Upas, Racun Mematikan Penduduk Nusantara

Perang memang kejam dan tak kenal ampun, dulu hingga detik ini. Jika sekarang senjata yang paling mematikan adalah nuklir, maka dulu mungkin salah satunya adalah racun. Racun ini bisa ditempelkan terutama pada sumpit dan mata panah. Melalui racun, diharapkan pihak lawan dapat dibinasakan seketika dengan lebih efektif; dan penduduk Nusantara telah mengenal racun ini sejak lampau. Racun inilah yang membuat para kolonialis berdecak kagum sekaligus ngeri jika harus berhadapan dengan “pribumi” yang terkenal ganas dan penuh “amok” saat bertempur.

Racun untuk senjata bisa diperoleh dari hewan dan tumbuhan. Jika racun yang berasal dari hewan diperoleh dari bisa ular (kobra, ular laut, dan deathadder) dan punggung kodok, maka racun dari tumbuhan bisa didapat dari pohon upas dan chetik. Jelas, selain untuk berperang, racun digunakan untuk mematikan hewan buruan.

Rumphius, ahli botani kelahiran Jerman dan bekerja untuk VOC Belanda yang pernah melakukan penelitian ilmiah di Ambon, menulis bahwa penduduk Makassar tahun 1650 menggunakan panah beracun saat penyerangan terhadap Ambon. Panah beracun ini pula yang digunakan rakyat Celebes (Sulawesi) saat perang melawan VOC Belanda. Ahli botani ini menulis bahwa racun yang masuk pembuluh darah terbawa ke seluruh tubuh dan terasa di otot, menimbulkan rasa terbakar, terutama di kepala, lalu korban pingsan dan mati. Menurutnya, racun ini memiliki derajat mematikan berbeda, tergantung lama dan cara pengawetan racun. Dan racun yang paling mematikan adalah “upas raja”, dan efeknya tak terobati lagi.

Pohon upas (Antiaris toxicaria), yang kadang disebut ipoh/ipuh, anchar, atau tengis/ingas, adalah pohon besar dengan ketinggian bisa mencapai 40 m serta kayunya putih dan ringan. Dahan-dahannya tumbuh horizontal dan tak beraturan. Pohon ini tumbuh di tanah subur, di dataran rendah dan hanya ditemukan hutan-hutan lebat.

Sama seperti kayunya, warna getah upas adalah putih susu, namun lebih kental dan lengket dari susu. Cairan atau getah yang keluar dari batang (cortex) akan mengalir deras sehingga dapat terkumpul dengan cepat dalam satu cangkir. Pada pohon dewasa, torehan pada kulit kayu ini menghasilkan cairan kekuningan dan agak berbuih, sementara pada pohon muda warnanya lebih putih; baik dari pohon dewasa atau pohon muda getahnya akan bewarna kecoklatan di udara terbuka. Jika cairan ini mengenai kulit kita maka akan terasa perih dan terbakar. Karena getah kulit pohonnya mengandung racun, maka orang menamakan racunnya sebagai upas.

Penggunaan getah upas ini tidak langsung digunakan, melainkan harus diracik dengan bahan-bahan lain dalam jerangan air dalam kuali (tentu tak sama persis di dengan suku-suku lain di Nusantara). Bahan-bahan untuk meraciknya adalah: sekitar 8 ons (800 gram) cairan upas dikumpulkan dalam tabung bambu di sore hari, lalu dituangkan ke kuali lantas direbus. Selama perebusan ini, cairan upas ditambahi arum atau nampu (tanaman beracun juga), kencur, bengli, bawang merah dan bawang putih, masing-masing sebanyak setengah potong, dan ditambah sedikit bubuk lada hitam, sambil terus diaduk dalam mangkuk. Sementara cairan diaduk, sepotong cabai dibelah dan dikeruk hingga biji-biji cabai dikeluarkan kulitnya lantas dimasukkan ke dalam cairan yang tengah diaduk selama satu menit. Setelah biji-biji cabai diaduk, lalu bubuk lada hitam dan biji-biji cabai dimasukkan kembali, hingga tiga kali—jadi tiga menitan—sampai cairan berbuih dan membentuk lingkaran pertanda masak.

Selain upas, ada racun lain yang dihasilkan dari pohon chetik (The History of Java karya Raffles menuliskannya demikian). Tanaman ini berupa semak lebat yang saling berpilin, akar yang tumbuh di atas tanah menyebar ke segala arah, di mana akar utamanya tumbuh menghunjam tanah. Chetik selalu tumbuh di hutan yang gelap, dingin, di atas tanah hitam dan subur, namun sangat jarang ditemukan.

Cara mengolah racun chetik hampir sama dengan peracikan upas. Caranya adalah kayu chetik ddipotong dan dicuci bersih, lalu direbus dalam air dalam kuaIi selama 1 jam. Lalu, cairannya disaring dan kembali direbus sampai membentuk cairan sirup yang kental. Sejumlah rempah seperti kencur, sunti, bawang merah dan bawang putih, dan lada hitam dimasukkan dalam kuali selama beberapa menit. Kedua jenis racun ini harus dimasak dalam kuali yang tertutup rapat.

Akibat racun upas sangat dahsyat. Jika upas menyerang perut, saluran pernafasan, dan sirkulasi tubuh, maka chetik menyerang otak dan saraf. Gejala umum bila seseorang terkena racun ini adalah: tubuh kejang-kejang, gelisah, bulu roma berdiri, memuntahkan isi perut, lemas, sawan, nafas memberat, air liur keluar, otot perut kejang-kejang, muntah berat, muntah air, lalu kejang hebat, dan mati. Ada pun gejala akibat racun chetik adalah lemas, kehausan, kejang-kejang sedikit, efeknya menyebar ke seluruh sistem saraf dalam waktu singkat. Jika racun ini diterapkan pada sejumlah binatang, maka lamanya reaksi berbeda-beda. Anjing, langsung mati dalam satu jam, tikus dalam 10 menit, monyet dalam 7 menit, kucing dalam 15 menit, dan kerbau dalam 2 jam 10 menit. Hewan ini akan terjatuh langsung dengan kepala lebih dulu, terus kejang, dan akhirnya mati.

Setelah menyaksikan banyak prajurit Belanda di Ambon dan Makassar mati akibat racun upas, Rumphius akhirnya menemukan obat penawar racunnya pada akar Radix toxicaria.

***

Sumber Tulisn: http://wacananusantara.org/upas-racun-mematikan-penduduk-nusantara/
-

Arsip Blog

Recent Posts