Semarang - Penari telanjang berani berkisah. Diawali dari perkenalan. Namanya di kalangan para penari dikenal sebagai Maya Lestari. Ia mengaku kelahiran Salatiga dan saat ini masih berusia 24 tahun. Sudah pernah menjadi penari telanjang tetap di sebuah rumah karaoke, kini ia mengaku pensiun.
Pensiun? Sebenarnya tidak juga. Maya pensiun hanya dari status sebagai penari telanjang tetap di sebuah rumah karaoke di Semarang itu. Ia ternyata memutuskan untuk menjadi freelancer striptease. Ia mengandalkan pertunjukan untuk konsumsi privat.
"Gimana, Mas? Jika bete, nanti hubungi saya saja," kata Maya sambil mengangsurkan sebuah kartu nama.
Di kartu nama itu tertulis nama dan nomor teleponnya. Ada delapan nomor telepon beda operator yang dicantumkan. Uniknya, bukan hanya nama dan nomor telepon saja, tapi juga ukuran tinggi badan dan berat badan, serta nomor bra.
"Saya memilih freelance saja karena sekarang orderan di karaoke sepi. Saya memang masih menjadi PL. Namun berapa penghasilan PL, kan enggak cukup," kata Maya.
Untuk menari, Maya mematok angka antara Rp 450 ribu -Rp 1 juta sekali menari. Durasinya dihitung jumlah lagu yang diputar. Rata-rata antara enam sampai delapan lagu berbagai genre. Mulai dari house music, heavy metal, hingga lagu lembut. Lagu-lagu itu sudah disusun sedemikian rupa, sehingga tariannya bisa mencapai klimaks.
Pertunjukan menari telanjang itu dilakukan dengan modal compo portable yang bisa dijinjing ke sana ke mari. Langganannya di sebuah kamar hotel daerah Semarang atas. Ia selalu memilih kamar dengan view menghadap ke kota bawah.
"AC ruangan harus dingin. Jadi enggak capek karena berkeringat lebih," katanya.
Maya kemudian bercerita, saat ini banyak yang berprofesi seperti dirinya. Namun, ada pula yang berprofesi sebagai penari telanjang plus. Artinya, selesai menari, ia memberikan tawaran plus. Maya sendiri mengaku hanya menari saja. Ia bekerja sama dengan beberapa temannya untuk layanan selebihnya.
Jadi ada semacam kerja sama, Maya bertugas memberi rangsangan pada tamu yang mem-booking-nya, sementara teman lainnya bertugas memberi layanan "paripurna" di tempat tidur. Jika ingin mendapat honor tambahan, biasanya Maya merayu pelanggannya untuk mendapatkan tips.
"Saya malas kalau melayani tamu dari Korea atau Jepang. Meskipun memberi tips lebih, mereka kasar dan enggak sabaran. Kalau tamu dari Semarang lebih gampang merayunya. Sambil menari cukup mendatangi dan menuntun tangannya membantu melepas pakaian, semua sudah oke," kata Maya.
Untuk pertunjukan sendiri, Maya memiliki banyak kostum. Semua dilakukan untuk memuaskan pelanggan. Mulai dari model Barat, Timur Tengah, hingga India. Pemilihan kostum ini sangat berpengaruh pada durasi dan timing ia harus melepas satu persatu, hingga pakaian dalamnya.
Latar belakang Maya sebenarnya cukup mengkilat. Ia pernah bergabung ke sebuah sanggar tari di Yogyakarta. Kemudian ia bergabung dengan sebuah kelompok dance yang biasa mengisi acara di televisi. Selain sebagai penari latar di televisi, ordernya memang paling banyak di kafe-kafe dan diskotek.
"Awal menari striptease, saya sempat ditangkap polisi ketika menggelar party di Ancol, Jakarta. Saya enggak selesai kuliah, karena enggak ada biaya," kata Maya si penari telanjang.
Perkembangan media sosial rupanya dimanfaatkan oleh para penari telanjang ini. Layanannya bukan lagi live show di depan mata, tapi model video call yang memanfaatkan aplikasi panggilan video, seperti IMO, WhatsApp Android, BBM, Line, Facebook Messenger, WeChat dan lain-lain.
Untuk pemasaran model ini pembayarannya lebih murah dan menggunakan pulsa telepon. Nanti jika sudah terakumulasi, pulsa itu mereka jual. Bahkan saking murahnya, mereka mendapat bayaran kurang dari Rp 50 ribu.
"Modalnya cuma HP Android dan jaringan Wi-Fi yang kuat. Nanti kita menari di depan HP, sementara pelanggan menonton melalui layar HP-nya. Durasinya biasanya enggak sampai satu lagu," kata Maya,
Layanan online itu menjadi bias, karena seringkali dimanfaatkan orang-orang tak bertanggung jawab. Banyak di antara para pelanggan yang sudah mengirim pulsa. Namun kemudian nomor seluler gadgetnya dimatikan. Perilaku seprti ini biasanya dilakukan para ABG yang belum pernah tampil secara live.
Menurut Maya, mereka kepingin dapat sensasinya, tapi masih ada rasa ragu dan malu menunjukkan bagian tubuhnya secara terbuka. Jumlahnya sangat banyak dan sangat mudah ditemui dengan mesin pencari.
"Saya bukan PSK lo. Saya penari. Saya lebih suka orang yang menghargai tarian saya daripada dibayar banyak hanya untuk digerayangi karena terangsang," kata Maya.
Psikolog RS St Elisabeth Semarang, Probowatie Tjondronegoro, menyebutkan kemajuan teknologi informasi komunikasi menjadi penyebab adanya gegar budaya. Di satu sisi input tentang erotisme sangat gampang diunduh, di sisi lain norma yang berlaku di keluarga dan masyarakat.
"Ada hal yang membentengi mereka untuk terjun total. Ending-nya, mereka memanfaatkan secara ekonomi. Ini beda dengan penari telanjang yang profesional. Bisa jadi mereka memang punya kemampuan menari, tapi tak pernah ada apresiasi atau ruang untuk apresiasi. Jadi belum tentu motif ekonomi," kata Probowatie.
Menurut Probowatie, keberagaman layanan itu menunjukkan bahwa para pelaku memiliki tingkat adaptasi yang tinggi. Mereka tak hanya memberi layanan secara konvensional, tapi juga cukup pintar. Jika kemudian memanfaatkan pulsa sebagai imbalan, hal itu karena saat ini pulsa merupakan kebutuhan yang cukup primer.
"Bukankah semua nyaris butuh pulsa saat ini?" kata Probowatie.
Sumber: http://regional.liputan6.com