur dan krancang populer di kalangan nyonya paruh baya hingga akhir tahun 1950-an. Kisah celana komprang dan tui-khim berulang pada kebaya-kebaya tersebut ketika generasi muda nyonya beralih ke papakean ala Barat. Untungnya, desainer yang jeli akan potensi kebaya encim kembali mengangkat citra kebaya encim pada tahun 1970-an. Alhasil, kebaya encim hingga kini masih berjaya.
Pradaningrum Mijarto