Jambi - Sultan Kesultanan Melayu Jambi, Raden Abdurrahman Thaha Syaifudin, mengungkapkan bahwa dirinya telah mengadukan berbagai pelanggaran yang dilakukan pemerintah dan perusahaan terhadap hak masyarakat adat dan keturunan kerajaan Melayu Jambi ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
"Secara lisan kita sudah adukan kondisi merugi yang menimpa masyarakat adat dan keturunan Kesultanan Melayu Jambi kepada PBB, khususnya terhadap pelanggaran-pelanggaran hak masyarakat adat dan keluarga kerajaan, Alhamdulillah PBB merespon positif kondisi ini," katanya di Jambi, hari ini.
Sultan Jambi mengemukakan, adapun bentuk pelanggaran yang dilaporkan tersebut yang paling mendasar adalah pelanggaran di bidang agraria, seperti perampasan lahan atau tanah kerajaan dan keluarga kerajaan yang dilakukan pemerintah dan perusahaan.
"Salah satu contohnya adalah lahan milik keluarga kerajaan di Tebo Ulu Kabupaten Tebo di dekat Taman Nasional Bukit 30 seluas 7.500 hektare yang kini telah menjadi milik sebuah perusahaan log kayu semenjak 10 tahun lalu yang merampas tanah tersebut dari masyarakat dengan berbekal surat izin dari Kemenhut dan gubernur serta bupati setempat," ungkap Sultan.
Padahal, menurut dia, lahan tersebut berstatus hutan konservasi semenjak pemerintahan penjajahan Hindia Belanda, yang artinya samasekali tidak boleh diganggu oleh pihak mana pun apalagi oleh perusahaan log.
Pelaporan yang disampaikannya tersebut, menurut dia, mendapat respon positif dari PBB dengan mengutus perwakilan dari badan dana anak-anak (UNICEF) untuk ke lokasi masalah guna mengecek kenyataan atas perampasan lahan kerajaan dan masyarakat adat berstatus hutan lindung konservasi tersebut.
"PBB menilai hal itu adalah pelanggaran HAM dan terkait pula terhadap hukum pelestarian lingkungan berstatus taman nasional yang harus diusut tuntas dan dikembalikan kepada masyarakat adat pemilik sah lahan tersebut," ujar Sultan.
Dikatakan Sultan, sejatinya perwakilan pihak PBB melalui UNICEF sudah datang ke Jambi menemuinya pada Juni 2012 guna melakukan pendataan termasuk menerima laporan tertulis pihak kesultanan yang telah disiapkan.
"Tapi, kondisi saat ini tidak memungkinkan karena konsentrasi PBB terfokus pada Rohingya dan Papua, namun mereka mengatakan September positif akan datang," katanya.
Menurut Sultan Jambi, pelaporan dugaan pelanggaran hak masyarakat adat dan keluarga kerajaan tersebut terpaksa dilakukannya karena segala upaya yang telah dilakukannya sampai ke Kementerian Kehutanan (Kemenhut) menemui jalan buntu, tanpa adanya solusi setelah pengusutan yang dilakukan Kemenhut dan Pemprov Jambi.
"Saat ini Kesultanan Jambi sudah kembali berdiri dan diakui oleh kerajaan dan kesultanan se-Nusantara, karena itu sudah seyogyanya lahan milik masyarakat adat dan keluarga kerajaan itu dikembalikan ke yang berhak," ujarnya.
Ia pun menegaskan, ada tiga macam status tanah atau lahan kerajaan, yakni Harta Kerajaan, Grand Kesultanan dan Tanah atau Warisan Sultan.
"Untuk status yang pertama, yakni lahan kerajaan bersifat lebur, seperti saat ini telah dimanfaatkan jadi tapak bangunan satu kantor pemerintah. Artinya, dengan sendirinya pengelolaannya menjadi hak negara," katanya.
Sementara itu, ia menambahkan, warisan berstatus Tanah Sultan harus dikembalikan kepada sultan, begitu pula dengan lahan Grand Sultan harus dikembalikan kepada masyarakat adat dan keluarga sultan.
Sumber: http://www.waspada.co.id