Grebeg Besar, Lebih rari Akulturasi Budaya

Demak, Jateng - Sejumlah prajurit mengenakan pakaian adat ala keraton berjalan dalam dua barisan. Mereka dilengkapi tombak dan tameng rotan. Salah seorang pria berbusana beskap lengkapdengan pedang bertindak selaku panglima prajurit.

Di sisi belakang, nampak rombongan Bupati beserta Muspida mengendarai kereta kuda. Mereka pun mengenakan busana adat Khas Demak. Pemandangan ini terlihat pada kirab adat grebeg besar dalam peringatanHari Raya Idul Adha, Kamis (24/9).

Kirab dibuka dengan prosesi adat yangdilaksanakan di pendapa kabupaten. Bupati Moh Dachirin Said yang saat itu mengenakan pakaian surban putih ala walisongo memasuki pendapa, disambut dengantarian bedoyo tunggal jiwo.

Setelah tarian usai, Bupati Moh Dachirin Said menyerahkan bokor berisi bunga kepada panglima pasukan sebagai tanda bahwa iring-iringan kirab grebeg besar dilepas. Kirab tersebut mengambil rute dari pendapa menuju kompleks Alun-alun, pecinan, Pasar Bintoro dan berakhir pada makam Sunan Kalijaga di Kadilangu.

Selama kirab berlangsung, ribuan masyarakat tumpah ruah memadati sepanjang rute yang dilintasi. Tidak peduli panas terik, mereka antusias dan sesekali mengabadikan moment tersebut melalui kamera ponsel.

Bila ditilik dari sejarah, grebeg besar merupakan bentuk keramaian murni hasil ciptaan para wali sembilan. Pelaksanaannya, dimulai setelah walisongo mengadakan sidang di serambi Masjid Agung Ampel Dento Surabaya.

Keputusan sidang yang ditulis SunanBonang dengan huruf Arab Gondil menyatakan bahwa metode dakwah pada masa itu dilakukan dengan menyesuaikan adat istiadat setempat yakni ajaran Hindu. Sehingga mereka yang memeluk Islam benar-benar

tulus dan tanpa paksaan. Adalah Sunan Kalijaga yang bertindak sebagai pelopor pembaharuan dalam menyiarkan Islam dengan menyelenggarakan grebeg besar.

Menurut Bupati, catatan sejarah Kabupaten Demak memang tidak lepas dari perjuangan para wali dalam kegiatan menyebarkan agama Islam pada abad XV. Tidak terkecuali tradisi grebeg besar yang diperingati setiap 10 Dzulhijah. “Pelestarian tradisi ini tidak hanya nguri-uri budaya leluhur. Namun juga sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah SWT. Representasi rasa syukur ini dengan digelarnya tradisi tumpeng sembilan pada malam sebelum perayaan grebeg besar,”ujarnya.

-

Arsip Blog

Recent Posts