Oleh: Titiek Pudjiastuti*
Berbicara tentang naskah, apalagi naskah Jawa, kita tidak boleh lupa bahwa di dunia ini terdapat sejumlah naskah yang dapat dikatakan masih sebagai hutan belantara. Disebut demikian karena keberadaan koleksi naskah itu baru diketahui oleh segelintir orang saja dan banyak informasi mengenai naskah-naskahnya masih gelap. Padahal menurut van der Molen (1983) secara historis koleksi naskah tersebut sangat penting karena dapat mengungkapkan sejarah kesusastraan Jawa yang semula dikira hilang.
Beberapa pakar dari dunia pernaskahan menyebut koleksi naskah itu sebagai Koleksi Merbabu-Merapi. Mengapa disebut demikian? Berapa banyak jumlahnya? Di manakah di simpan? Bagaimanakah wujud dan hurufnya? Apakah isinya? Sudah adakah yang menelitinya? Siapa dan bagaimankah hasil penelitiannya? Mungkin masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan lain yang akan muncul jika seseorang diperkenalkan kepada koleksi Naskah Merbabu-Merapi tersebut. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, berikut adalah uraian singkat mengenai hal tersebut.
Berdasarkan informasi van der Molen (1983) dan Wiryamartana (1993) dapat diketahui bahwa yang disebut Koleksi Merbabu-Merapi adalah kumpulan naskah yang ditemuykan pertama kali tahun 1822 di lereng barat Gunung Merbabu, tepatnya di Desa Kedakan, Residen Kedu. Naskah-naskah ini adalah miliki Keluarga Pak Kojo, cicit Penembahan Windoesono, seorang pendeta Buddha yang, ketika Islam masuk Jawa Tengah, menyingkir ke lereng Merapi dengan membawa serta lebih kurang 1.000 naskah. Namun menurut informasi van der Molen, sejalan dengan perjalanan waktu naskah-naskah itu telah menyusut dan kini hanya tinggal sekitar 400 naskah.
Informasi mengenai naskah-naskah ini pertama kali ditemukan dalam laporan statistik tertanggal 12 Agustus 1923, yang merupakan masa pemerintahan Gubernur Jenderal Van der Capellen. Tiga puluh tahun kemudian, Bataviaasch Genootshap berusaha untuk memperolehnya. Usaha tersebut dilakukan dengan susah payah, karena Pak Kojo, pemilik naskah-naskah itu sangat sulit melepaskan naskah-naskah yang diwariskan kepadanya. Dari berita laporan tertanggal 27 April 1952, dapat diketahui bahwa usaha pengambilalihan naskah-naskah tersebut akhirnya berhasil, dan sejak itu sebagian besar naskah koleksi Merbabu tersimpan di Bataviaasch Genootschap. Dikatakan sebagian besar karena sebagian lain naskah Merbabu terbawa ke tempat lain, antara lain, ke salah satu perpustakaan di Prancis; Berlin, Jerman (Pigeaud, 1967); dan juga Belanda.
Sekitar 12 tahun sesudah naskah-naskah koleksi Merbabu menjadi milik Bataviaasch Genootschap, Cohen Stuart menyusun koleksi naskah itu. Berdasarkan penyusunan itu dapat diketahui bahwa naskah Merbabu sebagian besar menggunakan bahan naskah berupa lontar dan tulisannya sangat unik. Bleeker (1852) menyebutnya tulisan kuno, dan Cohen Stuart menyebutnya tulisan Buddha. Alasan penyebutan ini tidak diketahui, karena Cohen Stuart tidak menyatakan pendapatnya. Ada pun mengenai isinya cukup bervariasi, selain teks-teks keagamaan–tidak saja Hindu -Budha tetapi Islam–juga terdapat teks sastra, mantra, dan lain sebagainya.
Para peneliti yang tertarik dan pernah melakukan penelitian terhadap naskah-naskah Merbabu antara lain:
1. Friederich, yang berusaha membuat daftar naskah koleksi Merbabu. Berdasarkan penelitiannya, ia menyatakan bahwa naskah-naskah itu ditulis oleh orang bukan Muslim karena isinya pengertian tentang agama India (Hindu), bahasanya juga sangat dekat dengan karya sastra Kawi di Bali. Semua naskah ditulis dalam prosa, dan isinya tentang agama Hindu.
2. Cohen Stuart, orang pertama yang berusaha menyusun katalog naskah Merbabu. Berdasarkan hasil pengamatannya, Stuart mengoreksi pendapat Friederich, ia mengatakan tidak semua naskah Merbabu berisi ajaran Hindu tetapi juga ada yang tentang pengertian ajaran Islam dan juga tidak semua teks ditulis dalam prosa, tetapi cukup banyak juga yang ditulis dalam puisi. Cohen Stuart juga mengemukakan tentang penanggalan naskah. Ia menyimpulkan bahwa naskah-naskah koleksi Merbabu sebagian kemungkinan berasal dari abad ke-16 and ke-17.
3. Willem van der Molen, peneliti pertama yang mengamati secara khusus salah satu naskah koleksi Merbabu. Naskah yang dikajinya berjudul Kunjarakarna. Hasil penelitiannya dilahirkan dalam bentuk disertasinya yang diterbitkan tahun 1983. Pusat perhatian van der Molen dalam penelitiannya adalah paleografi dan penanggalan naskah. Ia secara khusus mengamati masalah huruf dan penanggalan yang terdapat dalam naskah yang dikajinya. Hasil penelitiannya telah memberi sumbangan yang sangat berarti bagi sejarah kesusastraan Jawa, karena telah memberi gambaran yang tepat mengenai mengenai perkembangan huruf Jawa dari masa ke masa dan cara penghitungan penanggalan naskah yang sangat akurat.
4. Kuntara Wiryamartana, peneliti kedua yang mengkaji naskah Merbabu secara khusus. Teks yang dikaji berjudul Arjunawiwaha. Berbeda dengan van der Molen yang lebih mengamati masalah perkembangan huruf dan penanggalan, Wiryamartana lebih menekankan perhatiannya pada isi teks. Ia mengkaji masalah transformasi teks, bahwa melalui perjalanan waktu isi teks sebuah naskah juga mengalami perkembangan pemahaman sesuai dengan resepsi para pembacanya. Hasil penelitian Wiryamartana ini dituangkan kedalam disertasinya yang diterbitkan tahun 1991.
Dari uraian singkat di atas, kita menyadari bahwa masih banyak sekali hal yang belum kita ketahui mengenai naskah-naskah koleksi Merbabu.
***
*Penulis adalah staff pengajar di Jurusan Sastra Daerah, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia