Tampilkan postingan dengan label Yogyakarta. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Yogyakarta. Tampilkan semua postingan

Gubernur DIY Dukung Polisi Usut Kasus Korupsi Buku di Sleman

Yogyakarta - Gubernur Provinsi DI Yogyakarta, Sultan Hamengku Buwono X mendukung langkah Polda DIY mengusut tuntas kasus dugaan korupsi pengadaan buku ajar SD, SMP dan SMA di Sleman senilai Rp 29,8 Miliar.

Sultan juga tidak keberatan jika penyidik Polda DIY memerlukan izin untuk memeriksa anggota dewan dan pejabat lainnya. Sebelumnya Sultan telah memberikan izin memeriksa mantan Ketua DPRD Sleman, Jarot Subiyantoro.

"Saya rasa setelah ditahannya Jarot itu pertanda sudah serius," kata Sultan menjawab pertanyaan wartawan di kantor Gubernur DIY di Kepatihan Jl Malioboro Yogyakarta, Senin (7/7/2008).

Namun Sultan belum bersedia memberikan komentar lebih jauh berkaitan dengan kasus dugaan korupsi pengadaan buku ajar yang terjadi pada tahun 2002 lalu. "Kita ikuti dululah, setelah penahanan Djarot ini. Saya tak mau banyak komentar soal itu. Tunggu saja dulu hasil penyidikan polisi," kata Sultan.

Sementara itu pemeriksaan terhadap Jarot di Mapolda DIY masih terus berlangsung. Hingga pemeriksaan lanjutan hari ini, Jarot belum didampingi pengacara atau penasehat hukumnya.

"Teman-teman pengacara belum ada yang dihubungi Jarot. Dulu waktu terkena kasus narkoba, memang kami yang menangani," kata advokat senior Sunu Ciptahutama. (bgs/djo)

Sumber: Detik, 07 Juli 2008

Kejari Bantul Bidik Dua Kasus Korupsi

Bantul - Kejaksaan Negeri (Kejari) Bantul membidik dua kasus korupsi. Yaitu kasus korupsi dana rekontruksi di Wonokromo, Kecamatan Pleret dan penyalahgunaan tanah kas desa Potorono, Kecamatan Banguntapan. "Kedua kasus ini saat ini sudah kami naikkan statusnya dari penyelidikan ke penyidikan," ungkap Kepala Kejari Bantul Dicky Rachmad Raharjo, di kantornya, Kamis (12/6/2008).

Dicky Rachmad mengatakan dari dua kasus ini, kasus penyalahgunaan tanah kas desa di Potorono yang merugikan negara sebesar Rp100 juta merupakan kasus paling pelik. Sebab, selain merupakan kasus lama, pihaknya hingga kini juga belum berhasil mendapatkan keterangan dari tersangka. Karena keberadaanya belum diketahui.

"Jadi, selain akan menyulitkan kami, hal ini juga akan menyulitkan tersangka sendiri, karena status hukumnya tidak jelas," katanya.

Kepala Seksi Pidana Khusus (Kasipidsus) Kejari Bantul Herlina mengatakan sebenarnya, pihaknya sudah mengirimkan surat panggilan sebanyak 3 kali untuk pemeriksaan kepada tersangka yang berinisial "I" ini. Tapi tersangka tetap tidak mengindahkannya.

"Selain ini, hingga saat ini, kami juga belum mengetahui dimana keberadaan tersangka ini. Untuk itu, kami terus mencarinya," tegasnya. (Priyo Setyawan/Sindo/fit)

Sumber: Okezone, 12 Juni 2008

Kenduri Pohon, Tradisi untuk Menjaga Mata Air di Tunggularum

Sleman, Yogyakarta - Jika tradisi kenduri umumnya adalah kegiatan masyarakat dengan berkumpul membawa berbagai maknan untuk didoakan sesepuh adat. Tapi ada kenduri unik yang bakal digelar di Tunggularum, Wonokerto, Turi, Sleman, Yogyakarta. Yakni ‘Kenduri Pohon’ yang bakal digelar besok Minggu (23/10/2016). Acara ini bakal digelar mulai pukul 09.00 WIB dan bakal dihadiri Gubernur DIY.

Menurut Tomon Wirosobo, Kepala Desa Wonokerto, kegiatan tersebut merupakan bentuk ekspresi budaya dari komitmen bersama semua pihak baik masyarakat, pemerintah, akademisi dan semua stakeholder yang peduli untuk melestarikan dan menyelamatkan mata air yang terletak di kaki Gunung Merapi agar tetap mengalir.

“Acara kenduri pohon ini sekaligus sebagai penanda peresmian hutan lindung dan penanda tanganan komitmen bersama tentang penyelamatan dan kelestarian mata air oleh Gubernur D.I.Yogyakarta,” ujar Tomon Wirosobo kepada KRjogja.com, Kamis (20/10/2016).

Kegiatan kenduri pohon ini merupakan satu rangkaian acara Gelar Potensi dan Budaya WONOKERTO EXPO TAHUN 2016 yang dibuka 18 Oktober 2016 dengan rangkain kegiatan diantaranya pameran potensi desa seperti kuliner, kerajian dan pariwisata serta penampilan seni pertunjukan kerakyatan yang ada di Desa Wonokerto. Kegiatan akan berakhir pada tanggal 23 Oktober 2016.

Wonokerto adalah desa paling atas diutara Daerah Istimewa Yogyakarta yang berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah disisi barat dan gunung merapi disisi utara yang merupakan daerah tangakapan air dan menjadi wilayah penyangga ketahanan suplay air ke daerah yang ada dibawahnya yaitu Kota Yogyakarta. Oleh sebab itu penyelamatan dan pelestarian mata air ini diharapkan tetap terjaga.

“Salah satunya program yang dikembangkan untuk menyelamatkan dan melestarikan mata air adalah dengan menanam berbagai jenis tanaman yang mampu menahan dan menyimpan air di sepanjang aliran sungai yang bersumber dari Merapi,” pungkas Tomon.

Lintas Agama dan Suku Gelar Labuhan

BAntul, DIY - Yayasan Hondodento kembali menggelar ritual labuhan di kawasan Pantai Parangkusumo, kemarin (16/10). Tradisi yang telah berjalan puluhan tahun ini menyedot perhatian wisatawan, lokal maupun mancanegara. Labuhan ini dikemas lebih menarik dan berbeda dengan tradisi serupa.

Prosesi ritual labuhan dimulai dari Cepuri Parangkusumo. Seluruh ubo rampe diarak dan dibawa ke pinggir pantai. Lalu, didoakan. Dengan penuh hidmat, seluruh peserta ritual yang menggunakan pakaian khas adat Jawa ikut mendoakan.

Pernak-pernik berupa payung yang dibawa sejumlah peserta kian menambah kesakralan prosesi ritual yang rutin digelar setiap tanggal 15 Suro ini. “Baru setelah itu dilabuh,” jelas Sekretaris Yayasan Hondodento Mulyadi usai labuhan.

Ada lima jenis ubo rampe yang dilabuh. Di antaranya, pakaian, buah-buahan, sekar setaman, dan minyak wangi. Menurut Mulyadi, ritual labuhan memiliki pesan bahwa semua kenikmatan merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa. Manusia tidak selayaknya menyombongkan diri. Sebaliknya, seorang hamba manusia harus terus berusaha mendekatkan diri.

Mulyadi menambahkan, latar belakang anggota Yayasan Hondodento beragam. Mulai agama hingga suku. Kendati begitu, tidak ada batas pemisah di antara sesama anggota. “Tradisi ini juga untuk melestarikan budaya,” tambahnya.

Maryanto, salah seorang pengunjung mengaku sengaja datang ke Pantai Parangkusumo untuk melihat lebih dekat prosesi tradisi labuhan. Warga Bantul ini juga penasaran dengan tradisi rayahan ubo rampe yang dilarung ke laut. “Dapat buah pisang,” ucapnya semringah.

Koordinator Tim SAR Pantai Parangtritis Ali Sutanto menambahkan, ada beberapa labuhan pada bulan Suro ini. Selain Yayasan Hondodento, Keraton Jogja biasanya juga menggelar ritual serupa.

Predikat Kota Batik Yogyakarta

Yogyakarta - Perhelatan akbar Jogja International Batik Biennale (JIBB) bukan tanpa makna. Kegiatan yang digelar 12-16 Oktober 2016 ini memiliki tujuan supaya predikat Yogya Kota Batik Dunia (The World Batik City) tetap bertahan.

"Supaya predikat itu tidak dicoret. Syaratnya, ada event batik untuk menunjukkan aktivitas dunia batik di Yogyakarta tidak mati," kata Wakil Ketua Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) DIY, Syahbenol Hasibuan seperti dilansir media.

Predikat Kota Batik diberikan Dewan Kerajinan Dunia saat peringatan 50 tahun organisasi itu di Dongyang Provinsi Zhejiang Cina, 2014 silam. Ini merupakan pertaruhan kita di mata dunia. Selain Yogya, kota Dongyang di China dinobatkan sebagai World Wondercarving City dan kota Donique di Chilie dinobatkan sebagai World City of Chamanto. Artinya, predikat yang disandang, memosisikan Yogya sebagai sebuah kota yang sejajar dengan kota-kota seni budaya lainnya di dunia.

Penobatan Yogya Kota Batik dunia tentunya tidak sembarangan. Ketua Dewan Pakar Yayasan Batik Indonesia Prof Rahardi Ramelan dan Ketua Asosiasi Kerajinan Thailand yang juga mantan Presiden WCC Rojanavongse mengatakan, Yogya sebagai kota kerajaan layak menjadi pusat perbatikan sedunia (KR, 22/10/2014). Meski dari segi ekonomi, industri batik Yogya tidak sepesat kota-kota industri batik lainnya, namun perbatikan Yogya punya kekuatan dari segi lainnya.

Dewan Kerajinan Dunia tentu punya metode evaluasi yang komprehensif, dalam memberi nilai. Dan parameternya pastilah tidak pragmatis. Sebab, jika semata-mata diukur dari segi ekonomi, produksi batik di daerah lain mungkin jauh lebih maju. Bahkan, bicara soal batik, sejak zaman dulu telah bermunculan kapitalis-kapitalis yang agresif-ekspansif.

Menurut buku Indonesia Indah: Batik (1997), para pengusaha Inggris berusaha memproduksi kain cetak sebagai batik imitasi setelah mempelajari buku History of Java karya Stamford Raffles. Pada 1835, Belanda pun membuat batik imitasi di Leiden dengan pekerja terlatih dari Jawa. Menurut catatan Philip Thomas Kitley (1987), Belanda juga mendirikan pabrik batik imitasi di Rotterdam, Haarlem, Helmond, Apeldoorn. Swis pun tak mau kalah. Batik imitasi dijual sampai Afrika dengan nama ‘Java Batik’.

Dalam mempertahankan predikat Yogya Kota Batik Dunia, kita harus membangun perbatikan Yogya dari dua sisi. Pertama, sisi kewirausahaan batik yang harus berimplikasi pada kesejahteraan rakyat. Kedua, sisi kualitas budaya batik Yogya. Hal ini akan menjadi dasar penilaian yang berujung pada pemberian predikat Yogya Kota Batik Dunia itu.

Kualitas (baca: keunggulan) budaya batik Yogya terletak pada beberapa poin penting. Pertama, poin akar sejarah batik Yogya. Ini yang membuat posisi tawar batik Yogya sangat kuat. Untuk itu kita harus benar-benar merawat museum batik, cagar budaya terkait batik, serta sentra batik yang bersifat heritage seperti Imogiri dan Tamansari.

Kedua, kraton (Kasultanan dan Pakualaman) sebagai sentra batik. Pemda DIY harus mendukung kraton untuk berkarya batik. Hal itu juga selaras dengan amanat UUK No 13 Tahun 2012 di mana keistimewaan Yogya bertujuan melembagakan peran kraton sebagai basis budaya asli Yogya.

Ketiga, rakyat sebagai elemen utama pengkarya batik. Ungkapan Jawa adoh ratu cedhak watu (jauh dari ratu namun dekat dengan batu) jangan lagi dimaknai sebagai terpinggirkannya (termarjinalisasikannya) rakyat. Keempat, budaya batik jangan melulu pada pengembangan aspek materi (kain dan busana) batik.

Sertifikat UNESCO menyebutkan bahwa “batik adalah warisan kemanusiaan untuk budaya lisan dan non-bendawi” (Masterpiece of Oral and Intangible Cultural Heritage of Humanity) dari Indonesia”. Artinya, Yogya harus lebih dari sekadar giat berkarya kain dan busana batik yang bagus, tetapi juga mengandung dan mengedepankan nilai-nilai luhur dari proses penciptaannya, motif dan ornamen simbolisnya, pemakaiannya sebagai adibusana. Termasuk penggunaannya sebagai media pewarisan ajaran luhur.

Perhelatan akbar berskala internasional JIBB kiranya menjadi pintu masuk bagi masyarakat internasional untuk melihat kedalaman kualitas budaya batik Yogya, sehingga predikat Yogya Kota Batik bukan sekadar tidak dicoret, namun justru semakin menguat di mata dunia.

Pelajari Budaya Yogyakarta, Turis Jepang Kelilingi Candi Borobudur dan Keraton

Yogyakarta - Wisatawan Jepang menjadi salah satu target terbesar bagi pariwisata Indonesia. Oleh karenanya, beragam pemahaman tentang destinasi dan budaya Indonesia mulai diperkenalkan.

Setelah menghabiskan empat hari di Bali, 17 travel agent yang diundang Kementerian Pariwisata Indonesia dibawa menjelajahi Daerah Istimewa Yogyakarta. Jika di Bali mereka pergi ke Ubud, Nusa Dua, Tanjung Benoa, Gianyar dan Jimbaran. Di Yogyakarta mereka diajak mengunjungi Candi Borobudur yang ada di Magelang.

Meski candi Buddha tersebut berada di Magelang, namun pintu masuk wisatawan lebih sering dari Yogyakarta. Sebab, jarak dari Yogyakarta ke Candi Borobudur hanya sekira satu jam saja.

"Memang melelahkan menaiki tangga ke Candi Borobudur. Tapi pemandangannya luar biasa indah," ungkap Oogata Toshiyuki, peserta asal Sapporo, Jepang, belum lama ini.

Setelah puas mengunjungi Candi Borobudur, para peserta sempat merasakan makan malam di restoran yang terletak di kawasan Keraton Yogyakarta. Perjalanan di Kota Pelajar ini pun kembali dilanjutkan dengan mengunjungi Keraton pada keesokan harinya.

Tanpa sungkan, mereka mengajukan berbagai pertanyaan seputar Keraton Yogyakarta. Mulai dari pertanyaan tentang kediaman Sri Sultan Hamengkubuwono X hingga perkakas kasultanan yang digunakan sejak ratusan tahun lalu.

Staf Ahli Wali Kota Bidang Perekonomian dan Pembangunan Pemerintah Kota Yogyakarta, Bejo Suwarno mengatakan, kedatangan famtrip (familiarization trip) ini dapat memperkuat Yogyakarta sebagai kota pariwisata berbasis budaya.

"Saya berharap peserta memahami budaya Yogyakarta, terutama di kawasan wisata keraton sehingga bisa merasakan langsung atmosfer Yogyakarta dan terkenang akan kenyamanan kota ini," ujar Bejo kepada Okezone di Yogyakarta baru-baru ini.

Bejo melanjutkan, acara wisata pengenalan ini diharapkan dapat meningkatkan kunjungan wisatawan Jepang ke Yogyakarta. Meski kunjunga wisatawan Jepang ke Yogyakarta tak sebanyak wisatawan dari negara-negara Eropa, namun Bejo yakin wisatawan Jepang sangat potensial untuk kota ini.

Pasalnya, baik Jepang secara keseluruhan maupun Yogyakarta memiliki kesamaan, yaitu sama-sama menjunjung tinggi budaya.

Banyaknya budaya yang ditawarkan Yogyakarta kepada wisatawan, mulai dari belajar membatik, melihat budaya keraton, hingga bermain permainan tradisional seperti egrang dan bakiak, dianggap sebagai cara untuk memperkenalkan budaya Indonesia.

Belajar membatik pun dilakukan di Batik Raradjonggrang. Para peserta dengan semangat yang tinggi mencoba menggerakkan canting mengikuti pola yang sudah tergambar di atas kain. Dengan dua pola yang disediakan, yakni kupu-kupu dan gajah mereka dapat menyelesaikannya dengan cepat.

Usai membatik, para wisatawan yang berasal dari Sapporo, Osaka dan Tokyo ini juga diperkenalkan pada wisata holtikultura Omah Kecebong yang terletak di Sleman. Di sini, mereka disugui berbagai macam kuliner khas Jawa seperti gudeg, singkong goreng, es dawet ireng, hingga jamu beras kencur. Para peserta pun sempat diajak berjalan-jalan menggunakan gerobak yang ditarik dua ekor sapi.

Sekadar diketahui, kunjungan wisatawan Jepang ke Indonesia yang terus meningkat membuat pemerintah gencar melakukan promosi melalui acara famtrip. Tahun ini, sebanyak 550 ribu wisatawan Jepang diharapkan berkunjung ke Indonesia.

JPP Soroti Kasus DPT Kulonprogo

Yogyakarta - Jaringan Pemantau Peradilan (JPP) Yogyakarta sekarang sedang mengarahkan pantauan mereka ke dugaan kasus korupsi dana purna tugas (DPT) mantan anggota DPRD Kulonprogo periode 1999-2004.

Dengan tetap menghormati asas praduga tidak bersalah, menurut Koordinator JPP Yogyakarta, Baharudin, sudah seharusnya penanganan dugaan kasus itu dilimpahkan ke penyidik Polda DIY. ``Mengapa sampai sekarang kok masih belum?`` ujarnya, kemarin (24/6). Hal itu diungkapkannya setelah pihaknya beraudiensi dengan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan DIY. Hasil audit investigasi dikatakan akan diserahkan ke Polda DIY. Kasus di Kulonprogo diduga telah merugikan keuangan negara Rp 1,6 miliar.

Baharudin didampingi sejumlah personel JPP Yogyakarta, Jumat (22/6), beraudiensi ke kantor BPKP DIY untuk mempertanyakan penanganan kasus yang mereka laporkan beberapa waktu lalu. ``Dugaan kasus yang sama di DPRD Kota sudah jalan di situ kok belum,`` tuturnya.

Mengutip penjelasan Kepala BPKP Soewartomo, dikatakan bahwa pemeriksaan DPT mantan anggota DPRD Kulonprogo periode 1999-2004 sedang dalam tahap penyelesaian.

Perbedaan Perlakuan

Seperti banyak diberitakan, terhadap dugaan kasus korupsi DPT 16 mantan anggota DPRD Kota Yogyakarta periode itu telah disidangkan di PN Yogyakarta karena dianggap merugikan negara Rp 2,4 miliar. Tiga di antaranya sudah dihukum empat tahun penjara. Sementara itu, 13 lainnya dijadwalkan menerima putusan hari ini (25/6).

Dalam kaitan penerimaan DPT, hanya yang terjadi di DPRD Gunungkidul yang tidak dilaporkan JPP Yogyakarta ke penyidik Polda DIY. Dari laporan tersebut kasus di DPRD Sleman dan Bantul yang belum ada tindak lanjut.

Khusus di DPRD Bantul, oleh Kejari dianggap tidak terjadi korupsi karena uang yang diterima sudah dikembalikan. Karena itu, JPP Yogyakarta mengharapkan agar dalam penegakan hukum pemberantasan korupsi tidak terjadi perbedaan perlakuan. ``Kan sekalipun uangnya dikembalikan perbuatan pidananya sudah terjadi,`` jelas Baharudin dan Tri Wahyu KH dari Lembaga Advokasi Yogyakarta. (P58-70)

Sumber: Suara Merdeka, 25 Juni 2007

Kirab Budaya Bregada Buka Pelangi Bumi Merapi

Sleman, DIY - Sebanyak 34 Bregada Prajurit Tradisional dari 17 Kecamatan se Kabupaten Sleman bakal tampil di kawasan Pemkab Sleman Yogyakarta, Sabtu (23/09/2016). Mereka menghibur masyarakat dan wisatawan dengan melakukan kirab sepanjang 1 (satu) kilometer dengan start Lapangan Denggung menuju Lapangan Pemda Sleman.

Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Sleman Ir. AA Ayu Laksmidewi TP, MM, Jum’at (23/09/2016) di sela memantau persiapan Pembukaan Pelangi Budaya Bumi Merapi di Lapangan Denggung Sleman Yogyakarta menjelaskan usai Kirab Bregada, pada malam harinya mulai pukul 18.00 di Gedung Serbaguna disajikan wayang suket, emprak, jeber juwes, kethek ogleng, dadungawuk, srunthul, sampakan. Sedangkan Minggu (25/09/2016) dipentaskan atraksi kesenian jathilan, orchestra serenade, tarian teatrikal, flashmop dilanjutkan dengan kirab pelangi budaya Bumi Merapi.

"Kirab pelangi terdiri atas 55 kontingen dari berbagai kalangan dan komuitas seni budaya, museum, sekolah, perwakilan luar daerah yaitu Riau, Lampung, Papua, Sulawesi Selatan, Kalimantan Barat, NTB," kata Ayu.

Ayu menjelaskan Festival Bragada Prajurit akan memperebutkan total hadiah sebesar Rp.20 juta, dengan rincian untuk Penampil Terbaik 1 - Terbaik 6 secara berturut-turut memperoleh hadiah tropy dan uang pembinaan sebesar Rp.5 juta, Rp.4,5 juta, Rp.4 juta, Rp.3 juta, Rp.2 juta dan Rp.1,5 juta.

Ayu meminta masyarakat dan wisatawan yang menonton Kirab Bragada Prajurit menjaga keamanan dan ketertiban agar dapat menyaksikan kirab dengan nyaman dan tidak menimbulkan kerusakan taman yang ada disepanjang jalur kirab.

Hidupkan Permainan dan Olahraga Tradisional

Yogyakarta - Komitmen Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) DIY untuk melakukan dakwah kultural tidak hanya melalui peran seni budaya. Namun juga memanfaatkan potensi permainan dan olahraga lokal tradisional yang selama ini sudah berkembang di masyarakat.

Seperti dalam pelaksanaan Olimpiade Budaya Jawa (OBJ) 2016, selain menghadirkan lomba seni budaya juga digelar ragam perlombaan permainan dan olahraga tradisional, seperti jemparingan, gangsingan, egrang dan gobagsodor di lapangan Karang, Kotagede.

"Sayangnya macam permainan dan olahraga tradisional tersebut sudah banyak ditinggalkan masyarakat. Melalui kegiatan ini kami ingin coba menghidupkan kembali permainan dan olahraga tersebut di tengah masyarakat," kata Ketua Pelaksana Perlombaan KRT Akhir Lusono SSn MM kepada KRjogja.com, Rabu (21/9/2016).

Ditambahkan Akhir, hadirnya ragam olahraga dan permainan tradisional sebagai bentuk keprihatinan generasi muda di era globalisasi yang cenderung hidup menyendiri dan sibuk dengan dunianya sendiri. Padahal dalam permainan dan olahraga tersebut justru menjadikan anak berbaur dengan teman sebayanya sebagai wahana sosialisasi.

Selain itu, lahan di tengah masyarakat yang terus menyempit juga menjadi salah satu faktor permainan dan olahraga tradsional makin tersingkir. Sebab itulah PWM DIY mengambil sikap untuk menjadi inisiator menghidupkan dan menumbuhkembangkan olahraga serta permainan tradisional.

Kegiatan ini sendiri diikuti siswa tingkat SD-SMA/SMK dari seluruh sekolah maupun madrasah Muhammadiyah yang ada di DIY. Harapannya ke depan kader dan warga Muhammadiyah memiliki karater yang baik berdasar nilai lokalitas yang dimiliki.

Disbudpar Sleman Gelar Pelangi Budaya Bumi Merapi

Sleman, DIY - Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Sleman akan menggelar Pelangi Budaya Bumi Merapi, 23-25 September 2016. Event tersebut menghadirkan karnaval dan gelar potensi seni budaya.

Kepala Disbudpar Sleman AA Ayu Laksmi Dewi mengatakan, potensi seni dan budaya di kawasan Bumi Merapi semakin berkembang. Hal itu merupakan bagian dari harmoni kehidupan masyatakat. “Perkembangan seni dan budaya di Merapi patut dieksplore sebagai daya tarik kepariwisataan. Kami berharap event tersebut bisa mendatangkan jumlah kunjungan wisatawan,” kata Ayu, Jumat (16/92016).

Pelangi Budaya Bumi Merapi dipusatkan di Lapangan Denggung. Event pada 23 September menghadirkan kirab festival potensi kesenian unggulan dari 17 kecamatan. Adapun pada 24 September digelar Festival Bregada Prajurit Radisiopnal dan pentas seni unggulan. Puncak kegiatan karnaval Pelangi Budaya Bumi Merapi pada 25 September.

Ayu mengatakan, karnaval puncak akan diikuti sekitar 50 kontingen seni dan budaya, 10 kontingren museum, dan 7 kontingen perwakilan luar daerah. Di antaranya dari Riau, Lampung, Papua, Sulawesi Selatan, Kalimantan Barat, Nusa Tenggara Barat, dan juga Bali. Selain itu juga diramaikan dengan pertunjukan teatrikal, parade upacara adat dan merti desa, maupun festival batik. “Nanti juga akan ada pertunjukan tayub massal dengan 40 orang penari putri yang atraktif,” kata dia.

Sastra, Media Pererat Persaudaraan Indonesia-Malaysia

Pembacaan puisi oleh para sastrawan menjadi puncak acara pembukaan Seminar Internasional 'Sastra Antar Bangsa, Indonesia-Malaysia 2016' di Hall Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri (PKKH) UGM, Rabu (14/9/2016) malam.

Para sastrawan itu Risma Purwita dari NTT, Tara Noesantara dari Yogyakarta, Thomas Haryanto Soekiran dari Purworejo, Sutarjo dari Papua Barat serta Sherly Idris dari Malaysia. Mereka adalah para peserta seminar. Tak ketinggalan menyumbangkan puisinya Slamet Widodo dan Tetet Srie WD yang membawakan puisi berjudul 'Pembayun'. Para hadirin di PKKH UGM malam itupun terpukau menikmati puisi-puisi tersebut.

Seminar internasional sastra yang akan berlangsung hingga Minggu (18/9/2016) dibuka secara resmi oleh Gubernur DIY. Seminar sendiri akan dimulai Kamis (15/9/2016) di University Club UGM dan akan ditutup di Kantor Gubernur DIY (Kepatihan).

Gubernur DIY Sri Sultan HB X mengungkapkan rasa syukur atas terselenggaranya seminar internasional sastra ini. Menurutnya, sastra Indonesia dan Malaysia mempunyai induk yang sama yakni Melayu Klasik. Sastra Melayu bisa menjadi titik pijak baru bagi kedua negara tersebut untuk lebih memperkuat hubungan di era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) sebagai Melayu Raya. "Sastra menjadi media efektif mempererat persaudaraan Indonesia dan Malaysia," terang Sultan.

Selain itu, masyarakat sastra Indonesia dan Malaysia sama-sama berakar dari nilai dan tradisi budaya nusantara. Keduanya memiliki sastra yang hampir sama seperti gurindam duabelas, syair, pantun, seloka dan lain-lain. Sebagai negara serumpun, masyarakat Indonesia dan Malaysia juga memiliki semangat gotong-royong dan tolong-menolong yang telah berkembang sejak dahulu sebelum kedua negara tersebut merdeka. "Jadi kalau ada persamaan seni budaya janganlah dipertentangkan," pesan Sultan.

Acara pembukaan seminar dihadiri Presiden Nusantara Melayu Raya (Numera) Malaysia Datuk Dr Ahmad Kamal Abdullah, Walikota Banjarmasin Ibnu Sina, Kepala Balai Bahasa Yogyakarta Tirto Suwondo. Ketiganya memberikan kenang-kenangan kepada Sultan berupa buku puisi dan cerpen serta cenderamata. (Dev)

Ratusan Warga Berebut Gunungan Grebeg Besar Keraton

Yogyakarta - Ratusan warga dari berbagai daerah berebut Lima Gunungan "Grebeg Besar" dari Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat di halaman Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta, Selasa.

Dalam acara "Grebeg Besar" itu, tujuh gunungan hasil bumi yang terdiri atas gunungan kakung, puteri, gepak, darat, pawuhan dan dua gunungan jaler diarak ratusan prajurit dari Siti Hinggil Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.

Lima di antaranya diarak menuju Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta, sedangkan dua gunungan lainnya menuju Kantor Kepatihan dan Puro Pakualaman.

Beberapa waktu setelah selesai didoakan oleh penghulu Keraton Ngayogyakarta di serambi masjid itu, ratusan warga yang sudah menunggu langsung berlari memperebutkan isi gunungan itu tidak terkecuali wisatawan mancanegara.

Kelima gunungan itu habis dalam sekejap.

Wasinem (63) warga Kota Yogyakarta yang berhasil mendapatkan bagian dari gunungan berupa dua tusuk kue tradisional dari ketan, mengaku akan menyimpan di rumahnya sebagai sarana tolak bala dan meyakininya dapat membawa keberkahan hidup.

"Saya simpan di rumah, semoga bisa membawa keberkahan dan kesehatan," katanya yang datang bersama cucunya.

Berbeda dengan Zaidun (45) warga Wonokromo, Kabupaten Bantul yang berhasil mendapatkan empat lonjor kacang panjang.

Bagi Zaidun kacang panjang itu dipercaya dapat digunakan untuk penyubur tanaman.

Tepas Keprajuritan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Enggar Pikantoko menjelaskan Grebeg Besar merupakan perayaan untuk memperingati Hari Raya Kurban (Idul Adha).

Keraton Yogyakarta baru menyelenggarakannya hari Selasa (13/9) karena disesuaikan dengan penanggalan Keraton yang di tahun 2016 kebetulan berbeda dengan penanggalan Hijriyah.

Secara historis, menurut dia, gunungan berisi hasil bumi itu merupakan simbol sedekah raja kepada rakyatnya sekaligus wujud rasa syukur raja kepada Allah SWT.

"Grebeg selalu diselenggarakan bersamaan memperingati hari-hari besar Islam. Selain saat Idul Adha, grebeg juga diadakan saat Idul Fitri serta Maulud Nabi," kata Enggar.

Sastrawan Melayu Bakal Kumpul di Yogyakarta

Yogyakarta - Satrawan Melayu dari berbagai negara seperti Indonesia, Malaysia, Thailand hingga Rusia bakal hadir dalam Seminar Internasional Satra Antar Bangsa yang dibuka di Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri (PKKH) UGM mulai 14-18 September 2016. Seminar sastra terbesar yang diikuti 125 peserta dari berbagai negara ini akan mengusung persoalan sastra terutama memaknai Nusantara dalam arti luas yaitu inklusif dan regional.

Hal ini disampaikan Koordinator Pelaksana Seminar Internasional Sastra Antar Bangsa, Tetet Srie WD usai bersilahturahmi dengan Wakil Gubernur DIY, Sri Paduka KGPAA Paku Alam X di Gedhong Pareanom Kepatihan, Kamis (8/9/2016). Topik yang diusung yaitu Menuju Kebudayaan Nusantara yang Inklusif dan Regional.

"Artinya, bangsa-bangsa Melayu sebagai bangsa Nusantara. Jadi kebaikannya membuka wawasan dan pengertian Nusantara tidak hanya Indonesia tetapi nusantara secara luas dan menjangkau secara luas pula, " ujar seniman kaliber internasional ini.

Tetet mengatakan seminar yang lahir dari pertemuan sastra Indonesia - Malaysiaa ini sekaligus melibatkan perguruan tinggi. Perguruan tinggi yang terlibat yaitu UI, UGM dan Balai Bahasa untuk memberikan peran dan kontribusinya dalam dunia sastra.

"Kita perlu melihat ketakutan dalam berkebudayan atau sebaliknya keberanian dalam kebudayaan yang harus dicermati. Supaya kita dalam berkebudayaan nusantara solid, inklusif dan sadar keregionalan pada situasi yang sangat global saat ini," ungkap Tetet.

Gejog Lesung Lestarikan Seni Kerakyatan

Sleman, DIY - Sebagai upaya melestarikan Gejog Lesung sebagai sebuah seni tradisi kerakyatan yang juga memiliki sejarah tentang proses usaha menghasilkan makanan pokok berupa beras, Dinas Kebudayaan DIY bakal menggelar Festival Lesung Keistimewaan di Areal Persawahan Banyuraden Gamping Sleman Yogyakarta, 9-10 September 2016. Kegiatan ini juga sebagai wujud peringatan bergabungnya DIY ke dalam NKRI dalam Amanat 5 September oleh Sri Sultan HB IX.

"Selain sebagai upaya peleatarian meliputi menjaga dan mengembangkan seni, juga menjadi ajang semangat kerukunan untuk menjaga bumi dengan memelihara pangan melalui tradisi Gejog Lesung, " tutur Kasi Sejarah Disbud DIY Bambang Marsamtoro kepada wartawan, Rabu (07/09/2016).

Panitia penyelenggara dari Masyarakat Tradisi (Matra) Yogyakarta Agus Sunandar menambahkan, Gejog Lesung memiliki makna mendalam sebagai sebuah media. Seni ini bukan semata sebagai periatiwa budaya, tapi banyak nilai sosio kultural di baliknya. Pasalnha dulu masyarakat desa memiliki andil besar dalam mensuplai pangan. Sedang saat ini tradisi tersebut terus tergerus laju perkembangan jaman.

"Bukannya ingin kembali ke masa lalu yang semu, tapi coba memberi gambaran pada masa depan bahwa kita pernah memiliki sejarah kedaulatan pangan yang pada perkembangannya ikut melahirkan seni tradisi, " kata Agus.

Selain itu pihaknya juga ingin makin memperkuat kelembagaan Kraton Yogyakarya dan Pura Pakualaman dengan konsep manunggaling kawula gusti yang saat ini bisa diupayakan melalui seni budaya. Fenomena munculnya Gejog Lesung secara sosio kultural juga cukup menarik sebagai seni kerakyatan tanpa ada niatan mengembalikan sejarah pemanfaatannya seperti dulu meski saat ini masih ada sebagian kecil masyarakat yang menggunakannya untuk keseharian.

FKY Bantul Angkat Potensi Budaya Lokal

Bantul, Yogyakarta - Bergada, pasukan prajurit Jawa termasuk prajurit wanita menyemarakkan Pawai Festival Kesenian Yogyakarta (FKY) #28 di Bantul, Kamis (1/9) sore. Berada di urutan paling depan pasukan bergada berbaris rapi diselingi aba-aba dari masing-masing komandan pasukan dengan bahasa Jawa. Barisan selanjutnya tokoh-tokoh pewayangan dari Pandawa, Ramayana, juga sosok buto-buto (raksasa), serta punokawan yang berbaris dan berjoget dengan iringan musik tradisional khas reog, jathilan, gejhog lesung dan lainnya.

Sebanyak 17 kecamatan di Bantul masing masing mengirimkan 2 kontingen hingga total ada 34 peserta kelompok seni menunjukkan potensi seni dan budaya dari daerah masing-masing. "Saat ini banyak budaya asing yang menyerbu bangsa kita dengan pengaruh yang tidak sesuai kepribadian bangsa. Bahkan ada yang merasa budaya dari luar lebih baik, gelaran FKY Kabupaten Bantul membawa semangat untuk mempertahankan kekayaan budaya bangsa yang luhur<" ungkap Wakil Bupati Bantul, Abdul Halim Muslih saat melepas peserta pawai.

Menurutnya, budaya yang tidak sesuai karakter bangsa Indonesia bisa menghilangkan kepribadian dan jati diri bangsa yang pada akhirnya melemahkan masyarakat karena pembodohan. "Jangan sampai Wong Jowo Ilang Jawane, sudah kehilangan identitas jadi lupa diri yang tertinggal hanya kebodohan, maka melalui kegiatan ini (FKY) bisa memunculkan kreatifitas sesuai budaya yang ada, dan memperkokoh jati diri bangsa yang memenuhi karakter Indonesia," tegas Abdul Halim.

Sementara Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Bantul, Dodik Koeswardono menyebutkan gelaran FKY Bantul 2016 ini dibagi dalam tiga wilayah, yaitu Pleret, Piyungan, Banguntapan, Dlingo dan Imogiri (Wilayah Timur) akan dipusatkan di Dlingo 2-3 September 2016, kemudian Bambanglipuro, Bantul, Jetis, Sewon, Kretek dan Pundong (Wilayah Tengah) dipusatkan di Jetis 3-4 September 2016, dan Wilayah Barat terdiri dari Pandak, Sedayu, Pajangan, Srandakan, Sanden dan Kasihan, pusat pelaksanaannya di Sedayu, 6-7 September 2016.

"Masing-masing kecamatan akan mementaskan kesenian khas daerah yang dilaksanakan 2 hari, beragam kesenian akan ditampilkan seperti reyog, jathilan, gejog lesung, kethoprak, bazaar, kerajinan, serta kuliner khas Bantul, gelaran FKY Bantul dapat mendorong pelaku seni di Bantul berkreasi dan mementaskan kesenian, sehingga seni budaya di Bantul semakin berkembang dan dikenal masyarakat luas," papar Dodik.

PNS Pemda DIY Kompak Pakai Pakaian Adat

Yogyakarta - Suasana berbeda terlihat di kompleks DPRD DIY yang ada di Jl Malioboro Yogyakarta Rabu (31/8/2016) siang.

Tidak nampak para aparatur sipil negara yang biasanya berlalu lalang dengan pakaian safarinya, yang ada para abdi negara negara tersebut malah menggunakan pakaian adat jawa.

Pegawai lelaki pakaian adat lengkap dengan kerisnya, sementara wanita menggunakan kebaya lengkap dengan sanggulnya bagi yang tidak mengenakan jilbab.

Suasana tersebut ternyata tidak hanya ada pada PNS di lingkungan DPRD DIY, namun juga PNS yang bertugas di Pemda DIY.

Kepala Bagian Humas dan Protokoler Pemda DIY Herwanto mengatakan, penggunaan pakaian adat Jawa tersebut adalah dalam rangka hari peringatan pengesahan UU Keistimewaan DIY.

"Peraturan Gubernur DIY nomor 12 tahun 2015 sudah mengatur tentang Peraturan Penggunaan Pakaian Tradisional Jawa, salah satunya untuk hari ini peringatan pengesahan UUK," jelasnya.

Pemerintah sendiri sudah mengeluarkan surat edaran sejak beberapa hari yang lalu agar semua pegawai dapat kompak menerapkannya.

Para pegawai sendiri nampak tidak canggung menggunakan pakaian adat tersebut, walaupun tentu saja pergerakan mereka agak terbatas dibandingkan menggunakan seragam PNS seperti biasanya.

"Biasa saja, cuma memang tadi pagi masangnya agak lama ya ada setengah jam," ujar seorang wanita pegawai biro umum di sekretariat dewan yang hari ini menggunakan kebaya biru.

Tiga Unsur Ini Jadi Kekuatan Keris

Yogyakarta - Keris selama ini identik dengan hal-hal berbau mistik. Maka tak heran, jika pecinta keris didominasi orangtua. Bisa juga mereka yang sangat suka dengan kejawen atau yang bersentuhan dengan adat Jawa.

Anggapan tersebut saat ini tidak sepenuhnya benar. Karena sekarang ini banyak terdapat Mpu (pembuat keris) yang hasil karyanya tidak kalah dengan zaman dulu. Apalagi di era teknologi, ada juga mpu yang membuat keris dengan cara tradisional.

Ingin mengangkat keris-keris modern inilah yang melatarbelakangi Yayasan Danurweda untuk menyelenggarakan Pameran Keris Era Kamardikan. Bertempat di Pendopo Jiwangga Spiritual Restort Dusun Sambiroto Desa Purwomartani Kecamatan Kalasan Sleman, kegiatan yang berlangsung selama tiga hari, Jumat-Minggu (26-28/08/2016) ini diikuti puluhan paguyuban pecinta keris dari seluruh Indonesia. Total ada 250 keris yang akan dipamerkan.

"Semua yang dipamerkan adalah keris-keris baru. Dalam artian dibuat setelah Indonesia merdeka. Namun ada juga yang dibuat akhir 2015 lalu. Dan ternyata hasilnya tidak kalah indah dengan keris-keris lama," kata Don Haryo salah satu panitia kegiatan.

Mengintip Ritual Cing-cing Goling di Gunungkidul, Yogyakarta

Yogyakarta - Ratusan ekor ayam disembelih kemudian dimasak ingkung. Selanjutnya ratusan ingkung ayam disiapkan untuk pelaksanaan ritual cing-cing goling di Desa Gedangrejo Kecamatan Karangmojo, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta.

Upacara ritual yang telah berlangsung turun temurun ini diselenggarakan sebagai ucapan rasa syukur atas panen yang melimpah selama satu tahun terakhir ini.

"Kalau dihitung tidak kurang 600 ayam disembelih hari ini untuk kegiatan ritual Cing-cing Goling," kata salah satu tokoh warga yang juga merupakan seorang pemangku adat, Sugiyanto, Kamis 18 Agustus 2016.

Ayam itu dimasak menjadi ingkung oleh masyarakat lalu dibawa ke bendungan yang konon dibangun di era Kerajaan Majapahit. Setelah mendapat doa dari pemangku adat desa setempat, ingkung bersama nasi gurih dan lauk yang lain, dibagikan kepada para pengunjung yang hadir dalam acara ritual yang dilaksanakan di dekat bendungan Kali Dawe desa setempat.

"Semua yang hadir akan dibagikan nasi beserta lauknya," katanya.

Sugiyarto mengatakan makanan yang dikirimkan tidak boleh dicicipi terlebih dahulu. Selain itu pantang membawa tempe yang terbuat dari kedelai. Upacara ritual ini bukan hanya sebagai bentuk ungkapan rasa syukur pada Tuhan, tetapi sebagai upaya untuk melestarikan kebudayaan yang selama ini dipercaya oleh warga setempat.

"Wujud syukur dan terima kasih atas berkah panen raya yang diberikan Tuhan," ujarnya.

Setelah Kenduri, salah satu bagian dari upacara ini ialah diadakannya pertunjukan yang menceritakan tentang keberhasilan pelarian prajurit Majapahit, Wisangsanjaya dan Yudopati yang berhasil membuat sungai dan bendungan sehingga bisa mengairi lahan pertanian menjadi sawah dan membuat warga setempat menjadi semakin sejahtera.

Konon, hanya dengan senjata dalam bentuk tongkat dan cambuk dan cemethi yang digoreskan pada tanah sambil berjalan, bekas goresan itu berubah menjadi sungai dengan air yang mengucur deras.

Ada pula adegan yang menceritakan pelarian prajurit Majapahit yang sudah bersatu dengan warga setempat, dalam mengusir penjahat, diantaranya perampok. Di adegan ini puluhan orang berlarian menginjak-injak tanaman pertanian milik warga setempat, di lahan disekitar bendungan, untuk mengusir gerombolan penjahat.

Meskipun tanaman diinjak-injak, tetapi petani setempat tidak marah, itu karena warga percaya tanaman yang diinjak-injak tidak akan mati, tetapi justru bertambah subur.

"Warga di sini percaya jika tanaman yang dinjak-injak tidak akan mati, malah panen berikutnya akan menjadi subur," kata Sugiyarto.

Sementara salah seorang wisatawan asal Kalimantan, Karolina mengaku kaget dengan antusias warga mengikuti tradisi ritual Cing-cing Goling ini. Apalagi warga juga membawa ayam yang cukup banyak. Menurut dia, jika acara ini dikemas menjadi atraksi budaya yang menarik, maka hal itu bisa mendongkrak minat wisatawan untuk berkunjung.

"Kalau dikemas lebih baik maka bisa meningkatkan kunjungan wisata," katanya.

Setelah selesai upacara, seluruh peserta kenduri membawa pulang makanan yang terdiri dari ayam, sayur, dan nasi menggunakan wadah yang terbuat dari anyaman bambu. Mereka berharap supaya panen tahun depan dapat lebih melimpah lagi.

Ribuan Warga Baleharjo Kirab Budaya

Wonosari, Gunung Kidul - Sebagai wujud ungkapan syukur kepada Tuhan, ribuan warga Baleharjo, Kecamatan Wonosari mengikuti kirab budaya. Prosesi kirab budaya di mulai dari terminal lama Wonosari hingga Balai Desa Baleharjo. Dalam kesempatan tersebut ditampilkan berbagai atraksi seni budaya, gunungan dan kreatifitas masyarakat.

“Kirab budaya diikuti lebih dari 3.000 warga. Berbagai potensi seni budaya maupun kreasi masyarakat ditampilkan memeriahkan kirab budaya,” kata Kades Baleharjo Agus Setiawan di sela-sela kirab budaya di Wonosari, Senin (08/08/2016).

Kirab budaya sebagai rangkaian bersih desa ini diikuti warga lima dusun meliputi Purwosari, Mulyosari, Wukirsari, Rejosari dan Gedangsari. Panitia bersih desa Tasiran menambahkan, masyarakat cukup antusias mengikuti kirab budaya. Kegiatan ini merupakan agenda rutin tahunan. Selain sebagai wujud syukur, juga meningkatkan tali silaturahmi dan persaudaraan. “ Untuk malam hari ditampilkan wayang kulit dengan dalan Ki Seno Nugroho. Berbagai agenda yang digelar mampu memberikan hiburan bagi masyarakat,” jelasnya.

Pentingnya ’Rasulan’ bagi Masyarakat Jatimulyo

Bantul, DIY - Rasulan bagi masyarakat Jatimulyo Kecamatan Dlingo Bantul punya makna mendalam dan erat kaitannya dengan kehidupan sehari-hari. Upacara adat itu dijalani masyarakat secara turun temurun sejak ratusan tahun silam.

Tidak mengherankan jika sampai sekarang tidak ada yang bisa menerangkan kapan sebenarnya tradisi rasulan itu mulai. Masyarakat paling tuapun tidak bisa bicara banyak. Ribuan yang selalu ikut jadi pertanda rasulan begitu penting artinya bagi kehidupan masyarakat.

Yanto, warga Dodogan Dlingo sudah 15 tahun meninggalkan kampung halamannya. Bersama keluarga Yanto mencoba mengadu nasib di Jakarta agar kehidupannya layak. Namun, tidak pernah lupa akan warisan leluhur kampungnya. "Terus terang sejak kapan rasulan ini mulai dilaksanakan masyarakat sini saya tidak tahu. Sejak saya kecil sudah ada, bapak juga cerita bahwa rasulan sudah ada sejak orangtuanya dulu," jelasnya belum lama ini.

Memang perubahan tradisi rasulan sangat terlihat terutama soal kemasan. Sekarang ini jauh lebih meriah, demikian pula dengan tingkat partisipasi warga meningkat. "Kesimpulan saya, rasulan ini sangat penting bagi masyarakat. Umpama tidak penting mengapa ribuan orang ikut berpartisipasi," jelasnya.

Ketua Panitia Rasulan Puryatno mengatakan, proses diawali dari rumah dukuh Dodogan Sarwadi. Kemudian bregada mengambil gunungan besar di Dusun Kedong Dayak. Setelah itu gunungan diarak keliling Dusun Rejosari. Sementarta kenduri dilakukan di Dodogan selanjutnya gunungan dibawa ke Sendang Ayu.

-

Arsip Blog

Recent Posts