Perlengkapan Upacara Keagamaan pada Masa Klasik

Oleh Tim Wacana Nusantara

Dari segi bahannya, perlengkapan upacara dapat dibedakan menjadi lima kategori, yakni benda-benda tanah liat, batu, porselin, dan batu mulia, logam, tanaman dan bunga, biji-bijian dan makanan, kain, dan telur dan hewan.

Benda Tanah Liat
Ada tiga jenis peralatan yang sering dijumpai sebagai data arkeologi, yakni wadah, stupika, dan tablet tanah liat.

Wadah yang termasuk dalam kategori ini adalah mangkuk, piring, cepuk, pedupaan, cupu, dan lain-lain. Sebagaian besar wadah ini memiliki kemungkinan banyak fungsi dan sering dijumpai dalam berbagai konteks temuan. Dalam kaitannya dengan fungsi upacara keagamaan, wadah tanah liat pernah ditemukan dalam bentuk cupu, yakni wadah yang digunakan untuk wadah peripih yang terletak di fondasi-fondasi candi-candi di Jawa, misalnya di Candi Wisnu di kompleks Lara Jongrang/Prambanan (berupa piring); di Pasangrahan/Banyuwangi (wadah bulat), dan Karangrejo/Kediri (persegi empat) (Soekmono, 1974). Dengan kata lain, benda ini berfungsi sebagai sarana dalam upacara pendirian candi.

Benda Batu
Wadah
Sebagai alat untuk menyimpan peripih, wadah ini dikenal dengan sebutan cupu. Biasanya berbentuk segi empat dengan tutup yang permukaannya bergambar kelopak bunga teratai. Benda-benda ini antara lain dijumpai di bagian fondasi atau bagian perigi candi Siwa dan Wisnu Lara Jonggrang. Juga di bawah tanah halaman candi Brahma Lara Jonggrang. Di wilayah Jawa Tengah benda serupa ini dijumpai di candi-candi Gebang, Palosan Lor, Mulyo, muncul, Selogriyo. Di Jawa Timur benda ini dijumpai di Selomangleng, Trowulan, Candi Sanggariti, Candi Jaatunda, dan Japanan (Jombang). Adanya kesamaan antartemuan di wilayah yang berbeda, mengidentifikasikan tidak adanya perubahan dalam penggunaan sarana pendirian candi (Soekmono, 1974).

Lingga-Yoni
Sebagai sarana peribadatan benda ini diketahui melambangkan kesatuan Siwa dengan saktinya (Parwati). Adakalanya yoni ditemukan tanpa ada linganya. Sedangkan lingganya dapat diwujudkan dalam bentuk phalus sebagaimana dijumpai di Candi Sukuh dan Ceto. Pasangan lingga-yoni pada umumnya dijumpai pada bilik tengah candi-candi Hindu, baik di wilayah Jawa Tengah maupun Jawa Timur. Adakalanya kedua benda itu dijumpai tanpa ada suatu bangunan pun yang diduga memiliki kaitan dengan keberadaannya, misalnya lingga yang dijumpai di wilayah-wilayah pinggiran (Kesugihan/Cilacap), yoni (Demak, Tuban).

Watu Kulumpang
Benda ini mungkin menyerupai yoni. Di dalm prasasti-prasasti Jawa Kuno benda ini dipakai sebagai landasan untuk memecahkan telor atau sebagai landasan leher ayam yang dipotong pada saat sang makudur membacakan mantra-mantra dalam upacara penetapan sima.

Porselin dan Batu Mulia
Benda porselin ditemukan dalam berbagai kemungkinan fungsi. Dalam konteks keagamaan, wadah porselin (sering disebut dengan istilah "keramik asing") berupa mangkuk ditemukan sebagai cupu dibagian fondasi candi utama Sewu (Anom, 1997). Orsoy de Filnes pernah menunjukan penemuan sejumlah tempayan Cina dari abad ke-10 yang umum dijumpai di Jawa Tengah. Bentuknya menyerupai telur ramping dengan lubang yang kecil dan tinggi mencapai satu meter. Di antaranya ada yang ditemukan beserta isinya, yakni benda-benda berupa logam beharga, atau perunggu dari masa Hindu-Buddha. Termasuk yang sering dijumpai adalah alat-alat pertanian yang terbuat dari besi, tetapi telah hancur dan rusak dimakan usia. Benda ini sering ditemukan memanjang denghan bagian mulut saling bertemu (de Flines, 1969:71).

Termasuk dalam kategori batu mulia adalah batu-batu akik dan manic-manik dalam bentuk dan warna, dan pasir kwarsa. Fungsinya bisa untuk perhiasan,atau tanda status sosial. Petunjuk lain menandakan bahwa batu mulia ini dijumpai dalam kontek keagamaan, khususnya bagian dari benda-benda peripih. Temuan jenis ini di jawa di dapati di candi-candi Lara Jongrang, Candi Muncul, Candi Palaosan Lor, dan Candi Dawarawati (Anom, 1997; Rahadjo, 2002: 284).

Benda Logam (Perunggu)
Benda-benda yang terbuat dari perunggu dan digunakan sebagai alat upacara adalah wadah, bagian dari benda peripih, peralatan kependetaan, alat musik, dan arca dewa. Yang termasuk wadalah adalah talam, mangkuk (di antaranya bergambar simbol zodiak), bejana (bertutup dan berkaki tiga, tetapi terpisah), dan cupu. Khusus mangkuk bersimbol zodiak hanya dijumpai pada masa Jawa Timur berangka 1280-1432 M. Penemuan cupu perunggu di Jawa Tengah dijumpai di Candi Lara Jongrang dan Plaosan Lor, di Jawa Timur di Celaket (Malang) dan Malangsuka (Malang) (Soekmono, 1974).

Alat-alat dari perunggu yang biasa digunakan sebagai bagian dari peripih adalah kepingan-kepingan, yoni, bagian wadah (piring, cepuk, periuk), cermin, rantai, butiran, dan cincin. Termasuk peralatan kependetaan adalah genta upacara (dengan berbagai hiasan puncaknya), dan wajra (bertanduk tiga hingga lima). Yang termasuk simbol keagamaan adalah kendi amerta. Sedangkan yang termasuk alat musik adalah gong (dengan berbagai lukisan), simbol, dan kamanak.

Besi
Bahan logam biasanya digunakan sebagai alat tajam, khususnya senjata tusuk atau senjata potong. Selain itu benda ini juga bisa berfungsi sebagai simbol seperti keris. Berdasarkan bukti temuan di Candi Lara Jongrang bahwa tusuk konde, paku, dan lempengan besi digunakan sebagai bagian dari alat peripih (Anom, 1997 dalam Rahadjo, 2002: 187). Bahkan alat keperluan sehari-hari biasa digunakan untuk kepentingan persajian Sang Hyang Kalumpang dalam upacara penetapan sima. Alat-alatnya antara lain kapak, linggis, tatah, keris, cangkul, jarum pisau, talam, dan alat penjepit.

Perak
Barang ini dapat dibuat berbagai jenis peralatan, termasuk bersifat non-keagamaan. Dalam hal keagamaan alat-alat perak dapat digunakan sebagai bagian dari peripih dan juga digunakan untuk arca-arca dewa. Sebagai benda peripih, benda perak dapat berupa mata uang, potongan-potongan kecil (di antaranya bertulisan), butiran, bulatan, segi-tiga, pilihan, yoni, dan kuntum bunga. Perak dalam bentuk payung (chattra) dijumpai di daerah Sucen, Temanggung, sebagai benda persembahan dan dikenal dengan nama prasasti Sucen II.

Emas.
Emas banyak digunakan sebagai bahan peripih dan arca dewa. Emas juga digunakan untuk membuat berbagai wadah dan benda-benda lain yang memiliki makna keagamaan tertentu. Benda peripih yang terbuat dari logam emas antara lain berupa lempengan berhuruf atau ditulisi nama, antara lain: Yama, Wairagya, Ananta, Istana, Bayu, Tathaka, Kapita, Isana Dharma, Agni, Indra, Baruna, Basuki, Brahma, Isuryya, Jnana, dan Soma. Yang berupa lempengan atau lembaran digambari bentuk: naga, kura-kura, cakra, swastika, wajra, bulatan), kepingan polos, kotak segi empat, dan lingga (Anom, 1997 dalam Rahadjo, 2002: 287).

Arca logam yang terbuat dari emas dapat berupa batangan atau lempengan. Pada umumnya hanya digunakan untuk menggambarkan dewa-dewa utama atau simbolnya. Sebagai wadah persajian, alat emas dapat berupa pasu, mangkuk, gayung/sindok besar. Benda emas yang tampaknya memiliki simbol keagamaan tertentu seperti "lempeng kesucian" (public tussle). Bagian permukaan yang berbentuk segi tiga terbalik ini diberi berbagai motif, diantaranya adegan ceritra Sri Tanjung, adegan pertapaan, adegan Garudeya, dan gambar siput bersayap. Fungsi benda ini belum begitu jelas, dan diduga benda ini baru dibuat pada masa Jawa Timur, terutama pada masa Majapahit.

Tanaman dan Bunga
Dalam hal upacara keagamaan, tanaman dan bunga sering digunakan. Tanaman, kecuali rumput, hanya bagian tertentu yang diambil, misalnya batangnya. Dua jenis tanaman yang biasanya sering digunakan untuk persajian adalah damar, kayu cendana, dan rumput. Prasasti Taji (901), menyebutkan bahwa kabikuan diwajibkan mempersembahkan emas 2 ku untuk pembelian damar (dupa) bagi (penjual) Bhatara di Raja yang harus dilakukan tiap bulan Caitra. Sumbangan yang sama juga harus dilakukan pada bulan Asuji. Dupa sebagai benda peripih ditemukan di Candi Plaosan Lor yang telah menggumpal bersama sisa-sisa. Dupa sebagai sajian watu kalumpang disebut dalam Prasasti Poh I (905).

Kayu cendana sebagai bagian dari peripih yang tersimpan di dalam cupu, dijumpai di dalam fondasi Candi Plaosan Lor. Rumput sebagai bagian dari peripih dijumpai di Candi Dwarawati (Dieng). Di Bali rumput bersama daun biasanya digunakan sebagai pembungkus logam mulia yang kemudian diikat dengan benang. Selain itu bunga juga sering digunakan sebagi bagian dari upacara sajian.

Biji-bijian dan Makanan
Prasasti Sukamerta (1296) menyebutkan berbagai jenis wijra (dengan warna) putih, merah, kuning, dan hitam; masing-masing sebanyak 5 sukat setiap tahun kepada Sang Hyang Dharmasima di Pager. Istilah wijra tentu mengacu kepada biji-bijian, mungkin beras yang diberi pewarna. Padi sebagai benda peripih dijumpai di Candi Selagriya dan Candi Wisnu Lara Jonggrang.

Jewawut sebagai benda peripih dijumpai di candi Salogriya dan Plaosan Lor. Biji-bijian lain yang digunakan sebagi benda peripih adalah kemiri (Candi Sanggariti), cengkeh (Candi Selagriya), dan pala (Candi Selagriya) atau rempah-rempah (Candi Plaosan Lor). Jenis makanan yang biasanya sering dijadikan sajian adalah nasi yang dimasak dalam berbagai cara. Prasasti Poh I (905) menyebutkan bahwa nasi sebagai salah satu jenis sajian Watu Kalumpang.

Kain
Kain, khususnya yang bewarna putih, pernah di jumpai sebagai pembungkus cupu dalam bentuk periuk perunggu di Candi Wisnu Lara Jonggrang. Kain yang terbuat dari sutra bersulam emas pernah disebut dalam Kidung Sundayana sebagai pembungkus jenazah sebelum di bakar. Prasasti Poh menyebutkan kain sebagai salah satu bahan sajian untuk Sang Hyang Watu Kalumpang.

Hewah dan Telur
Hewan yang bisanya dipergunakan sebagai sajian dalam upacara dalah kambing, kepala kerbau, dan ayam. Prasasti Galung-galung (929) menyebutkan kewajiban suatu sima untuk memberikan persembahan kepada Sang Hyang Kahyangan di Pangawan berupa seekor kambing dan barang lainnya (Boechori, 1980: 323). Persembahan ini diberikan pada saat melakukan pemujaan terhadap Bhatara di tempat itu setahun sekali. Prasasti Poh I (905) menyebutkan, di antara sajian Watu Kalumpang adalah kambing (wdus), kepala kerbau (tandasing hadangan), dan ayam jantan hitam (hayam lanang hireng). Di samping itu, prasasti ini menyebutkan telur ayam (hantrini) sebagai salah satu sajian. Dalam upacara sima ayam dipotong kepalanya dan telur dibanting dengan menggunakan watu kalumpang sebagai landasannya.

Sumber Tulisan:
http://www.wacananusantara.org/1/64/perlengkapan-upacara-keagamaan-pada-masa-klasik
-

Arsip Blog

Recent Posts