Sejarah Seni Pertunjukan dalam Perspektif Arkeologi

Oleh Timbul Haryono

Kesenian adalah salah satu unsur kebudayaan yang keberadaannya sangat diperlukan manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Kesenian merupakan sesuatu yang hidup senafas dengan mekarnya rasa keindahan yang tumbuh dalam sanubari manusia dari masa ke masa dan hanya dapat dinilai dengan ukuran rasa. Seni diciptakan untuk melahirkan gelombang kalbu rasa keindahan (Israr, 1995:2); dan merupakan kreasi bentuk-bentuk simbolis dari perasaan manusia (Langer, 1982:73-74). Penginderaan rasa kalbu seseorang dapat diciptakan dengan berbagai saluran, seperti: seni rupa, seni bangun, seni musik, seni tari, seni drama, seni sastra, dan lain-lain. Oleh karena itu kesenian mempunyai bidang-bidang cakupan yang cukup luas dan beragam (Koentjaraningrat, 1974:107-109).

Sementara itu menurut Richard L. Anderson (1989:6-27; Sedyawati, 1992:8) seni mempunyai sifat umum yang dapat dijumpai dimanapun. Sifat-sifat tersebut adalah:

1. mempunyai arti yang bermakna budaya, seperti menjadi sarana hubungan dengan
kekuatan adikodrati, menjadi sarana komunikasi dan pendidikan.

2. memperlihatkan gaya, yaitu gaya yang dipandang sebagai tradisi milik bersama dalam
suatu kebudayaan dan sebagai tanda agar seni dapat menyampaikan arti.

3. memerlukan kemahiran khusus untuk menghasilkan suatu karya seni sehingga
seseorang seniman dapat dibedakan dari orang dewasa.

Sifat-sifat seperti tersebut kiranya juga dimiliki oleh kesenian yang hidup dan berkembang pada masa Jawa kuno. Membicarakan kesenian yang hidup pada masa Jawa kuno, khususnya seni pertunjukan, tidaklah semudah membicarakan kesenian masa sekarang. Seni pertunjukan masa sekarang masih dapat disaksikan dan kita mungkin masih terlibat di dalamnya baik sebagai pelaku maupun sebagai penikmat (penonton). Sumber-sumber informasi tentang itu masih lengkap.

Namun untuk seni pertunjukan masa Jawa kuna, bukti-bukti yang masih ada tinggal bukti-bukti tertulis dan butki-bukti relief dan itu pun tidak lengkap. Seni pertunjukan masa Jawa kuno sudah terjadi ratusan tahun yang lalu. Untuk merunut dan mengetahui informasi * Makalah disampaikan pada Diskusi Sejarah dengan tema Sejarah Seni Pertunjukan dan Pembangunan Bangsa, diselenggarakan oleh Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta , 17-18 Mei 2006 seni pertunjukan masa Jawa kuna memerlukan sumber-sumber data yang dapat digolongkan ke dalam sumber data arkeologis. Karangan ini tidak dimaksudkan untuk memberikan gambaran yang lengkap dan menyeluruh, tetapi pemaparan secara deskriptif berdasarkan data arkeologis yang ada.

Yang dimaksud dengan ‘masa Jawa kuno’ dalam pergertian ini adalah suatu masa yang cukup panjang ketika kebudayaan Jawa mendapatkan pengaruh unsur-unsur kebudayaan India.2) Ditinjau dari dimensi waktu, masa yang dibahas adalah sejak abad VIII sampai abad XVI. Selama kurun waktu yang panjang tersebut secara hipotetis seni pertunjukan di Jawa mengalami perkembangan dan perubahan. Data-data yang dipakai adalah data-data verbal serta data-data piktorial. Data verbal adalah data yang diperoleh dari sumber tertulis yang berupa prasasti dan kitab-kitab kesastraan. Adapun data piktorial adalah data yang berwujud gambar yaitu relief pada bangunan candi-candi di Jawa.

Di dalam sejarah kebudayaan Indonesia kuno, masa yang panjang tersebut dibagi menjadi dua periode yaitu (a) periode klasik tua atau periode klasik Jawa Tengah dan (b) periode klasik muda atau periode Jawa Timur. Periode klasik tua berlangsung dari sejak datangnya pengaruh Hindu sampai abad X; sedang periode klasik muda sejak abad XI sampai abad XVI. Pembagian menjadi dua periode seperti tersebut selain berdasarkan langgam atau gaya seni juga adanya perpindahan aktivitas politik dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Agar gambaran kehidupan seni pertunjukan Jawa kuno dapat dilihat dalam perspektif historis maka pembicaraannya akan dibagi menjadi dua bagian berdasarkan periode yang telah disebut.

Sejarah Seni Pertunjukan pada Abad VIII - X

Sumber-sumber untuk mengetahui kehidupan dan keberadaan seni pertunjukan masa ini adalah prasasti, kitab kesastraan, dan relief pada bangunan candi. Sumber-Sumber yang berupa prasasti Prasasti adalah pertulisan kuno yang dituliskan pada lempengan logam atau batu. Prasasti Jawa kuno biasanya berisi tentang upacara penetapan sima (tanah perdikan) oleh pejabat kerajaan. Meskipun uraian di dalam prasasti itu secara singkat namun kita memperoleh gambaran tentang jalannya upacara sima, perlengkapan dan alat-alat upacara, siapa saja yang hadir, pesta makanan dan minuman, seni pertunjukan yang menyertainya (Haryono, 1980).

Prasasti Gandasuli II tahun 769 Saka
Di dalam prasasti yang berasal dari desa Gandasuli, Temanggung, tidak banyak keterangan tentang seni pertunjukan kecuali hanya penyebutan alat musik 'curing' dalam kaitannya dengan perlengkapan upacara. Kutiban singkat kalimatnya adalah:

(hu) minamahkan pangliwattan
1 padamaran 1 pamapi(r)nya
ngan 6 curi (ng) 1 …

Prasasti Kuti tahun 762 Saka (18 Juli 840)
Prasasti yang ditemukan di Joho, Sidoarjo (Jawa Timur) ini terdiri atas 12 lempengan. Pada lempengan IVa dijumpai kata 'juru bañol' bersama-sama dengan para pejabat lainnya seperti tuha dagang, misra hino, misra hanginangin (baris 3). Keterangan tenteng seni pertunjukan dijumpai pada lempengan IVa sebagai berikut:

1. hanapuk warahan kecaka tarimba hatapukan haringgit abañol salahan.

2. tanparabyapara samangilala drbya haji sawakanya manganti i sang hyang dharma
simanira cañcu

3. makuta sira cañcu manggala ring kuti. Mangkana yan pamuja mangungkunga curing
hamaguta payung.

Istilah hanapuka, hatapukan, berasal dari kata ‘tapuk’ yang berarti ‘topeng’, sedangkan kata ‘haringgit’ berasal dari kata ‘ringgit’ yang berarti ‘wayang’. Kata ‘ringgit’ sampai sekarang masih ada di dalam bahasa jawa baru yang artinya juga ‘wayang’ atau bentuk bahasa Jawa krama ‘wayang’. Kata ‘abañol’ artinya lawak atau dagelan. Mereka termasuk di dalam kelompok 'sang mangilala drbya haji' yaitu pejabat kraton yang memperoleh gaji dari kraton (abdi dalem).3 Kalimat 'mangkana yan pamuja mangungkunga curing' dapat diartikan: 'demikianlah jika mengadakan pemujaan supaya menabuh curing'. Dari kalimat tersebut dapat dinyatakan bahwa membunyikan curing dalam kaitannya dengan
upacara pemujaan.

Prasasti Waharu I Tahun 795 Saka (20 April 873)

Prasasti ini berupa satu lempengan tembaga ditemukan di desa Keboan Pasar, Sidoarjo, dan merupakan salinan yang dibuat pada jaman Majapahit. Pada sisi belakang (Ib) dijumpai kata: widu mangidung dan mapadahi, yang termasuk di dalam daftar para pejabat kerajaan yang tidak boleh 'masuk' di daerah 'sima'. Beberapa di antaranya seperti kutipan berikut:

a. … tuha dagang juru gusali mangrumbe manggunje tuha nambi tuha judi.

b. tuha hunjaman juru jalir pabisar pawung kuwung pulung padi misra hino wli tambang … tpung

c. kawung sungsung pangurang pasuk alas payungan sipat jukung panginangin pamawasya hopan pangurangan skar tahun kdi walyan widu ma-

d. ngidung mapadahi sambal sumbul hulun haji amrsi watak i jro ityewamadi kabeh tan katamana ikanang sima…

Dari kalimat tersebut, kata yang menunjukkan adanya jenis seni pertunjukan adalah kata ‘widu mangidung’ dan ‘mapadahi’. Widu mangidung dapat diterjemahkan dengan penyanyi wanita. Kata ‘widu’ sekarang ini berubah menjadi ‘biduan’. Adapaun kata ‘mapadahi’ berasal dari kata ‘padahi’ yang berarti ‘kendang. Kutipan tersebut menunjukkan dengan jelas bahwa 'widu mangidung’ dan ’mapadahi’ termasuk dalam 'watak i jro' yaitu golongan dalam (abdi dalem).

Dalam prasasti Waharu I (B) diperoleh keterangan pula bahwa seniman mapadahi (pengendang) hadir dalam upacara penetapan sima dan melakukan tugasnya menabuh kendang setelah acara pesta makan:

"sakrama ni manadah ring dangu umangse ta jnu skar, manabêh ta sang mapadahi".
Artinya: "setelah mereka selesai makan demikian lama, kemudian jnu skar (?) maju dan sang penabuh kendang menabuh instrument musikknya.

Prasasti Mulak Tahun 800 Saka (3 Oktober 878)

Prasasti yang terdiri dari 4 lempengan tembaga ini ditemukan di desa Ngabean (Magelang). Dalam salah satu baris kalimatnya (lempeng III a brs 5) disebutkan bahwa seniman tuha padahi bernama si Kuwuk hadir dalam upacara sebagai saksi dan kepadanya diberi hadiah (pasêk-pasêk)
berupa kain:

III.a.5… tuha padahi si kuwuk rama ni mitra wdihan rangga yu 1

Artinya: … pimpinan pengendang (yang bernama) si Kuwuk ayahnya

Mitra (diberi) kain wdihan rangga 1 pasang"

Prasasti Kwak I (Ngabean II) Tahun 801 Saka (27 Juli 879)

Prasasti Kwak yang berasal dari desa yang sama dengan prasasti Mulak di atas berupa 1 lempeng tembaga. Dari prasasti tersebut diperoleh pula informasi tentang seniman yang hadir dalam upacara sima:

I.b.3… tuha padahi si dhanam/maregang si sukla/mangla
4. si buddha/madang si kundi/mawuai si pawan kapua wineh mas ma wdihan ragi yu 1 sowang sowang.

Artinya:

I.b.3."… pimpinan pengendang, bernama Si Dhanam, penabuh rêgang (kecer)
(bernama) si Sukla/mangla
4. tukang masak sayur (bernama) si Buddha, tukang menanak nasi (bernama) si Kundi, tukang memasak air (bernama) si Pawan semuanya diberi emas 1 mãsa dan kain wdihan ragi 1 pasang
masing-masing.

Dalam kutipan tersebut selain seniman tuha padahi juga seniman yang lain yaitu 'marêgang’ (penabuh regang – simbal atau kecer?).

Prasasti Taji Tahun 823 Saka (8 April 901)

Dalam prasasti tersebut upacara penetapan sima diuraikan dengan lengkap. Dalam pada itu tuha padahi juga hadir sebagai saksi. Pesta yang diadakan adalah selain makan minum juga menari atau mangigêl, serta adu ayam. Menarik perhatian adalah tarian dilakukan oleh semua yang hadir termasuk para pejabat kerajaan secara bergantian:
IV.a.9."… i sampun tanda rakryan masawungan mangigêl ikanang rama kabeh molih
10. patang kuliling gumanti renanta mangigal …"

Prasasti Panggumulan 902 M (Titi Surti Nastiti, 1982)

Di dalam prasasti tersebut selain disebutkan tarian juga disebutkan gamelan yang ditabuh yaitu padahi, rêgang, dan brêkuk, seperti dapat dibaca dalam kutiban berikut:
III.a.20. "…samangkana ng ingêlakên hana mapadahi marêgang si catu rama ni kriya mabrêkuk si
III.b.1 wara rama ni bhoga winaih wdihan sahlai mas ma 1 ing sowang
sowang//

Artinya: "…adapun (yang) akan ditarikan ada mapadahi, marêgang (bernama) Si Catu ayahnya Kriya, mabrêkuk (bernama) si Wara ayahnya Bhoga, (mereka) diberi sehelai kain bebed dan emas 1 masa masing-masing".

Prasasti Poh Tahun 905 M (Stutterheim, 1940:3-28)

Di dalam prasasti Poh selain disebutkan adanya seni musik gamelan dan juga seni tari dan lawak. Mereka (para seniman) diundang untuk menghadiri upacara penetapan sima sebagai saksi. Barangkali mereka juga menggelar pertunjukan. Gamelan yang ditabuh adalah padahi, rêgang, tuwung; sedangkan tariannya adalah tari topeng dan lawak:

IIb.13."…mapadahi matuwung si pati rama ni turawus ana
14. kwanus i rapoh winaih wdihan yu 1 mas ma 1 ku 1 muwah mapadahai syuha rama ni wakul anakwanua i hinangan watak luwakan winaih mas ku 2 marêgang si wicar rama ni wisama anakwanu
15. a i hijo watak luwakan winaih wdihan yu 1 mas mã 1//matapukan 2 si mala anakwanua 1 sawyan watak kiniwang muang si parasi anakwanua 1 tira watak mdang kapua winaih mas ma 1
16. ing sowangsowang mabañol jurunya 2 si lugundung anakwanua i rasuk watak luwakan muang si kulika anakwanua i lunglang watak tnep winaih wdihan yu 1 mas ma 6 kinabaihannya
17. ruang juru //"

Artinya

13. "…penabuh padahi penabuh tuwung (bernama) si Pati
14. ayahnya Turawus penduduk desa Rapoh diberi kain 1 yugala dan emas 1 mãsa 1 kupang, dan penabuh padahi (bernama) Syuha ayahnya Wakul penduduk desa Hinangan wilayah Luwakan diberi
emas 2 kupang, penabuh regang (bernama) si Wicar ayahnya Wisama penduduk desa
15. Hijo wilayah Luwakan diberi kain 1 yugala dan emas 1 masa // penari topeng ada 2 (bernama) si Mala penduduk desa Sawyan wilayah Kiniwang dan Si Parasi penduduk desa Tira wilayah Medang, semuanya diberi emas 1 masa.
16. Masing-masing, juru pelawak ada 2 (bernama) si Lugundung penduduk desa Rasuk wilayah Luwakan dan si Kulika penduduk desa Lunglang wilayah Tnep semuanya diberi kain 1 yugala dan
emas 6 mãsa
17. untuk 2 orang juru.

Prasasti Lintakan Tahun 841 Saka (12 Juli 919)

Dalam prasasti Lintakan ini diperoleh data tentang instrumen gamelan yaitu padahai, tuwung, rêgang, brêkuk, gandirawana hasta. Gamelan tersebut digunakan dalam perlengkapan upacara sima. Selain itu di antara seniman yang hadir dalam upacara adalah atapukan dan tarimwa (tarimba).

Sangat menarik dalam hal ini adalah jumlah atapukan (penari topeng) ada 30 pasang:

III.8…. pinda atapukan
9. prana 30 hop rarai winehan pirak dha 1 kinabaihannya. Tarimwanya winehan pirak ma 1 kinabaihannya

Artinya:

8…. Jumlah penari topeng
9. ada 30 pasang semuanya anak muda diberi perak 1 dharana, (adapun) tarimwa (penari?) diberi perak 1 masa semuanya.

Prasasti Mantyasih III (OJO CVIII)

Dalam prasasti ini nama instrumen gandirawana hasta yang disebut dalam prasasti Lintakan ternyata merupakan 2 macam instrumen yang berbeda, terbukti dari nama penabuhnya disebut terpisah:

b.4. widu si majangut matapukan si barubuh juru padahi si nanja maganding si ksrni rawanahasta si mandal kapua winaih hlai 1
pirak ma 8 sowang-sowang //

Artinya:

widu (penyanyi) bernama Majangut, penari topeng bernama Si Barubuh, juru kendang bernama si Nanja, maganding (penabuh gending?) bernama si Kusni, penabuh musik rawanahasta bernama si Mandal semuanya diberi kain bebed 1 helai dan perak 8 masa masing-masing
Di antara nama-nama pemusik tersebut, Krsni adalah nama wanita. Dalam prasasti yang lain kata widu sering diikuti oleh kata mangidung, atau hanya kata mangidung tanpa didahului kata widu.

Prasasti Paradah tahun 865 Saka (OJO XLVIII)

Dalam prasasti tersebut selain disebutkan padahi dan widu mangidung sebagai watak i jro, mabañol bernama si Kalayar. Selain itu dalam acara sajian tarian disebutkan:

46. … i tlas ning manamah mangigal yathakrama tuwung bungkuk ganding rawanahasta sampun sangkap ikanang iniga.
47. lakên malungguh sira …

Artinya:

… sesudah melakukan sembah menarilah mereka yaitu tuwung, bungkuk, ganding, rawanahasta.
Sesudah selesai semua yang ditarikan mereka kemudian duduk …

Dalam kutipan tersebut terdapat kata 'bungkuk' yang mungkin sekali artinya sama dengan 'brekuk' pada prasasti lain. Kalau di dalam prasasti sebelumnya ditemukan istilah tuha padahi, juru padahai, di dalam prasasti yang berasal dari tahun 853 M (prasasti Air) ditemukan istilah padahi manggala (pemimpin pemain kendang). Selain itu juga disebutkan adanya 'muraba'. Barangkali perlu disebutkan juga jenis seni pertunjukan yang lain ialah '

rara mabhramana tinonton' pada prasasti Poh IIb.5: "rara mabhramana tinonton si karigna si darini muang si rumpuk
muang wêrêwêrêhnya si jaway si baryyut".

Artinya:

'dara (anak gadis) yang berkeliling ditonton bernama si Karigna, si Darini, dan si Rumpuk serta tunangannya bernama si Jaway dan si Baryyut". Kata ‘tinonton’ jelas menunjukkan bahwa gadis-gadis tersebut tentu gadis penari. Perlu dijelaskan bahwa nama orang yang didahului kata sandang si menunjukkan bahwa yang bersangkutan adalah rakyat biasa atau gadis desa.

Prasasti Tajigunung Tahun Sanjaya 194 – 910 M
Dalam prasasti tersebut selain disebutkan tuha padahi dan arawanasta juga disebutkan jenis pertunjukan dengan istilah 'memen': 'memen rakryan mangigal ri susukkan sima i taji gunung si angkus'. Istilah 'memen' juga dijumpai pada prasasti Jrujru tahun 852 Saka (930 M):

16. ytaha sakamenmen rakryan ta
17. hada rikang kala kapua amintonakên
18. . . . . matapukan wuwup pramukha
19. winaih ma 4 kinabaihannya awa
20. yang ki lungasuh grawana winaih ma
21. 4 sowang abañol si liwuhan

Dalam kutiban prasasti tersebut selain pertunjukan 'menmen' juga 'matapukan', 'awayang', dan 'abañol'. Istilah seni pertunjukan seperti tersebut juga ditemukan di dalam prasasti yang berasal dari tahun 902 M (van Naerssen, 1941):

'muang menmen si patinghalan, mabañol si pati bancil,
muang si bari paceh, atapukan si giranghyasen . . . . ’

Prasasti Wukajana

Prasasti ini tidak berangka tahun, akan tetapi berdasarkan bentuk huruf diperkirakan berasal dari masa Balitung (van Naerssen, 1937: 444-446). Uraian tentang pertunjukan yang dipentaskan dalam upacara penetapan sima adalah:

9. "…hinyunakan tontonan mamidu sang tangkil hyang si nalu macarita bhimma kumara mangigal kica-
10. ka si jaluk macarita ramayana mamirus mabañol si mungmuk si galigi mawayang buatt hyang macarita ya kumara …"

Artinya:

9. "…diadakan pertunjukan (yaitu menyanyi oleh sang Tangkilhyang si Nalu bercerita Bhima Kumara dan menari
10. Kicaka, si Jaluk bercerita Ramayana, menari topeng (mamirus) dan melawak dilakukan oleh si Mungmuk, si Galigi memainkan wayang untuk hyang [roh nenek moyang] dengan cerita “bhima
kumara".

Kutipan tersebut tidak hanya menyebutkan jenis-jenis pertunjukan mamidu, mamirus, mawayang, mangigal, tetapi juga lakon yang diceritakan yaitu Bhima Kumara (masa muda Bhima) dan nama tarian: tari Kicaka. Adapun ungkapan 'mawayang buat hyang' dapat berarti 'pertunjukan wayang untuk arwah nenek moyang'. Masih ada beberapa prasasti yang menyebut tentang seni pertunjukan secara singkat. Di antara prasasti-prasasti tersebut adalah prasasti Ratawun 881 M (tuha padahi), prasasti Ramwi 882 M (tuha padahi), prasasti Er. Hangat (tanpa tahun) menyebutkan: mangigêl, tuha padahi, widu, mangidung: prasasti kembang 941 M menyebut: kecaka, tarimba, tapukan. Menarik pula untuk disinggung adalah penyebutan 'tabêhtabêhan' di dalam prasasti Waharu IV (931 M):

IIa.2. "…tabêh-tabêhan umiring bala paduka sri ma-
3. haraja …

Artinya:

"bunyi-bunyian mengiringi bala tentara Paduka Sri Maharaja".
Keterangan tersebut menunjukkan bahwa bunyi-bunyian musik dipakai dalam menambahkan semangat bala tentara. Setelah dikutip beberapa keterangan tentang seni pertunjukan dari
beberapa prasasti sampai abad X, berikut ini akan dikutip pula sumber tertulis yang berupa kitab sastra pada masa itu. Sementara ini hanya ada dua kitab kesastraan yang diambil yang diperkirakan berasal dari abad X ialah Ramayana Kakawin dan Wirataparwa.

Sumber-Sumber Kesastraan

Kitab Ramayana

Kitab Ramayana tidak diketahui angka tahunnya. Menurut pendapat H. Kern, kitab Ramayana ditulis pada permulaan abad XIII. J.L.A. Brandes sebaliknya mengatakan bahwa kita Ramayana berasal dari abad X. Sementara itu Poerbatjaraka berpendapat bahwa kita Ramayana berasal dari akhir abad IX atau awal abad X.

Beberapa kutiban yang menyebut alat musik atau kesenian lainnya adalah sebagai berikut (Dwi Anna Sitoresmi, 1984).

III.39. Anakkebi ring indraloka manurun lawan apsari ya teka makuren-kuren ri sira sang tamuy kadbuta Mabangsi
mangidung makinnara malaw wina mangigêl . . .

Artinya:

Para wanita di indraloka turun bersama hapsari mereka itu menjamu (hidup bersama) dengan para tamu yang istimewa. Pemain bangsi, penyanyi, pemain kinnara, pemain lawuwina menari …

VII.3. Megha mogha mapupul ya ring langit tulya kendanganirang manobhawa …
Artinya: Serentak berkumpul di langit seperti kendangnya dewa asmara ...

VIII.28. Hana manggupit hana mabangsi waneh Suraloka tulya nikanang nagara
Artinya: Ada yang bercerita ada yang bermain bangsi

47. Hana tambak ujwala pinikya kabeh Padahi prasada ri dalm tinabêh
Artinya: Ada tanggul yang cemerlang rapi tersusun semuanya. Padahi bangunan tinggi di dalam ditabuh.

100. Tinabêh tikang bahiri ring taman
Artinya: Dipukullah segera bahiri di taman

151. Atitibra ring lara wimoha bapaku tuwi bangsi kinnara ya … karnnassula ya
Artinya: Sangatlah sakit bingung bapakku, segala yang kulihat setiap yang kudengar itu bangsi, kinnara, menyebabkan sakit telinga lagi pula …

166. Nya ta len maweh uneng atita manglare winarawanasta
Artinya: Ada yang lain lagi memberikan kerinduan winarawasta

XII.23. … bwat hajinya mangidung saha wina sawadana
Artinya: …untuk tuannya tugasnya menyanyi dengan wina

65. Sawêtu nira rikang sabha sighra monikanang kahala

XVI.10. …sacarana hanapsari wara ta kinnari kinnara mabangsi mangidung makinnara malawuwina …
Artinya: …ada hapsari ada juga kinnari kinnara, pemain bangsi, penyanyi, pemain kinnara, pemain lawuwina.

12. Asangghani ya manggupit hana sedeng sadarppasiwo
Artinya: Memainkan sangghani, bercerita, ada juga yang sedang sangat girang berkelakar.

XVII.111. mangkin ika manahnya magirang saharsa ya kabeh len mangidung makinnara mabangsi len tang angigêl.
Artinya: Semakin hatinya girang gembiralah semua, ada yang menyanyi, bermain kinnara, bermain bangsi, yang lain menari.

XIX.13. Len kendang koti-kotyada niyuta humung ghroragambirasabda … trus twas ning wang pwa denyanarawata kumeter katarang kalakala monikang mardaladres saha pataha mahasara masrang
makangsi
Artinya: Lagi pula kendang berkoti-koti jumlahnya gemuruh menggelegar suaranya … bergetar kala-kala mengerikan berbunyilah mardala deras serta dengan pataha mahasara saling berlomba-lomba, pemain kangsi.

19. sangkat ning wira mahya padahi pada humung tutu hawan sangka tinyup …
Artinya: Seberangkatnya para perwira berbunyilah padahi, semua bergemuruh sepanjang jalan sangka ditiup…

XXI.207. Len sangkat ning manunggang saha ratha lawan nadhorana muka gambirang bheri ginwal murawa kala-kalaraweng dasadisi.
Artinya: Lagi pula seberangkat mereka yang berkendaraan serta berkereta serta penunggang gajah di depan menggelengar bheri murawa kala-kala dipukul disegenap penjuru.

XXII.3. … teka manabeh ta kendang anulup kalasangka waneh murawa tuwung regang padahi mandra mahaswara
Artinya: …maka manabuhlah kendang meniup kalasangka dan lagi murawa, tuwung, regang, padahi, mahaswara.

XXVI.23. …tumindak umundakmidik ring paras yabrebet bap mahsara masrang makangsinusi ramya bandung lawan kinnara.
Artinya: … berjalan maju terus naik dengan hati-hati di batu karang membunyikan brebet bersuara bersama-sama membunyikan bangsi dengan indah bersama dengan kinnara

24. … suling sing magending salangsang Artinya: suling yang bergending salangsang

Kitab Wirataparwa

Kitab Wirataparwa merupakan bagian keempat dari ceritera epos Mahabharata dan menguraikan kehidupan para pandawa di Istana raja Wirata. Kitab tersebut diperkirakan berasal dari tahun 996 M (Juynboll, 1912). Selama di istana raja Wirata tersebut para pandawa melakukan penyamaran: Yudhistira menyamar sebagai seorang guru brahmin, Bhima sebagai juru masak dan ahli gulat, Arjuna sebagai guru tari, Nakula sebagai sains, dan Sadewa sebagai seorang gembala.

Beberapa kutiban tentang alat musik gamelan antara lain (Dwi Anna Sitoresmi, 1984):

I.11. Sajna haji: Nihan iking patik haji sandakarupa temahana kedi, makasajna Wrhannala, anggucaranakna mantrakayika, tarmolaheng kanakbyan, marahana stri haji ring gitanrttawaditra.

Artinya:

Ampun tuanku raja: Demikianlah hamba tuanku akan menjadi kedi, dengan nama Wrhannala, akan mengucapkan mantra dalam upacara, tinggal di keputren, mengajar para putri raja dalam hal gita, tarian, dan musik.

IV.30. Hanan kadi lawuwinamyakta kathanikang swara Artinya: Ada yang seperti lawuwina berbunyi nyaring
VI.49. … prasamanggwal bheri mrdangga, ajemur arok silih-wor ikang prang silih cidu
Artinya: … sama-sama memukul bheri mrdangga, bercampur saling berbaur mereka yang berperang saling menyiasati.

52 manulingãngidungãnabeha mahãsãra …
Artinya: supaya membunyikan suling, mengidung, dan menabuh mahãsãra

VII.55. … humung kendanganya padahinya kadi angara kala ning pralaya kahidepanya …
Artinya: … riuh kendangnya, padahinya, seperti laut ketika pralaya rasanya

85. … bheda sangka ring angilwaken bangsi tala panawa muddhama. Hana tamawa wina rawanahasta, … humung tang bheri murawa tan pantara …
Artinya: … yang lain lagi membawa serta bangsi, tala (simbal), panawa, mudahama (alat musik?). Ada yang membawa wina rawanahasta … riuh suara bheri dan murawa tak ada antaranya

96. … humung tang tabeh-tabehan makadi sakweh sangkha kahala muangsarwwaditra, umadang sakweh nikang natopataka menmen sarwwa bhandagina
Artinya: … riuhlah suara tetabuhan terutama segala macam sangkha kahala dan segala macam bunyi-bunyian, menghadanglah segenap penari.

Dari beberapa kutipan yang dikumpulkan dari sumber prasasti dan kitab kesastraan diperoleh berbagai nama atau istilah yang menunjukkan keberadaan seni pertunjukan yang telah ada ketika itu adalah:

1. Seni musik gamelan,
2. Seni tari,
3. Seni pertunjukan wayang (pedalangan),
4. Seni suara (tembang),
5. Lawak (dagelan).

Seni Musik Gamelan

Keberadaan gamelan ketika itu dibuktikan oleh penyebutan namanama instrumen gamelan. Instrumen gamelan yang sangat umum dan banyak disebut-sebut dalam berbagai sumber adalah kelompok idiophone dan membranophone. Kelompok aerophone dan chordophone juga disebut meskipun tidak begitu banyak. Ensambel gamelan pada saat itu masih cukup sederhana, terutama sekali adalah 'musik keras'.

Instrumen gamelan kelompok idiophone adalah: tuwung, curing, regang, brekuk, bungkuk, kangsi. Sedangkan untuk kelompok membranophone adalah: padahi, muraba, pataha, mardala, murawa, bahiri, mrdangga, dan kendang. Kelompok aerophone adalah: sangkha, kahala, atau sangkhakala, suling. Kelompok chordophone adalah: lawuwina, winarawanashasta, rawanahasta.

Masih ada beberapa istilah atau nama instrumen musik yang belum begitu jelas seperti mudhama, panawa, tala, bangsi. Tala mungkin sekali sejenis simbal.8 Panawa merupakan jenis kendang dan bangsi adalah suling (Kunst, 1968:85). Istilah bangsi di tempat lain disebut wangsi; dalam bahasa Sanskerta: vamsi berarti suling atau bambu.

Istilah ganding masih belum jelas pula. Dalam beberapa prasasti ka 'ganding' selalu diikuti dengan kata 'rawanahasta'. Di dalam prasasti Mantyasih III disebut dengan 'maganding', sebagai kata kerja aktif yang berarti 'memainkan ganding'. Oleh karena itu istilah 'ganding' tentunya menunjuk pada nama instrumen musik seperti terlihat dalam konteks kalimat dalam prasasti Paradah yang menyebut nama instrumen gemelan: "tuwung, bungkuk, ganding, rawanahasta".

Kata 'gendhing' dalam bahasa Jawa baru menunjuk pada komposisi lagu pada karawitan, dapat pula berarti gamelan secara umum seperti tampak pada toponim Gendhingan sebagai nama desa tempat para pembuat gamelan (Jacobson & Hasselt, 1975). Adapun kata 'rawanahasta' atau 'rawanasta' secara harafiah sering didahului dengan kata 'wina' (alat musik petik). Di India 'ravanahasta' adalah alat musik petik (Kunst, 1968:17). Cukup menarik perhatian bahwa dalam prasasti Tajigunung 910 M disebutkan adanya 'panday arawanasta' yang berarti 'pembuat alat musik rawanasta' yang termasuk sebagai anggota 'sang mangilala drabya haji'. Hal ini berarti bahwa pada abad X instrumen musik kecapi sudah dibuat di Jawa.

Di dalam prasasti Mantyasih III disebutkan bahwa 'maganding' dan 'rawanahasta' dimainkan oleh orang yang berbeda: 'maganding' oleh si Krsni (dengan tanda panjang pada vokal i) menunjuk pada nama wanita.

Dalam bahasa Jawa kuno, kata 'wina' kadang diterjemahkan sebagai 'seruling' (Wojowasito, 1977). Namun demikian karena konteksnya dengan kata 'lawu' – Lawuwina, maka yang dimaksudkan tentunya kecapi dengan resonator berbentuk seperti buah labu.

Nama curing ternyata hanya dijumpai dalam prasasti dari tahun 840 M dan 847 M. Sesudah masa-masa tersebut sampai akhir abad X 'curing' tidak pernah disinggung keberadaannya. Pada hal, nama gamelang 'culuring' sekarang ada di kraton Yogyakarta dan Pura Pakualaman. Nama curing disebut lagi pada masa-masa abad XII.

Kunst (1968:52) berpendapat bahwa 'curing' dan 'tuwung' adalah alat musik yang sama (sinonim). Memang di dalam prasasti 'curing' dan 'tuwung' tidak disebut bersama-sama dalam satu prasasti. Demikian pula barangkali antara 'brekuk' (prasasti Panggumulan 902 M dan prasasti Lintakan 919 M) dan 'bungkuk' (prasasti Paradah 943 M) juga penyebutkan untuk instrumen gamelan yang sama karena kedua instrumen tersebut tidak pernah disebut bersamaan. Kunst (1968:63) berpendapat bahwa baik 'brekuk' maupun 'bungkuk' adalah jenis kenong atau kemong.

Berikutnya yang perlu dibahas adalah kendang. Kata 'kendang' baru muncul pertama kali dalam sumber tertulis sekitar abad X akhir. Namun bukan berarti bahwa instrumen kendang baru muncul pada abad X.

Pada masa klasik awal (tahun 821 M) instrumen jenis kendang sudah disinggung dalam prasasti dengan nama 'padahi'. Bahkan jauh sebelum itu, yaitu pada masa prasejarah instrumen jenis kendang sudah ada (Haryono, 1986).

Istilah 'padahi' (atau padaha, pataha) cukup populer pada masa Jawa kuno terbukti dari 14 prasasti menyebut padahi semua (sampai abad X). Sementara itu istilah 'muraba' dan 'mradangga' hanya disebut sekali. Kedua istilah tersebut berasal dari bahasa Sanskerta dari akar kata 'mrd' yang berarti 'tanah'. Di dalam kitab Ramayana selain dijumpai kata 'murawa' juga ada 'mrdala' dan tampaknya berasal dari akar kata yang sama. Di India kendang yang paling umum dan bentuk paling kuno dinamakan 'mridangga' atau 'mardala'. Dalam mitologi kendang bentuk mridangga diciptakan oleh dewa Brahma untuk mengiringi tarian dewa Siwa ketika berhasil mengalahkan raksasa Trusurapura (Popley, 1950:123; Haryono, 1986).9 Di dalam kitab Wirataparwa disebutkan 'Bheri mrdangga', juga 'Bheri-murawa'. Oleh karena itu dapat ditafsirkan bahwa bheri atau bahiri adalah termasuk jenis kendang atau genderang.

Instrumen gamelan seperti diuraikan di muka kadang-kadang secara umum disebut dengan istilah 'tabetabehan' (bhs. Jawa baru: tetabuhan). Di dalam kitab Wirataparwa selaian tabehtabehan juga disebut 'waditra' (bahasa Sanskrta). Di India instrumen musik secara keseluruhan disebut 'vaditra'. Vaditra dibedakan menjadi 5 kelas (Walker, 1983:88).

a. tata = instrumen gesek
b. betat = instrumen petik
c. sushira = instrumen tiup
d. dhola = kendang
e. ghana = instrumen pukul

Adapun ritmennya (irama) dalam musik India dibakukan dengan menggunakan pola tala yang dilakukan dengan kendang (drum). Irama itu sendiri di India disebut laya yang dibagi menjadi 3 yaitu: druta (cepat), madhya (sedang) dan lamban (vilambita).

Seni Tari

Keberadaan seni tari pada abad VIII-X ditunjukkan oleh prasasti dengan kata 'mangigel', 'angigel', 'inigelaken' (dari kata dasar 'igel' = tari). Tidak banyak informasi yang diperoleh dari sumber tertulis tentang jenisjenis tarian ketika itu. Beberapa istilah yang menunjukkan jenis tari yang dipertunjukkan adalah: tapukan, kicaka (kecaka), tarimba (tarimwa), memen (menmen), mamirus, dan rasa mabhramana tinonton.

Kata tapukan, atapukan, berasal dari kata tapuk yang dalam bahasa Bali kuno berarti topeng, kedok. Oleh karena itu atapukan yang disebut di dalam prasasti dapat berarti pertunjukan topeng (tentu saja dengan menari). Tari topeng ini pada abad VIII sudah dipertunjukkan dalam kegiatan upacara sima. Sampai abad X tapukan masih disebut dalam prasasti. Kata mamirus dapat diartikan pula menari topeng, dapat pula berarti 'melawak' (melawak dengan topeng?). Pirus dalam bahasa Jawa berarti seni pertunjukan (Zoetmulder, 1982).

Sementara itu kata kecaka dan tarimba dalam prasasti belum jelas benar artinya. Namun demikian dapat disimpulkan bahwa berdasarkan konteks kalimatnya kata-kata tersebut mengacu pada jenis seni pertunjukan. Di dalam prasasti Wukajana (abad X) disebutkan 'mangigel kicaka', mungkin menunjukkan jenis tarian yaitu tari kicaka. Apakah nama tersebut kemudian menjadi nama 'tari Cak' di Bali, perlu penelitian lagi.

Soalnya ialah bahwa sesudah kata mangigel kicaka kalimat berikutnya berbunyi macarita ramayana. Di Bali tari Cak mengambil cerita Ramayana. Ungkapan kalimat 'rara mabhramana tinonton' menarik untuk dimasukkan dalam seni tari. Kata 'rara' = dara, gadis, kata 'mabhramana' = berjalan keliling, dan 'tinonton' = ditonton. Kalimat tersebut mengandung makna bahwa para gadis berjalan keliling (dari desa ke desa) mengadakan pertunjukan tari (penari jalanan atau mbarang). Sampai sekarang masih dijumpai pertunjukan keliling yaitu tledhek mbarang dari desa ke desa.

Sementara itu kata 'menmen' dalam prasasti Tajigunung (910 M) dan prasasti Jrujru (930 M) berkaitan pula dengan pertunjukan kesenian. Dalam bahasa Jawa kuno kata 'amen' berarti 'menghibur'; menmen = penghibur dengan pertunjukan seni (Zoetmulder, 1982) atau permainan topeng (Wojowasito, 1977). Dalam bahasa sekarang dijumpai pula kata 'ngamen' yang berarti mengadakan pertunjukan musik.

Pertunjukan Wayang

Pertunjukan wayang sudah ada sejak abad IX dibuktikan oleh adanya istilah 'haringgit' dalam prasasti Kuti 840 M. Padanan kata 'haringgit' adalah 'awayang' dijumpai dalam prasasti Tajigunung 910 M. Sampai sekarang kata ringgit dan wayang masih digunakan. Pertunjukan wayang tentu saja menggunakan media (wayang), namun sumber tertulis ketika itu tidak memberikan keterangan. Barangkali media dalam pertunjukan wayang pada waktu itu semacam boneka-boneka kecil. Keterangan menarik diberikan oleh prasasti Wukajana bahwa pertunjukan wayang waktu itu adalah 'mawayang buatt hyang' = pertunjukan wayang untuk hyang. Hyang adalah dihormat yaitu dewa atau nenek moyang. Hal ini berarti bahwa pertunjukan wayang bukan semata-mata hiburan tetapi lebih bersifat seremonial keagamaan. Cerita Bhima dan cerita Ramayana sudah cukup populer pada abad X sebagaimana dijelaskan di dalam prasasti: 'macarita bhima kumara' dan 'macarita ramayana'. Dalang terkenal waktu itu bernama si Galigi karena namanya disebut-sebit dalam sebuah piagam yang dikeluarkan oleh raja.

Kata 'macarita' dalam prasasti mungkin sekali tidak berhubungan dengan mawayang. Pelaku atau seniman untuk masing-masing tersebut berbeda: macarita bhima kumara dilakukan oleh si Nalu sedangkan mawayang buat hyang oleh si Galigi. Dengan demikian dapat diajukan dugaan bahwa 'macarita' adalah cabang seni pertunjukan yang lain, yaitu profesi seni khusus menyampaikan cerita prosa atau 'story teller'.

Seni Suara

Berbeda dengan profesi 'macarita' yang tugasnya membacakan ceritera prosa, adalah profesi penyanyi yang menyampaikan cerita puisi. Di dalam beberapa prasasti profesi tersebut dikenal dengan nama 'widu' dan mangidung' atau 'widu mangidung'. Sejak abad IX (prasasti Waharu I 873 M) kata widu dalam bahasa Indonesia kemudian menjadi 'biduan' = penyanyi. Profesi 'mamidu' pada masa Jawa kuno mungkin sama dengan 'pesindhen' jaman sekarang. Mangidung berasal dari kata 'kidung' artinya 'lagu', 'tembang'. Dalam bahasa Sanskerta untuk lagu atau nyanyian adalah 'gita'. Menurut kitab Wirataparwa cabang-cabang seni yang dilakukan oleh Arjuna dengan nama samaran Wrhannala adalah gitanrttawaditra yaitu nyanyian, tari, dan musik (gita, nrtta, dan waditra). Kalau ada profesi penyanyi pada masa Jawa kuno tentu ada jenis-jenis nama lagu. Namu sayang, pada periode abad IX – X belum ada sumber-sumber yang dapat diungkap. Barangkali jenis lagu seperti nama-nama bentuk kakawin di India.

Lawak

Pertunjukan lawak sudah ada sejak abad IX. Kesan yang diperoleh dari prasasti bahwa kedudukan seniman lawak sejajar dengan senimanseniman yang lain. Mereka juga diundang dalam upacara sima sebagai saksi. Menurut prasasti Wukajana, lawak juga ditampilkan dalam acara kesenian bersama dengan kesenian lainnya. Di dalam prasasti Kuti ada istilah abãnol salahan. Kata salahan mempunyai arti salah, keliru. Kalau kata salahan tersebut termasuk dalam satu ungkapan dengan kata abanol berarti fungsinya menerangkan 'abãnol'. Oleh karen itu dapat ditafsirkan jenis lawak yang temanya adalah permainan kata yang sengaja dibuat 'keliru' agar sengaja membuat keliru arti kata-kata. Seandainya kata salahan memang untuk menerangkan kata 'abãnol' berarti 'lawak plesetan' sudah ada sejak jaman dulu. Masalahnya akan lain jika kata 'salahan' terpisah dengan kata 'abãnol'.

Namun sampai sekarang belum ada jenis seni pertunjukan yang dinamakan 'salahan'.

Seni Pertunjukan Dalam Relief Bangunan Candi

Sumber Relief

Setelah ditinjau sepintas tentang berbagai jenis seni pertunjukan dari sumber-sumber tertulis, berikut ini akan diuraikan berbagai seni pertunjukan yang ada menurut sumber relief. Bangunan candi yang akan dipakai sebagai sumber pembahasan adalah candi Borobudur dan candi Prambanan (Haryono, 1985).

1. Relief Karmawibangangga – Seri O:

0.1. : penggambaran suasana pasar. Alat musik yang ada ialah kendang bertali yang dikalungkan di leher. Kendang dipukul dengan menggunakan alat pemukul.
0.20. : seseorang menabuh kendang, dan tokoh lain membunyikan alat musik petik.
0.39. : dua orang sedang membunyikan alat musik tiup dan memegang tongkat geserk (scraping stick). Mungkin yang dilukiskan ini adalah gambaran suasana ngamen.
0.53. : alat musik yang digambarkan adalah alat musik tiup dan sejenis alat musik perkusi.
0.52. : alat musik yang digambarkan adalah semacam kendang. Di sini digambarkan pula tokoh bangsawan yang menyaksikan.
0.72. : adegan yang menggambarkan seorang wanita yang sedang menari diiringi dengan musik jenis simbal dan kendang yang bentuknya seperti periuk.
0.101. : dua kinnara sedang bermain musik. Alat musik yang digambarkan adalah alat musik petik (bar-zither) dan suling.
0.102. : tokoh bangsawan sedang mendengarkan musik. Alat yang ada adalah kecapi berdawai dua dan simbal.
0.117. : adegan yang mungkin menggambarkan pemusik jalannya (ngamen). Alat musik yang ada ialah suling.
0.125. : adegan tokoh bangsawan sedang mendengarkan musik. Alat musik yang digambarkan adalah alat musik petik dan kecapi berdawai tiga.
0.137. : penggambaran tokoh bangsawan yang menyaksikan pertunjukan musik siter dan simbal.
0.143. : tokoh bangsawan yang sedang mendengarkan musik, siter.
0.147. : dua kinnara sedang memainkan alat musik siter dan simbal.
0.149. : adegan pertunjukan tari oleh seorang penari wanita yang disaksikan oleh para bangsawan. Alat musik yang ada ialah kendang bentuk periuk, simbal mangkuk, simbal pipih, dan siter.
0.151. : pertunjukan musik yang disaksikan oleh tokoh bangsawan. Alat musik yang ada yaitu: dua buah siter, dua buah kendang ukuran kecil, kecapi berdawai 4.
0.157. : penggambaran tokoh bangsawan dan alat musik siter.

2. Relief Lalitawistara – Seri Ia (Deretan Kesatu)

Ia.1 : Tokoh bangsawan menikmati puji-pujian, alat musik yang digambarkan adalah empat buah kendang silindris lurus, tiga buah kendang cembung, simbal besar, suling, dan kecapi.
Ia. 32 : Tokoh bangsawan sedang mendengarkan musik. Alat musik yang digambarkan adalah kecapi, harpa, simbal, dan suling.
Ia.19 : Adegan yang menggambarkan seorang penari wanita dengan diiringi musik simbal mangkuk, simbal besar, suling, dan kendang bentuk periuk.
Ia.95 : Adegan yang menggambarkan Mara dan pengikutnya yang menggoda Bodhisatwa yang sedang bermeditasi dengan tarian-tarian erotis, diiringi dengan alat musik lima buah simbal kecil, dua buah kendang silindris cembung.
Ia.98 : Dalam relief ini digambarkan alat musik yang mungkin dapat diidentifikasi sebagai saron.

3. Relief Lalitawistara dan Jataka-Awadana – Seri Ib (Deretan Kedua)

Ib.19 : Adegan tokoh bangsawan sedang menyaksikan pertunjukan tari yang ditarikan oleh penari wanita. Alat musik yang dimainkan lima buah simbal kecil, sebuah simbal besar, kendang berbentuk periuk, dan dua buah suling.
Ib.70 : Penggambaran para prajurit yang sedang mengikuti seorang tokoh mendendarai gajah. Mereka diiringi pula para pemusik yang membunyikan terompet kha (keong).
Ib.83 : penggambaran sebuah pelaksanaan upacara. Ada pemusik yang membunyikan kendang silindris dan simbal besar.

4. Relief Lalitawistara dan Jãtaka-Awadãna (Deretan Ketiga) (Seri IBa) IBa.V.42. :

Suatu adegan sandiwara yang dibawakan oleh lima orang laki-laki. Tampak seorang melambai-lambaikan sehelai saputangan, sedang tiga orang lainnya mengangkat tangannya di atas dadanya seolah-olah menirukan gaya seorang pendengar yang tekun.
Seorang lainnya memainkan sebuah kendang silindris lurus.

IBa-XI.46. : Adegan sebuah permainan orkes musik yang didukung oleh beberapa orang yang tampaknya berdiri dengan memakai pakaian yang serba mewah, sedang pemain-pemain musik yang duduk di bawah kelihatannya terdiri dari orang-orang kebanyakan. Alat-alat musik yang ada, terdiri dari: tiga buah simbal kecil, sebuah simbal besar, sebuah kendang seperti jambangan dan dua buah seruling.

IBa.XXVI.233a. : Suatu pertunjukan tari yang dibawakan oleh seorang penari wanita, yang didampingi oleh seorang pendeta/brahmana yang ikut penari pula. Dengan diiringi sebuah orkes musik. Alat-alat musik yang mengiringinya terdiri dari tujuh buah simbal kecil, sebuah kendang berpasangan. Sayang relief bagian kanan sudah aus, sehingga tak begitu jelas alat-alat musik yang sedang dimainkan.

IBaXXX.260. : Adegan seorang raja dan brahmana berdiri menyaksikan orang-orang yang berarak-arak mengusung sebuah rumah-rumahan kecil. Di sebelah kanan tampak iringi-iringan para pemain musik yang sedang memainkan musiknya.

Sumber Tulisan:
http://www.wacananusantara.org/2/124/sejarah-seni-pertunjukan-dalam-perspektif-arkeologi
-

Arsip Blog

Recent Posts