SEMARANG — Forum Honorer Kategori 2 Indonesia (FHK2I) mengungkapkan ratusan ribu tenaga honorer kategori 2 (K2) bakal memasuki usia pensiun pada tahun 2018 mendatang. Padahal, nasib status guru dan tenaga honorer K2 lainnya itu belum jelas juga setelah bertahun-tahun mengabdi.
“Kebanyakan honorer K2 sudah mengabdi belasan tahun. Bahkan, ada yang sudah 28 tahun mengabdi hingga sekarang dan sudah masuk usia limit,” ungkap Ketua Umum FHK2I Titi Purwaningsih di Kota Semarang, Jawa Tengah, Selasa (3/10/2017). Hal tersebut diungkapkannya seusai beraudiensi dengan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Bambang Sadono di Kantor DPD Jateng, Kota Semarang, terkait nasib guru dan tenaga pendidikan honorer K2 yang masih belum diperhatikan pemerintah.
Untuk usia pensiun guru, kata dia, masih pada usia 60 tahun, tetapi untuk instansi-instansi lainnya batasan usia kerjanya hingga 58 tahun, sedangkan banyak honorer K2 yang berusia 57-an tahun. “Praktis, mereka yang berada di usia limit ini tahun depan akan memasuki usia pensiun. Kami jelas tidak bisa menambah batasan usia pensiun karena sudah ada regulasi yang mengatur,” katanya.
Titi menyebutkan jumlah honorer K2 di Indonesia mencapai 450.000 orang dengan 60% di antara mereka di sektor pendidikan, yakni guru. Selebihnya, tenaga honorer K2 yang tak kunjung jelas nasibnya itu tersebar di sektor kesehatan dan teknis lainnya, seperti perawat di sektor kesehatan, tenaga tata usaha (TU) di sekolah, pegawai kelurahan, kecamatan, dan sektor perhubungan.
“Banyak dari honorer K2 ini yang kelahiran 1960-an. Artinya, sekarang usianya sudah 57 tahun. Untuk K2 yang guru pun sebenarnya sama, sebab 2-3 tahun lagi juga sudah memasuki pensiun,” katanya.
Guru wiyata bakti di SD Negeri Wanacipta 1, Sigaluh, Banjarnegara, Jateng itu, berharap pemerintah segera mengambil sikap tegas terhadap nasib dan status K2 karena selama ini sudah menjalankan dan membuktikan pengabdiannya. “Kalau dibilang tidak kompeten, dari mananya? Kami sudah berpengalaman, sudah bekerja bertahun-tahun dan tidak pernah main-main menjalankan tugas negara meski hanya diberi honor Rp150.000/bulan-Rp200.000/bulan,” katanya.
Pihaknya akan menunggu sampai pertengahan Oktober 2017 terkait dengan revisi Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (ASN), namun jika tidak ada iktikad dari pemerintah, pihaknya akan menggelar aksi. “Kami masih persuasif. Namun, jika tidak ada iktikad baik dari pemerintah, kami akan menggelar aksi. Pernah kami menggelar aksi dengan mengerahkan 50.000 orang. Kasihan, tidak ada penghargaan untuk teman-teman ini,” pungkasnya.
Anggota DPD asal Jateng, Bambang Sadono, membenarkan langkah untuk memperjuangkan nasib dan status tenaga honorer K2 adalah merevisi UU ASN yang akan dibicarakan DPD dengan DPR dan pemerintah. “Pertama, perjuangan besar kan menyangkut perubahan UU ASN karena tidak menyebut K2 di situ. Kami pasti kawal. Kedua, perlakuan pemerintah daerah terhadap honorer K2 kan berbeda-beda,” katanya.
Di Kota Semarang, kata dia, sudah memberikan honorarium bagi K2 sesuai dengan upah minimum kabupaten/kota (UMK), tetapi diakuinya belum tentu kabupaten dan kota lainnya juga memberlakukan kebijakan serupa. “Saya nanti akan berkomunikasi dengan teman-teman di daerah, bisa kepala daerahnya, DPD agar mereka [tenaga honorer K2] ini diperlakukan adil, minimal disesuaikan UMK. Mereka sudah mengabdi terlalu lama,” katanya.
Kewajiban pemerintah, tegas Ketua Badan Pengkajian MPR itu, bukan hanya memberikan penghasilan layak, tetapi juga memberikan penghormatan terhadap jasa tenaga honorer K2 yang telah mengabdi sekian lama.
Sumber: http://www.solopos.com